Laut Teritorial merepresentasikan ruang maritim yang paling krusial bagi sebuah negara pantai. Ia adalah perpanjangan kedaulatan penuh suatu negara, bukan hanya di atas permukaan air, namun juga meliputi ruang udara di atasnya, serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Pemahaman mendalam tentang konsep ini merupakan kunci untuk menavigasi kompleksitas hukum internasional dan menjaga keseimbangan antara kedaulatan nasional dan kebebasan navigasi global.
Konsep Laut Teritorial bukanlah penemuan modern, melainkan evolusi panjang dari klaim-klaim maritim negara yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sejak era klasik, negara-negara pantai telah berusaha mengendalikan perairan yang berbatasan langsung dengan wilayah daratan mereka untuk tujuan pertahanan, bea cukai, dan perikanan. Namun, konflik antara klaim kedaulatan ini dan prinsip kebebasan lautan (mare liberum) yang dipromosikan oleh tokoh seperti Hugo Grotius, memicu kebutuhan akan kodifikasi internasional.
Secara historis, batas Laut Teritorial diakui berdasarkan jangkauan tembakan meriam (cannon-shot rule). Aturan yang muncul pada abad ke-18 ini menetapkan bahwa kedaulatan negara pantai membentang sejauh jangkauan tembakan artileri mereka dari pantai—secara umum distandarisasi sebagai tiga mil laut (3 NM). Filosofi di balik ini sederhana: jika suatu negara dapat secara fisik menguasai atau mempertahankan wilayah perairan tersebut, maka wilayah itu berada di bawah kedaulatannya. Meskipun aturan 3 NM ini sempat menjadi standar yang luas di antara negara-negara maritim besar, perkembangan teknologi militer dan kebutuhan keamanan yang semakin kompleks membuat batas ini menjadi usang.
Pada pertengahan abad ke-20, semakin banyak negara, terutama negara-negara berkembang dan yang baru merdeka, mulai mengklaim batas yang lebih luas—mulai dari 6 mil, 9 mil, hingga 12 mil laut, dan bahkan hingga 200 mil laut untuk tujuan perikanan dan eksplorasi sumber daya alam. Ketidakseragaman klaim ini menciptakan kekacauan dan ketidakpastian hukum di lautan internasional, yang pada akhirnya mendorong upaya kodifikasi melalui Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).
Landasan hukum modern yang mengatur Laut Teritorial adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. Konvensi ini, sering disebut sebagai "konstitusi lautan," berhasil mencapai konsensus global mengenai penetapan batas maritim. Menurut UNCLOS, batas terluar Laut Teritorial ditetapkan pada jarak maksimal 12 mil laut (NM) diukur dari garis pangkal (baseline). Penetapan batas 12 mil laut ini menjadi titik krusial yang menyelesaikan perselisihan historis dan memberikan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan.
Definisi Laut Teritorial berdasarkan UNCLOS adalah jelas: itu adalah sabuk perairan yang berdekatan dengan garis pangkal negara pantai, di mana kedaulatan negara tersebut berlaku. Kedaulatan ini tidak hanya mencakup permukaan air, tetapi juga meluas ke ruang udara di atas laut teritorial, serta dasar laut dan tanah di bawahnya (subsoil). Ini adalah kedaulatan yang hampir identik dengan kedaulatan di wilayah daratan.
Penentuan batas Laut Teritorial sangat bergantung pada Garis Pangkal (Baseline), karena dari titik inilah seluruh pengukuran zona maritim lainnya dimulai. UNCLOS menyediakan dua metode utama untuk menentukan garis pangkal, yang penggunaannya bergantung pada karakteristik geografis pesisir negara pantai.
Garis pangkal normal adalah metode paling sederhana dan umum. Garis ini ditarik mengikuti garis air surut terendah (low-water line) sepanjang pantai, seperti yang ditunjukkan pada peta laut skala besar yang diakui secara resmi. Penggunaan garis air surut terendah memastikan bahwa perairan di sebelah darat garis pangkal, yang disebut perairan pedalaman (internal waters), berada di bawah kedaulatan penuh tanpa pengecualian hak lintas.
Metode ini ideal untuk pantai yang relatif mulus dan stabil. Namun, pantai yang sangat berliku, memiliki banyak pulau di dekatnya, atau terdapat delta sungai yang kompleks, memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel.
Untuk negara-negara yang memiliki pantai yang tidak stabil, sangat berliku-liku, atau terdapat rantai pulau di sepanjang pantai dalam jarak dekat, UNCLOS mengizinkan penggunaan Garis Pangkal Lurus. Garis ini ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar daratan atau pulau-pulau terdepan. Metode ini secara efektif "meluruskan" kontur pantai yang kompleks.
Penggunaan Garis Pangkal Lurus harus memenuhi kriteria ketat UNCLOS, yaitu: garis lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai, dan wilayah laut yang berada di sebelah dalam garis tersebut (yang kemudian menjadi perairan pedalaman) harus memiliki keterkaitan geografis yang cukup erat dengan daratan. Tujuan penggunaan garis lurus adalah untuk memberikan kejelasan dan kepastian dalam penentuan batas teritorial, terutama bagi negara-negara kepulauan yang memiliki perairan yang terfragmentasi.
Bagi Negara Kepulauan (Archipelagic States), UNCLOS mengakui metode Garis Pangkal Kepulauan. Garis ini ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar dan karang kering dari kepulauan tersebut. Perairan yang tercakup di dalam garis pangkal ini disebut Perairan Kepulauan. Status hukum Perairan Kepulauan sedikit berbeda dari Perairan Pedalaman, karena negara kepulauan harus menghormati Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes Passage), suatu bentuk hak lintas yang lebih bebas daripada sekadar Hak Lintas Damai di Laut Teritorial.
Setelah garis pangkal ditentukan, batas terluar Laut Teritorial ditarik sejauh 12 mil laut dari garis tersebut. Batas ini, yang juga dikenal sebagai batas yurisdiksi teritorial, memiliki signifikansi geopolitik yang besar, karena menandai batas fisik di mana kedaulatan negara pantai mencapai titik terjauhnya, sebelum memasuki Zona Tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Meskipun suatu negara memiliki kedaulatan penuh di Laut Teritorialnya, kedaulatan ini tidak mutlak. Hukum internasional memberikan pengecualian penting yang bertujuan menjaga keseimbangan antara kedaulatan negara pantai dan kepentingan komunikasi maritim internasional: yaitu Hak Lintas Damai (Innocent Passage).
Kedaulatan di Laut Teritorial sangat luas. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi sumber daya, mengatur kegiatan navigasi, melaksanakan hukum dan ketertiban, serta melakukan operasi militer untuk pertahanan. Kedaulatan ini juga mencakup aspek lingkungan, di mana negara pantai berhak memberlakukan undang-undang yang ketat terkait pencegahan polusi dari kapal-kapal yang melintasi wilayahnya. Hal ini meliputi regulasi terkait pembuangan limbah, standar konstruksi kapal, dan persyaratan pelaporan.
Lebih jauh lagi, kedaulatan negara pantai mencakup subsoil Laut Teritorial. Negara berhak melakukan pengeboran, penambangan, dan kegiatan eksplorasi lainnya di dasar laut teritorial tanpa izin atau konsultasi dari negara lain. Demikian pula, ruang udara di atas Laut Teritorial sepenuhnya berada di bawah kendali negara pantai, yang berarti pesawat terbang asing tidak memiliki hak untuk melintas kecuali dengan izin eksplisit dari negara tersebut.
Pengecualian utama terhadap kedaulatan penuh ini adalah kewajiban negara pantai untuk mengizinkan Hak Lintas Damai bagi kapal asing. Hak ini merupakan hasil kompromi antara klaim kedaulatan dan prinsip kebebasan berlayar yang mendasar bagi perdagangan global.
Lintas berarti navigasi melalui Laut Teritorial untuk tujuan: (a) melintasi wilayah tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman, atau (b) menuju atau meninggalkan perairan pedalaman. Lintas harus cepat dan tanpa henti. Berhenti dan berlabuh hanya diperbolehkan jika hal tersebut merupakan insiden normal dari navigasi atau diperlukan karena keadaan kahar (force majeure) atau kesulitan yang diakibatkan bencana.
Kriteria "Damai" (Innocent) adalah inti dari konsep ini. UNCLOS secara spesifik merinci bahwa lintasan dianggap tidak damai (non-innocent) jika kapal asing melakukan salah satu dari 12 kegiatan yang merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi:
Kriteria yang sangat terperinci ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi negara pantai untuk menilai dan mengambil tindakan terhadap kapal-kapal yang dianggap melanggar rezim lintas damai. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa seluruh penilaian harus dilakukan secara objektif dan tidak diskriminatif.
Untuk kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya, UNCLOS memberlakukan persyaratan yang sangat spesifik. Mereka harus berlayar di permukaan dan mengibarkan bendera mereka saat melintasi Laut Teritorial. Persyaratan ini didasarkan pada kebutuhan negara pantai untuk memastikan bahwa kapal militer asing yang melintasi wilayah kedaulatannya tidak menimbulkan ancaman tersembunyi. Pelanggaran terhadap aturan ini secara otomatis menjadikan lintas tersebut non-innocent.
Meskipun kapal perang asing menikmati imunitas berdaulat (mereka tidak dapat ditangkap atau tunduk pada yurisdiksi pidana negara pantai), mereka tetap harus mematuhi aturan Hak Lintas Damai. Jika kapal perang melanggar hak lintas damai, negara pantai dapat meminta kapal tersebut segera meninggalkan Laut Teritorial. Jika kapal tersebut menolak, negara pantai berhak mengambil langkah-langkah yang diizinkan oleh hukum internasional untuk memaksa kapal tersebut keluar, meskipun tindakan tersebut harus hati-hati agar tidak memicu konflik internasional.
Negara pantai memiliki hak untuk menangguhkan, sementara waktu dan tanpa diskriminasi, Hak Lintas Damai di area spesifik Laut Teritorialnya jika penangguhan tersebut penting untuk perlindungan keamanan atau pertahanannya, termasuk latihan senjata. Penangguhan ini harus diumumkan secara publik sebelum diberlakukan, misalnya melalui pemberitahuan kepada pelaut (Notices to Mariners). Namun, penangguhan tersebut tidak boleh menghalangi akses ke perairan pedalaman, yang sering kali menjadi jalur vital menuju pelabuhan.
Kedaulatan di Laut Teritorial memberikan negara pantai yurisdiksi legislatif, eksekutif, dan yudisial. Ini berarti negara pantai memiliki hak untuk memberlakukan undang-undang nasional, menegakkan undang-undang tersebut, dan mengadili pelanggaran yang terjadi di Laut Teritorial. Namun, sejalan dengan prinsip kebebasan navigasi, yurisdiksi ini sering kali dibatasi, terutama dalam hal urusan internal kapal asing.
Secara umum, negara pantai seharusnya tidak menjalankan yurisdiksi pidana di kapal asing yang melintasi Laut Teritorialnya untuk menangkap orang atau melakukan penyelidikan sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan di atas kapal selama lintas tersebut, kecuali jika:
Batasan ini menghormati prinsip bahwa urusan internal kapal, yang tidak memengaruhi negara pantai, harus ditangani oleh negara bendera. Namun, jika kapal asing berlabuh di perairan pedalaman atau di pelabuhan, yurisdiksi pidana negara pantai menjadi penuh dan tak terbantahkan. Perbedaan antara kapal yang melintas dan kapal yang berlabuh adalah kunci dalam penentuan batas yurisdiksi.
Negara pantai juga tidak seharusnya menahan atau mengalihkan kapal asing yang melintas Laut Teritorial, atau melaksanakan eksekusi terhadap kapal tersebut untuk keperluan proses perdata, kecuali terkait dengan kewajiban yang ditimbulkan oleh atau selama pelayaran kapal tersebut di perairan negara pantai atau di Laut Teritorialnya.
Contohnya, jika kapal asing menyebabkan tabrakan di Laut Teritorial yang mengakibatkan kerugian terhadap kapal negara pantai, maka negara pantai memiliki dasar hukum untuk mengambil tindakan perdata. Namun, klaim perdata yang timbul dari kontrak yang dibuat di luar Laut Teritorial biasanya tidak dapat dijadikan alasan untuk menahan kapal saat ia hanya melakukan lintas damai. Prinsip ini melindungi kelancaran navigasi internasional dan menghindari penyalahgunaan yurisdiksi oleh negara pantai untuk menyelesaikan sengketa perdata murni.
Penegakan kedaulatan di Laut Teritorial adalah tugas utama bagi otoritas maritim, termasuk angkatan laut, polisi air, dan penjaga pantai. Tugas ini melibatkan pemantauan lalu lintas kapal, pencegahan penyelundupan, perlindungan sumber daya perikanan, dan operasi pencarian serta penyelamatan (SAR). Negara pantai harus memastikan bahwa penegakan hukum yang mereka lakukan konsisten dengan prinsip-prinsip UNCLOS, terutama terkait non-diskriminasi dan proporsionalitas penggunaan kekuatan. Tindakan penegakan yang berlebihan dapat memicu protes diplomatik dan sengketa internasional.
Untuk memahami sepenuhnya rezim Laut Teritorial, penting untuk membedakannya dari zona maritim lainnya yang ditetapkan oleh UNCLOS, karena masing-masing memiliki tingkat kedaulatan dan yurisdiksi yang berbeda. Transisi dari Laut Teritorial ke zona lain seringkali menciptakan kompleksitas hukum.
Perairan Pedalaman adalah perairan yang terletak di sisi darat dari garis pangkal. Ini termasuk teluk, pelabuhan, dan perairan di antara garis pangkal lurus dan pantai. Di Perairan Pedalaman, kedaulatan negara pantai adalah mutlak. Tidak ada Hak Lintas Damai bagi kapal asing. Kapal asing yang ingin masuk ke pelabuhan atau melintasi perairan pedalaman harus mendapatkan izin eksplisit dari negara pantai. Perbedaan fundamental ini menjadikan garis pangkal sebagai batas hukum yang paling penting.
Zona Tambahan membentang dari batas luar Laut Teritorial (12 NM) hingga batas maksimal 24 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini, negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh, tetapi hanya memiliki yurisdiksi fungsional, yang terbatas pada pengendalian untuk:
Dengan kata lain, Zona Tambahan berfungsi sebagai penyangga (buffer zone) yang memungkinkan negara pantai untuk mengejar dan menahan kapal yang telah melanggar hukum di Laut Teritorial sebelum kapal tersebut berhasil mencapai perairan internasional. Yurisdiksi di Zona Tambahan jauh lebih sempit dibandingkan di Laut Teritorial.
ZEE membentang dari batas luar Laut Teritorial hingga jarak maksimal 200 mil laut dari garis pangkal. Di ZEE, negara pantai tidak memiliki kedaulatan, melainkan hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi. Hak berdaulat ini terutama terkait dengan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati (ikan) maupun non-hayati (minyak, gas), di kolom air dan di dasar laut.
Di ZEE, kebebasan navigasi tetap berlaku sepenuhnya (seperti di laut lepas), tetapi negara pantai memiliki yurisdiksi terkait penelitian ilmiah kelautan dan perlindungan lingkungan. Kunci perbedaannya adalah: di Laut Teritorial ada Kedaulatan Penuh (dengan pengecualian Lintas Damai), sedangkan di ZEE ada Hak Berdaulat (dengan kebebasan navigasi penuh).
Landas Kontinen adalah dasar laut dan subsoil dari wilayah bawah laut yang membentang di luar Laut Teritorial hingga batas luar tepian benua, atau hingga 200 mil laut, mana pun yang lebih jauh. Negara pantai memiliki hak berdaulat eksklusif untuk mengeksploitasi sumber daya non-hayati dan sumber daya hayati yang menetap (misalnya tiram) di Landas Kontinen. Status Landas Kontinen adalah hak melekat (inherent right) yang tidak perlu diklaim secara formal.
Meski tumpang tindih dengan Laut Teritorial (dimana dasar lautnya adalah bagian dari kedaulatan penuh), hak di Landas Kontinen di luar Laut Teritorial tidak memengaruhi status hukum perairan di atasnya. Perairan di atas Landas Kontinen di luar ZEE adalah laut lepas.
Meskipun UNCLOS menyediakan kerangka hukum yang komprehensif, implementasi kedaulatan Laut Teritorial di lapangan seringkali dihadapkan pada tantangan geografis, ekonomi, dan geopolitik yang signifikan. Setiap negara pantai harus menerjemahkan ketentuan UNCLOS ke dalam undang-undang nasional dan memastikan bahwa armada penegak hukumnya mampu beroperasi secara efektif.
Langkah pertama dalam implementasi adalah legislasi. Negara pantai harus secara resmi mendeklarasikan garis pangkalnya dan lebar Laut Teritorialnya dalam undang-undang nasional. Deklarasi ini kemudian harus dipublikasikan secara internasional, terutama kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk memastikan transparansi dan pengakuan global. Kegagalan dalam mempublikasikan batas dapat mempersulit penegakan hukum terhadap kapal asing yang mengklaim ketidaktahuan.
Selain itu, negara pantai perlu mengeluarkan peraturan rinci mengenai lalu lintas kapal, terutama yang berkaitan dengan kapal tanker besar atau kapal nuklir, yang dianggap memiliki risiko lingkungan atau keamanan yang lebih tinggi. Negara berhak menetapkan jalur laut dan skema pemisahan lalu lintas (TSS) di Laut Teritorialnya untuk alasan navigasi yang aman, asalkan jalur tersebut tidak menghambat lintas damai.
Laut Teritorial seringkali menjadi sumber utama sengketa antarnegara. Ketika pantai dua negara berdekatan atau berhadapan, batas Laut Teritorial mereka harus ditentukan melalui delimitasi, yang idealnya dilakukan melalui perjanjian. Prinsip hukum yang umum digunakan adalah garis tengah (equidistance line), kecuali jika ada keadaan khusus yang memerlukan penyesuaian untuk mencapai solusi yang adil.
Sengketa ini bisa sangat intens, terutama jika pulau-pulau kecil atau fitur maritim tertentu (seperti batu karang yang hanya terlihat saat air surut) menjadi titik pangkal penentuan garis pangkal. Status hukum fitur-fitur ini sangat penting karena dapat menggeser batas kedaulatan 12 mil laut secara signifikan, mempengaruhi akses ke sumber daya, dan memicu ketegangan regional.
Penegakan kedaulatan di Laut Teritorial saat ini menghadapi tantangan yang melampaui konflik batas tradisional. Tantangan tersebut meliputi:
Untuk mengatasi tantangan ini, negara pantai seringkali harus berinvestasi besar-besaran dalam teknologi pengawasan maritim, termasuk radar, satelit, dan drone, serta meningkatkan kapasitas personel penegak hukum mereka.
Mengingat pentingnya hak lintas damai sebagai pengecualian terhadap kedaulatan, rezim ini telah menjadi subjek interpretasi dan perselisihan hukum yang mendalam. Pengadilan Internasional, terutama Mahkamah Internasional (ICJ) dan Tribunal Internasional Hukum Laut (ITLOS), telah memberikan kejelasan penting mengenai parameter dari ‘kedamaian’ dan hak negara pantai.
Salah satu kasus paling penting yang membentuk pemahaman modern tentang hak lintas damai adalah Kasus Korfu Channel (1949) antara Inggris dan Albania. Dalam kasus ini, ICJ memutuskan bahwa, bahkan di selat yang digunakan untuk navigasi internasional (seperti Korfu Channel), kapal perang memiliki hak lintas yang tidak dapat ditangguhkan dalam masa damai, asalkan lintas tersebut benar-benar damai.
Keputusan ini menekankan dua poin kunci: (1) Kewajiban negara pantai untuk tidak membahayakan navigasi yang damai (dalam kasus ini, Albania harus membersihkan ranjau atau setidaknya memperingatkan kapal yang melintas), dan (2) Pengakuan implisit bahwa lintas kapal perang, meskipun membawa potensi ancaman, secara dasar dapat dianggap damai asalkan memenuhi kriteria objektivitas UNCLOS (meskipun kasus ini terjadi sebelum UNCLOS). Kasus ini menjadi fondasi bagi pasal-pasal UNCLOS mengenai Lintas Damai, khususnya di selat internasional.
Perdebatan utama dalam interpretasi adalah sejauh mana negara pantai dapat menggunakan kriteria subjektif untuk menentukan apakah suatu lintas itu damai. UNCLOS berupaya menetapkan kriteria yang sangat objektif (daftar 12 kegiatan non-innocent) untuk membatasi ruang bagi negara pantai bertindak berdasarkan kecurigaan semata.
Namun, ada situasi abu-abu. Misalnya, apakah sebuah kapal yang hanya melambat di Laut Teritorial untuk waktu yang singkat dianggap melanggar lintas damai? Jika perlambatan tersebut bukan karena kerusakan mesin atau cuaca buruk, negara pantai mungkin menginterpretasikannya sebagai pengumpulan intelijen (kegiatan non-innocent). Dalam kasus seperti ini, beban pembuktian biasanya jatuh pada negara pantai untuk menunjukkan bahwa aktivitas kapal asing tersebut benar-benar melanggar keamanan atau ketertiban mereka.
Ketika kapal komersial asing, seperti kapal tanker, melakukan pelanggaran berat di Laut Teritorial (misalnya, tumpahan minyak besar yang disengaja atau penyelundupan narkotika dalam skala besar), negara pantai memiliki hak yang lebih luas untuk melakukan intervensi, menahan, atau bahkan mengadili awak kapal. UNCLOS memperkuat hak negara pantai untuk memberlakukan hukum lingkungan dan bea cukai. Intervensi ini harus didasarkan pada kebutuhan mendesak untuk melindungi sumber daya dan lingkungan negara pantai, dan harus proporsional.
Jika terjadi polusi berat akibat kecerobohan kapal asing, negara pantai dapat meminta ganti rugi. Jika kapal tersebut menolak mematuhi regulasi lingkungan atau persyaratan pelaporan, negara pantai dapat menahan kapal di Laut Teritorial atau memaksanya menuju pelabuhan untuk penyelidikan, selama tindakan tersebut sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UNCLOS.
Kedaulatan di Laut Teritorial memiliki implikasi signifikan terhadap isu-isu lingkungan global, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Karena kedaulatan penuh berlaku, negara pantai memegang kendali utama atas perlindungan ekosistem yang rapuh di wilayah ini.
UNCLOS memberikan hak kepada negara pantai untuk mengadopsi undang-undang dan peraturan guna mencegah, mengurangi, dan mengendalikan polusi dari kapal asing yang melintasi Laut Teritorial mereka. Ini termasuk regulasi yang menetapkan standar pelepasan limbah dan penanganan bahan berbahaya.
Penting untuk dicatat bahwa regulasi ini tidak boleh menghambat Hak Lintas Damai secara efektif. Artinya, persyaratan lingkungan yang diberlakukan oleh negara pantai harus konsisten dengan standar internasional yang umumnya diterima (misalnya, yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim Internasional/IMO). Negara pantai tidak dapat menetapkan standar yang terlalu berat atau unik hanya untuk mengusir kapal asing. Namun, dalam kasus area yang sangat sensitif dan rentan (seperti terumbu karang atau habitat satwa langka), negara pantai mungkin berhak menerapkan langkah-langkah perlindungan yang lebih ketat, setelah melalui proses konsultasi internasional.
Perubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan laut (KPL), menimbulkan dilema eksistensial bagi penetapan batas Laut Teritorial. Batas ini, baik Garis Pangkal Normal maupun Lurus, didasarkan pada fitur geografis fisik yang ada saat ini. Jika garis air surut terendah (low-water line) bergerak ke arah daratan karena KPL, secara teori, ini akan mengurangi lebar Laut Teritorial negara pantai, menggerus wilayah kedaulatan mereka.
Isu ini sangat krusial bagi negara-negara kepulauan dataran rendah. Jika pulau-pulau kecil atau karang yang digunakan sebagai titik pangkal hilang di bawah permukaan air, batas Laut Teritorial mereka akan terancam runtuh. Komunitas internasional saat ini memperdebatkan apakah garis pangkal harus 'dibekukan' pada posisi yang ada pada saat UNCLOS diratifikasi, terlepas dari perubahan fisik yang diakibatkan oleh iklim. Mempertahankan batas yang 'dibekukan' akan menjamin kepastian dan mencegah hilangnya kedaulatan maritim akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh global.
MSR di Laut Teritorial berada di bawah kedaulatan penuh negara pantai. Kapal asing yang ingin melakukan penelitian ilmiah—misalnya, survei hidrografi atau studi iklim—wajib mendapatkan izin eksplisit dari negara pantai. Negara pantai memiliki hak untuk menetapkan syarat dan ketentuan MSR, berpartisipasi dalam penelitian tersebut, dan bahkan meminta penangguhan atau penghentian kegiatan jika terbukti kegiatan tersebut merugikan kepentingan keamanan atau sumber daya mereka.
Kontrol ketat atas MSR ini penting karena beberapa negara berupaya menyamarkan kegiatan militer atau intelijen di bawah kedok penelitian ilmiah. Bagi negara pantai, membedakan antara penelitian murni dan spionase adalah tugas yang memerlukan pemahaman yang mendalam tentang teknologi kelautan dan motif pihak asing.
Dalam lanskap geopolitik yang terus berubah, di mana teknologi baru (seperti kendaraan bawah air nirawak atau drone) dan ancaman hibrida muncul, interpretasi kedaulatan di Laut Teritorial harus terus berkembang. Masa depan Laut Teritorial mungkin akan didominasi oleh isu-isu yang berkaitan dengan yurisdiksi siber dan pengawasan digital.
Kemunculan kendaraan bawah air nirawak (UUVs) dan kendaraan permukaan nirawak (USVs) menghadirkan tantangan unik bagi rezim lintas damai. Apakah UUVs, yang beroperasi di bawah permukaan, harus dianggap sebagai kapal selam yang wajib berlayar di permukaan? Karena sifatnya yang otonom dan sering kali memiliki tujuan pengumpulan data, lintas UUVs melalui Laut Teritorial tanpa izin sangat mungkin dianggap sebagai kegiatan non-innocent.
Negara pantai harus beradaptasi dengan mendefinisikan secara jelas status hukum kendaraan nirawak ini dalam legislasi nasional mereka. Jika perangkat tersebut digunakan untuk memetakan dasar laut atau mengumpulkan informasi strategis di Laut Teritorial, hal itu jelas merupakan pelanggaran kedaulatan penuh, dan negara pantai berhak mengambil tindakan pencegahan atau penahanan.
Kedaulatan suatu negara juga mencakup ruang udara di atas Laut Teritorial, yang juga merupakan ruang elektromagnetik. Jika kapal asing yang melintas Laut Teritorial secara aktif mengganggu atau meretas sistem komunikasi penting negara pantai, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan dan, oleh karena itu, melanggar Hak Lintas Damai (sesuai poin ke-11 dari kegiatan non-innocent).
Isu ini memaksa negara pantai untuk melihat kedaulatan tidak hanya sebagai pengawasan fisik perbatasan laut, tetapi juga sebagai perlindungan terhadap infrastruktur digital dan spektrum elektromagnetik di wilayah kedaulatan mereka. Penegakan hukum di Laut Teritorial kini harus mencakup kemampuan untuk mendeteksi dan merespons ancaman siber yang berasal dari kapal-kapal asing.
Mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki banyak negara pantai, terutama dalam memerangi kejahatan transnasional seperti IUU fishing dan penyelundupan, kerja sama regional menjadi sangat penting. Pengawasan yang efektif terhadap Laut Teritorial yang padat lalu lintas seringkali memerlukan pertukaran informasi secara cepat dan operasi patroli bersama antarnegara tetangga.
Mekanisme kerja sama ini, yang harus tetap menghormati kedaulatan masing-masing negara, membantu memastikan bahwa rezim Laut Teritorial tidak menjadi celah bagi kegiatan ilegal. Dengan memperkuat kerja sama, negara pantai dapat menegakkan batas 12 mil laut mereka secara kolektif, memastikan bahwa kedaulatan yang diberikan oleh UNCLOS dapat dipertahankan secara praktis di lautan yang luas dan sulit dipantau.
Secara keseluruhan, Laut Teritorial tetap menjadi fondasi kedaulatan maritim. Batas 12 mil laut adalah simbol fisik perpanjangan negara ke lautan, namun kepentingannya jauh melampaui garis di peta. Ia adalah cerminan dari keseimbangan kompleks antara hak mutlak negara untuk mempertahankan diri dan kewajiban universal untuk memfasilitasi komunikasi dan perdagangan global. Pemeliharaan rezim ini menuntut kewaspadaan hukum, diplomatik, dan militer yang berkelanjutan dari setiap negara pantai di dunia.