Libanon (sering juga disebut Lebanon) adalah sebuah negara yang terletak di persimpangan sejarah, geografi, dan peradaban. Dibatasi oleh Laut Mediterania di barat, dan berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, serta Israel di selatan, Libanon telah menjadi medan pertempuran, pusat perdagangan, dan tempat lahirnya beberapa inovasi budaya terbesar dunia. Wilayah ini, meskipun kecil secara geografis, memiliki kedalaman sejarah yang tak tertandingi, membentang dari era Fenisia kuno hingga kompleksitas geopolitik modern.
Keunikan Libanon terletak pada masyarakatnya yang beragam, yang dikenal karena keramahtamahannya yang hangat dan semangatnya yang gigih. Ibu kotanya, Beirut, pernah dijuluki 'Paris di Timur Tengah' karena kosmopolitanismenya, kehidupan malamnya yang semarak, dan peran historisnya sebagai pusat keuangan dan intelektual regional. Namun, sejarah negara ini juga ditandai oleh konflik internal dan intervensi eksternal, yang membentuk lanskap politiknya menjadi mosaik yang rumit namun memukau.
Libanon dikenal memiliki geografi yang sangat bervariasi dalam wilayah yang ringkas. Keberadaan garis pantai, pegunungan yang menjulang tinggi, dan lembah subur menciptakan iklim mikro dan keanekaragaman hayati yang kaya. Secara harfiah, seseorang dapat bermain ski di pagi hari di Pegunungan Libanon dan berenang di Laut Mediterania pada sore hari.
Struktur utama Libanon didominasi oleh dua pegunungan paralel yang membentang dari utara ke selatan:
Iklim Libanon adalah Mediterania, ditandai dengan musim panas yang kering dan panas, serta musim dingin yang sejuk dan basah. Di kawasan pesisir, musim dingin ringan, tetapi semakin tinggi di pegunungan, curah salju bisa sangat signifikan, yang menjadi sumber air lelehan penting sepanjang tahun.
Pohon Aras Libanon (Cedrus libani) memegang tempat yang sakral, baik dalam sejarah kuno maupun modern. Kayu aras sangat dicari oleh peradaban kuno, mulai dari Mesir hingga Mesopotamia, dan pohon-pohon ini menjadi tulang punggung kekuatan maritim Fenisia. Meskipun kini hanya tersisa beberapa 'Hutan Aras' yang dilindungi, seperti di Bsharri, mereka tetap menjadi pengingat akan warisan botani negara yang luar biasa.
Kapal Fenisia dan Pohon Aras, representasi visual warisan maritim dan botani Libanon.
Sejarah Libanon adalah cerminan dari seluruh sejarah Timur Tengah. Wilayah ini telah menjadi rumah bagi beberapa peradaban terpenting di dunia, menyaksikan transisi kekuasaan yang tak terhitung jumlahnya.
Peradaban Fenisia, yang berkembang di sepanjang pantai Libanon modern (termasuk kota-kota kuno Byblos, Tirus, dan Sidon), adalah salah satu kekuatan maritim dan perdagangan terbesar di dunia kuno. Mereka dikenal sebagai "pedagang ungu" karena produksi pewarna ungu Tyrian yang mahal dan cemerlang.
Kontribusi terbesar Fenisia kepada dunia adalah penyebaran alfabet fonetik, yang merupakan dasar dari hampir semua sistem penulisan modern, termasuk alfabet Latin. Mereka menyebarkan sistem penulisan ini melalui jaringan perdagangan mereka yang luas, dari Levant hingga Afrika Utara dan Eropa Selatan.
Fenisia mendirikan koloni di seluruh Mediterania, yang paling terkenal adalah Kartago (di Tunisia modern). Jaringan perdagangan mereka mencakup komoditas seperti kayu aras, kaca, logam, dan minyak zaitun. Kota Byblos, yang diyakini sebagai kota tertua yang terus dihuni di dunia, adalah pusat penting untuk perdagangan papirus dengan Mesir.
Setelah penaklukan oleh Aleksander Agung pada abad ke-4 SM, wilayah ini dihelenisasi, dan kemudian menjadi provinsi penting di bawah Kekaisaran Romawi. Romawi membangun kuil-kuil megah, terutama di Baalbek (Heliopolis), yang hingga kini menjadi salah satu reruntuhan Romawi paling mengesankan di dunia. Hukum dan budaya Romawi mendominasi selama berabad-abad, diikuti oleh Kekaisaran Bizantium setelah pembagian Kekaisaran Romawi.
Pada abad ke-7 Masehi, Islam tiba di Libanon, membawa perubahan demografi dan politik yang signifikan. Meskipun demikian, pegunungan Libanon tetap menjadi benteng bagi komunitas Kristen, seperti Maronit, dan juga komunitas minoritas Islam, seperti Druze. Koeksistensi (dan kadang-kadang konflik) antara komunitas-komunitas ini mulai membentuk identitas Libanon yang khas.
Kekuasaan Ottoman (1516-1918): Libanon menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman selama empat abad. Namun, wilayah pegunungan menikmati tingkat otonomi yang cukup besar, terutama di bawah Emir Fakhr ad-Din II pada abad ke-17, yang berusaha menyatukan berbagai kelompok dan membuka jalur perdagangan ke Eropa, meningkatkan pengaruh Maronit dan Druze di wilayah tersebut.
Setelah keruntuhan Kekaisaran Ottoman pasca-Perang Dunia I, wilayah ini berada di bawah Mandat Prancis (Liga Bangsa-Bangsa). Pada tahun 1920, Prancis menciptakan entitas yang dikenal sebagai Libanon Raya (Grand Liban) dengan menambahkan Lembah Bekaa dan wilayah pesisir tertentu ke wilayah Gunung Libanon yang sebelumnya otonom. Tujuannya adalah untuk menciptakan negara yang mayoritasnya Kristen (Maronit), tetapi langkah ini secara signifikan meningkatkan jumlah Muslim Sunni dan Syiah di dalamnya, menanam benih-benih pluralisme yang kompleks dan rawan konflik.
Libanon mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1943. Kemerdekaan ini didasarkan pada perjanjian tidak tertulis yang dikenal sebagai Pakt Nasional (National Pact).
Sistem politik Libanon adalah salah satu yang paling unik dan paling rumit di dunia, secara resmi dikenal sebagai demokrasi parlementer, tetapi diatur oleh prinsip konfesionalisme. Konfesionalisme adalah pembagian kekuasaan berdasarkan afiliasi agama, dirancang untuk memastikan representasi yang adil bagi setiap komunitas utama.
Pakt Nasional adalah fondasi Libanon modern, sebuah perjanjian lisan yang menetapkan alokasi kekuasaan di antara tiga posisi eksekutif tertinggi, berdasarkan sensus tahun 1932 (sensus resmi terakhir yang pernah dilakukan):
Selain itu, kursi parlemen dan posisi birokrasi dialokasikan berdasarkan rasio 6:5 (Kristen berbanding Muslim) hingga Perjanjian Taif mengubah rasio tersebut menjadi 50:50.
Meskipun Pakt Nasional berhasil mempertahankan perdamaian selama periode awal kemerdekaan (dikenal sebagai 'Zaman Keemasan'), kegagalan untuk memperbarui sensus (karena khawatir akan mengganggu keseimbangan kekuasaan) menyebabkan ketegangan yang meningkat seiring pertumbuhan populasi Muslim.
Perang saudara adalah babak paling traumatis dalam sejarah modern Libanon, didorong oleh ketidakseimbangan politik-ekonomi, kehadiran milisi Palestina (PLO), dan intervensi regional (terutama Suriah dan Israel).
Ketegangan antara Maronit yang dominan secara politik dan komunitas Muslim yang merasa terpinggirkan (terutama Syiah dan Sunni) memicu konflik internal. Selain itu, Libanon menjadi panggung bagi konflik Arab-Israel, di mana PLO menggunakan Libanon selatan sebagai basis operasi.
Perang ini melibatkan lusinan milisi, didukung oleh kekuatan regional yang berbeda, dan mengakibatkan kehancuran Beirut dan korban jiwa yang masif. Faksi-faksi utama termasuk Pasukan Libanon (Kristen Maronit), Milisi Druze (PSP), Amal (Syiah), dan kemudian, Hizbullah (Syiah).
Perang berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Taif di Arab Saudi. Perjanjian ini merestrukturisasi sistem konfesional:
Meskipun Taif membawa perdamaian, struktur konfesional yang diperkuat oleh perjanjian tersebut sering kali dituduh melanggengkan sektarianisme dan korupsi, yang menjadi sumber masalah politik kontemporer.
Secara historis, Libanon dikenal sebagai 'Swiss di Timur Tengah' karena sektor perbankannya yang bebas dan kerahasiaan bank yang ketat, menarik modal dari seluruh dunia Arab. Sektor jasa, perdagangan, dan pariwisata selalu menjadi pilar utama ekonominya.
Sebelum krisis yang dimulai tahun 2019, sektor keuangan menyumbang persentase besar dari PDB Libanon. Negara ini berfungsi sebagai jembatan penting antara pasar Barat dan Timur Tengah. Keahlian dalam layanan keuangan, asuransi, dan real estat adalah ciri khas ekonomi Beirut.
Salah satu sumber pendapatan dan investasi terbesar Libanon berasal dari diaspora besarnya. Diperkirakan ada antara 12 hingga 18 juta orang keturunan Libanon yang tinggal di luar negeri (terutama di Brasil, Amerika Serikat, dan Kanada). Remitansi (kiriman uang) dari diaspora ini sering kali menopang mata uang dan pasar properti negara.
Sejak akhir tahun 2019, Libanon menghadapi salah satu krisis ekonomi terburuk di dunia modern. Krisis ini merupakan hasil dari korupsi kronis, mismanajemen fiskal yang berlangsung puluhan tahun, dan skema Ponzi yang dilakukan oleh bank sentral dan bank komersial.
Dampak krisis meliputi:
Ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut, disebabkan oleh penyimpanan amonium nitrat yang tidak aman, menghancurkan sebagian besar ibu kota dan memperburuk krisis ekonomi serta kepercayaan politik. Bencana ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik yang luas tetapi juga melumpuhkan infrastruktur vital, termasuk impor pangan dan medis.
Budaya Libanon bersifat hibrida, perpaduan yang dinamis antara pengaruh Mediterania, Arab, dan Barat. Hal ini tercermin dalam bahasa, seni, dan gaya hidup masyarakatnya.
Meskipun bahasa resmi adalah Arab, bahasa Libanon sehari-hari memiliki dialek Arab Levantine yang berbeda, sangat dipengaruhi oleh bahasa Aram, Turki, Prancis, dan Inggris. Bilingualisme atau bahkan trilingualisme sangat umum, terutama di Beirut, di mana bahasa Prancis tetap menjadi bahasa penting dalam pendidikan dan bisnis, warisan dari era Mandat.
Libanon mengakui 18 sekte agama yang berbeda, menjadikannya salah satu negara paling beragam secara agama di dunia. Keanekaragaman ini, sementara menjadi sumber kekayaan budaya, juga menjadi akar dari banyak konflik politik:
Mayoritas Kristen adalah Maronit (Katolik Timur), yang secara historis memiliki hubungan dekat dengan Roma dan Paris. Kelompok Kristen lainnya termasuk Ortodoks Yunani, Katolik Yunani (Melkite), Ortodoks Armenia, dan Protestan. Komunitas Kristen secara tradisional terkonsentrasi di Gunung Libanon dan distrik Beirut tertentu.
Komunitas Muslim terbagi menjadi Sunni, Syiah, dan Alawi. Kelompok Syiah, yang merupakan kelompok dengan pertumbuhan tercepat dan kini mungkin mayoritas, terkonsentrasi di Libanon Selatan, Lembah Bekaa, dan pinggiran selatan Beirut (Dahieh). Muslim Sunni dominan di kota-kota pesisir besar (Beirut, Tripoli, Sidon).
Druze adalah minoritas sinkretis yang berasal dari Islam Syiah Ismailiyah, tetapi ajarannya rahasia dan unik. Mereka memainkan peran penting dalam sejarah Gunung Libanon dan terkonsentrasi di distrik Chouf.
Beirut memiliki reputasi sebagai pusat budaya dan intelektual dunia Arab sebelum perang saudara. Banyak penulis, penyair, dan pemikir Arab terkemuka berasal dari Libanon atau berkarya di sana. Musik pop Libanon juga sangat populer di seluruh dunia Arab. Film Libanon, meskipun sering kali berfokus pada trauma perang, telah mendapatkan pengakuan internasional.
Salah satu figur sastra paling berpengaruh adalah Kahlil Gibran, penyair dan seniman yang lahir di Bsharri, Libanon, dan terkenal dengan karya-karya filosofisnya, terutama The Prophet (Sang Nabi). Karyanya menyuarakan spiritualisme universal yang melampaui batas-batas sektarian Libanon.
Kuliner Libanon dianggap sebagai salah satu yang terbaik dan tersehat di Timur Tengah. Menekankan kesegaran, penggunaan rempah-rempah yang seimbang, dan minyak zaitun, makanan Libanon dirancang untuk berbagi dan merayakan kebersamaan. Ritual makan yang paling dikenal adalah tradisi Mezze, atau piring kecil.
Mezze adalah serangkaian hidangan pembuka yang bervariasi yang disajikan sebelum hidangan utama. Mezze dapat terdiri dari lebih dari tiga puluh jenis hidangan dalam satu kali penyajian, menjadikannya inti dari pengalaman bersantap Libanon.
Hidangan utama sering kali melibatkan daging domba atau ayam panggang, tetapi hidangan berbahan dasar sayuran juga berlimpah. Contohnya adalah Shawarma (daging yang dipanggang di tusuk sate vertikal) dan Kafta (daging giling dengan rempah-rempah, dipanggang). Untuk makanan penutup, Libanon menawarkan permen-permen kaya, seperti Baklava (kue filo berlapis kacang dan sirup) dan Knafeh (adonan keju manis yang dipanggang dan direndam dalam sirup bunga mawar).
Hidangan mezze Libanon: hummus, tabouleh, dan falafel, contoh kekayaan kuliner Mediterania.
Terlepas dari tantangan politik, Libanon tetap menjadi tujuan wisata yang kaya akan situs arkeologi dan alam yang menakjubkan. Empat situsnya diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, membuktikan pentingnya wilayah ini dalam sejarah global.
Dianggap sebagai salah satu kota tertua yang terus dihuni di dunia, Byblos adalah kota Fenisia penting yang berperan besar dalam perdagangan papirus. Reruntuhannya menunjukkan lapisan sejarah, dari pemukiman Neolitik, kuil Fenisia, kastil Perang Salib, hingga pelabuhan Romawi. Mengunjungi Byblos adalah perjalanan visual melalui 7.000 tahun sejarah.
Terletak di Lembah Bekaa, Baalbek adalah Situs Warisan Dunia paling spektakuler di Libanon. Ini adalah rumah bagi dua kuil Romawi terbesar dan paling mengesankan yang pernah dibangun: Kuil Jupiter dan Kuil Bacchus. Kuil Jupiter dikenal karena enam kolom Korintus raksasa yang masih berdiri, yang pernah menjadi bagian dari kuil yang diyakini sebagai yang terbesar di Kekaisaran Romawi.
Blok batu besar yang digunakan dalam konstruksi Baalbek, beberapa di antaranya termasuk yang terbesar yang pernah dipindahkan oleh manusia, memicu rasa takjub dan perdebatan di kalangan arkeolog mengenai teknik konstruksi kuno. Skala kuil-kuil ini mencerminkan betapa pentingnya Baalbek sebagai pusat pemujaan di era Romawi.
Enam kolom sisa Kuil Jupiter di Baalbek, monumen kemegahan peradaban kuno.
Anjar: Situs ini unik karena tidak berasal dari Fenisia atau Romawi, melainkan merupakan kota Umayyah yang didirikan pada awal abad ke-8. Reruntuhan Anjar yang terawat dengan baik menunjukkan tata letak kota Romawi klasik dengan dua jalan utama yang berpotongan (Cardo dan Decumanus), tetapi dengan sentuhan arsitektur Islam awal.
Tirus (Sour): Salah satu kota pelabuhan Fenisia tertua dan terpenting, dikenal karena kekayaan perdagangan dan pewarna ungu yang terkenal. Situs arkeologi di Tirus mencakup peninggalan Romawi dan Bizantium yang luas, termasuk nekropolis, akueduk, dan hippodrome (arena balap kereta kuda) Romawi yang sangat besar, salah satu yang terbesar dan paling utuh dari jenisnya.
Selain sejarah, pegunungan Libanon menawarkan peluang untuk ekoturisme, hiking, dan ski. Kawasan seperti Bsharri dan Cedars of God menarik pengunjung yang mencari pemandangan alam dan udara segar, jauh dari hiruk pikuk pesisir.
Libanon modern bergulat dengan tantangan berlapis, mulai dari masalah politik yang berakar pada konfesionalisme hingga krisis kemanusiaan dan keuangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sistem politik yang dirancang untuk menjaga keseimbangan sektarian kini sering kali menyebabkan kelumpuhan institusional. Perpecahan politik yang mendalam mencegah pembentukan pemerintahan yang efektif, pembaruan ekonomi yang sangat dibutuhkan, atau pemilihan presiden tepat waktu. Ini mencerminkan pertarungan kepentingan antara kekuatan regional dan faksi lokal yang mempertahankan kekuasaan melalui sistem sektarian yang korup.
Masalah lain adalah peran senjata non-negara, khususnya Hizbullah. Sebagai kelompok politik yang memiliki sayap militer yang lebih kuat daripada tentara nasional, posisi Hizbullah dalam politik domestik dan perannya dalam konflik regional (terutama melawan Israel dan dalam perang Suriah) menjadi sumber kontroversi domestik dan ketegangan internasional yang berkelanjutan.
Libanon secara tradisional memiliki tingkat melek huruf yang tinggi dan sektor pendidikan yang kuat, dengan universitas bergengsi seperti American University of Beirut (AUB) dan Université Saint-Joseph (USJ). Namun, krisis ekonomi telah melumpuhkan sektor pendidikan dan kesehatan. Dokter beremigrasi, sekolah kekurangan dana, dan akses terhadap obat-obatan dasar menjadi sangat terbatas karena devaluasi mata uang.
Meskipun kondisi di Libanon sulit, diaspora tetap menjadi harapan utama. Tidak hanya melalui remitansi, tetapi juga melalui kampanye advokasi global dan dukungan langsung kepada institusi yang berjuang (sekolah, rumah sakit, dan LSM). Para profesional Libanon yang sukses di luar negeri sering kali memimpin upaya untuk merancang cetak biru reformasi yang diperlukan, meskipun implementasi reformasi tersebut terhambat oleh kelas politik di dalam negeri.
Aspirasi menuju sebuah negara sekuler yang benar-benar berlandaskan kewarganegaraan, bukan agama, tetap menjadi seruan yang kuat di kalangan generasi muda dan aktivis. Gerakan protes seperti Revolusi Oktober 2019 menunjukkan keinginan yang meluas untuk mengakhiri sistem konfesional yang korup dan membangun tatanan politik yang baru dan lebih inklusif.
Untuk benar-benar memahami Libanon, penting untuk melampaui politik dan sejarah besar, dan melihat pada mikrokosmos kehidupan sehari-hari di berbagai wilayahnya. Kehidupan di Beirut sangat berbeda dengan kehidupan di desa-desa pegunungan Druze atau komunitas pertanian di Lembah Bekaa.
Dalam budaya Libanon, keluarga (al-'a'ila) adalah unit sosial terpenting, jauh melampaui individu. Ikatan kekeluargaan dan klan sering kali menentukan jaringan sosial dan bahkan afiliasi politik seseorang. Keramahtamahan adalah sebuah kewajiban moral; menolak makanan atau minuman dari tuan rumah dianggap tidak sopan. Kopi (sering disajikan dalam cangkir kecil yang kuat) adalah ritual sosial yang mendasar.
Sistem sosial Libanon sangat dipengaruhi oleh wasta, yang secara kasar berarti 'koneksi' atau 'perantara'. Wasta adalah cara untuk menyelesaikan masalah, mendapatkan pekerjaan, atau memotong birokrasi, dan ini sering kali bergantung pada afiliasi sektarian atau keluarga. Meskipun merupakan fitur dari banyak masyarakat Mediterania, wasta di Libanon telah dikritik karena melanggengkan korupsi dan ketidakadilan, di mana kesuksesan lebih bergantung pada koneksi daripada meritokrasi.
Karena keragaman agama, Libanon merayakan hari libur dari semua sekte utama. Natal, Paskah (dengan tanggal yang berbeda untuk Ortodoks dan Katolik), Idul Fitri, dan Idul Adha semuanya adalah hari libur nasional. Hal ini mencerminkan upaya untuk menghormati pluralisme, meskipun dalam praktiknya, perayaan sering kali memiliki karakter sektarian yang kuat di tingkat lokal.
Hari Kemerdekaan (22 November) adalah perayaan persatuan nasional, meskipun sering dibayangi oleh perpecahan politik yang terus-menerus. Musik dan tarian tradisional, seperti Dabke, adalah bagian penting dari perayaan, menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam lingkaran tari yang energik.
Identitas Libanon sangat terikat pada kota-kotanya, masing-masing dengan karakter dan sejarahnya sendiri yang unik.
Beirut adalah kota yang mengalami kebangkitan dan kehancuran berulang kali. Distrik pusatnya (Beirut Central District - BCD) telah dibangun kembali sepenuhnya sejak perang saudara, menampilkan arsitektur modern di samping sisa-sisa era Utsmaniyah dan Mandat Prancis. Kota ini terbagi secara tidak resmi menjadi wilayah timur (mayoritas Kristen) dan barat (mayoritas Muslim), meskipun perbatasan sektarian menjadi lebih kabur sejak tahun 1990.
Beirut adalah pusat media, mode, dan universitas. Jalan Hamra, Rue Monot, dan Gemmayzeh adalah pusat kehidupan sosial dan malam hari yang, bahkan di masa krisis, menunjukkan daya tahan dan semangat hidup warganya.
Tripoli adalah kota terbesar kedua dan memiliki warisan Islam yang kuat, terutama era Mamluk. Kota ini memiliki benteng megah (Kastil Saint-Gilles) dan souk (pasar) tua yang labirin. Namun, Tripoli juga menghadapi tantangan sosio-ekonomi yang besar dan sering menjadi pusat ketegangan antara faksi-faksi agama yang berbeda.
Sidon adalah kota Fenisia kuno lainnya yang terkenal dengan Kastil Laut Perang Salib yang ikonik, yang terletak di pulau kecil dan terhubung ke daratan oleh jembatan. Sidon mempertahankan pesona kota pelabuhan Arab yang otentik, dengan souk yang ramai dan tradisi kerajinan yang kuat.
Zahlé adalah kota besar di Lembah Bekaa, yang dikenal sebagai 'Mempelai Bekaa'. Kota ini terkenal dengan tradisi pembuatan arak (anggur) dan Arak (minuman keras beraroma adas manis) Libanon. Iklimnya yang sejuk dan sungai yang mengalir melalui pusatnya menjadikannya tempat peristirahatan yang populer.
Posisi Libanon yang strategis di Levant membuatnya sangat rentan terhadap dinamika politik regional. Kestabilan domestiknya sering kali bergantung pada keseimbangan kekuatan di antara tetangganya.
Hubungan Libanon-Suriah sangat kompleks, diwarnai oleh sejarah panjang dominasi dan intervensi Suriah. Setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik Hariri pada tahun 2005 (yang memicu Revolusi Cedar), pasukan Suriah ditarik. Namun, perang saudara Suriah sejak 2011 memiliki dampak besar, terutama dengan masuknya lebih dari satu juta pengungsi Suriah ke Libanon, membebani infrastruktur dan sumber daya negara yang sudah tegang.
Perbatasan selatan Libanon menjadi zona konflik utama sejak pembentukan Israel. Libanon telah menghadapi beberapa invasi Israel (termasuk pada tahun 1982 dan 2006). Kehadiran milisi seperti Hizbullah di wilayah selatan menciptakan situasi di mana Libanon sering terlibat dalam konflik yang keputusannya dibuat oleh aktor non-negara, menambah lapisan kerumitan terhadap kedaulatan negara.
Libanon selalu menjadi arena proxy untuk kekuatan regional dan global—Iran mendukung faksi Syiah; Arab Saudi dan negara Teluk lainnya mendukung faksi Sunni; sementara Prancis, Amerika Serikat, dan PBB terlibat dalam upaya rekonstruksi dan mediasi politik. Upaya untuk menavigasi kepentingan-kepentingan eksternal ini menjadi penghalang utama bagi kemajuan politik internal.
Krisis multidimensi yang melanda Libanon sejak 2019 bukan hanya krisis ekonomi, tetapi krisis kepercayaan yang mendalam terhadap seluruh struktur politik dan perbankan yang telah beroperasi selama puluhan tahun. Rakyat Libanon menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin mereka.
Protes yang dimulai pada Oktober 2019, dikenal sebagai *Thawra* (Revolusi), menandai titik balik. Protes ini awalnya dipicu oleh pajak yang diusulkan pada panggilan WhatsApp, tetapi segera meluas menjadi penolakan terhadap seluruh kelas politik (yang mereka sebut sebagai *yani kulun*—semuanya). Tuntutan utama termasuk: pembubaran sistem sektarian, pemilihan umum dini, dan penuntutan terhadap politisi yang terlibat dalam korupsi.
Krisis ini telah melemahkan institusi-institusi negara. Bank sentral (Banque du Liban) dituduh melakukan manipulasi keuangan, menyebabkan hilangnya tabungan masyarakat. Layanan publik, termasuk pasokan listrik dan air, menjadi sangat tidak teratur. Dalam banyak kasus, LSM dan organisasi internasional mengambil alih peran dasar yang seharusnya dilakukan oleh negara.
Untuk keluar dari krisis ini, Libanon harus mengimplementasikan reformasi struktural yang berat, termasuk audit sektor publik, restrukturisasi perbankan, dan negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, implementasi reformasi ini terus-menerus digagalkan oleh elit yang berkuasa, yang takut kehilangan kontrol finansial dan politik.
Libanon adalah negara dengan kontradiksi yang mendalam: surga keindahan alam dan situs kuno, tetapi juga teater konflik yang tak terhindarkan. Kehidupan di Libanon adalah kisah ketahanan yang luar biasa, di mana masyarakatnya terus berjuang untuk mempertahankan gaya hidup dan budaya yang kaya di tengah kesulitan politik dan ekonomi yang monumental. Keindahan Libanon tidak hanya terletak pada reruntuhan purbakala atau lanskap pegunungannya yang dramatis, tetapi pada semangat gigih penduduknya yang, meskipun menghadapi krisis yang meluas, tetap memegang teguh identitas mereka sebagai masyarakat Mediterania yang terbuka, intelektual, dan ramah.
Warisan Fenisia, resonansi Romawi di Baalbek, kekayaan kuliner yang tiada banding, dan sistem sosial yang sangat terhubung—semua elemen ini memastikan bahwa Libanon akan terus memainkan peran unik dan penting di Levant. Meskipun jalan menuju stabilitas dan reformasi masih panjang dan berliku, harapan dan komitmen dari generasi baru untuk membangun negara yang bebas dari belenggu sektarianisme dan korupsi tetap menjadi cahaya paling terang di ufuk Libanon.
Negara yang kecil ini, Libanon, tetap menjadi permata di Mediterania Timur, sebuah tempat di mana setiap batu bata menceritakan ribuan tahun sejarah, dan setiap hidangan mezze adalah undangan untuk persatuan dan perayaan.
***
Periode antara kemerdekaan pada tahun 1943 hingga pecahnya perang saudara pada tahun 1975 sering dikenang sebagai "Zaman Keemasan". Periode ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, stabilitas politik yang relatif (meskipun sempat terganggu oleh krisis 1958), dan peran Beirut sebagai pusat budaya, intelektual, dan pariwisata regional yang tak tertandingi.
Beirut menarik bank dan perusahaan multinasional berkat kebijakan fiskal yang liberal dan mata uang yang stabil. Sektor pariwisata berkembang pesat; wisatawan dari negara-negara Teluk Arab mencari iklim Mediterania, pegunungan yang bersalju, dan kehidupan malam Beirut yang terbuka, sementara intelektual dan jurnalis dari seluruh dunia Arab menjadikan Beirut sebagai rumah mereka, karena kebebasan pers yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang otoriter. Institusi pendidikan seperti AUB dan USJ menjadi mercusuar pendidikan tinggi, menarik siswa dari seluruh Timur Tengah dan berfungsi sebagai ruang debat terbuka mengenai Pan-Arabisme, nasionalisme, dan modernitas.
Namun, di balik fasad kemakmuran, ketegangan struktural terus mendidih. Sistem konfesional, yang memprioritaskan identitas agama di atas kewarganegaraan, gagal mengatasi distribusi kekayaan dan kekuasaan yang timpang. Komunitas Syiah di selatan dan Lembah Bekaa khususnya, merasa terpinggirkan dari pembangunan ekonomi yang berpusat di Beirut. Lebih lanjut, konflik Arab-Israel secara bertahap menyeret Libanon ke dalam pusarannya. Setelah pengusiran mereka dari Yordania pada tahun 1970 (Black September), Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memindahkan basis mereka ke Libanon, mendirikan basis bersenjata di Libanon Selatan, yang dikenal sebagai 'Fatahland'. Kehadiran milisi asing ini menciptakan negara di dalam negara, meningkatkan kekhawatiran di kalangan Maronit dan memicu bentrokan dengan faksi-faksi lokal, yang menjadi katalisator utama pecahnya perang saudara.
Selain krisis ekonomi dan politik, Libanon menghadapi ancaman lingkungan yang serius, yang sebagian besar diperburuk oleh tata kelola yang buruk dan konflik.
Libanon kaya akan sumber daya air, didukung oleh salju di pegunungan. Namun, infrastruktur air yang buruk menyebabkan pemborosan besar dan polusi. Masalah energi sangat parah; perusahaan listrik negara (Electricité du Liban - EDL) tidak mampu menyediakan listrik 24 jam sehari sejak akhir perang saudara. Ketergantungan pada generator swasta yang mahal telah menciptakan polusi udara yang signifikan dan menambah beban keuangan yang berat bagi rumah tangga dan bisnis. Kegagalan untuk memperbarui sektor energi telah menjadi simbol kegagalan negara secara keseluruhan.
Krisis sampah Beirut pada tahun 2015, di mana sampah menumpuk di jalan-jalan setelah penutupan tempat pembuangan sampah utama, menyoroti kegagalan pemerintah kota dalam menyediakan layanan dasar. Meskipun resolusi darurat telah dibuat, sistem pengelolaan sampah Libanon tetap tidak berkelanjutan, dengan banyak sampah yang berakhir di tempat pembuangan sampah pesisir, mengancam ekosistem Mediterania.
Konfesionalisme (al-ta'ifiyya) bukan hanya pembagian jabatan, tetapi suatu kerangka berpikir yang meresapi setiap aspek kehidupan politik dan sosial. Ini adalah sistem yang dirancang untuk mengatasi keragaman tetapi ironisnya menjadi penyebab utama perpecahan.
Di satu sisi, konfesionalisme memastikan bahwa semua kelompok utama memiliki perwakilan resmi di negara bagian dan mencegah kelompok mayoritas tunggal (yang tidak ada) mendominasi. Ini secara teoritis memaksa faksi-faksi untuk berkompromi dan bernegosiasi secara terus-menerus (konsensus politik).
Libanon memiliki warisan pembuatan anggur yang berusia ribuan tahun. Fenisia adalah pedagang anggur utama di dunia kuno. Meskipun produksi sempat menurun di bawah kekuasaan Ottoman (karena larangan alkohol dalam Islam), industri ini bangkit di bawah pengaruh Prancis.
Lembah Bekaa adalah wilayah anggur utama. Anggur di Libanon cenderung menggunakan varietas anggur Bordeaux (Cabernet Sauvignon, Merlot) dan Rhône (Cinsault, Carignan), meskipun ada juga varietas lokal seperti Obeidi. Chateau Ksara, didirikan oleh Yesuit pada tahun 1857, adalah kilang anggur tertua dan paling terkenal.
Arak adalah minuman beralkohol tradisional Libanon yang sangat kuat, sering kali disajikan saat makan mezze. Dibuat dari fermentasi anggur dan dibumbui dengan adas manis (anise), Arak memiliki sifat unik: ketika dicampur dengan air, ia berubah menjadi cairan putih susu (fenomena yang disebut 'louche'). Arak melambangkan tradisi bersantap dan keramahtamahan Libanon. Arak berkualitas tinggi menjalani proses distilasi hingga tiga kali dan didiamkan dalam pot tanah liat.
***
Kedalaman sejarah, keragaman kultural, dan kompleksitas politik menjadikan Libanon subjek studi yang tak pernah habis. Dari keindahan Laut Mediterania hingga puncak-puncak gunungnya yang diselimuti salju, Libanon tetap merupakan tanah janji dan trauma, sebuah negara yang terus-menerus berjuang untuk menentukan masa depannya yang mandiri.
***
Dalam konteks globalisasi dan konflik Timur Tengah yang terus berlanjut, Libanon berfungsi sebagai studi kasus penting mengenai bagaimana keragaman dapat menjadi kekuatan sekaligus kelemahan struktural. Upaya untuk menyeimbangkan identitas Arab, warisan Fenisia, dan pengaruh Barat telah menghasilkan masyarakat yang sangat dinamis, mampu beradaptasi, dan secara budaya kaya. Namun, perpecahan horizontal yang mendalam yang berakar pada politik identitas terus menghambat potensi penuh negara ini. Generasi muda Libanon yang kosmopolitan, banyak dari mereka memiliki akses pendidikan terbaik di dunia, adalah aset terbesar negara. Mereka adalah suara yang menuntut reformasi, transparansi, dan yang paling penting, negara yang memprioritaskan warga negara di atas sekte.
Momen-momen persatuan, seperti solidaritas pasca-Ledakan Beirut atau semangat selama festival budaya, membuktikan bahwa identitas nasional Libanon, meskipun rapuh, masih ada. Kehidupan di Libanon adalah negosiasi yang konstan antara tradisi dan modernitas, antara timur dan barat, dan antara kenangan indah masa lalu dan kenyataan pahit masa kini. Daya tarik Libanon terletak pada perpaduan kontras ini, yang menghasilkan semangat gigih yang terus bersinar di tengah badai geopolitik. Dari kuil-kuil Romawi yang menjulang tinggi di Baalbek, yang telah menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan kekaisaran selama dua milenium, hingga pasar-pasar ramai di Beirut yang tetap sibuk meskipun kekurangan listrik, narasi Libanon adalah narasi tentang ketidakmungkinan yang berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa Libanon, di atas segalanya, adalah rumah. Sebuah rumah yang dibangun di atas fondasi yang terbuat dari batu aras kuno dan ditopang oleh harapan yang tak pernah padam. Masyarakatnya, yang dikenal karena selera humor mereka yang gelap dan kemampuan mereka untuk menemukan kegembiraan di tengah kesulitan, mencerminkan ketahanan peradaban yang telah bertahan melalui masa-masa yang jauh lebih sulit. Cerita tentang Libanon adalah cerita tentang fenomena yang unik: bagaimana sebuah negara dapat menjadi begitu indah, begitu penting secara historis, dan pada saat yang sama, begitu rapuh secara politik. Ini adalah permata Mediterania yang abadi, menunggu untuk menemukan kembali kejayaannya yang stabil.
***
Arsitektur Libanon mencerminkan lintas sejarah yang dilewatinya. Di kota-kota pesisir, seseorang dapat melihat sisa-sisa tembok Fenisia yang kokoh, diikuti oleh teater dan pemandian Romawi. Gaya arsitektur Utsmaniyah sangat terlihat di kota-kota tua seperti Sidon dan Tripoli, ditandai dengan jendela triple dan batu kuning yang khas. Ketika Prancis mengambil alih Mandat, mereka meninggalkan jejak kuat arsitektur Neoklasik, yang dikenal sebagai 'Gaya Mandat', terutama terlihat di pusat kota Beirut dengan bangunan beratap ubin merah dan balkon lengkung. Setelah perang saudara, muncul tren arsitektur yang sangat modern dan ambisius, terutama dalam pembangunan kembali Beirut Central District, yang menampilkan karya-karya arsitek internasional, menciptakan kontras yang mencolok antara bangunan berusia 7.000 tahun dan gedung pencakar langit kaca kontemporer.
Secara historis, Libanon menikmati salah satu tingkat kebebasan pers tertinggi di dunia Arab. Hal ini menjadikan Beirut pusat penerbitan dan jurnalisme regional, meskipun banyak media berafiliasi secara politik atau sektarian. Surat kabar terkemuka seperti An-Nahar dan As-Safir (sebelum ditutup) menjadi forum penting untuk debat publik regional. Namun, dalam menghadapi krisis ekonomi, banyak media tradisional berjuang untuk bertahan, dan jurnalisme independen sering menghadapi tekanan finansial atau politik, meskipun media sosial tetap menjadi platform yang vital untuk kritik dan aktivisme.
Semua aspek ini—dari ketidakstabilan politik hingga ketahanan budaya—menjelaskan mengapa Libanon terus memikat dan menantang, menjadikannya salah satu titik paling menarik dan penting di dunia.