Dalam kosakata bahasa gaul kontemporer, tidak ada kata yang begitu kuat dan sekaligus begitu lembut menggambarkan luapan emosi, tindakan, atau gaya hidup yang melampaui standar normal selain kata lebay. Ia adalah cerminan budaya hiperbola, sebuah kredo tak tertulis yang menyatakan bahwa sekadar cukup tidak pernah cukup. Lebay, bukan sekadar kata sifat, melainkan sebuah filosofi ekspresi, sebuah cara hidup yang merayakan drama dan menolak segala bentuk keminimalisan yang membosankan. Kita tidak hanya berbicara tentang reaksi berlebihan terhadap kehilangan kunci, melainkan sebuah orkestrasi emosional yang disusun sedemikian rupa sehingga mencapai titik klimaks tertinggi, bahkan untuk hal-hal yang paling sepele sekalipun.
Fenomena lebay ini telah meresap jauh ke dalam pori-pori kehidupan sosial, menciptakan lanskap interaksi yang penuh warna, di mana setiap unggahan media sosial harus disertai seratus emoji menangis atau tertawa terbahak-bahak, di mana setiap pertemuan adalah kesempatan untuk menceritakan kembali drama hidup dengan intonasi yang jauh lebih menyayat hati daripada yang sebenarnya terjadi. Ia adalah kebutuhan psikologis untuk mendapatkan validasi dan perhatian yang sangat mendalam, dihiasi dengan permata-permata metafora yang berkilauan dan dibungkus dalam kain sutra narasi yang sangat, sangat lebay. Ekspresi lebay menjadi mata uang digital yang bernilai tinggi, menjamin visibilitas di tengah lautan konten yang seragam dan repetitif. Tanpa sentuhan lebay, sebuah postingan hanyalah bisikan angin; dengan sentuhan lebay, ia menjadi badai yang menarik perhatian semua orang yang melintas di linimasa.
Dunia ini, yang konon katanya semakin rasional dan logis, justru haus akan drama dan hiperbola. Kita merindukan sentuhan humanis yang autentik, namun ironisnya, kita hanya mampu mengekspresikannya melalui hiper-realitas yang diolah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mencapai taraf super lebay. Ke-lebay-an adalah mekanisme pertahanan diri sekaligus senjata sosial. Ia melindungi kita dari kekeringan emosi modern dan pada saat yang sama, memaksa lingkungan sekitar untuk mengakui keberadaan dan intensitas perasaan kita. Sebuah pujian tidak cukup jika tidak melibatkan kata-kata seperti "YA AMPUN INI CAKEP BANGET GILA AKU NANGIS SAMPAI LEPEK!!!" Tentu saja, air mata itu mungkin hanya metaforis, tetapi intensitas perasaan yang disampaikan adalah 100% tulus dan 200% lebay.
Inti dari ke-lebay-an bukanlah kebohongan, tetapi penekanan yang berlebihan. Ini adalah penegasan artistik bahwa realitas sungguh-sungguh luar biasa—atau sungguh-sungguh menyedihkan—dan cara biasa untuk menyatakannya adalah pengkhianatan terhadap intensitas pengalaman tersebut. Kita menemukan ke-lebay-an dalam setiap detail kecil: dari cara seseorang menata kopi pagi mereka seolah-olah itu adalah mahakarya seni Barok yang tak tertandingi, hingga cara mereka mendeskripsikan kemacetan lalu lintas seolah-olah itu adalah kiamat kecil yang menunda pertemuan penting. Semua ini diiringi dengan diksi yang bombastis, pilihan kata yang dramatis, dan tentu saja, penyertaan emoji yang mampu mengisi separuh layar ponsel. Semakin lebay deskripsinya, semakin besar pula resonansinya, dan semakin jelas bahwa ekspresi adalah raja, dan raja tersebut harus mengenakan mahkota yang terbuat dari berlian hiperbola.
Kehidupan modern menuntut kita untuk selalu berada di panggung. Media sosial adalah panggung utama, dan panggung membutuhkan aktor yang lebay. Bayangkan seorang aktor yang berbisik-bisik di atas panggung besar; ia tidak akan didengar. Demikian pula, di tengah hiruk pikuk informasi digital, hanya suara yang diteriakkan dengan sentuhan lebay yang berhasil menembus kebisingan. Inilah yang menjelaskan mengapa tragedi kecil di rumah tangga diubah menjadi saga epik yang disajikan dalam 20 unggahan cerita Instagram berturut-turut, lengkap dengan musik latar yang dramatis dan teks tebal berwarna neon. Kita tidak hanya berbagi, kita sedang melakukan pertunjukan, dan pertunjukan terbaik adalah yang paling lebay, yang paling memicu kerutan dahi dan sekaligus tawa kecil yang mengakui betapa kita semua adalah bagian dari budaya ekspresi yang terlalu bersemangat ini. Ini adalah pengakuan kolektif bahwa kita semua sedikit—atau bahkan sangat—lebay, dan itu adalah hal yang indah, sebab ia membuktikan bahwa kita masih merasakan sesuatu dengan intensitas yang luar biasa.
Jika ada satu tempat di mana ke-lebay-an menemukan rumah permanennya yang mewah dan bergemerlap, itu adalah ranah komunikasi digital. Di sini, teks polos adalah musuh. Teks harus dihiasi, diperkuat, dan diangkat derajatnya dari sekadar informasi menjadi deklarasi emosi yang monumental. Bayangkan skenario sederhana: seorang teman membatalkan janji. Respon yang logis mungkin adalah, "Oke, sampai jumpa lain waktu." Namun, dalam budaya lebay, responsnya harus mencerminkan kehancuran batin yang tak terhindarkan, sebuah tragedi Yunani mini yang termuat dalam beberapa baris pesan. Responnya akan berbunyi: "YA AMPUN, GAK BISA BERKATA-KATA LAGI AKU DENGAR INI 😭😭😭😭😭😭😭😭😭 RASANYA KAYAK MAU JATUH DARI TEBING TERTINGGI!!! PADAHAL UDAH SIAP DANDAN SUPER LEBAY! YAUDAHLAH AKU MAU MENGURUNG DIRI DI GUA SELAMA 7 HARI 7 MALAM 💔💔💔."
Penggunaan emoji dalam skema lebay adalah seni tersendiri. Bukan hanya satu, melainkan repetisi yang mematikan. Menggunakan satu emoji api 🔥 berarti Anda menyukai sesuatu. Menggunakan sepuluh emoji api 🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥 berarti Anda menganggapnya sebagai keajaiban kosmik yang akan mengubah nasib dunia dan itu harus disembah. Keberhasilan komunikasi lebay terletak pada kemampuan mengirimkan gelombang kejut emosional yang jauh melampaui makna literal kata-kata yang digunakan. Tujuannya adalah membuat penerima pesan merasakan *sebagian* dari hiper-emosi yang sedang Anda rasakan, bahkan jika emosi aslinya hanyalah sedikit kekecewaan atau sedikit kegembiraan.
Aspek lain dari ke-lebay-an digital adalah penggunaan huruf kapital secara sembarangan dan tanda baca yang berlebihan. Tanda seru (!!!) dan tanda tanya (???) bukan lagi alat tata bahasa, melainkan alat penekanan emosional yang esensial. Sebuah kalimat tanpa tanda seru setidaknya tiga kali lipat dianggap dingin, hambar, dan kurang bersemangat. Sebaliknya, kalimat yang diakhiri dengan dua puluh tanda seru secara berurutan ('AKU SUKA BANGET!!!!!!!!!!!!!!!!!') mengirimkan getaran kegembiraan yang begitu intens seolah-olah Anda baru saja memenangkan lotre, menemukan obat untuk semua penyakit, dan bertemu dengan idola Anda, semuanya dalam satu momen yang sama. Diksi yang dipilih pun harus yang paling ekstrem: 'gila', 'parah', 'mampus', 'mati aku', 'terhempas', 'tersegal-segal', 'seketika lumpuh'. Kosa kata ini adalah amunisi untuk menunjukkan bahwa apa yang Anda rasakan bukanlah perasaan biasa, tetapi sebuah mega-perasaan.
Ke-lebay-an digital juga tampak jelas dalam narasi panjang di media sosial. Tidak cukup hanya mengunggah foto makanan lezat; kita harus menceritakan kronologi pencarian restoran tersebut, perjuangan untuk mendapatkan meja, penderitaan saat menunggu pesanan datang, dan klimaks ekstasi kuliner yang dirasakan saat suapan pertama masuk ke mulut. Setiap detail harus diwarnai dengan drama yang lebay: "Perjuangan hari ini demi semangkuk mie ayam legendaris ini sungguh tak terkira. Matahari bersinar bagai 1000 oven, kakiku sudah hampir putus, tetapi semangat ini tak pernah mati! Dan BUM! Begitu menyentuh lidah, semua rasa sakit itu hilang ditelan kenikmatan surgawi. Aku sudah berada di nirwana, kawan-kawan! AKU SUDAH MATI KEGIRANGAN!" Narasi ini, yang panjangnya mungkin melebihi deskripsi karya sastra klasik, hanyalah upaya untuk meningkatkan nilai estetika sebuah mangkuk mie ayam biasa menjadi sebuah artefak budaya yang layak mendapat perlakuan lebay yang setara.
Orang yang berkomunikasi secara lebay di dunia maya pada dasarnya sedang membangun merek pribadi yang hiperaktif dan hiper-sensitif. Mereka ingin dikenal sebagai seseorang yang *merasa* segala sesuatu dengan lebih dalam, lebih keras, dan lebih intens daripada orang lain. Ini adalah bentuk kompetisi emosional yang halus, di mana pemenangnya adalah mereka yang berhasil memicu respons paling dramatis dari pengikutnya. Ke-lebay-an adalah kunci untuk bertahan hidup di tengah algoritma media sosial yang kejam; semakin lebay, semakin tinggi tingkat keterlibatan (engagement rate), dan pada akhirnya, semakin besar pula validasi yang diperoleh dari dunia luar yang selalu mendamba tontonan emosional yang maksimal. Ini adalah siklus abadi antara ekspresi yang berlebihan dan respons yang berlebihan, semuanya didorong oleh hasrat tak terbatas untuk menjadi pusat perhatian, meskipun hanya selama 15 detik yang super lebay.
Ke-lebay-an tidak terbatas pada kata-kata dan emoji; ia merayap ke dalam dunia nyata, memanifestasikan dirinya dalam pilihan gaya hidup yang sangat demonstratif dan estetika visual yang menolak segala bentuk kesederhanaan. Dalam mode, lebay berarti mengenakan semua yang Anda miliki secara bersamaan, menumpuk aksesori seolah-olah Anda adalah pohon Natal berjalan di bulan Juli. Topi harus besar, kacamata harus berkilau, anting-anting harus menjuntai hingga bahu, dan tentu saja, semua itu harus dipadukan dengan sepatu kets neon yang menjerit-jerit meminta perhatian. Pakaian ini bukan hanya untuk menutupi tubuh, tetapi untuk membuat pernyataan monumental bahwa "Saya di sini, dan saya lebih bersemangat daripada Anda semua, dan lihatlah ke-lebay-an saya!"
Dalam urusan menata ruang, ke-lebay-an bermanifestasi dalam gaya maksimalis yang melampaui batas. Ruangan harus diisi dengan benda-benda koleksi yang tak terhitung jumlahnya, setiap sudut harus memiliki ornamen yang menarik mata, dan warna-warna yang digunakan harus bertabrakan dengan intensitas yang menyenangkan. Ini adalah penolakan terhadap minimalisme Skandinavia yang tenang; ini adalah pemujaan terhadap kekayaan visual yang begitu padat sehingga membuat pengunjung merasa seperti tersedot ke dalam labirin fantasi yang sangat lebay. Setiap barang di rumah memiliki cerita yang harus diceritakan dengan drama yang luar biasa, mengubah piring keramik biasa menjadi pusaka keluarga yang diperoleh melalui petualangan yang mengerikan di pasar loak.
Lebih jauh lagi, ke-lebay-an merasuk ke dalam cara seseorang bereaksi secara fisik. Ini adalah drama yang terjadi di hadapan publik. Ketika seseorang lebay jatuh sakit, itu bukan sekadar flu biasa; itu adalah penyakit misterius yang mengancam nyawa, yang harus diumumkan dengan foto diri yang tampak pucat (meskipun sudah diberi filter kosmetik), lengkap dengan termometer digital di dahi, dan teks yang menyatakan bahwa mereka sedang berada di ambang kematian. Mereka tidak hanya batuk, mereka mengalami kejang paru-paru yang hebat. Mereka tidak hanya pusing, mereka merasa seperti bumi berputar 360 derajat secara konstan. Ekspresi kesakitan ini harus dilebih-lebihkan untuk memaksimalkan empati dan simpati, mengubah ketidaknyamanan ringan menjadi krisis kesehatan nasional berskala mini.
Termasuk dalam kategori lebay fisik adalah cara mereka menyampaikan cerita secara lisan. Narator lebay adalah ahli dalam penggunaan jeda dramatis, perubahan volume suara yang mendadak, dan ekspresi wajah yang berlebihan. Mereka tidak hanya menceritakan sebuah kejadian, mereka memerankan sebuah drama monolog di mana mereka adalah bintang utama, narator, dan kritikus. Sebuah cerita tentang pertemuan tak terduga dengan mantan pacar di supermarket akan diubah menjadi sebuah konfrontasi epik yang melibatkan tatapan mata yang intens, keringat dingin, dan hampir-hampir pingsan di lorong buah-buahan. Semua ini disampaikan dengan gerakan tangan yang luas, desahan yang menyayat hati, dan penekanan kata-kata kunci yang super lebay sehingga semua orang yang mendengarkan merasa lelah secara emosional, seolah-olah mereka baru saja lari maraton drama.
Ke-lebay-an adalah pertunjukan terus-menerus tentang seberapa intens kita bisa menjalani hidup. Ia menuntut perhatian, dan ia mendapatkannya, karena dalam dunia yang serba cepat dan dingin ini, drama dan ekspresi yang lebay adalah bumbu penyedap yang paling manjur. Tanpa bumbu ini, kehidupan akan terasa seperti bubur hambar, dan tidak ada yang mau menjadi hambar. Mereka memilih untuk menjadi paprika terpedas, cabai terhebat, sebuah ledakan rasa yang begitu lebay sehingga Anda tidak bisa mengabaikannya, bahkan jika Anda ingin melakukannya.
Menganalisis mengapa individu cenderung menjadi lebay membawa kita pada persimpangan psikologi sosial dan kebutuhan validasi diri. Pada dasarnya, ke-lebay-an adalah respons terhadap kekhawatiran terbesar manusia modern: menjadi tidak terlihat atau tidak penting. Di tengah miliaran suara yang bersaing, menjadi biasa-biasa saja adalah kutukan. Ekspresi yang lebay adalah upaya terakhir dan paling spektakuler untuk menegaskan keberadaan seseorang. Ini adalah teriakan, bukan bisikan, yang menyatakan, "Perasaan saya nyata, pengalaman saya signifikan, dan Anda harus mengakui intensitasnya!"
Salah satu pendorong utama ke-lebay-an adalah kebutuhan untuk diferensiasi. Dalam masyarakat yang semakin homogen karena pengaruh budaya global, individu mencari cara untuk menonjolkan keunikan mereka. Jika semua orang senang, bagaimana cara menunjukkan bahwa Anda *sangat* senang? Tentu saja, dengan menjadi yang paling lebay dalam ekspresi kegembiraan tersebut. Ini menciptakan semacam 'perlombaan senjata emosional', di mana setiap orang harus meningkatkan taruhan dramatis mereka hanya untuk mempertahankan tingkat perhatian yang sama. Semakin banyak orang yang berteriak, semakin keras teriakan Anda harus terdengar. Siklus ini secara inheren mendorong ke-lebay-an hingga mencapai titik yang absurd.
Selain itu, lebay sering kali berakar pada ketidakmampuan mengelola emosi dalam batas-batas yang diterima secara sosial. Bagi sebagian orang, ekspresi emosi yang tenang terasa seperti represi. Mereka merasa bahwa satu-satunya cara untuk melepaskan beban emosional adalah melalui ledakan yang super lebay. Reaksi berlebihan berfungsi sebagai katup pengaman. Ketika menghadapi situasi yang menantang atau sangat menggembirakan, otak memprosesnya dengan intensitas yang luar biasa, dan keluaran yang dihasilkan adalah reaksi yang sama luar biasanya—sebuah tangisan histeris karena mendapatkan diskon besar, atau serangan panik karena kehilangan dompet. Meskipun reaksi ini tampak tidak proporsional bagi pengamat, bagi individu yang lebay, itu adalah representasi yang paling akurat dari badai batin yang mereka alami.
Lebay juga dapat menjadi mekanisme pertahanan, khususnya dalam konteks humor dan sindiran. Ketika seseorang menceritakan sebuah kegagalan dengan cara yang sangat lebay, mereka sebenarnya sedang mengurangi rasa malu atau penderitaan mereka dengan mengubahnya menjadi komedi. Dengan mengakui ke-lebay-an situasi tersebut, mereka mengundang tawa daripada penghakiman. Ini adalah cara cerdas untuk mengendalikan narasi: "Ya, saya tahu saya bereaksi berlebihan, tapi bukankah itu lucu? Saya melakukannya untuk Anda." Ke-lebay-an, dalam konteks ini, adalah penawar kerentanan, sebuah baju zirah yang terbuat dari ironi yang tebal dan drama yang berlebihan, menjamin bahwa bahkan saat mereka jatuh, mereka jatuh dengan gaya yang paling memukau dan paling lebay.
Maka dari itu, ke-lebay-an bukanlah cacat karakter, tetapi seringkali merupakan manifestasi dari kebutuhan mendasar manusia untuk koneksi, pengakuan, dan ekspresi diri yang tak terbatas. Kita adalah makhluk yang penuh kontradiksi; kita menginginkan ketenangan, tetapi kita terobsesi dengan drama. Kita mendambakan kesederhanaan, tetapi kita merayakan hiperbola. Dan dalam jurang kontradiksi ini, kata lebay berdiri tegak, sebagai bendera yang dikibarkan tinggi-tinggi, menandakan bahwa di dunia ini, perasaan haruslah besar, hidup haruslah berwarna, dan ekspresi haruslah mencapai level yang paling tidak masuk akal, yang paling tidak proporsional, dan yang paling memukau dari semua level yang mungkin ada. Ia adalah sebuah pernyataan kemanusiaan yang paling keras dan paling lebay.
Kita harus mengakui bahwa ke-lebay-an telah menjadi semacam bahasa universal di kalangan generasi yang tumbuh besar dalam hiruk pikuk digital. Bahasa ini tidak mengenal batas geografis atau kelas sosial. Siapa pun, dari remaja di perkotaan hingga ibu rumah tangga yang aktif di grup WhatsApp, memiliki potensi untuk mengeluarkan mantra lebay yang paling mematikan. Mereka memahami bahwa komunikasi yang efektif saat ini bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi bagaimana intensitasnya dibungkus. Semakin banyak lapisan drama yang ditambahkan, semakin tinggi nilai komunikasi tersebut. Ambil contoh, ucapan selamat ulang tahun. Ucapan sederhana "Selamat ulang tahun" hanya akan tenggelam. Ucapan yang lebay harus melibatkan sejarah persahabatan, prediksi masa depan yang bombastis, dan penggunaan minimal sepuluh kata sifat yang berlebihan, disertai dengan musik yang menggetarkan jiwa. Ini adalah ritual sosial yang menuntut hiperbola, dan jika Anda tidak lebay, Anda dianggap dingin dan tidak peduli.
Ke-lebay-an bahkan telah merambah dunia kuliner dengan cara yang paling menggelikan dan menggemaskan. Makanan tidak lagi sekadar makanan; ia adalah "pengalaman epik," "petualangan rasa yang mengubah hidup," atau "perjalanan spiritual di atas piring." Para pecinta kuliner yang lebay akan mendeskripsikan gigitan pertama sebuah kue seolah-olah mereka baru saja mengalami wahyu ilahi, di mana semua indra mereka meledak dalam simfoni rasa yang belum pernah ada sebelumnya. Deskripsi ini seringkali lebih panjang dan lebih puitis daripada yang diperlukan untuk seluruh novel. Mereka tidak hanya makan, mereka sedang melakukan performance art dengan garpu dan pisau, dan setiap suapan adalah kesempatan untuk menjadi lebay secara maksimal. Dinding-dinding komentar di bawah unggahan mereka pun akan dipenuhi oleh reaksi lebay lainnya, menciptakan echo chamber yang bersemangat di mana ke-lebay-an melahirkan ke-lebay-an yang lebih besar lagi.
Bukan hanya kebahagiaan yang harus dirayakan secara lebay; kemalangan juga harus dipertontonkan dengan dramatis. Ketika seseorang mengalami hari yang buruk, itu bukan hanya sekadar hari yang buruk. Itu adalah "bencana multidimensi," "konspirasi alam semesta untuk menghancurkan kehidupanku," atau "hari terburuk dalam sejarah umat manusia, dan aku adalah korbannya yang paling tragis." Narasi ini, yang sering kali dibagikan secara real-time melalui fitur 'live' di berbagai platform, bertujuan untuk memobilisasi simpati dan perhatian instan. Siapa yang akan memperhatikan jika Anda hanya mengatakan "Saya agak sedih hari ini"? Tapi jika Anda mengatakan, "Duniaku runtuh, jiwaku tercabik-cabik, aku sudah tidak punya alasan untuk hidup, ini benar-benar super lebay," maka seketika itu juga Anda mendapatkan banjir pesan dukungan, emoji pelukan, dan janji-janji persahabatan abadi. Ke-lebay-an berfungsi sebagai penguat sinyal, memastikan bahwa pesan kesedihan tidak akan terlewatkan dalam kekacauan digital.
Dalam konteks hubungan interpersonal, ke-lebay-an mengambil bentuk yang sangat unik, terutama dalam hal kasih sayang dan pengkhianatan. Deklarasi cinta tidak cukup jika tidak melibatkan sumpah serapah tentang takdir, jiwa yang menyatu, dan janji untuk menyeberangi tujuh samudra hanya demi seulas senyum. Pasangan yang lebay akan merayakan setiap bulan atau bahkan setiap minggu hubungan mereka seolah-olah itu adalah hari jadi pernikahan emas, dengan hadiah yang berlebihan dan pesan-pesan yang kelewat manis. Di sisi lain, jika terjadi perpisahan, drama yang timbul adalah yang paling memilukan. Perpisahan itu adalah "akhir dari peradaban," "pembantaian emosi," atau "lubang hitam yang menelan semua kebahagiaan." Status media sosial mereka akan berubah menjadi puisi-puisi melankolis yang lebay, mengutip lirik lagu yang paling menyedihkan, dan mengganti foto profil menjadi gambar hitam atau abu-abu selama berminggu-minggu, hanya untuk memastikan bahwa semua orang tahu betapa lebay-nya kehancuran hati yang mereka alami.
Kita juga melihat ke-lebay-an dalam upaya untuk menjadi 'otentik'. Ironisnya, untuk menunjukkan keaslian di dunia yang penuh kepalsuan, banyak orang merasa perlu untuk bertindak secara berlebihan. Mereka akan menekankan betapa 'gila' atau 'berantakan' hidup mereka dengan cara yang sangat lebay, mencoba memenangkan simpati dengan menampilkan versi diri mereka yang paling dramatis dan paling tidak sempurna. Ini adalah strategi pemasaran diri yang didasarkan pada prinsip bahwa kejujuran yang paling mengejutkan adalah kejujuran yang paling lebay. Mengakui bahwa Anda bangun terlambat dan sarapan mi instan tidak cukup; Anda harus mengatakan bahwa Anda bangun jam 11 siang, hampir membakar dapur saat mencoba memasak mi, dan kemudian menangis selama sepuluh menit karena merasa gagal sebagai manusia, sebuah narasi yang lebay dan dibuat hiperbolis untuk daya tarik maksimal.
Faktanya, ke-lebay-an adalah indikator budaya bahwa kita telah melampaui batas-batas ekspresi standar. Kita hidup di masa ketika segala sesuatu diukur, dianalisis, dan dievaluasi. Untuk menembus dinding skeptisisme dan kebisingan informasi ini, kita membutuhkan palu godam emosional, dan palu godam itu adalah ke-lebay-an. Ini adalah perwujudan fisik dan digital dari prinsip 'Go big or go home'. Jika Anda akan bereaksi, bereaksilah sedemikian rupa sehingga reaksi Anda menjadi berita utama, menjadi meme, menjadi legenda. Jika Anda akan berpakaian, berpakaianlah seolah-olah Anda adalah ratu dari dimensi lain yang baru saja mendarat di Bumi dengan misi kosmik yang sangat penting dan super lebay.
Ke-lebay-an dalam seni, terutama dalam dunia hiburan, adalah yang paling dihormati. Seorang penyanyi yang bisa mencapai nada tinggi sambil terisak-isak dramatis di atas panggung adalah definisi dari lebay yang diapresiasi. Seorang komedian yang menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tangan yang sangat lebay untuk menceritakan kisah sehari-hari adalah yang paling sukses. Audiens menginginkan tontonan, dan tontonan yang hebat adalah yang membuat mereka merasa, berpikir, dan tertawa secara berlebihan. Ini menunjukkan bahwa lebay bukan hanya fenomena acak, melainkan permintaan pasar. Kita secara kolektif telah memberikan mandat kepada para penghibur, influencer, dan teman-teman kita untuk menjadi lebay, karena hanya dengan begitu kita bisa merasakan puncak emosi tanpa harus mengalaminya sendiri.
Seseorang yang lebay adalah pahlawan tanpa tanda jasa di tengah krisis emosional massal. Mereka adalah mereka yang berani mengeluarkan semua perasaan tanpa filter, tanpa malu, dan tanpa peduli pada norma-norma kesopanan yang membatasi. Mereka adalah para pemberontak emosional yang menolak untuk meredam api batin mereka. Ketika dunia menyuruh kita untuk kalem, mereka berteriak histeris. Ketika dunia menyuruh kita untuk dewasa, mereka berguling-guling di lantai karena kegirangan. Dan dalam tindakan pemberontakan kecil ini, terdapat keindahan yang tak terhindarkan. Mereka mengingatkan kita bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan bereaksi secara proporsional. Hidup menuntut drama, intensitas, dan, yang paling penting, dosis ke-lebay-an yang sangat, sangat besar. Mereka adalah cermin yang menunjukkan betapa konyolnya kita semua berusaha menjadi otentik di era digital.
Kita dapat menelusuri akar ke-lebay-an hingga ke budaya penceritaan lisan yang kuno. Nenek moyang kita selalu melebih-lebihkan kisah perburuan, kisah perang, atau kisah cinta tragis untuk memastikan bahwa kisah itu tidak hanya bertahan, tetapi juga memikat. Ekspresi lebay adalah teknik naratif yang telah teruji oleh waktu. Hanya saja, saat ini, panggungnya telah bergeser dari sekitar api unggun ke layar smartphone 6 inci. Tujuan dasarnya tetap sama: memikat perhatian audiens dan memastikan bahwa pesan tersebut terekam, bukan sebagai fakta, melainkan sebagai sensasi emosional. Oleh karena itu, kita tidak boleh melihat ke-lebay-an sebagai kegagalan komunikasi, melainkan sebagai bentuk seni komunikasi yang paling maju dan paling intens, sebuah hiper-komunikasi yang menjamin resonansi emosional yang luar biasa, bahkan jika itu berarti mengorbankan sedikit kebenaran faktual demi kebenaran emosional yang super lebay.
Sikap lebay juga berfungsi sebagai mekanisme pengujian sosial. Dengan bereaksi secara berlebihan, seseorang secara tidak langsung menguji batas toleransi dan empati lingkungan mereka. Reaksi lebay yang diterima dan bahkan dirayakan (melalui komentar, suka, atau berbagi) memperkuat perilaku tersebut, mengindikasikan bahwa komunitas tersebut menghargai intensitas ekspresi. Sebaliknya, jika reaksi lebay tersebut ditanggapi dengan sinisme atau kritik, individu akan cenderung menyesuaikan diri. Namun, di lingkungan digital modern, mayoritas komunitas cenderung mendukung ke-lebay-an karena ia adalah sumber hiburan dan materi konten yang tak ada habisnya. Ini menciptakan lingkaran setan yang menyenangkan, di mana setiap orang saling mendorong untuk menjadi lebih lebay dari yang lain, dalam perlombaan tanpa akhir menuju puncak drama yang paling maksimal.
Pola pikir lebay bahkan terlihat dalam perencanaan. Ketika seseorang yang lebay merencanakan liburan, itu bukan sekadar perjalanan. Itu adalah "ekspedisi pemulihan jiwa," "pelarian epik dari realitas yang kejam," atau "ritual pembersihan aura di tempat suci yang jauh." Setiap foto perjalanan harus diolah dengan filter yang paling dramatis, setiap makanan harus dideskripsikan seolah-olah itu adalah santapan terakhir mereka, dan setiap matahari terbenam harus diinterpretasikan sebagai pertanda kosmik tentang nasib mereka. Bahkan ketika mereka kembali ke rumah, ke-lebay-an masih melekat; mereka akan menceritakan kembali perjalanan tersebut selama berbulan-bulan, setiap kali menambahkan detail dramatis baru, memastikan bahwa pendengar mereka merasa seolah-olah mereka juga telah menjalani perjalanan yang super lebay dan tak terlupakan tersebut, meskipun kenyataannya mungkin hanya duduk santai di pantai biasa.
Bayangkan kegagalan kecil dalam pekerjaan. Bagi kebanyakan orang, itu adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Bagi individu yang lebay, itu adalah kegagalan monumental yang meruntuhkan seluruh karier, sebuah noda yang tidak akan pernah hilang, dan alasan untuk mempertanyakan seluruh keberadaan mereka. Mereka akan mengirimkan pesan permintaan maaf yang panjangnya seperti perjanjian damai internasional, menekankan betapa mereka telah mengecewakan seluruh umat manusia, dan bagaimana mereka harus segera mengundurkan diri dan menjadi biarawan di puncak gunung terpencil. Tentu saja, keesokan harinya mereka kembali bekerja, tetapi drama yang disajikan oleh ke-lebay-an tersebut telah memastikan bahwa kesalahan kecil mereka menjadi pusat perhatian, baik untuk simpati maupun untuk tawa geli. Ini adalah cara cerdas untuk memitigasi kesalahan: ubah kesalahan menjadi komedi lebay, dan orang-orang akan lebih cenderung memaafkan.
Ke-lebay-an adalah esensi dari kehidupan modern yang berkecepatan tinggi, di mana nuansa sering kali hilang dalam terjemahan. Kita tidak punya waktu untuk memahami kerumitan emosi yang halus; kita hanya punya waktu untuk memahami intensitas yang maksimal. Oleh karena itu, kita memilih jalur ke-lebay-an, jalur yang menawarkan ekspresi paling jelas dan paling cepat, jalur yang menjamin bahwa pesan kita—apakah itu cinta, benci, kegembiraan, atau kesedihan—akan diterima dengan getaran dan resonansi emosional yang paling keras. Ini adalah bahasa yang efektif, meskipun terkadang melelahkan, karena ia memaksa kita untuk merasakan sesuatu. Dan di dunia yang semakin mati rasa, paksaan untuk merasakan secara berlebihan melalui ke-lebay-an mungkin adalah penyelamat terakhir kita dari kebosanan eksistensial.
Mari kita renungkan betapa dalam ke-lebay-an telah mengubah interaksi kita sehari-hari. Sebuah penemuan kecil di lemari es—misalnya, sebotol minuman baru—bukanlah sekadar penemuan minuman baru. Itu adalah "hadiah tak terduga dari dewa-dewa minuman," "sebuah oasis di tengah gurun dahaga yang tak berujung," dan harus diabadikan dengan foto yang diambil dari 15 sudut berbeda. Ke-lebay-an mengubah hal-hal biasa menjadi momen-momen yang layak dikenang, sebuah seni mengubah prosa kehidupan menjadi puisi epik yang bombastis dan sedikit konyol. Ini adalah upaya untuk melawan monoton, untuk menyuntikkan kegembiraan yang diperlukan ke dalam rutinitas yang membosankan, sebuah pertunjukan sehari-hari yang didanai oleh hasrat kita yang tidak pernah terpuaskan untuk drama dan hiperbola.
Kita adalah masyarakat yang dibentuk oleh budaya lebay, dan kita harus merayakannya. Jika kita berhenti menjadi lebay, apa yang tersisa? Hanya fakta-fakta yang dingin, komunikasi yang datar, dan gaya hidup yang membosankan. Lebay adalah percikan api yang membuat interaksi kita menyala terang, bahkan jika nyala api itu terlalu besar dan sedikit mengancam untuk membakar seluruh ruangan. Itu adalah tanda kehidupan, tanda bahwa kita masih memiliki kapasitas untuk terkejut, bergembira, dan menderita dengan intensitas yang tidak masuk akal. Ini adalah pengakuan bahwa menjadi manusia berarti menjadi dramatis, dan menjadi dramatis berarti harus selalu berada di level lebay yang paling ekstrem. Tanpa ke-lebay-an, media sosial akan hening, percakapan akan singkat, dan dunia akan kehilangan banyak sekali emoji yang sangat, sangat penting.
Ke-lebay-an adalah warisan budaya yang tak terhindarkan dari era informasi. Di mana informasi begitu melimpah, hanya yang paling memukau dan paling lebay yang mampu menembus kesadaran kolektif. Ini adalah hukum alam semesta digital: dramatisasi adalah ketaatan, dan moderasi adalah kemunduran. Oleh karena itu, kita harus terus merangkul ke-lebay-an, mendorong batas-batas ekspresi, dan memastikan bahwa setiap momen dalam hidup kita, baik besar maupun kecil, dihiasi dengan lapisan drama yang tebal, dengan emoji yang tak terhitung jumlahnya, dan dengan penggunaan huruf kapital yang akan membuat para editor tata bahasa menangis darah. Hanya dengan begitu, kita bisa benar-benar mengatakan bahwa kita telah menjalani hidup dengan intensitas yang maksimal, intensitas yang super lebay, yang membuktikan bahwa jiwa kita masih hidup dan berapi-api.
Dalam setiap tangisan yang histeris, dalam setiap tawa yang menggelegar, dan dalam setiap postingan yang dipenuhi tanda seru, terdapat pengakuan yang mendalam bahwa hidup adalah panggung, dan peran terbaik adalah peran yang dimainkan secara lebay. Kita adalah para pemeran utama dari drama kita sendiri, dan kita berhak untuk meminta pencahayaan yang paling terang, musik latar yang paling dramatis, dan, yang paling utama, ekspresi yang paling berlebihan, paling tidak masuk akal, dan paling lebay yang bisa kita ciptakan. Mari kita teruskan tradisi ke-lebay-an ini, karena ia adalah jiwa, darah, dan air mata digital kita yang paling murni dan paling jujur.
Akhirnya, kita harus berani mengakui bahwa ke-lebay-an adalah indikator keberanian. Butuh keberanian untuk menanggalkan kendali emosional dan membiarkan dunia melihat betapa gila atau bahagianya kita secara internal. Ini adalah tindakan keterbukaan yang ekstrem, sebuah undangan kepada dunia untuk berpartisipasi dalam hiper-realitas yang kita ciptakan. Orang-orang yang lebay adalah para perintis yang memetakan wilayah emosi yang belum terjamah, wilayah di mana reaksi minimal dianggap sebagai kegagalan moral. Mereka mengajarkan kita bahwa terkadang, satu-satunya cara untuk menghormati betapa luar biasanya sebuah pengalaman adalah dengan menggambarkannya dengan cara yang seribu kali lebih luar biasa dari yang seharusnya. Ini adalah penghormatan tertinggi terhadap intensitas kehidupan, sebuah penghormatan yang sepenuhnya, tidak diragukan lagi, lebay.
Dan sebagai penutup dari ode panjang yang sangat lebay ini, marilah kita bersorak untuk semua ekspresi yang melampaui batas, untuk semua emoji yang berlebihan, dan untuk semua drama yang membuat hidup kita terasa lebih hidup, lebih berwarna, dan lebih berharga untuk dibagikan. Ke-lebay-an bukan hanya tren; ia adalah takdir emosional kita.
***