Ilustrasi kelaziman sebagai jembatan yang menghubungkan perilaku antarindividu.
Dalam setiap detik kehidupan, manusia dikelilingi oleh lapisan-lapisan perilaku, aturan, dan ekspektasi yang tidak tertulis. Lapisan-lapisan ini, yang sering kita anggap remeh, membentuk struktur fundamental masyarakat kita. Inti dari struktur ini adalah konsep kelaziman—suatu keadaan atau tindakan yang diterima secara umum, diulang secara teratur, dan dianggap wajar dalam konteks budaya atau sosial tertentu. Kelaziman bukan sekadar kebiasaan pribadi; ia adalah cetak biru kolektif yang mendefinisikan batas antara yang diterima dan yang menyimpang.
Kelaziman adalah udara yang kita hirup dalam interaksi sosial. Ia mengatur cara kita berpakaian, cara kita berbicara, bagaimana kita bernegosiasi dalam pasar, dan bahkan cara kita menunjukkan kesedihan atau kegembiraan. Tanpa adanya kelaziman, interaksi sosial akan menjadi medan kekacauan yang terus-menerus, di mana setiap individu harus merumuskan ulang setiap langkahnya. Fungsi utamanya adalah menyediakan efisiensi kognitif dan prediktabilitas sosial. Ketika sesuatu itu lazim, kita tidak perlu membuang energi mental untuk memprosesnya; kita tahu apa yang diharapkan, dan kita tahu bagaimana harus merespons.
Memahami kelaziman memerlukan eksplorasi multidisipliner. Kita perlu menyelami psikologi di balik pembentukan kebiasaan, sosiologi yang mengikat norma menjadi institusi, dan antropologi yang menjelaskan bagaimana tradisi diturunkan dan dipertahankan. Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif apa yang membuat suatu tindakan menjadi lazim, bagaimana kelaziman memengaruhi identitas kolektif, dan bagaimana fenomena ini berinteraksi dengan dinamika perubahan sosial yang tak terhindarkan. Kita akan melihat bagaimana praktik-praktik yang dulunya radikal dapat bergeser menjadi status yang sepenuhnya lazim, dan sebaliknya, bagaimana praktik-praktik yang mengakar kuat dapat runtuh di hadapan inovasi atau krisis.
Untuk memulai analisis mendalam tentang kelaziman, kita harus membedakannya dari konsep-konsep yang serupa, seperti adat, norma, dan hukum. Meskipun sering tumpang tindih, kelaziman memiliki nuansa tersendiri. Kelaziman merujuk pada frekuensi dan penerimaan umum. Sesuatu yang lazim adalah sesuatu yang biasanya dilakukan.
Norma sosial adalah aturan eksplisit atau implisit yang mengatur perilaku anggota masyarakat. Norma membawa beban moral atau sanksi. Jika Anda melanggar norma, Anda mungkin dikucilkan atau ditegur. Sementara itu, kelaziman adalah manifestasi perilaku dari norma tersebut. Misalnya, norma mungkin menyatakan bahwa kita harus menghormati orang tua; kelazimannya mungkin adalah mencium tangan mereka saat bertemu. Jika mencium tangan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh 90% populasi, maka tindakan tersebut telah mencapai status kelaziman, meskipun norma aslinya hanya menuntut 'rasa hormat'. Kelaziman adalah statistik perilaku, sedangkan norma adalah mandat preskriptif.
Kebiasaan adalah pola perilaku yang diulang oleh satu individu. Menyikat gigi setiap pagi adalah kebiasaan. Namun, ketika kebiasaan ini dimiliki oleh mayoritas penduduk—menyikat gigi di pagi hari—ia bertransmutasi menjadi kelaziman masyarakat. Kelaziman adalah agregasi dari kebiasaan-kebiasaan individu yang terkoordinasi dan terlegitimasi oleh lingkungan sosial. Ia menciptakan 'kesadaran kolektif' Durkheimian yang menuntut kepatuhan tidak melalui paksaan formal, melainkan melalui tekanan adaptif. Sifat lazim dari suatu tindakan memastikan bahwa individu merasa lebih aman dan terintegrasi saat mengikutinya.
Status suatu praktik sebagai lazim adalah dinamis. Apa yang lazim di satu generasi mungkin menjadi aneh atau tabu di generasi berikutnya. Ambil contoh penggunaan sarana komunikasi. Pengiriman surat via pos adalah praktik yang sangat lazim di awal abad ke-20. Pada abad ke-21, kelaziman telah bergeser drastis ke penggunaan pesan instan digital. Pergeseran ini menunjukkan bahwa teknologi dan lingkungan sosial memiliki peran krusial dalam membentuk dan mendefinisikan ulang batas-batas kelaziman. Kelaziman adalah respons masyarakat terhadap kebutuhan adaptasi yang paling efisien.
Bagaimana suatu tindakan, yang awalnya acak atau disengaja, bisa mengakar begitu dalam hingga dianggap lazim oleh ribuan orang? Jawabannya terletak pada mekanisme neurologis dan psikologis pembentukan kebiasaan, yang kemudian diperkuat oleh tekanan sosial.
Jalur pengulangan neurologis yang memperkuat kebiasaan hingga menjadi kelaziman kolektif.
Menurut penelitian psikologi perilaku, kebiasaan dibentuk melalui 'loop kebiasaan' yang terdiri dari tiga elemen: isyarat (trigger), rutinitas (action), dan hadiah (reward). Ketika suatu tindakan diulang berkali-kali dalam respons terhadap isyarat yang sama dan menghasilkan hadiah yang memuaskan (bisa berupa efisiensi, rasa aman, atau persetujuan sosial), tindakan tersebut diprogram dalam ganglia basalis otak, menjadi otomatis. Dalam konteks sosial, kelaziman adalah loop kebiasaan yang diperkuat oleh hadiah persetujuan sosial.
Misalnya, dalam lingkungan kerja, lazim untuk memulai rapat dengan presentasi formal. Isyaratnya adalah undangan rapat, rutinitasnya adalah presentasi yang rapi, dan hadiahnya adalah reputasi profesional serta kelancaran proses kerja. Karena hadiah sosial ini begitu kuat dan universal dalam komunitas profesional, tindakan tersebut menjadi lazim. Siapapun yang mencoba memulai rapat dengan cara yang sangat berbeda (misalnya, tarian bebas atau monolog filosofis) akan mengganggu loop tersebut dan menghadapi sanksi ketidaknyamanan sosial. Kelaziman memberikan kenyamanan prediktif yang dicari oleh otak.
Kelaziman dipercepat dan diperkuat melalui konsep bukti sosial. Ketika kita tidak yakin bagaimana harus bertindak, kita cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang lain, terutama mereka yang dianggap mayoritas atau otoritas. Ini adalah mekanisme adaptasi yang mendasar. Jika lazim bagi semua orang di sebuah restoran untuk memberi tip 10%, Anda, sebagai pengunjung baru, akan merasa tertekan secara implisit untuk melakukan hal yang sama, karena ketidakpatuhan dapat menimbulkan rasa malu dan menandakan kebodohan sosial.
Dampak dari bukti sosial ini sangat besar. Hal-hal yang awalnya hanya praktik marginal dapat dengan cepat mencapai status kelaziman jika dipromosikan oleh kelompok yang berpengaruh. Proses ini menjelaskan bagaimana tren mode, jargon baru, atau bahkan platform media sosial tertentu dapat mencapai adopsi massal dalam waktu singkat, mengubah perilaku harian menjadi hal yang lazim bagi jutaan orang. Kelaziman adalah hasil dari agregasi keputusan-keputusan individual yang dimotivasi oleh keinginan untuk diterima dan diselaraskan.
Kelaziman tidak hanya bersifat interpersonal; ia tersemat dalam institusi formal dan informal yang membentuk tatanan masyarakat. Dalam skala yang lebih besar, kelaziman menjadi fondasi bagi hukum, etika, dan bahkan birokrasi.
Ketika suatu praktik menjadi sangat lazim dan sangat penting untuk stabilitas sosial, ia sering kali diangkat menjadi norma institusional. Perbedaan antara etika dan hukum sering kali terletak pada tingkat formalitas, tetapi fondasinya adalah kelaziman. Contohnya, adalah lazim di banyak negara untuk membayar pajak; kelaziman ini kemudian dikodifikasikan dan diformalkan menjadi Undang-Undang Perpajakan. Keberhasilan hukum ini tidak hanya bergantung pada kemampuan penegakan, tetapi juga pada tingkat penerimaannya sebagai praktik yang lazim dan adil oleh warga negara. Jika suatu hukum terlalu jauh menyimpang dari apa yang dianggap lazim oleh mayoritas, resistensi sosial akan muncul.
Dalam birokrasi, kelaziman menentukan prosedur operasional standar (SOP). Bagaimana dokumen diproses, bagaimana keputusan diambil, dan bahkan bahasa yang digunakan dalam surat resmi—semua didasarkan pada serangkaian tindakan yang telah ditetapkan dan menjadi lazim. SOP birokrasi adalah upaya untuk memaksakan konsistensi dan kelaziman pada proses, sehingga hasil yang diperoleh dapat diprediksi, terlepas dari siapa petugas yang menjalankan tugas tersebut. Kelaziman birokrasi, meskipun sering dikritik karena kekakuan, adalah alat untuk memastikan keadilan prosedural.
Bahasa adalah sistem kelaziman yang paling kuat. Tata bahasa, sintaksis, dan leksikon adalah seperangkat konvensi yang sangat lazim yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi. Kata-kata memiliki makna karena kita, sebagai pengguna bahasa, secara kolektif setuju bahwa kata tersebut akan merujuk pada objek atau konsep tertentu. Jika setiap individu memutuskan untuk mengubah makna kata sesuka hati, komunikasi akan terhenti.
Di luar tata bahasa formal, ada kelaziman pragmatis. Misalnya, cara kita memulai percakapan ("Halo, apa kabar?"), cara kita mengakhiri surat elektronik ("Hormat saya,"), atau bahkan jeda yang lazim kita berikan saat orang lain berbicara. Semua ini adalah norma interaksi yang menjamin kelancaran pertukaran informasi. Ketika seseorang melanggar kelaziman pragmatis (misalnya, dengan menatap terlalu lama atau berbicara dengan volume yang tidak sesuai), interaksi menjadi canggung, menunjukkan kekuatan sanksi non-verbal yang mendukung kelaziman.
Kelaziman mencapai kedalaman terbesarnya dalam konteks budaya. Tradisi dan adat istiadat adalah kelaziman yang telah diuji oleh waktu, yang diwariskan melalui generasi, dan sering kali sarat dengan makna simbolis yang mendalam.
Ritual, baik yang bersifat keagamaan maupun sekuler, adalah serangkaian tindakan yang sangat lazim dan terstruktur. Fungsi ritual bukan hanya untuk mencapai tujuan spiritual atau praktis, tetapi juga untuk menegaskan identitas kelompok. Dengan melakukan ritual yang sama secara berulang-ulang, anggota kelompok merasa terhubung satu sama lain dan dengan leluhur mereka.
Ambil contoh kelaziman dalam upacara pernikahan. Meskipun detailnya bervariasi dari satu budaya ke budaya lain, inti dari kelaziman pernikahan—pertukaran janji, penyatuan formal, perayaan—bertujuan untuk mengumumkan transisi status dan mendapatkan pengakuan sosial. Kehadiran praktik-praktik yang lazim ini memberikan legitimasi pada peristiwa tersebut. Jika pasangan mencoba menikah tanpa mengikuti kelaziman sedikit pun, legitimasi sosial mereka mungkin dipertanyakan, meskipun secara hukum pernikahan itu sah. Ini menunjukkan bahwa kekuatan kelaziman sosial seringkali melampaui kekuatan hukum formal.
Kelaziman budaya juga mendefinisikan batas-batas eksklusivitas. Makanan yang lazim di satu daerah mungkin dianggap tabu di daerah lain. Cara berbusana yang sangat lazim di lingkungan pedesaan mungkin dianggap terlalu formal atau terlalu santai di lingkungan urban. Perbedaan dalam kelaziman ini berfungsi sebagai penanda identitas yang kuat, memungkinkan orang untuk dengan cepat mengidentifikasi 'milik kita' dan 'yang lain'. Proses enkulturasi—pembelajaran budaya—sebagian besar merupakan proses internalisasi kelaziman-kelaziman ini sejak usia dini.
Bahkan perilaku ekonomi didominasi oleh kelaziman. Kebiasaan berbelanja, kecenderungan untuk menabung versus berinvestasi, dan jenis produk yang dianggap 'perlu' atau 'mewah' adalah hasil dari kelaziman sosial. Di negara-negara tertentu, lazim untuk berbelanja kebutuhan pokok di pasar tradisional, sementara di negara lain, kelaziman telah bergeser ke supermarket besar atau belanja daring.
Konsep mode atau tren adalah studi tentang kelaziman yang dipercepat. Ketika suatu gaya baru diperkenalkan, ia dimulai sebagai hal yang asing, bahkan mungkin canggung. Namun, melalui adopsi oleh influencer dan pengulangan media, gaya tersebut dapat dengan cepat menjadi lazim. Setelah mencapai kelaziman, ia kehilangan daya tarik "baru"-nya dan perlahan digantikan oleh kelaziman yang berikutnya. Siklus ini menunjukkan bahwa kelaziman, terutama di area non-esensial, adalah fenomena yang sangat fluktuatif dan didorong oleh mekanisme peniruan dan diferensiasi.
Meskipun kelaziman memberikan stabilitas, sifat statisnya juga dapat menjadi penghalang bagi kemajuan atau adaptasi. Sejarah dipenuhi dengan contoh di mana kelaziman yang mengakar harus dipecahkan untuk memberi ruang bagi sistem yang lebih adil atau efisien.
Tidak semua yang lazim itu baik atau efisien. Kelaziman dapat melanggengkan diskriminasi, inefisiensi, atau bahkan perilaku yang merusak lingkungan. Misalnya, praktik korupsi mungkin menjadi sangat lazim dalam sistem politik tertentu sehingga ia diterima sebagai "cara kerja" yang normal, meskipun merusak struktur moral dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini, kelaziman berubah menjadi patologi sosial.
Dalam dunia teknologi, kelaziman bisa menjadi 'teknologi warisan' (legacy technology) yang menghambat inovasi. Jika suatu perusahaan terlalu nyaman dengan sistem operasi atau metode produksi yang sudah lazim, mereka mungkin gagal beradaptasi dengan perubahan pasar, seperti yang dialami oleh banyak perusahaan besar yang runtuh karena menolak meninggalkan kelaziman lama. Perjuangan untuk kemajuan sosial dan teknologi sering kali merupakan perjuangan melawan inersia kelaziman.
Kelaziman lama (lingkaran) berkonflik dengan inovasi (segi empat), memicu perubahan.
Pergeseran dari kelaziman lama ke kelaziman baru biasanya terjadi melalui tiga tahap:
Proses pergeseran kelaziman ini seringkali menghadapi resistensi yang kuat karena kelaziman memberi kenyamanan mental. Mengubah apa yang sudah lazim memerlukan biaya kognitif dan sosial yang tinggi, sehingga perubahan hanya terjadi ketika tekanan untuk beradaptasi melebihi biaya resistensi.
Era informasi telah mengubah kecepatan dan sifat pembentukan kelaziman. Media digital memungkinkan kelaziman untuk menyebar secara global hampir instan, namun pada saat yang sama, ia memecah masyarakat menjadi sub-kelompok yang memiliki kelaziman yang berbeda-beda.
Di masa lalu, dibutuhkan waktu puluhan tahun agar suatu praktik atau ide mencapai status kelaziman di seluruh negeri. Kini, melalui platform seperti TikTok, Twitter, atau Instagram, suatu tindakan (misalnya, tarian tertentu, tantangan, atau penggunaan emotikon spesifik) dapat menjadi lazim di seluruh dunia dalam hitungan hari. Ini adalah kelaziman mikro yang berumur pendek namun intens.
Namun, kecepatan ini juga berarti kelaziman modern seringkali lebih dangkal dan kurang mengakar secara institusional. Mereka adalah kelaziman perilaku, bukan kelaziman nilai. Ketika platform berubah atau perhatian bergeser, kelaziman ini menghilang secepat ia muncul, meninggalkan masyarakat dalam keadaan fluks sosial yang konstan.
Meskipun konektivitas global, algoritma media sosial cenderung mengisolasi individu ke dalam 'ruang gema' (echo chambers) atau komunitas yang homogen. Dalam ruang gema ini, sekelompok kecil individu dapat membentuk kelaziman mereka sendiri yang sangat spesifik dan radikal, sementara tetap yakin bahwa kelaziman mereka adalah yang universal.
Hal ini menciptakan situasi di mana praktik yang dianggap lazim oleh satu komunitas daring bisa jadi sepenuhnya tidak dikenal atau bahkan ofensif bagi komunitas daring lainnya. Fragmentasi kelaziman ini merupakan tantangan besar bagi kohesi sosial, karena mengurangi jumlah praktik perilaku universal yang dapat diandalkan untuk interaksi yang mulus di masyarakat luas. Kesamaan kelaziman (norma bersama) yang pernah mempersatukan suatu bangsa kini terbagi menjadi ribuan kelaziman khusus yang hanya berlaku dalam subkultur daring.
Kelaziman adalah pedang bermata dua bagi identitas individu. Di satu sisi, ia menyediakan kerangka kerja untuk rasa memiliki; di sisi lain, ia menuntut penyesuaian yang mungkin menekan ekspresi diri yang otentik.
Mengikuti apa yang lazim adalah cara paling dasar untuk menunjukkan inklusi dan afiliasi. Ketika kita meniru cara bicara atau berbusana suatu kelompok, kita secara efektif menyatakan, "Saya adalah bagian dari kalian." Ini sangat penting pada tahap perkembangan, di mana remaja sangat rentan terhadap tekanan untuk mematuhi kelaziman kelompok sebaya mereka. Kegagalan untuk mematuhi kelaziman minimal sering kali berujung pada marginalisasi atau sanksi sosial yang berat.
Perubahan sosial yang signifikan seringkali dimulai ketika individu yang berani menantang praktik yang lazim. Seniman, pemikir, dan aktivis sering mengambil peran sebagai 'penyimpang konstruktif'. Mereka dengan sengaja melanggar kelaziman yang dianggap usang atau tidak adil, memaksa masyarakat untuk menghadapi inersia mereka.
Ketika seorang seniman menyajikan karya yang melanggar kelaziman estetika yang diterima, awalnya ia mungkin ditolak. Namun, jika gagasan tersebut kuat, ia dapat menginspirasi sekelompok pengikut dan pada akhirnya, mendefinisikan kelaziman artistik yang baru. Keberanian untuk melanggar apa yang lazim adalah mesin pendorong di balik kreativitas dan reformasi moral. Kelaziman adalah basis, dan penyimpangan kreatif adalah evolusi.
Analisis terhadap kelaziman harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh kesadaran. Kita harus senantiasa bertanya: Apakah kelaziman ini masih melayani tujuan yang konstruktif? Atau apakah ia hanya merupakan sisa-sisa historis yang kini menghambat potensi kolektif dan individual? Pemeriksaan diri terhadap kelaziman ini adalah pekerjaan yang tak pernah usai bagi masyarakat yang ingin terus berkembang dan tidak terjebak dalam lingkaran inefisiensi yang diwariskan.
Kelaziman beroperasi di banyak tingkat, menciptakan jaringan interdependensi yang rumit. Memahami bagaimana kelaziman di tingkat mikro (keluarga) berinteraksi dengan kelaziman makro (negara) sangat penting untuk memetakan kekuatan sosial.
Di unit keluarga, terdapat serangkaian kelaziman yang unik: waktu makan malam, urutan tugas rumah tangga, atau cara penyelesaian konflik. Kelaziman ini, meskipun hanya berlaku untuk sedikit orang, sangat kuat dalam membentuk pandangan dunia dan kebiasaan anak-anak. Jika lazim dalam keluarga untuk selalu berbagi pendapat secara terbuka, anak tersebut akan membawa kelaziman ini ke dunia luar, dan sebaliknya. Keluarga adalah pabrik kelaziman pertama, tempat norma-norma abstrak diubah menjadi praktik sehari-hari yang berulang.
Dalam komunitas lokal, kelaziman dapat berupa cara bergotong royong, tradisi acara panen, atau jam malam yang tidak tertulis. Kelaziman lokal ini seringkali lebih kuat daripada hukum negara karena sanksinya lebih langsung dan pribadi—penghinaan dari tetangga lebih menyakitkan daripada denda yang jarang terjadi. Keunikan kelaziman mikro ini menjelaskan mengapa dua lingkungan yang secara geografis berdekatan dapat memiliki perilaku sosial yang sangat berbeda. Kelaziman lokal menjadi mekanisme pelestarian identitas di tengah globalisasi.
Globalisasi, terutama melalui media massa dan perdagangan internasional, mendorong terciptanya kelaziman makro yang bersifat transnasional. Contoh paling nyata adalah bahasa Inggris sebagai bahasa bisnis yang lazim, atau penggunaan mata uang digital sebagai praktik keuangan yang kian lazim. Kelaziman global ini menawarkan efisiensi ekonomi yang luar biasa, tetapi berisiko mengikis keragaman kelaziman lokal.
Konflik sering muncul di persimpangan kelaziman makro dan mikro. Ketika praktik bisnis global yang lazim (misalnya, kerja 24/7) bertabrakan dengan kelaziman lokal (misalnya, istirahat panjang di sore hari), masyarakat harus bernegosiasi atau menghadapi disrupsi. Keberhasilan suatu budaya dalam mempertahankan identitasnya seringkali bergantung pada kemampuannya untuk menyerap kelaziman global yang efisien tanpa mengorbankan kelaziman lokal yang memberikan makna dan kohesi.
Pemahaman mendalam tentang konsep kelaziman memungkinkan kita untuk melihat bahwa banyak dari apa yang kita anggap sebagai 'alamiah' atau 'benar' hanyalah hasil dari kesepakatan sosial yang diulang dan dilembagakan. Kehidupan sosial adalah tarian kepatuhan dan penyimpangan yang tak berkesudahan, di mana setiap gerakan dan setiap jeda diatur oleh praktik-praktik yang telah kita terima sebagai hal yang lazim.
Etika dan moralitas seringkali dipandang sebagai prinsip universal, namun manifestasi praktisnya sangat dipengaruhi oleh kelaziman. Apa yang dianggap sebagai perilaku moral yang lazim di satu tempat bisa saja dianggap tidak etis di tempat lain.
Moralitas yang lazim adalah respons adaptif masyarakat terhadap tantangan lingkungan dan sosial. Misalnya, dalam masyarakat di mana sumber daya langka, kelaziman etika mungkin sangat menekankan pada berbagi komunal dan menolak individualisme yang berlebihan. Sebaliknya, di masyarakat yang sangat makmur, kelaziman moral mungkin menekankan pada tanggung jawab individu dan persaingan yang adil. Kelaziman etis ini bukan berarti nilai-nilai universal tidak ada, tetapi bagaimana nilai-nilai tersebut diprioritaskan dan diwujudkan secara praktis sangat bergantung pada kondisi kontekstual.
Kelaziman juga menentukan batas-batas toleransi. Tindakan yang dulunya dianggap tidak bermoral atau menyimpang (seperti hidup bersama tanpa menikah atau praktik gaya hidup non-tradisional) dapat bergeser menjadi hal yang semakin lazim dan diterima seiring waktu, memaksa definisi moral masyarakat untuk meluas atau menyesuaikan diri. Pergeseran ini menunjukkan bahwa moralitas sosial bukanlah entitas statis, melainkan produk dari negosiasi kolektif yang berkelanjutan, yang sebagian besar didorong oleh frekuensi dan visibilitas praktik-praktik tertentu.
Namun, ada risiko ketika kelaziman disamakan dengan kebenaran absolut. Ketika suatu praktik menjadi terlalu lazim, ia bisa menjadi 'buta etika'—masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengkritik perilaku mereka sendiri karena telah menjadi otomatis. Contoh klasik adalah kelaziman perbudakan di masa lalu, yang di banyak tempat dianggap normal, legal, dan bahkan didukung agama. Dibutuhkan kekuatan moral dan sosial yang luar biasa besar untuk memecahkan kelaziman yang mengakar kuat, meskipun secara fundamental ia tidak etis. Ini menegaskan bahwa kelaziman harus selalu ditinjau melalui lensa prinsip kemanusiaan yang lebih tinggi, bukan hanya berdasarkan frekuensi praktiknya.
Di tengah perubahan teknologi dan krisis global, apakah kita akan bergerak menuju kelaziman yang lebih homogen atau justru fragmentasi yang lebih besar?
Tantangan global (perubahan iklim, pandemi) mendorong terciptanya kelaziman fungsional yang baru. Praktik seperti kerja jarak jauh (remote work) adalah contoh utama. Sebelum tahun 2020, kerja jarak jauh adalah praktik marginal; kini, ia telah menjadi lazim di banyak sektor. Kelaziman ini terbentuk bukan karena pilihan budaya, melainkan karena kebutuhan fungsional dan adaptasi terhadap ancaman eksternal. Di masa depan, kelaziman yang berkaitan dengan keberlanjutan (sustainable practices), seperti daur ulang ketat atau konsumsi energi terbarukan, kemungkinan besar akan didorong oleh kebutuhan ekologis dan bergeser dari sekadar pilihan menjadi norma yang lazim.
Salah satu area kelaziman yang paling cepat terkikis adalah privasi. Di era digital, kelaziman untuk berbagi data pribadi, foto, dan lokasi telah meningkat secara eksponensial. Tindakan yang dulunya akan dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap privasi (misalnya, pengawasan konstan) kini menjadi lazim, terutama di kalangan generasi muda yang tumbuh dengan media sosial. Tantangan etika di masa depan adalah menentukan di mana batas kelaziman berbagi data harus ditarik sebelum masyarakat mengorbankan terlalu banyak kebebasan individu demi kenyamanan prediktif yang ditawarkan oleh teknologi.
Kesimpulannya, studi tentang kelaziman adalah studi tentang sifat manusia itu sendiri—kebutuhan kita akan keteraturan, kepatuhan, dan identifikasi kelompok. Kelaziman adalah kompromi yang disepakati bersama antara kebebasan individu dan kebutuhan akan kohesi sosial. Dengan kesadaran kritis, kita dapat berpartisipasi dalam pembentukan kelaziman yang lebih adil dan adaptif, memastikan bahwa apa yang lazim di masa depan adalah refleksi terbaik dari potensi kemanusiaan kita.
Dalam ranah filosofis dan teori sosial, kelaziman sering kali dilihat melalui lensa hegemoni—pengaruh dominan satu kelompok atas yang lain yang dilembagakan sedemikian rupa sehingga ia terasa seperti kehendak umum atau akal sehat. Ketika suatu ide atau praktik mencapai status lazim, ia memperoleh legitimasi yang sangat sulit untuk digoyahkan, bahkan oleh kritik yang paling tajam sekalipun. Kelaziman dalam konteks hegemoni adalah penerimaan tanpa pertanyaan terhadap tatanan yang ada. Masyarakat menerima tatanan ini bukan karena paksaan fisik, tetapi karena ia terasa alami dan sudah menjadi lazim.
Antonio Gramsci, dengan konsep hegemoni budayanya, menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya dipertahankan melalui kekuatan (hukum dan militer) tetapi juga melalui persetujuan sukarela terhadap serangkaian norma dan kelaziman yang mendukung status quo. Misalnya, ide bahwa bekerja keras hingga larut malam adalah lazim dan merupakan tanda dedikasi adalah kelaziman hegemoni yang mendukung sistem kapitalis, meskipun secara intrinsik praktik tersebut mungkin merugikan kesehatan individu. Kelaziman semacam ini berfungsi untuk menyamarkan hubungan kekuasaan; apa yang sebenarnya merupakan tuntutan kelas dominan disajikan sebagai kebutuhan sosial yang lazim bagi semua orang.
Pendidikan memainkan peran penting dalam menanamkan kelaziman hegemoni ini. Kurikulum, cara guru berinteraksi dengan siswa, dan bahkan struktur hari sekolah adalah serangkaian kelaziman yang dirancang untuk mensosialisasikan individu ke dalam perilaku yang dianggap lazim untuk menjadi warga negara yang patuh dan produktif. Proses sosialisasi ini begitu halus sehingga individu seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang diajarkan kelaziman, bukan kebenaran universal. Membongkar kelaziman hegemoni adalah langkah pertama menuju kesadaran kritis.
Sistem hukum, khususnya dalam sistem hukum umum (Common Law), sangat bergantung pada kelaziman melalui konsep preseden (stare decisis). Keputusan masa lalu (preseden) menjadi patokan yang lazim untuk menangani kasus-kasus di masa depan. Kelaziman hukum ini memberikan stabilitas, prediktabilitas, dan rasa keadilan yang setara, karena masyarakat dapat yakin bahwa hukum akan diterapkan secara konsisten. Namun, ketergantungan pada preseden juga dapat melanggengkan ketidakadilan historis, memaksa sistem hukum untuk secara periodik meninjau dan membatalkan kelaziman hukum yang sudah usang atau diskriminatif.
Selain preseden, konsep 'praktik terbaik' (best practice) juga merupakan bentuk kelaziman dalam konteks profesional dan regulasi. Praktik terbaik adalah serangkaian tindakan yang terbukti paling efektif dan efisien, sehingga diadopsi secara luas dan menjadi standar yang lazim. Dalam bidang kedokteran, teknik bedah yang paling aman menjadi praktik terbaik yang lazim. Dalam bidang rekayasa, standar keselamatan tertentu menjadi kelaziman untuk desain. Jika seorang profesional melanggar praktik terbaik yang lazim, ia dapat dituntut, bahkan jika secara teknis ia tidak melanggar hukum formal. Kelaziman profesional ini menunjukkan kekuatan informal dari penerimaan kolektif dalam menentukan standar kinerja.
Kelaziman, meskipun penting untuk ketertiban, dapat menjadi musuh kreativitas. Inovasi secara definisi adalah non-lazim. Ketika seorang ilmuwan atau penemu menciptakan sesuatu yang radikal, ia harus terlebih dahulu mengatasi kelaziman berpikir yang ada—paradigma yang telah lama diterima. Thomas Kuhn menyebut periode ini sebagai 'sains normal', di mana semua orang bekerja di dalam kelaziman ilmiah yang ada, dan hanya ketika terjadi krisis besar, paradigma baru yang tidak lazim dapat muncul.
Dalam dunia bisnis, kelaziman 'business as usual' seringkali merupakan hal yang paling sulit untuk diubah. Perusahaan yang didominasi oleh kelaziman operasional yang kuat cenderung lambat merespons perubahan pasar, memungkinkan pesaing yang lebih adaptif (yang berani melanggar kelaziman) untuk mengambil alih. Organisasi yang mendorong inovasi adalah organisasi yang secara sadar menciptakan ruang untuk perilaku non-lazim—tempat di mana kegagalan tidak dihukum dan di mana ide-ide yang aneh dan radikal diizinkan untuk berkembang. Ini adalah upaya untuk menyeimbangkan kebutuhan akan struktur (kelaziman) dengan kebutuhan akan evolusi (non-kelaziman).
Meskipun demikian, kreativitas juga membutuhkan kelaziman sebagai titik awal. Seniman perlu menguasai kelaziman teknik dasar (seperti anatomi dalam seni visual atau harmoni dalam musik) sebelum mereka dapat secara efektif melanggarnya. Pelanggaran yang efektif dan bermakna adalah yang dilakukan dengan pemahaman penuh terhadap kelaziman yang sedang dipecahkannya. Oleh karena itu, kelaziman berfungsi sebagai fondasi dari mana penyimpangan yang signifikan dapat diluncurkan. Tanpa adanya kelaziman, kreativitas hanya akan menjadi kekacauan yang tidak terarah.
Perjuangan hak sipil dan kesetaraan gender memberikan contoh paling dramatis tentang bagaimana kelaziman sosial dapat dirombak secara fundamental. Di Amerika Serikat, segregasi rasial adalah praktik yang sangat lazim dan didukung hukum selama puluhan tahun. Kelaziman ini meluas ke hampir setiap aspek kehidupan: tempat duduk bus, sekolah, kamar mandi, dan bahkan air minum. Dibutuhkan gerakan sosial yang masif dan pelanggaran hukum sipil yang sengaja dan berulang-ulang untuk menantang dan pada akhirnya menghancurkan kelaziman yang tidak manusiawi tersebut.
Demikian pula, status perempuan dalam masyarakat telah melalui pergeseran kelaziman yang radikal. Pekerjaan tertentu dulunya dianggap eksklusif untuk laki-laki, dan peran domestik adalah kelaziman bagi perempuan. Gerakan feminis menantang kelaziman ini, menuntut agar perempuan memiliki akses yang sama ke ruang publik dan profesional. Dalam waktu kurang dari satu abad, apa yang lazim dalam hubungan gender telah berubah dari subordinasi yang diterima secara luas menjadi upaya kesetaraan yang dilembagakan. Perubahan ini menunjukkan bahwa kelaziman, betapapun kuatnya, hanyalah konstruksi sosial yang dapat dibongkar ketika nilai-nilai moral masyarakat berkembang.
Proses perubahan kelaziman ini tidak pernah mulus; ia ditandai oleh konflik, ketidaknyamanan, dan resistensi yang intens dari mereka yang merasa aman dalam kelaziman lama. Namun, keberhasilan dalam mengubah kelaziman membuktikan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk reformasi diri, meskipun prosesnya lambat dan melelahkan. Kelaziman bukanlah takdir, melainkan pilihan kolektif yang harus terus direnegosiasi.
Dalam masa depan yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan (AI), kelaziman mungkin tidak hanya diatur oleh tekanan sosial, tetapi juga oleh optimasi algoritmik. AI dan big data mampu mengidentifikasi dan memprediksi perilaku yang lazim dengan akurasi yang menakjubkan. Namun, dampaknya terhadap otonomi manusia perlu dipertimbangkan.
Ketika kita mulai mengandalkan AI untuk membuat keputusan yang lazim—misalnya, rute perjalanan yang paling efisien, makanan yang paling sehat, atau investasi yang paling aman—kita menyerahkan kendali atas perilaku kita kepada sistem yang didasarkan pada agregasi data perilaku masa lalu. AI cenderung mendorong kepatuhan terhadap apa yang paling lazim karena itu adalah rute yang paling aman dan teruji. Ini dapat menciptakan lingkaran umpan balik di mana AI, dengan merekomendasikan apa yang lazim, memperkuat kelaziman itu sendiri, sehingga semakin sulit bagi perilaku non-lazim untuk muncul.
Ancaman terbesar di sini adalah hilangnya 'penyimpangan produktif'. Jika sistem kita secara inheren dirancang untuk memprioritaskan kelaziman, ide-ide inovatif atau perilaku moral yang radikal mungkin akan disaring dan dianggap sebagai 'kesalahan' atau 'ketidaksesuaian'. Masyarakat harus memastikan bahwa dalam mendesain sistem berbasis AI, kita mempertahankan ruang yang disengaja untuk anomali dan perilaku yang tidak lazim, karena dari anomali itulah lahir evolusi sejati.
Kelaziman sehari-hari memiliki dampak kumulatif yang signifikan terhadap lingkungan global. Kelaziman menggunakan plastik sekali pakai, mengendarai mobil pribadi, atau membuang makanan adalah contoh kelaziman yang merusak secara ekologis. Perubahan menuju keberlanjutan memerlukan pergeseran kelaziman skala besar.
Kampanye lingkungan sering kali berjuang untuk mengubah kelaziman ini karena mereka menantang kenyamanan yang telah mengakar. Meskipun individu mungkin setuju dengan prinsip perlindungan lingkungan, biaya kognitif dan praktis untuk mengubah kebiasaan yang lazim (misalnya, membawa kantong belanja sendiri setiap saat) seringkali terlalu tinggi.
Pemerintah dan pembuat kebijakan menggunakan intervensi sosiologis, seperti 'nudge theory', untuk membuat perilaku ramah lingkungan menjadi lebih lazim. Dengan membuat tempat sampah daur ulang lebih terlihat dan nyaman daripada tempat sampah umum, misalnya, masyarakat didorong secara halus untuk mengadopsi kelaziman daur ulang tanpa dipaksa. Pergeseran kelaziman ini menunjukkan bahwa desain infrastruktur dan lingkungan fisik memiliki peran krusial dalam menentukan apa yang akhirnya menjadi praktik yang diterima dan diulang secara kolektif. Untuk mencapai keberlanjutan sejati, kita harus menjadikan keberlanjutan sebagai tindakan yang paling lazim dan paling nyaman.
Kelaziman adalah kekuatan tak terlihat yang mengikat peradaban. Ia adalah matriks kebiasaan, norma, dan ekspektasi yang memungkinkan miliaran manusia untuk berinteraksi dengan tingkat gesekan minimal. Dari cara kita bertegur sapa hingga struktur institusi global, setiap aspek kehidupan diatur oleh apa yang telah kita sepakati sebagai hal yang lazim. Kekuatan kelaziman terletak pada prediktabilitas dan efisiensi yang diberikannya, membebaskan energi mental kita untuk fokus pada masalah yang non-lazim dan kompleks.
Namun, kekuatan ini menuntut pengawasan yang konstan. Kelaziman yang tidak dipertanyakan akan menjadi dogma, menghambat keadilan dan menghambat pertumbuhan. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak hanya mematuhi kelaziman tetapi juga secara periodik meninjaunya, siap untuk memecahkan kebiasaan lama demi masa depan yang lebih baik. Memahami jejak kelaziman adalah memahami cetak biru masyarakat kita, dan dengan pemahaman itu, kita memperoleh kekuatan untuk mengubahnya. Kelaziman bukanlah akhir dari cerita; ia adalah babak yang terus ditulis oleh setiap tindakan kolektif kita. Dengan demikian, tugas setiap generasi adalah menentukan, dengan bijak, apa yang pantas untuk menjadi lazim dalam kehidupan mereka.
Refleksi mendalam ini menegaskan bahwa setiap individu, melalui kepatuhan atau penolakan mereka, secara aktif berpartisipasi dalam evolusi kelaziman. Pilihan sederhana dalam cara kita bertindak hari ini akan berkontribusi pada definisi apa yang dianggap wajar, normal, dan lazim bagi generasi yang akan datang. Kehidupan sosial kita adalah produk dari akumulasi kebiasaan, yang bersama-sama, mendefinisikan batas-batas realitas kolektif kita.
Pemahaman ini mengajarkan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan tidak terjadi melalui peraturan mendadak semata, melainkan melalui pergeseran bertahap dalam apa yang kita anggap sebagai perilaku yang lazim. Dari kelaziman dalam penggunaan teknologi hingga kelaziman dalam interaksi etis, setiap pengulangan perilaku yang disengaja adalah kontribusi untuk membangun dunia yang teratur, dan semoga, lebih baik. Kelaziman, pada akhirnya, adalah cermin kolektif dari siapa kita sebagai sebuah peradaban.