Legong: Mahakarya Keindahan dan Kedalaman Tari Klasik Bali

Legong, sebuah nama yang melambangkan puncak keanggunan, ketelitian, dan spiritualitas dalam seni pertunjukan Bali. Tarian ini bukan sekadar rangkaian gerakan artistik, melainkan sebuah narasi visual yang mendalam, kaya akan sejarah dan filosofi. Dianggap sebagai salah satu tarian klasik istana atau tari keraton (Legong Keraton), Legong memiliki tempat yang sangat sakral dan bergengsi dalam khazanah budaya Indonesia. Kelembutannya yang kontras dengan gerakan mata (seledet) yang tajam menciptakan dinamika yang tak tertandingi, menjadikannya warisan tak benda yang wajib dilestarikan.

Artikel ini akan membawa pembaca dalam sebuah perjalanan spiritual dan artistik, menyelami setiap lapisan makna dan detail teknis dari tarian Legong. Mulai dari asal-usul mistisnya, berbagai jenis yang berkembang, hingga kompleksitas pelatihan yang harus dijalani oleh para penarinya (disebut Legong atau Peliat).

Sejarah dan Akar Filosofis Legong

Asal-usul Mistis: Dari Sanghyang Dedari ke Keraton

Sejarah Legong tidak dapat dipisahkan dari tradisi spiritual Bali yang lebih tua, yaitu Sanghyang Dedari. Tarian Sanghyang adalah tarian ritual yang dilakukan dalam keadaan kesurupan (trance) untuk menolak bala atau mengundang roh suci. Dalam salah satu kisah legenda, seorang pangeran dari Sukawati bermimpi melihat dua gadis menari dengan gerakan yang sangat indah, mengenakan mahkota emas dan diiringi musik gamelan yang merdu. Mimpi inilah yang kemudian diwujudkan menjadi tarian profan (pertunjukan non-ritual) yang kita kenal sekarang.

Pada awalnya, Legong berfungsi sebagai tontonan eksklusif di lingkungan puri atau istana raja. Periode keemasan Legong terjadi pada abad ke-19, di mana tarian ini disempurnakan dan distandarisasi di berbagai puri besar seperti Sukawati, Saba, dan Peliatan. Setiap puri mengembangkan gaya dan detail yang unik, meskipun tetap mempertahankan esensi dasar Legong. Karena keterikatannya dengan lingkungan bangsawan, Legong sering disebut Legong Keraton.

Konsep Taksu dan Kedalaman Spiritual

Dalam pertunjukan Legong, konsep taksu sangat penting. Taksu adalah aura spiritual atau karisma yang terpancar dari seorang penari, yang menjadikan penampilannya tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga memukau secara spiritual. Taksu diperoleh melalui disiplin latihan yang ketat, penghayatan mendalam terhadap cerita, dan ketulusan hati. Ketika seorang penari Legong berhasil mencapai taksu, tarian tersebut bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sebuah persembahan.

Tarian Legong, meski kini banyak dipentaskan untuk umum dan turis, tetap mengandung nilai-nilai sakral. Gerakan dan alur cerita seringkali mencerminkan kisah-kisah epik seperti Ramayana atau kisah Raja Lasem dari Panji. Kisah-kisah ini mengajarkan tentang dharma (kebaikan) dan adharma (keburukan), serta siklus kehidupan dan kematian.

Filosofi Gerak: Keseimbangan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit

Gerakan Legong mencerminkan keseimbangan antara alam semesta besar (Bhuwana Agung) dan alam semesta kecil (Bhuwana Alit, yaitu diri manusia). Kecepatan dan kelambatan gerakan, ketegasan gerakan mata (seledet) yang beradu dengan kehalusan jemari (lentik), semua melambangkan dualitas (Rwa Bhineda) yang harus diselaraskan. Harmoni yang diciptakan antara penari dan iringan gamelan adalah upaya untuk mencapai keselarasan kosmis.

Ragam Jenis Legong yang Memukau

Meskipun Legong Keraton adalah bentuk yang paling umum dikenal, terdapat variasi Legong yang sangat kaya di Bali, masing-masing dengan alur cerita, karakter, dan pola iringan yang spesifik. Perbedaan ini seringkali didasarkan pada sumber kisah atau asal daerah puri tempat tarian itu dikembangkan.

Legong Lasem (Kisah Raja Lasem)

Legong Lasem adalah jenis yang paling sering dipentaskan dan dianggap sebagai representasi murni dari Legong Keraton. Tarian ini biasanya ditarikan oleh dua penari Legong yang berperan sebagai putri-putri kerajaan, dan satu penari tambahan yang disebut Condong. Condong berperan sebagai pelayan atau dayang yang membuka tarian dan memberikan kipas kepada Legong.

• Cerita Inti: Mengisahkan perjalanan Prabu Lasem yang hendak meminang Putri Rangkesari yang telah diculiknya. Kisah ini berakhir tragis ketika Prabu Lasem tewas dalam pertempuran.
• Dinamika: Sangat dramatis, menampilkan perpaduan antara gerakan lincah Condong dan gerakan anggun serta emosional Legong. Bagian yang paling khas adalah ketika Legong menggambarkan emosi marah, sedih, dan ketakutan.

Legong Jobog

Legong Jobog mengangkat bagian dari cerita Panji yang mengisahkan pertempuran antara dua kera sakti: Jobog (Hanuman) dan Sugriwa. Tarian ini jarang dipentaskan dan memiliki karakter gerak yang lebih kuat dan heroik, sedikit berbeda dari kelembutan Legong Lasem.

Karakterisasi Jobog menuntut kekuatan fisik yang lebih besar, dengan penekanan pada gerakan melompat dan ekspresi wajah yang lebih garang, meskipun tetap dalam bingkai keanggunan Legong. Legong Jobog menunjukkan fleksibilitas tarian klasik ini dalam menggambarkan karakter maskulin.

Legong Kuntul dan Legong Semarandana

Legong Kuntul terinspirasi dari gerakan burung kuntul yang sedang mencari makan atau bersolek, dengan iringan gamelan yang cenderung lebih ritmis dan cepat. Sementara itu, Legong Semarandana adalah pengembangan baru yang diciptakan untuk menyesuaikan dengan komposisi gamelan Semar Pegulingan, memberikan nuansa yang lebih melankolis dan romantis.

Legong Palawakya: Ini adalah bentuk yang memasukkan unsur tembang atau nyanyian ke dalam tarian, memberikan dimensi sastra yang lebih kuat. Teks-teks kuno disajikan melalui gerakan dan vokal, memperkaya narasi yang disampaikan.

Teknik dan Anatomi Gerakan Legong

Seorang penari Legong harus menguasai ribuan detail gerakan yang sangat spesifik dan terstandarisasi. Tidak ada satu gerakan pun yang acak. Setiap lekukan jari, setiap lirikan mata, memiliki nama dan makna. Pelatihan Legong dimulai sejak usia sangat muda, seringkali antara usia lima hingga tujuh tahun, karena tuntutan kelenturan dan pembentukan karakter.

Agem: Fondasi Postur

Agem adalah posisi dasar atau postur tubuh yang wajib dipertahankan oleh penari Legong. Agem terbagi menjadi Agem Kanan dan Agem Kiri. Posisi ini bukan hanya tentang berdiri statis, tetapi melibatkan lutut yang ditekuk, tubuh sedikit condong, dan lengan yang membentuk sudut tertentu. Agem melambangkan kesiapan spiritual dan fisik penari. Kekuatan dan daya tahan seorang penari Legong diuji melalui kemampuan mereka untuk mempertahankan agem dalam waktu yang lama tanpa terlihat tegang.

Agem menjadi titik tolak bagi semua gerakan transisi. Kegagalan dalam mempertahankan agem yang benar dapat merusak seluruh estetika tarian. Ini menekankan disiplin dan fokus total dalam pelatihan Legong. Di Puri Peliatan, misalnya, penguasaan Agem Kanan dan Kiri dianggap sebagai langkah pertama yang paling fundamental sebelum memasuki gerakan kaki (tanjek) dan mata (seledet).

Seledet: Kekuatan Mata

Jika tubuh adalah fondasi, maka Seledet (lirikan mata) adalah jiwa dari Legong. Seledet adalah gerakan mata yang cepat, tajam, dan penuh ekspresi. Seledet harus dilakukan seirama dengan aksen musik gamelan. Ini bukan hanya tentang menggerakkan mata, tetapi tentang memancarkan emosi, energi, dan taksu. Dalam Legong Lasem, seledet yang beringas menggambarkan kemarahan Raja Lasem, sementara seledet yang lembut menunjukkan kesedihan Putri Rangkesari.

Gerak Tangan dan Jemari (Lentik)

Gerakan tangan, atau lentik, adalah salah satu elemen paling lembut namun paling rumit. Jari-jari harus lentur dan melengkung ke belakang. Posisi jari (mudra) seringkali diadaptasi dari pose dewa-dewi dalam ikonografi Hindu. Setiap tekanan pada jemari, seperti posisi *lukar* (memutar pergelangan tangan) atau *ngelung* (melengkungkan siku), harus presisi. Teknik lentik yang sempurna memberikan kesan ringan, seolah-olah penari tidak memiliki tulang.

Tanjek dan Gejer: Langkah Kaki

Tanjek adalah langkah kaki yang sinkron dan ritmis. Kaki bergerak cepat, seringkali dengan hentakan kecil (gejer) untuk menekankan irama gamelan. Meskipun bagian atas tubuh harus tampak tenang dan anggun (prinsip Agem), kaki harus bekerja keras di balik kain. Transisi dari satu agem ke agem lainnya dilakukan melalui tanjek yang mulus dan terukur. Kedisiplinan dalam tanjek inilah yang menciptakan sinkronisasi sempurna antara dua penari Legong.

Kostum dan Atribut Legong: Pakaian Dewa-Dewi

Kostum Legong adalah salah satu aspek yang paling menarik dan mewah dari tarian ini. Pakaian yang dikenakan penari dirancang untuk memberikan kesan agung dan ilahi, seolah-olah mereka adalah perwujudan bidadari atau dewi.

Gelungan (Mahkota)

Gelungan adalah mahkota khas Legong, biasanya terbuat dari kulit yang diukir dan dilapisi dengan prada emas, dihiasi dengan permata imitasi dan bunga-bunga segar (bunga cempaka atau kamboja) yang disebut Srinata. Bagian yang paling ikonik adalah hiasan dari bulu burung, dulunya menggunakan bulu burung yang dicari secara hati-hati, yang memberikan kesan dinamis saat penari bergerak.

Kipas (Kipasan)

Dalam Legong Keraton, kipas (kipasan) adalah atribut penting, yang dibawa oleh penari Legong setelah diberikan oleh Condong. Kipas ini bukan hanya properti, tetapi ekstensi dari tangan penari. Cara penari memegang, membuka, dan menutup kipas, serta mengayunkannya seirama dengan irama gamelan, menunjukkan tingkat kemahiran yang tinggi.

Kain dan Sabuk

Penari mengenakan kain (kamben) khas Bali yang dilapisi dengan prada emas yang berkilauan. Di pinggang, mereka melilitkan sabuk (stagen) yang sangat panjang dan kencang, berfungsi untuk menjaga postur tubuh tetap tegak dan Agem tetap stabil. Di luar sabuk, dikenakan selendang (badong) yang diikat dengan simpul khas di belakang.

Rias Wajah dan Perlengkapan Lain

Rias wajah Legong sangat khas: alis dicukur dan dilukis ulang dengan bentuk yang dramatis dan tajam, seringkali dengan penambahan hiasan tempel emas di dahi (sinom). Riasan mata dipertegas untuk memaksimalkan efek seledet. Penari juga mengenakan subeng (anting besar) dan berbagai macam gelang emas di pergelangan tangan dan kaki, yang gemerincingnya menambah dimensi suara pada tarian.

Iringan Musik: Keagungan Gamelan Palegongan

Legong tidak dapat dipisahkan dari musiknya. Iringan yang digunakan secara khusus adalah Gamelan Palegongan. Dibandingkan dengan Gamelan Gong Kebyar yang lebih modern dan eksplosif, Palegongan memiliki karakter suara yang lebih halus, lembut, namun sangat kaya akan melodi dan dinamika. Palegongan sering menggunakan instrumen berbilah yang memiliki nada lebih tinggi dan lebih jernih.

Peran Kunci Instrumen

Gamelan Palegongan didominasi oleh instrumen seperti:

• Gangsa dan Jegog: Menghasilkan melodi utama. Ritme dan kecepatan Legong sepenuhnya ditentukan oleh perubahan melodi pada instrumen ini.
• Ceng-Ceng: Simbal kecil yang memberikan aksen tajam dan cepat, sangat penting untuk menekankan gerakan seledet dan gejer kaki penari.
• Kendang (Drum): Kendanglah yang bertindak sebagai ‘konduktor’ tak terlihat. Pukulan kendang memberikan isyarat kepada penari tentang perubahan tempo, peralihan suasana, atau akhir dari sebuah frase gerakan.

Tempo dan Ekspresi Musikal

Musik Legong sangat variatif. Ia dapat beralih dari tempo yang sangat lambat dan melankolis (menggambarkan kesedihan atau perenungan) menjadi sangat cepat dan bergejolak (menggambarkan pertempuran atau kemarahan). Sinkronisasi antara gerakan fisik penari dengan alur irama gamelan adalah inti dari keindahan Legong. Ketika penari dan gamelan mencapai kesatuan yang sempurna, inilah saat taksu tarian mencapai puncaknya.

Dalam pertunjukan, terdapat seorang pemimpin musik yang disebut Pepanggulan, yang bertanggung jawab untuk memastikan Gamelan dan penari bergerak sebagai satu kesatuan. Ia seringkali duduk dekat dengan penari untuk memberikan isyarat non-verbal dan menjaga ritme yang ketat.

Struktur Pertunjukan Legong Klasik

Pertunjukan Legong Keraton (Lasem) memiliki struktur yang sangat baku dan terdiri dari beberapa bagian yang harus dipatuhi. Struktur ini memastikan bahwa penonton (dan roh-roh yang menyaksikan) memahami alur cerita dan transisi emosi.

1. Pepeson (Pembukaan)

Dimulai dengan iringan tabuh gamelan yang lembut. Bagian terpenting dari Pepeson adalah munculnya Condong. Condong menari solo, biasanya dengan gerakan yang lincah dan enerjik. Ia berfungsi untuk 'menghangatkan' panggung dan memperkenalkan suasana. Di akhir tariannya, Condong mengambil dua kipas, satu diberikan kepada Legong pertama dan satu lagi kepada Legong kedua.

2. Pengawak (Inti Tarian)

Setelah Condong, dua penari Legong utama memasuki panggung secara simetris. Pengawak adalah bagian paling panjang, di mana Legong menggambarkan inti dari kisah yang diceritakan, seperti pertemuan, penolakan, atau persiapan perang Raja Lasem. Gerakan di bagian ini sangat detail, lambat, dan penuh penghayatan emosi.

Sinkronisasi antara dua penari Legong di bagian Pengawak adalah ujian utama. Mereka harus bergerak seolah-olah mereka adalah satu tubuh yang memiliki dua bayangan cermin. Jarak, sudut pandang, dan momentum harus identik.

3. Pengecet (Puncak dan Klimaks)

Pengecet ditandai dengan perubahan tempo gamelan menjadi sangat cepat dan dinamis. Gerakan penari menjadi lebih energik, menggambarkan klimaks cerita (misalnya, adegan pertempuran atau kekacauan emosi). Di sinilah penari benar-benar menunjukkan kekuatan fisik dan stamina mereka.

Dalam versi Legong Lasem, Pengecet juga menampilkan penampilan burung Garuda yang dipercaya memberi isyarat kematian Raja Lasem—sebuah adegan yang menunjukkan kemampuan Legong untuk memasukkan elemen narasi non-manusia ke dalam tarian yang halus.

4. Pulesari (Penutup)

Bagian penutup ini biasanya berupa gerakan sederhana yang mengakhiri narasi. Para penari Legong dan Condong (jika dia muncul kembali) akan memberikan penghormatan terakhir sebelum meninggalkan panggung, diiringi oleh gamelan yang perlahan meredup.

Peran Sosial dan Pelestarian di Era Modern

Legong dalam Upacara Adat

Meskipun Legong telah bergeser fungsi dari tarian ritual menjadi tarian pertunjukan, ia masih memegang peran penting dalam upacara keagamaan tertentu, terutama upacara besar yang melibatkan puri atau pura kahyangan. Dalam konteks ini, Legong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi sebagai wali—persembahan suci yang wajib disajikan kepada dewa-dewi.

Ketika dipentaskan sebagai tarian wali, fokusnya adalah pada kesucian gerakan dan niat, bukan sekadar keindahan artistik. Tarian ini menjadi jembatan komunikasi antara manusia dengan alam spiritual.

Tantangan Pelestarian

Pelestarian Legong menghadapi tantangan modernitas. Tuntutan untuk mementaskan Legong yang "sempurna" membutuhkan dedikasi waktu yang besar, sementara kehidupan modern menuntut kecepatan. Oleh karena itu, muncul kekhawatiran mengenai hilangnya kedalaman teknis dan spiritual (taksu) dari penari muda yang terlatih secara instan.

Namun, upaya konservasi sangat kuat. Sanggar-sanggar tari di Bali, seperti di Peliatan dan Saba, secara intensif mengajarkan teknik Legong yang asli. Mereka menjaga tradisi pengajaran yang ketat, memastikan bahwa setiap murid memahami filosofi di balik setiap gerakan agem dan seledet.

Inovasi dan Kreasi Baru Legong

Meskipun Legong adalah tarian klasik, ia tidak statis. Para koreografer modern telah menciptakan Legong versi baru (seperti Legong Semarandana atau Legong Prembon) yang menggabungkan elemen Legong klasik dengan tarian lain atau dengan narasi kontemporer, sambil tetap menghormati pakem (aturan baku) dasar Legong Keraton. Inovasi ini adalah kunci agar Legong tetap relevan bagi generasi muda, memastikan bahwa keindahan Legong terus berevolusi tanpa kehilangan akarnya yang agung.

Detail Ekstra: Pendalaman Gerakan Kunci Legong

Untuk memahami kompleksitas Legong secara menyeluruh, kita perlu mengurai lebih jauh beberapa gerakan teknis yang menjadi ciri khas dan pembeda tarian ini dari tarian Bali lainnya.

Rangkapan Gede dan Rangkapan Alit

Gerakan Rangkapan Gede (rangkulan besar) dan Rangkapan Alit (rangkulan kecil) adalah cara penari menggunakan selendang (badong) yang terikat di pinggang. Dalam Rangkapan Gede, penari menarik selendang dengan kedua tangan lebar-lebar, seringkali saat transisi besar atau ekspresi kebanggaan. Sementara Rangkapan Alit lebih halus, hanya melibatkan sedikit tarikan yang melambangkan kelembutan atau keraguan.

Penggunaan badong ini tidak hanya estetis, tetapi juga berfungsi sebagai alat bantu narasi visual. Badong yang melilit dan mengikuti lekukan tubuh penari menambah kesan luwes dan anggun yang mutlak dibutuhkan dalam Legong.

Ngodeng dan Nyregseg: Gerakan Transisi Kaki

Ngodeng adalah gerakan maju dengan langkah pendek dan cepat, seringkali digunakan untuk mendekati atau menjauhi Condong. Gerakan ini membutuhkan ketepatan irama yang tinggi, karena harus sinkron dengan aksen kendang Gamelan Palegongan. Di sisi lain, Nyregseg adalah gerakan bergeser ke samping dengan kaki rapat, menciptakan ilusi melayang tanpa terlihat adanya langkah kaki yang jelas.

Gerakan-gerakan transisi ini, meskipun singkat, adalah bagian tersulit karena menuntut penari untuk berpindah dari satu Agem ke Agem berikutnya tanpa kehilangan keseimbangan atau ekspresi wajah yang sudah terstruktur. Keindahan Legong seringkali terletak pada bagaimana penari berhasil menyembunyikan kerja keras otot-otot kaki di balik gerakan atas tubuh yang terlihat santai.

Eksplorasi Ekspresi Wajah (Prasanga)

Dalam Legong, penari harus menguasai Prasanga, yaitu sembilan ekspresi wajah dasar yang digunakan dalam seni tari klasik India dan Bali. Ekspresi ini mencakup rasa cinta, tawa, sedih, marah, jijik, takut, heroik, heran, dan damai. Setiap ekspresi harus diintegrasikan secara instan dengan gerakan seledet dan agem yang sedang dilakukan.

Misalnya, saat menggambarkan Raja Lasem yang marah (ekspresi Raudra), seledet harus tajam ke samping, alis terangkat, dan Agem harus sedikit lebih rendah dan tegang. Sebaliknya, saat menggambarkan Rangkesari yang sedih (ekspresi Karuna), seledet menjadi lebih lambat, dan gerakan tangan lebih mengayun lembut.

Studi Kasus: Mendalami Legong Lasem

Karena Legong Lasem adalah format yang paling representatif, penting untuk melihat detail narasi dan koreografinya sebagai contoh utama dari keagungan Legong Keraton.

Kisah Cinta yang Berujung Tragedi

Kisah ini diambil dari siklus Panji, sebuah cerita epik Jawa-Bali. Lasem, seorang raja yang sombong dan berkuasa, menculik Putri Rangkesari dan menawannya. Lasem mencoba merayu Rangkesari, tetapi sang putri tetap setia pada tunangannya, Pangeran Panji. Penolakan Rangkesari memicu kemarahan Lasem, yang kemudian memutuskan untuk berperang melawan Panji.

Adegan klimaks dalam Legong Lasem adalah ketika Raja Lasem bertemu dengan seekor burung gagak (atau burung Garuda, tergantung versi puri) di tengah jalan. Dalam kepercayaan tradisional, pertemuan dengan burung gagak yang terbang melingkar di atas kepala adalah pertanda buruk—pertanda kematian. Adegan tarian ini adalah salah satu yang paling dramatis, di mana penari harus mengekspresikan ketakutan Lasem yang mulai menyadari takdirnya, diikuti oleh gerakan yang semakin cepat dan histeris sebelum akhirnya ia pergi ke medan perang dan gugur.

Peran Condong dalam Narasi Lasem

Condong tidak hanya sebagai pembuka. Dalam Legong Lasem, Condong seringkali diinterpretasikan sebagai personifikasi dari keinginan Raja Lasem atau sebagai gambaran daya tarik duniawi yang memisahkan tokoh utama dari dharma. Kehadiran Condong memberikan kontras antara gerakan yang lebih bebas (Condong) dan gerakan yang sangat terikat aturan (Legong), menegaskan dualitas dalam tarian tersebut.

Keunikan Legong terletak pada kemampuannya menceritakan kisah epik, konflik emosional, dan pertanda supranatural, semuanya melalui gerakan yang murni, terstandardisasi, dan sangat indah. Ini adalah tarian yang menuntut lebih dari sekadar keahlian; ia menuntut jiwa dan ketulusan.

Kesimpulan: Cahaya Klasik Legong

Legong adalah perwujudan sempurna dari seni pertunjukan Bali, menyatukan keindahan visual, kedalaman narasi sejarah, ketelitian teknis, dan spiritualitas yang mendalam. Dari agem yang mantap hingga seledet yang memukau, setiap elemen dirancang untuk memancarkan taksu yang mengubah penari menjadi medium narasi agung.

Sebagai warisan keraton yang kini menjadi milik dunia, Legong terus menjadi sumber inspirasi. Kelembutan warnanya, ritme Gamelan Palegongan yang mengalun sejuk, serta dedikasi para penari muda yang terus mempelajari pakem-pakem kuno, memastikan bahwa mahakarya klasik ini akan terus bersinar. Legong bukan sekadar tarian untuk ditonton, melainkan sebuah pengalaman spiritual dan budaya yang harus dirasakan dan dihargai dalam setiap gerakan lenturnya.