Otonomi daerah merupakan salah satu fondasi utama dalam arsitektur tata kelola pemerintahan di Indonesia. Pelaksanaannya bukan hanya sekadar pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat, melainkan sebuah manifestasi dari desentralisasi yang bertujuan mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Inti dari pelaksanaan otonomi ini terletak pada keberadaan dan kinerja lembaga daerah. Lembaga-lembaga ini, baik yang bersifat legislatif, eksekutif, maupun teknis, adalah mesin penggerak yang menerjemahkan kebijakan nasional ke dalam aksi nyata di tingkat lokal.
Artikel ini akan mengupas tuntas peran krusial lembaga daerah, menelaah struktur, fungsi, tantangan kontemporer, hingga proyeksi masa depan mereka dalam konteks regulasi dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Pemahaman yang mendalam terhadap institusi ini penting untuk mengukur keberhasilan desentralisasi secara keseluruhan.
Pembentukan lembaga daerah tidak terlepas dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Landasan hukum paling mutakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kerangka operasional yang jelas. Secara filosofis, lembaga daerah berfungsi sebagai representasi kedaulatan rakyat di wilayahnya masing-masing, memungkinkan pengambilan keputusan yang adaptif terhadap karakteristik lokal (local specificities).
Secara umum, lembaga daerah merujuk pada perangkat organisasi pemerintahan yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau fungsi penunjang lainnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Institusi ini mencakup dua kategori besar:
Prinsip utama yang melandasi eksistensi mereka adalah efisiensi dan efektivitas. Setiap pembentukan, perubahan, atau penghapusan lembaga daerah harus didasarkan pada perhitungan beban kerja, cakupan wilayah, dan kemampuan keuangan daerah. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan anggaran atau tumpang tindih fungsi yang dapat menghambat pelayanan kepada masyarakat.
Otonomi daerah dijalankan melalui tiga mekanisme utama: desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Lembaga daerah merupakan ujung tombak dari desentralisasi, di mana wewenang penuh diserahkan kepada daerah untuk mengelola urusan pemerintahan yang tidak bersifat mutlak milik pusat. Namun, lembaga daerah juga menjalankan fungsi dekonsentrasi (pelaksanaan urusan pusat di daerah) dan tugas pembantuan (bantuan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi).
Kesinambungan fungsi ini menciptakan kompleksitas struktural. Misalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) tidak hanya merencanakan program pembangunan lokal (desentralisasi), tetapi juga harus mengintegrasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), mencerminkan sinergi antara pusat dan daerah.
Struktur institusional daerah distandarisasi untuk menjamin kepastian hukum dan tata kelola yang baik. Meskipun memiliki fleksibilitas dalam penentuan nomenklatur dan tipe organisasi, kerangka utama tetap terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah (Kepala Daerah serta Perangkat Daerah).
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah dan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran DPRD sering disebut sebagai fungsi check and balance terhadap kinerja eksekutif. Fungsi utama DPRD meliputi:
Kinerja DPRD sangat menentukan kualitas kebijakan publik. Jika fungsi legislasi lemah, Perda yang dihasilkan mungkin tidak relevan atau bertentangan dengan kebutuhan masyarakat. Jika fungsi pengawasan tidak optimal, penyimpangan dalam penggunaan anggaran dan pelaksanaan program pembangunan berpotensi terjadi.
Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Wali Kota) adalah pemimpin pemerintahan daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan administrasi pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan Staf Ahli. Sekda memainkan peran sentral sebagai manajer birokrasi, mengoordinasikan seluruh perangkat daerah.
Peran Staf Ahli seringkali menjadi perhatian khusus. Mereka adalah jabatan struktural atau fungsional yang memberikan pertimbangan teknis dan strategis kepada Kepala Daerah. Kehadiran mereka harus bersifat suportif, memastikan keputusan yang diambil Kepala Daerah memiliki dasar analisis yang kuat dan multidimensi, mulai dari aspek ekonomi, hukum, hingga sosial budaya.
Perangkat daerah teknis adalah instrumen utama eksekutif dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Lembaga ini terdiri dari Dinas Daerah, Badan Daerah, Inspektorat, dan Sekretariat. Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU 23/2014 menjadi dasar pembentukan organisasi teknis ini.
Urusan pemerintahan terbagi menjadi wajib (pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan PU) dan pilihan (sesuai potensi daerah seperti pariwisata, pertanian, atau kelautan). Setiap urusan wajib membutuhkan lembaga teknis yang kuat (Dinas) untuk mengelolanya secara efektif.
Dinas Daerah dibentuk untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat spesifik dan membutuhkan pelayanan langsung kepada masyarakat. Contohnya:
Organisasi Dinas cenderung lebih vertikal, dari Kepala Dinas, Sekretariat, hingga Bidang-bidang. Efektivitas Dinas sangat bergantung pada profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM) dan ketersediaan anggaran operasional yang memadai. Tantangan terbesar Dinas adalah seringnya terjadi perubahan regulasi pusat yang harus segera diadaptasi di tingkat operasional, menuntut fleksibilitas tinggi.
Badan Daerah, berbeda dengan Dinas, umumnya bertugas melaksanakan fungsi penunjang atau koordinasi yang tidak terkait langsung dengan pelayanan publik sehari-hari, meskipun dampaknya sangat besar terhadap pembangunan daerah.
Fungsi Badan, terutama BAPPEDA dan BPKAD, memerlukan integritas yang sangat tinggi. Perencanaan yang buruk atau manajemen keuangan yang lemah akan langsung berdampak pada kegagalan seluruh program Dinas.
Inspektorat adalah lembaga pengawasan internal pemerintah daerah (APIP). Perannya adalah memastikan seluruh perangkat daerah bekerja sesuai regulasi, standar operasional, dan prinsip tata kelola yang baik. Inspektorat menjalankan fungsi audit, reviu, evaluasi, dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi perangkat daerah, termasuk pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah. Peningkatan kapasitas Inspektorat menjadi tuntutan utama reformasi birokrasi untuk menekan praktik korupsi dan inefisiensi.
Lembaga daerah memiliki tanggung jawab tripartit yang saling terkait: pelayanan, regulasi, dan pembangunan. Keberhasilan otonomi daerah diukur dari optimalisasi ketiga fungsi ini.
Pelayanan publik adalah wajah utama pemerintah di mata masyarakat. Dinas-dinas teknis bertugas menyediakan layanan dasar yang berkualitas, mudah diakses, dan cepat. Ini mencakup layanan perizinan, administrasi kependudukan (melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil), layanan kesehatan, dan pendidikan.
Transformasi digital sangat mempengaruhi fungsi ini. Lembaga daerah dituntut untuk mengadopsi sistem elektronik (e-government) untuk memotong rantai birokrasi dan meminimalisir interaksi tatap muka yang rentan terhadap praktik maladministrasi. Inovasi pelayanan publik, seperti Mal Pelayanan Publik (MPP) yang mengintegrasikan berbagai jenis layanan dalam satu tempat, merupakan bukti nyata upaya lembaga daerah untuk meningkatkan efisiensi.
Lembaga daerah, khususnya DPRD dan Kepala Daerah, berhak menetapkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Regulasi ini bertujuan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah tersebut.
Proses pembentukan Perda memerlukan kajian mendalam yang melibatkan akademisi, pakar, dan partisipasi publik. Perda yang baik harus bersifat antisipatif, tidak diskriminatif, dan tidak menghambat investasi. Penegakan Perda merupakan tanggung jawab Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang merupakan bagian integral dari lembaga daerah. Keseimbangan antara penegakan yang tegas dan pendekatan humanis sangat penting agar regulasi diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada lembaga daerah untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengelola belanja. BPKAD, bersama Dinas yang menghasilkan retribusi atau pajak, harus bekerja keras untuk optimalisasi PAD. Pengelolaan yang transparan dan akuntabel memerlukan sistem akuntansi berbasis akrual dan pelaporan yang terintegrasi. Kegagalan dalam pengelolaan aset, seperti pemanfaatan properti milik daerah yang tidak optimal, dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar dan menghambat pembangunan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan global, lembaga daerah menghadapi serangkaian tantangan yang kompleks, mulai dari isu internal manajemen hingga tekanan eksternal seperti perubahan iklim dan disrupsi teknologi.
Kualitas SDM aparatur sipil negara (ASN) adalah penentu utama keberhasilan lembaga daerah. Tantangannya meliputi:
Meskipun otonomi, banyak daerah, terutama di wilayah non-Jawa dan daerah tertinggal, masih sangat bergantung pada Dana Transfer Umum (DTU) dari pusat. Tantangannya adalah:
Transformasi digital menuntut lembaga daerah untuk meninggalkan metode kerja manual. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan sistem informasi di seluruh perangkat daerah.
Integrasi data (single submission data) menjadi tantangan besar. Data kependudukan, kesehatan, dan pendidikan seringkali tersebar di berbagai Dinas tanpa adanya integrasi yang memadai, menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy making). Keberanian dalam mengadopsi teknologi baru dan menjamin keamanan siber menjadi prasyarat mutlak.
Keberhasilan pemerintahan daerah sangat bergantung pada harmonisasi dan koordinasi yang efektif, baik secara horizontal (antar-perangkat daerah) maupun vertikal (antara provinsi, kabupaten/kota, dan pusat).
Sekretaris Daerah (Sekda) memegang peran kunci dalam menjembatani komunikasi dan koordinasi antar seluruh Dinas dan Badan. Seringkali, ego sektoral antar-Dinas menjadi penghalang terbesar dalam implementasi kebijakan terpadu. Misalnya, program penanggulangan kemiskinan memerlukan koordinasi erat antara Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan, dan Dinas Koperasi.
Sekretariat Daerah harus mampu menciptakan mekanisme koordinasi formal (rapat koordinasi) maupun informal yang efektif, memastikan semua lembaga daerah bergerak dalam satu visi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Akuntabilitas lembaga daerah diwujudkan melalui penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah kepada DPRD dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah pusat. Proses ini memerlukan data yang valid dan terverifikasi dari seluruh perangkat daerah.
Pengawasan internal oleh Inspektorat harus diperkuat dengan peningkatan independensi dan kapabilitas auditor. Inspektorat tidak hanya berfungsi sebagai lembaga 'pencari kesalahan' tetapi juga sebagai konsultan internal yang membantu perangkat daerah memperbaiki sistem dan manajemen risiko.
Integrasi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) di setiap lembaga daerah memastikan bahwa setiap kegiatan operasional telah mempertimbangkan risiko dan prosedur pengendalian yang memadai. Kurangnya pemahaman terhadap SPIP di tingkat pelaksana teknis masih menjadi hambatan yang perlu diatasi melalui pelatihan intensif oleh BKPSDM.
Hubungan antara lembaga daerah dan lembaga pusat (Kementerian/Lembaga) bersifat dinamis. Meskipun memiliki otonomi, daerah harus memastikan bahwa program lokalnya sejalan dengan prioritas nasional. Mekanisme transfer anggaran (DAK, Dana Desa, DID) dan standar teknis program nasional (misalnya standar layanan minimal di bidang kesehatan dan pendidikan) menjadi alat sinergi ini.
Sinergi vertikal juga mencakup pengawasan regulasi. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk membatalkan atau merevisi Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi. Lembaga daerah harus proaktif dalam berkonsultasi untuk meminimalisir risiko pembatalan regulasi lokal.
Lembaga daerah yang sehat adalah lembaga yang terbuka dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Partisipasi publik bukan hanya sekadar formalitas, melainkan inti dari tata kelola pemerintahan yang demokratis dan akuntabel.
Peran lembaga daerah, terutama DPRD dan BAPPEDA, dalam menjamin partisipasi publik sangat vital. Dalam proses penyusunan Perda dan perencanaan anggaran (Musrenbang), masyarakat harus diberikan ruang yang luas untuk menyampaikan masukan. Tantangannya adalah memastikan bahwa partisipasi tersebut bersifat substantif, bukan hanya seremonial.
Dinas yang menangani komunikasi publik dan layanan informasi (Diskominfo/Dinas Kominfosandi) bertanggung jawab memastikan informasi mengenai kebijakan, anggaran, dan program kerja lembaga daerah mudah diakses. Pemanfaatan media sosial dan portal informasi resmi daerah menjadi media krusial untuk transparansi.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, dan akademisi memiliki peran strategis dalam mengawasi dan memberikan masukan teknis kepada lembaga daerah. Misalnya, kelompok pemerhati lingkungan dapat memberikan data krusial kepada Dinas Lingkungan Hidup, atau asosiasi pengusaha dapat memberikan masukan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terkait iklim investasi.
Kemitraan antara lembaga daerah dan sektor non-pemerintah ini harus dilembagakan melalui mekanisme yang jelas, seperti forum konsultasi reguler atau keikutsertaan mereka dalam tim ahli penyusun kebijakan. Hal ini memperkaya perspektif lembaga daerah dan meningkatkan legitimasi kebijakan publik yang dihasilkan.
Masa depan lembaga daerah akan sangat dipengaruhi oleh tiga mega-tren: digitalisasi, isu keberlanjutan (lingkungan), dan tuntutan masyarakat sipil yang semakin cerdas dan terhubung.
Lembaga daerah dituntut untuk melakukan perampingan organisasi (rightsizing) dengan mengutamakan fungsi-fungsi inti dan memanfaatkan teknologi untuk efisiensi. Integrasi data dan shared services (layanan bersama, seperti pusat data atau call center terpadu) antar-Dinas dapat mengurangi duplikasi tugas dan biaya operasional. BPKAD, misalnya, dapat mengelola aset seluruh Dinas menggunakan sistem terpadu berbasis cloud.
Transformasi ini juga menuntut perubahan dalam budaya kerja ASN, beralih dari pola pikir rutinitas menuju pola pikir inovatif dan berorientasi hasil. Pengukuran kinerja lembaga daerah tidak lagi sekadar berdasar pada penyerapan anggaran, tetapi harus berorientasi pada dampak nyata (outcome-based) terhadap kesejahteraan masyarakat.
Isu perubahan iklim dan ketahanan bencana semakin mendesak. Lembaga daerah, khususnya Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PU, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), harus menjadi institusi yang proaktif, bukan hanya reaktif.
BAPPEDA harus mengintegrasikan aspek mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim ke dalam seluruh dokumen perencanaan pembangunan. Perda Tata Ruang harus ditegakkan secara ketat untuk melindungi kawasan resapan air dan area konservasi, meskipun menghadapi tekanan dari kepentingan ekonomi. Lembaga daerah harus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Terdapat beberapa daerah yang memiliki status otonomi khusus atau keistimewaan, yang berarti lembaga daerah di sana memiliki struktur dan kewenangan yang berbeda dari daerah reguler. Contohnya adalah Aceh, Papua, dan Yogyakarta. Pengaturan kelembagaan ini memungkinkan daerah tersebut menyesuaikan struktur dan fungsi lembaga daerahnya sesuai dengan kekhususan budaya atau sejarah mereka.
Masa depan lembaga daerah juga terletak pada kemampuan mereka menafsirkan dan melaksanakan undang-undang kekhususan ini secara efektif, memastikan bahwa kelembagaan yang dibentuk benar-benar merefleksikan kebutuhan lokal dan dapat mengelola sumber daya, termasuk sumber daya alam dan budaya, dengan kearifan lokal.
Keberlanjutan otonomi daerah yang sukses sangat bergantung pada kemampuan lembaga daerah untuk terus beradaptasi. Ini menuntut Kepala Daerah yang visioner, DPRD yang kritis, dan birokrasi teknis yang profesional dan berintegritas. Tanpa pilar institusional yang kuat dan responsif, desentralisasi hanya akan menjadi pemindahan masalah, bukan pemecahan masalah.
Kapasitas keuangan merupakan urat nadi bagi setiap lembaga daerah untuk menjalankan fungsinya secara independen. Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) memainkan peran yang sangat vital dalam menjamin kesehatan fiskal daerah. Tugas BPKAD meliputi perencanaan kas, pengelolaan investasi daerah, penatausahaan aset, serta pelaporan keuangan. Integritas data keuangan yang disajikan BPKAD menentukan opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang secara langsung memengaruhi kredibilitas pemerintah daerah.
Aset daerah, yang mencakup tanah, bangunan, peralatan, dan investasi, merupakan modal besar bagi daerah. Lembaga daerah seringkali menghadapi masalah dalam inventarisasi dan pemanfaatan aset yang tidak optimal. BPKAD dituntut untuk mengembangkan sistem informasi manajemen aset yang terintegrasi (SIMDA Aset) agar setiap item aset tercatat dengan akurat dan memiliki nilai ekonomis yang jelas.
Pemanfaatan aset tidur, misalnya, melalui kerja sama dengan pihak ketiga (BUMN/swasta) dengan skema Built, Operate, Transfer (BOT) atau Build, Transfer, Operate (BTO) memerlukan regulasi Perda yang kuat dan transparan. DPRD berperan mengawasi agar pelepasan atau pemanfaatan aset tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur hukum dan menghasilkan keuntungan optimal bagi PAD.
Salah satu kritik utama terhadap kinerja lembaga daerah adalah rendahnya atau terlambatnya penyerapan anggaran, terutama belanja modal. Fenomena ini seringkali disebabkan oleh proses pengadaan barang dan jasa yang rumit, kurangnya koordinasi antar perangkat daerah (misalnya antara Dinas Teknis dan Bagian Pengadaan Barang dan Jasa), serta ketakutan birokrasi terhadap masalah hukum (fear of criminalization).
Lembaga daerah harus memastikan bahwa perencanaan kegiatan di BAPPEDA telah realistis dan didukung oleh dokumen anggaran yang lengkap di BPKAD sejak awal tahun anggaran. Pelatihan intensif bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pejabat pengadaan menjadi tanggung jawab BKPSDM untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam melaksanakan proses pengadaan sesuai aturan.
Dalam persaingan antar daerah dan tuntutan masyarakat yang makin tinggi, inovasi telah menjadi indikator penting keberhasilan lembaga daerah. Inovasi dapat berbentuk perbaikan proses bisnis, penciptaan layanan baru, atau adopsi teknologi.
Dengan adanya restrukturisasi kelembagaan di tingkat pusat, beberapa daerah didorong untuk membentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA). Lembaga daerah ini berfungsi sebagai katalisator untuk mendorong penelitian terapan yang relevan dengan kebutuhan daerah, misalnya riset mengenai potensi energi terbarukan lokal, atau studi tentang efektivitas intervensi sosial yang dilakukan oleh Dinas Sosial.
BRIDA juga berperan mengelola Indeks Inovasi Daerah dan memastikan bahwa inovasi yang dihasilkan oleh Dinas teknis dapat direplikasi atau diperluas. Lembaga ini harus bekerja erat dengan akademisi di perguruan tinggi lokal untuk memanfaatkan kekayaan intelektual regional.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) adalah contoh sukses inovasi kelembagaan. Lembaga ini menyatukan proses perizinan dari berbagai sektor (misalnya izin mendirikan bangunan dari Dinas PUPR dan izin usaha dari Dinas Perindustrian) di bawah satu atap, mengurangi birokrasi berbelit. DPMPTSP harus terus berinovasi dengan mengadopsi sistem perizinan elektronik terintegrasi (Online Single Submission/OSS) dan memastikan kecepatan serta kepastian layanan perizinan.
Peran Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sangat penting dalam menjaga integritas lembaga daerah. Reformasi pengawasan menuntut Inspektorat beralih dari pengawasan bersifat post-audit (setelah kejadian) menjadi pengawasan yang bersifat preventif dan prior-audit (sebelum atau selama kejadian).
Pemerintah pusat terus mendorong peningkatan kapabilitas APIP, yang diukur dengan level IACM. Level 3 IACM, yang menunjukkan kemampuan APIP untuk memberikan jasa konsultansi dan pencegahan, adalah target yang harus dicapai oleh lembaga daerah. Untuk mencapai level ini, Inspektorat memerlukan SDM yang memiliki sertifikasi auditor, integritas tinggi, dan didukung teknologi audit digital (e-audit).
Inspektorat tidak hanya memeriksa kepatuhan keuangan (audit kepatuhan), tetapi juga harus melaksanakan audit kinerja. Audit kinerja menilai seberapa efektif dan efisien suatu Dinas atau Badan mencapai tujuan programnya. Misalnya, audit kinerja Dinas Kesehatan akan menilai bukan hanya penggunaan dana, tetapi juga dampak program stunting terhadap angka prevalensi di daerah tersebut. Hasil audit kinerja ini menjadi masukan berharga bagi BAPPEDA dan DPRD dalam mengevaluasi efektivitas alokasi anggaran.
Secara keseluruhan, lembaga daerah merupakan representasi nyata kehadiran negara di tengah masyarakat. Penguatan kelembagaan bukan hanya tentang menambah jumlah organisasi atau pegawai, melainkan tentang meningkatkan efisiensi, responsivitas, dan akuntabilitas. Keberhasilan otonomi daerah di masa depan akan ditentukan oleh seberapa serius lembaga daerah melakukan transformasi diri, merangkul teknologi, dan menempatkan kepentingan publik di atas segala kepentingan sektoral atau politik.