Perahu Lepa Lepa, perahu tradisional dengan lambung ramping dan kabin sederhana.
Di antara gelombang biru kehijauan yang membentang tanpa batas di perairan Asia Tenggara, terdapat sebuah peradaban yang secara harfiah hidup di atas air: Suku Bajau. Mereka adalah pelaut ulung, penjelajah samudera, yang identitasnya tidak terpisahkan dari satu artefak budaya utama—yaitu Lepa Lepa. Lebih dari sekadar perahu, Lepa Lepa adalah rumah terapung, sebuah unit sosial yang mandiri, dan manifestasi fisik dari filosofi hidup Bajau yang mendalam. Artikel ini akan menyelami setiap aspek keberadaan Lepa Lepa, mulai dari sejarah kunonya, detail konstruksi yang presisi, hingga peran spiritualnya dalam kosmologi Suku Bajau, sebuah perjalanan yang menyingkap kearifan lokal yang terancam oleh arus modernisasi.
Kata "Lepa" sendiri dalam beberapa dialek Bajau berarti ‘perahu’ atau ‘kapal’. Namun, Lepa Lepa merujuk secara spesifik pada jenis perahu tradisional berlambung tunggal, yang dicirikan oleh konstruksinya yang ramping, dangkal, dan sering kali memiliki atap kabin sederhana yang berfungsi sebagai tempat tinggal permanen. Perahu ini bukan sekadar alat transportasi atau penangkapan ikan; ia adalah tempat kelahiran, tempat perkawinan, tempat penyembuhan, dan tempat peristirahatan terakhir. Untuk memahami Suku Bajau, seseorang harus terlebih dahulu memahami jiwa yang diwujudkan dalam lambung kayu Lepa Lepa.
Sejarah Lepa Lepa berakar kuat dalam sejarah migrasi Suku Bajau, yang dikenal sebagai ‘orang laut’ atau ‘Sea Gypsies’. Meskipun asal-usul pastinya masih menjadi subjek perdebatan akademis—dengan teori yang menunjuk ke Filipina Selatan (Mindanao) atau Sulawesi—yang pasti adalah kehidupan nomaden mereka telah membentuk desain perahu mereka secara sempurna.
Berbeda dengan suku pesisir yang menggunakan perahu untuk kembali ke daratan, Suku Bajau, terutama kelompok Bajau Laut, menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas perahu. Kebutuhan akan perahu yang harus berfungsi ganda—sebagai penangkap ikan yang efisien dan tempat tinggal yang aman—melahirkan desain Lepa Lepa. Perahu ini harus cukup kecil untuk bermanuver di terumbu karang dan perairan dangkal, namun cukup stabil untuk menahan badai laut terbuka, serta memiliki ruang yang cukup untuk seluruh keluarga, alat masak, dan hasil tangkapan. Keseimbangan antara mobilitas dan keberlanjutan hidup adalah kunci dari desain kuno ini.
Dalam sejarah lisan Bajau, Lepa Lepa sering dikaitkan dengan mitos dan legenda. Salah satu kisah populer menceritakan tentang seorang putri kerajaan yang hilang atau diculik oleh roh laut, dan para pelaut Bajau dikirim untuk mencarinya. Sejak saat itu, mereka bersumpah untuk tidak lagi menginjakkan kaki di darat secara permanen, menjadikan lautan sebagai rumah abadi mereka. Kisah-kisah ini menegaskan bahwa ikatan antara Bajau dan perahu mereka bukanlah sekadar hubungan fungsional, melainkan hubungan spiritual yang mendalam, di mana perahu adalah perpanjangan dari diri mereka sendiri, sebuah kulit kedua yang melindungi mereka dari dunia daratan yang asing.
Meskipun Lepa Lepa memiliki kemiripan dengan perahu tradisional lain di wilayah maritim Asia Tenggara, seperti 'vinta' dari Filipina atau 'prahu' dari berbagai kelompok di Indonesia, Lepa Lepa memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya. Vinta, misalnya, terkenal dengan layar warna-warninya yang mencolok dan cadik ganda untuk kecepatan. Lepa Lepa, di sisi lain, menekankan pada stabilitas tanpa cadik (meskipun beberapa varian modern menambahkannya) dan memiliki lambung yang lebih dalam di tengah untuk memaksimalkan ruang hidup. Bentuknya yang panjang dan ramping memastikan kecepatan saat dikejar ombak atau saat melarikan diri dari musuh di masa lalu, sekaligus memberikan stabilitas minimal bagi kehidupan sehari-hari yang meliputi memasak, tidur, dan merawat anak-anak di atasnya.
Transisi dari perahu yang hanya digunakan untuk mencari nafkah menjadi perahu tempat tinggal penuh waktu adalah evolusi penting. Pada awalnya, perahu mungkin hanya digunakan untuk perjalanan dan berburu. Namun, seiring waktu, dan dipicu oleh tekanan politik atau perubahan lingkungan, ketergantungan pada Lepa Lepa menjadi total, mengubahnya dari kapal nelayan menjadi rumah terapung. Seluruh siklus kehidupan Bajau, dari ritual kelahiran yang melibatkan penempatan plasenta di laut, hingga upacara pemakaman di mana jenazah diturunkan ke laut, semuanya terpusat pada keberadaan perahu yang setia ini.
Untuk mencapai volume konten yang substansial, kita harus menelaah detail konstruksi secara menyeluruh. Pembuatan Lepa Lepa adalah ritual yang membutuhkan pengetahuan turun-temurun, pemahaman mendalam tentang sifat kayu, dan keterampilan tanpa alat modern yang rumit.
Pemilihan material adalah tahap yang sangat krusial. Perahu harus bertahan dari air asin, terik matahari, dan benturan karang. Secara tradisional, kayu yang paling dicari adalah jenis kayu keras yang tahan air dan ringan. Jenis yang sering digunakan meliputi Kayu Ulin (Besi), Kayu Bintangor, atau Kayu Meranti. Setiap jenis kayu dipilih untuk bagian tertentu dari perahu:
Proses pemotongan kayu di hutan pedalaman (jika mereka masih menggunakan kayu hutan, bukan kayu apung) bukanlah hal yang sepele. Ini melibatkan ritual untuk ‘meminta izin’ kepada roh hutan atau pohon, sebuah praktik yang menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap alam sebagai penyedia kehidupan. Setelah pohon tumbang, Bajau tidak menggunakan gergaji modern. Sebaliknya, mereka menggunakan kapak tangan (wasi) dan pahat (sanggu) untuk membentuk lambung dasar—sebuah proses yang memakan waktu berbulan-bulan dan membutuhkan ketelitian luar biasa untuk memastikan simetri dan keseimbangan hidro-dinamis.
Lepa Lepa dibangun dengan teknik tradisional yang sangat berbeda dari pembuatan kapal Barat. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan pasak kayu dan sistem tali yang terbuat dari serat alami, bukan paku besi. Ini adalah adaptasi yang cerdas; paku besi mudah berkarat di lingkungan laut asin, sementara sambungan kayu dan tali alami memungkinkan perahu menjadi lebih fleksibel dan ‘bernapas’ saat diterjang gelombang keras, mengurangi risiko patah struktural.
Awalnya, pembuat perahu (pandai lepa) akan memahat inti perahu dari satu batang pohon. Proses ini disebut papaning atau manghukil. Lambung dipahat sedemikian rupa sehingga bagian tengahnya lebih dalam dan lebar untuk menampung barang dan penghuni, sementara haluan (depan) dan buritan (belakang) diangkat dan diruncingkan. Haluan sering diukir dengan simbol tertentu untuk perlindungan.
Lepa Lepa umumnya menggunakan teknik yang mirip dengan Carvel Built, di mana papan-papan sisi dipasang merata tepi ke tepi. Namun, Bajau memiliki variasi yang unik. Papan-papan ini dijahit atau diikat dengan serat ijuk, rotan, atau tali rami laut. Sambungan kemudian ditutup rapat menggunakan dempul alami, seringkali campuran kapur, minyak ikan, atau getah pohon tertentu yang dicampur dengan serbuk kayu. Detail ini membutuhkan perhatian yang ekstrem; kebocoran sekecil apa pun bisa berakibat fatal di tengah lautan.
Lunas (lunas) adalah tulang punggung perahu. Meskipun lambung inti sudah berfungsi sebagai lunas, Bajau sering menambahkan balok kayu keras ekstra di bagian bawah untuk menahan abrasi saat perahu ditarik ke pantai atau bersandar di karang. Balok penyangga (timbelan) dipasang melintang di lambung untuk menjaga kekakuan struktural dan sekaligus berfungsi sebagai tempat duduk atau penyangga dek kabin.
Proses ini bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun. Selama pembangunan, setiap Lepa Lepa dianggap memiliki 'roh' atau 'jiwa'. Sebelum peluncuran, dilakukan upacara khusus, di mana perahu diberi nama dan dipersembahkan makanan atau sesajen tertentu agar perahu tersebut "menerima" keluarganya dan melindungi mereka dari bahaya laut. Kesempurnaan fisik perahu dianggap sejajar dengan kesempurnaan spiritual keluarga yang menempatinya. Cacat kecil pun dipercaya dapat menarik nasib buruk.
Fungsi Lepa Lepa jauh melampaui kemampuan navigasinya. Sebagai rumah permanen bagi Suku Bajau Laut, perahu ini adalah miniatur dari masyarakat dan ekosistem Bajau itu sendiri. Ukuran rata-rata Lepa Lepa sangat bervariasi, tetapi umumnya berkisar antara 5 hingga 10 meter panjangnya, cukup untuk menampung satu keluarga inti yang terdiri dari orang tua dan beberapa anak.
Meskipun ukurannya kecil, tata ruang Lepa Lepa diorganisir dengan sangat efisien:
Kehidupan di Lepa Lepa mengajarkan tentang keterbatasan ruang dan pentingnya berbagi. Setiap barang, mulai dari alat tangkap, pakaian, hingga perkakas masak, harus berfungsi ganda dan disimpan dengan presisi. Kekurangan ruang memaksa Bajau untuk hidup minimalis dan sangat teratur, sebuah filosofi yang kontras dengan gaya hidup modern yang serba berlebihan.
Perahu adalah matriks tempat anak-anak Bajau belajar segala hal tentang kehidupan. Sejak usia dini, anak-anak sudah terbiasa dengan ritme ombak. Mereka belajar berenang sebelum mereka belajar berjalan di darat. Pendidikan tradisional Bajau adalah pendidikan maritim: bagaimana memprediksi cuaca dari pola awan, bagaimana mengidentifikasi arus bawah, bagaimana memperbaiki sambungan perahu, dan teknik memancing yang efektif.
Dalam kondisi kehidupan yang sempit ini, ikatan keluarga sangat kuat. Konflik jarang terjadi karena ruang fisik yang terbatas menuntut harmoni sosial. Ketika sebuah keluarga tumbuh besar, atau ketika anak laki-laki menikah, mereka akan membangun Lepa Lepa baru untuk unit keluarga baru mereka. Meskipun demikian, mereka tetap berlayar bersama dalam armada kecil (flotilla), yang berfungsi sebagai komunitas berjalan, memberikan rasa aman dan bantuan saat menghadapi kesulitan.
Kondisi ini juga melahirkan adaptasi fisiologis yang luar biasa. Penelitian menunjukkan bahwa Suku Bajau memiliki kemampuan menyelam yang superior, dengan paru-paru yang lebih besar dan limpa yang lebih efisien dalam menyimpan oksigen—semua berkat evolusi yang didorong oleh kebutuhan untuk mencari makan di laut dalam, yang mereka lakukan dengan perahu kecil ini sebagai basis operasi mereka.
Fungsi utama Lepa Lepa adalah sebagai platform berburu dan mencari nafkah. Bajau telah mengembangkan teknik memancing yang canggih yang terintegrasi sepenuhnya dengan desain perahu mereka.
Lepa Lepa membawa berbagai alat tangkap yang disesuaikan dengan lingkungan laut yang mereka jelajahi, mulai dari terumbu karang dangkal hingga perairan lepas pantai:
Karena mereka hidup nomaden, Bajau secara historis berfungsi sebagai pedagang perantara di kepulauan. Lepa Lepa digunakan untuk mengangkut hasil laut—teripang (sea cucumber), mutiara, kerang, dan ikan kering—untuk ditukar dengan barang-barang daratan yang mereka butuhkan, seperti beras, air tawar, logam, dan kain. Perahu mereka harus mampu menampung barang dagangan ini selama perjalanan panjang antar pulau atau ke pasar-pasar pesisir. Sistem perdagangan ini memperkuat Lepa Lepa sebagai 'kapal kargo' mini yang menghubungkan desa-desa pesisir yang terpencil.
Kemampuan navigasi mereka yang legendaris didukung oleh pengetahuan astronomi dan oseanografi yang diwariskan lisan. Bajau tidak memerlukan kompas magnetik. Mereka membaca bintang, arah angin, suhu air, dan bahkan bau laut untuk menentukan posisi dan arah. Lepa Lepa adalah sarana yang pasif dan adaptif, sepenuhnya bergantung pada keahlian pelaut, bukan teknologi canggih.
Jika perahu tradisional lain dilihat sebagai alat, Lepa Lepa bagi Bajau adalah makhluk hidup. Hubungan ini melahirkan filosofi dan ritual yang mendalam.
Bagi Bajau, dunia terbagi menjadi tiga alam: darat (tempat orang darat), laut (tempat hidup mereka), dan alam roh (yang menguasai keduanya). Lepa Lepa berfungsi sebagai titik tengah yang menghubungkan ketiga alam tersebut. Ia adalah 'dunia kecil' yang berlayar di 'dunia besar' lautan. Segala sesuatu yang terjadi di atas perahu—kelahiran, kematian, sakit, dan panen—memiliki resonansi spiritual yang harus dihormati.
Setiap bagian Lepa Lepa memiliki arti simbolis. Haluan (depan) sering diasosiasikan dengan masa depan dan perlindungan ilahi, buritan (belakang) diasosiasikan dengan masa lalu dan leluhur. Pemasangan tiang layar (amo) dianggap sebagai penancapan sumbu dunia di perahu, yang menghubungkan langit (angin) dengan air (lambung). Ini adalah praktik animisme yang kuat, di mana kekuatan alam dimediasi melalui struktur perahu.
Dua upacara utama yang terkait erat dengan Lepa Lepa adalah peluncuran perahu baru dan festival tahunan yang merayakan laut.
Ketika perahu baru selesai, upacara peluncuran sangat meriah. Ini bukan hanya uji coba fisik, tetapi ritual penerimaan jiwa perahu ke dalam komunitas. Dukun (bomor) akan melakukan ritual pembersihan dan perlindungan. Seringkali, hewan kurban (ayam atau kambing) disembelih di atas lambung untuk 'memberi makan' perahu dengan darah, memastikan kesuburan dan perlindungan dari roh jahat laut (jin laut).
Perahu yang baru diluncurkan harus berlayar dengan beberapa barang penting yang melambangkan kemakmuran: beras (kemakmuran pangan), air tawar (kehidupan), dan alat pancing (kemampuan mencari nafkah). Jika perahu berlayar dengan lancar pada perjalanan pertamanya, itu dianggap sebagai tanda baik. Jika goyah atau sulit dikendalikan, diyakini ada roh jahat yang harus diusir sebelum keluarga dapat tinggal di dalamnya.
Meskipun Bajau dikenal nomaden, mereka memiliki titik temu tahunan atau festival yang disebut "Regatta Lepa Lepa," yang dirayakan di beberapa wilayah, terutama di Sabah, Malaysia, dan bagian Timur Indonesia. Ini adalah perayaan persatuan Bajau dan pengakuan atas pentingnya perahu. Selama regatta, Lepa Lepa dihiasi dengan bendera berwarna-warni, ukiran yang indah, dan layar baru (sambulayang). Festival ini melibatkan balap perahu, musik tradisional, dan tarian. Ini adalah momen langka ketika komunitas yang biasanya tersebar di lautan bersatu kembali, memperkuat identitas kolektif mereka.
Kualitas dan estetika Lepa Lepa juga diukur dari detail teknis dan artistiknya.
Meskipun Bajau modern banyak menggunakan mesin tempel, Lepa Lepa dirancang untuk berlayar. Sistem layar tradisional Bajau adalah layar lateen atau layar persegi panjang yang dipasang pada tiang tunggal. Keunggulan layar ini adalah kemampuannya untuk menangkap angin dari berbagai arah, sangat penting untuk navigasi di perairan dangkal dan sempit.
Layar (sambulayang) secara tradisional dibuat dari kain katun atau serat alami yang ditenun. Layar modern menggunakan bahan sintetis yang lebih tahan lama. Bagian terpenting dari sistem layar adalah keseimbangan. Karena Lepa Lepa tidak selalu memiliki cadik, pusat gravitasi harus dijaga agar sangat rendah, dan penyesuaian layar harus dilakukan dengan cepat dan intuitif oleh pelaut Bajau yang berpengalaman.
Kapal-kapal Bajau tua sering kali tidak memiliki kemudi yang terpasang permanen. Pengendalian dilakukan menggunakan dayung kemudi yang besar (puli) di buritan. Kontrol manual ini memberikan pelaut koneksi fisik langsung dengan perahu dan laut, memungkinkan reaksi instan terhadap perubahan arus atau angin.
Lepa Lepa yang berfungsi sebagai rumah sering kali dihiasi, menunjukkan status dan identitas keluarga. Ukiran ini tidak hanya estetika, tetapi juga berfungsi sebagai jimat pelindung.
1. Ukiran Haluan (Bunga Kuntul atau Burung Laut): Haluan adalah bagian yang paling dihias. Seringkali dihiasi dengan ukiran yang menyerupai bunga, burung kuntul, atau naga (dalam pengaruh budaya Tiongkok dan Melayu). Ukiran burung atau naga melambangkan kecepatan, keberanian, dan kemampuan untuk melihat bahaya dari kejauhan. Ornamen ini disebut sobal atau duyung-duyung dan diyakini menakut-nakuti roh jahat yang mencoba menempel pada perahu.
2. Warna dan Pola: Meskipun perahu Bajau nomaden seringkali polos, perahu yang digunakan untuk upacara atau yang dimiliki oleh Bajau Darat (Bajau Darat yang telah menetap) sering dicat dengan warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan biru. Warna merah melambangkan keberanian dan perlindungan dari api, sementara kuning melambangkan kemuliaan. Penggunaan warna dan ukiran yang kaya adalah deklarasi visual dari kekayaan spiritual Bajau, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kekayaan material seperti orang daratan.
Keberadaan Lepa Lepa dan gaya hidup yang diwakilinya sedang menghadapi tantangan besar. Globalisasi, penegakan batas wilayah maritim, dan degradasi lingkungan laut mengancam cara hidup nomaden Suku Bajau.
Di masa kini, Lepa Lepa mengalami transisi. Banyak Bajau Laut yang terpaksa menetap di desa-desa pesisir atau di rumah panggung (palao). Bagi mereka yang masih hidup di laut, Lepa Lepa telah dimodifikasi secara signifikan. Penggunaan mesin tempel (enjin) telah menggantikan layar dan dayung sebagai tenaga penggerak utama. Meskipun mesin meningkatkan efisiensi navigasi, mereka mengurangi ketergantungan pada pengetahuan tradisional tentang angin dan arus, dan juga meningkatkan biaya operasional (bahan bakar).
Desain Lepa Lepa yang tadinya sempit dan terbuka kini sering dimodifikasi dengan lambung yang lebih lebar untuk menampung mesin dan bahan bakar, serta kabin yang lebih besar dan permanen. Modifikasi ini, meskipun praktis, mengikis desain asli yang sempurna untuk mobilitas dan kehidupan nomaden.
Dua ancaman terbesar terhadap kelangsungan Lepa Lepa sebagai rumah adalah penangkapan ikan yang merusak dan perubahan kebijakan maritim.
Metode penangkapan ikan modern yang merusak, seperti pengeboman ikan atau penggunaan sianida (walaupun dipraktikkan oleh beberapa individu Bajau yang putus asa, namun sering dituduhkan secara umum), telah menghancurkan banyak terumbu karang, yang merupakan sumber daya vital bagi Bajau. Ketika sumber daya berkurang, kehidupan di atas Lepa Lepa menjadi tidak berkelanjutan, memaksa keluarga untuk mencari penghidupan di darat.
Konsep hidup nomaden di atas perahu sering bertentangan dengan administrasi modern negara-negara tempat Bajau berada (Indonesia, Malaysia, Filipina). Pemerintah sering mendorong Bajau untuk menetap di darat demi kemudahan administrasi, kesehatan, dan pendidikan. Ketika Bajau menetap, Lepa Lepa beralih fungsi dari rumah menjadi sekadar perahu nelayan, kehilangan signifikansi budaya utamanya.
Selain itu, perbatasan maritim yang ketat membuat para pelaut Bajau nomaden rentan terhadap tuduhan melanggar batas perairan, sebuah ironi mengingat nenek moyang mereka telah berlayar melintasi perairan ini bebas selama ribuan tahun.
Untuk mencapai kedalaman informasi yang diperlukan, perluasan mendalam tentang peralatan dan metode tukang perahu (pandai) Bajau sangat esensial. Tukang perahu Bajau tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga memahami metafisika kayu dan air.
Kualitas Lepa Lepa sangat bergantung pada keterampilan tangan, karena alat yang digunakan sangat sederhana. Alat-alat ini telah diturunkan dari generasi ke generasi:
Ketiadaan pengukuran standar seperti meteran modern membuat proses ini menjadi karya seni yang intuitif. Tukang perahu mengandalkan pengukuran tubuh: rentangan tangan (depa), panjang jari, atau jarak mata ke siku. Keterampilan ini menjamin bahwa setiap perahu, meskipun berbeda dimensi, tetap memiliki proporsi yang harmonis dan seimbang secara alami di air.
Lepa Lepa yang berfungsi sebagai rumah harus dirawat secara berkala untuk melawan serangan rayap air dan pembusukan. Perawatan tradisional melibatkan pelapisan lambung dengan minyak alami atau getah pohon yang dicampur dengan kapur sirih atau arang. Proses ini, yang disebut manarok, dilakukan secara rutin setiap beberapa bulan, biasanya saat perahu ditarik ke daratan dangkal (jika ada) atau saat air surut total.
Perawatan ini adalah tanggung jawab kolektif keluarga. Anak-anak diajari sejak dini untuk mencari celah-celah kecil yang bocor dan menambalnya dengan dempul alami yang dibawa secara permanen di dalam perahu. Proses perawatan yang berkelanjutan inilah yang memungkinkan Lepa Lepa bertahan selama puluhan tahun, melayani beberapa generasi keluarga Bajau.
Perluasan detail ini menunjukkan bahwa Lepa Lepa bukan sekadar hasil dari konstruksi, tetapi hasil dari ilmu pengetahuan terapan yang mendalam mengenai hidro-dinamika, material kelautan, dan adaptasi kultural—semuanya diringkas dalam lambung kayu yang sederhana.
Meskipun pembangunan perahu didominasi laki-laki, peran wanita sangat vital dalam memastikan Lepa Lepa berfungsi sebagai rumah yang stabil dan berkelanjutan.
Wanita Bajau adalah manajer logistik di atas Lepa Lepa. Mereka bertanggung jawab penuh atas pengorganisasian ruang sempit, memastikan bahwa segala sesuatu, dari perkakas hingga makanan dan air, tersimpan rapi dan mudah dijangkau. Dalam ruang yang sangat terbatas, manajemen yang buruk dapat berarti bencana. Mereka memastikan air tawar (sumber daya paling berharga) disimpan dengan aman dalam tempayan dan digunakan secara hemat. Mereka juga bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan dengan api kecil yang sangat terkontrol di buritan.
Secara tradisional, wanita Bajau juga memainkan peran penting dalam membuat layar (sambulayang) dan tikar yang digunakan sebagai alas tidur dan penutup kabin. Mereka menenun tikar dari daun pandan atau nipah, yang harus tahan terhadap kelembapan dan memberikan isolasi termal di malam hari. Keterampilan menjahit mereka juga digunakan untuk memperbaiki layar yang robek dan menambal kain-kain penutup perahu, yang semuanya penting bagi kelangsungan hidup di laut.
Perahu adalah sekolah utama. Wanita, sebagai pengasuh utama, bertanggung jawab untuk mewariskan cerita lisan, lagu, dan pengetahuan praktis tentang laut kepada anak-anak mereka, memastikan bahwa generasi berikutnya memahami filosofi dan spiritualitas yang terikat pada Lepa Lepa. Lagu-lagu Bajau sering kali menceritakan tentang badai, penjelajahan, dan roh laut, semuanya diajarkan saat keluarga berlayar, menggunakan perahu itu sendiri sebagai konteks pengajaran.
Dalam banyak hal, jika laki-laki Bajau adalah arsitek perahu, maka wanita Bajau adalah insinyur dan pelaksana yang memastikan perahu tersebut adalah rumah yang layak huni. Tanpa peran ganda wanita, Lepa Lepa tidak akan mampu menopang kehidupan berkeluarga secara permanen di lautan luas.
Meskipun istilah Lepa Lepa umum, terdapat variasi desain yang signifikan di antara kelompok Bajau yang berbeda di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, yang mencerminkan adaptasi lokal terhadap kondisi laut dan interaksi budaya.
Di Sulawesi, terutama yang dipengaruhi oleh budaya Mandar, Lepa Lepa seringkali lebih besar dan lebih kuat, kadang-kadang mengadopsi elemen seperti cadik (katir) untuk stabilitas ekstra. Varian ini, yang lebih dikenal sebagai perahu Mandar atau Sandeq, meskipun berbeda secara klasifikasi, memiliki garis keturunan desain yang sama dalam hal lambung ramping dan penggunaan layar segitiga. Perahu di sini cenderung lebih fokus pada kecepatan dan kemampuan mengangkut kargo jarak jauh, mencerminkan peran Bajau sebagai pedagang antar-pulau di wilayah tersebut.
Di wilayah Sama-Bajau (khususnya Tawi-Tawi dan Sabah), Lepa Lepa cenderung mempertahankan bentuk tradisionalnya yang paling murni: lambung tunggal tanpa cadik, sangat ramping, dengan atap bambu yang dapat dilepas pasang. Varian ini menekankan pada mobilitas dan kemampuan bersembunyi di perairan dangkal, yang merupakan adaptasi terhadap sejarah konflik dan kebutuhan untuk berpindah cepat.
Di bagian barat Nusantara, kelompok Bajau yang berinteraksi dengan Suku Laut lain menghasilkan Lepa Lepa dengan sedikit perbedaan. Perahu di sini mungkin memiliki lambung yang sedikit lebih tinggi di buritan, memungkinkan kontrol yang lebih baik saat berlayar di selat yang arusnya deras. Penggunaan kayu lokal yang berbeda juga memengaruhi warna alami dan daya tahan perahu.
Setiap varian Lepa Lepa adalah bukti hidup bahwa desain perahu adalah refleksi langsung dari ekologi, ancaman, dan interaksi sosial budaya. Namun, terlepas dari perbedaan regional, inti dari Lepa Lepa—sebagai rumah tunggal yang menopang kehidupan nomaden di tengah samudera—tetap tidak berubah, menjadikannya ikon abadi dari kebudayaan Bajau.
Untuk melengkapi gambaran teknik, kita akan membedah Lepa Lepa menjadi komponen-komponen yang seringkali terabaikan, namun vital untuk pelayaran dan kehidupan sehari-hari.
Struktur Lepa Lepa terdiri dari elemen-elemen yang presisi, masing-masing dengan nama Bajau spesifik yang mencerminkan fungsi dan spiritualitasnya:
Di luar kayu keras, bambu dan daun nipah adalah material yang tak tergantikan. Bambu digunakan untuk kerangka atap (kala’a) karena ringan, fleksibel, dan mudah diganti. Atap daun nipah (atap jerami) atau daun lontar diletakkan di atas kerangka bambu. Atap ini memberikan perlindungan termal yang jauh lebih baik daripada bahan modern, menjaga interior perahu tetap sejuk di bawah terik matahari tropis. Penggunaan bahan-bahan alami dan terbarukan ini menunjukkan keberlanjutan dalam budaya Bajau—sebuah pelajaran penting bagi desain perahu di masa kini.
Pergantian bahan atap yang cepat juga vital. Ketika atap nipah mulai lapuk atau bocor (biasanya setelah setahun), keluarga Bajau akan berlayar ke pantai yang memiliki pohon nipah dan dengan cepat membuat atap baru. Siklus ini adalah bagian integral dari pemeliharaan Lepa Lepa, menghubungkan mereka secara musiman ke sumber daya daratan.
Di tengah tekanan untuk modernisasi, beberapa inisiatif muncul untuk melestarikan tradisi Lepa Lepa, tidak hanya sebagai artefak, tetapi sebagai kendaraan untuk pendidikan dan kebanggaan budaya.
Di beberapa daerah, Lepa Lepa telah dihidupkan kembali sebagai daya tarik wisata. Namun, penting untuk membedakan antara eksploitasi dan pelestarian. Program pariwisata yang etis melibatkan Suku Bajau secara langsung, di mana wisatawan dapat berinteraksi dengan perahu dan belajar tentang navigasi tradisional. Dengan menjadikan Lepa Lepa sebagai pusat pengalaman budaya, ada insentif ekonomi bagi generasi muda Bajau untuk tetap mempelajari keterampilan pembangunan dan pelayaran tradisional, alih-alih sepenuhnya beralih ke perahu bermesin.
Keterampilan membangun Lepa Lepa terancam punah. Generasi muda Bajau sering lebih memilih profesi di darat atau menggunakan perahu pabrikan modern. Untuk melawan hal ini, beberapa komunitas mendirikan sekolah perahu informal (Sekolah Lepa), di mana para pandai lepa (tukang perahu senior) dihormati dan didukung untuk mengajarkan kembali teknik pemahatan, penjahitan lambung, dan ritual peluncuran kepada anak-anak muda.
Inti dari kurikulum ini bukanlah hanya tentang membuat perahu, tetapi juga menanamkan filosofi Bajau: kesabaran yang tak terhingga, rasa hormat terhadap laut, dan ketergantungan pada komunitas. Membangun Lepa Lepa adalah pelajaran tentang etika maritim. Misalnya, mereka diajarkan bahwa saat memahat lambung, setiap pukulan kapak harus dilakukan dengan niat baik dan fokus, karena kecerobohan sekecil apapun akan mengundang bahaya di tengah laut.
Lepa Lepa hari ini mungkin tidak lagi menjadi rumah permanen bagi semua Bajau, tetapi ia tetap menjadi jangkar simbolis. Selama perahu kayu yang ramping ini terus dibuat, dihias, dan diapungkan, jiwa pengembara Suku Bajau akan tetap hidup, berlayar di antara gelombang peradaban modern.
Untuk memastikan cakupan materi yang luas, kita perlu kembali meninjau peran Lepa Lepa dalam konteks historis yang lebih besar—yaitu jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara sebelum era kolonial.
Jauh sebelum kompas dan navigasi satelit ditemukan, Suku Bajau, dengan armada Lepa Lepa mereka, berfungsi sebagai arteri vital dalam perdagangan di antara kerajaan-kerajaan besar seperti Sulu, Brunei, dan Melaka. Mereka bukan pedagang besar yang mengangkut lada atau rempah dalam volume masif (itu tugas kapal-kapal besar seperti Jong), melainkan spesialis dalam barang-barang laut bernilai tinggi:
Kemampuan Lepa Lepa yang ringkas dan cepat memungkinkan Bajau untuk bergerak melalui kepulauan, menghindari konflik, dan mencapai pasar terdekat dengan efisiensi yang tinggi. Mereka sering berlayar dalam formasi yang dapat dengan cepat membubarkan diri jika ada bahaya, sebuah taktik yang hanya dimungkinkan oleh karakteristik Lepa Lepa yang lincah.
Dalam sejarah maritim, penguasaan atas laut berarti penguasaan atas perahu. Bagi Bajau, perahu adalah manifestasi kedaulatan mereka di lautan. Mereka tidak mengenal batas daratan yang ditetapkan oleh kerajaan atau negara. Batas mereka adalah garis air. Keberadaan Lepa Lepa di suatu perairan menandakan kehadiran mereka, dan kemampuan untuk berlayar bebas adalah hak prerogatif fundamental yang dijaga dengan ketat.
Ketika kerajaan-kerajaan pesisir membutuhkan tentara laut atau panduan navigasi, mereka sering merekrut Suku Bajau dan Lepa Lepa mereka. Perahu ini menjadi kapal pengintai yang tak tertandingi karena kemampuannya untuk beroperasi di perairan dangkal yang tidak bisa dijangkau oleh kapal perang besar. Peran ini memberikan Bajau status sosial yang unik—dianggap rendah oleh beberapa orang darat, namun sangat dihormati dan ditakuti di lautan.
Meskipun dibangun tanpa perhitungan matematis modern, desain Lepa Lepa memiliki kecerdasan hidro-dinamis yang luar biasa. Ilmu pengetahuan di balik lambung kayu yang dipahat dengan tangan ini layak dianalisis secara teknis.
Salah satu ciri khas Lepa Lepa adalah rasio panjang terhadap lebar yang sangat tinggi. Perahu nelayan modern mungkin memiliki rasio sekitar 3:1, sementara Lepa Lepa bisa mencapai 5:1 atau bahkan 7:1. Rasio ini menghasilkan lambung yang sangat ramping, yang memiliki tiga keuntungan utama:
Lunas Lepa Lepa cenderung dangkal, adaptasi yang krusial untuk beroperasi di perairan karang dangkal tempat Bajau mencari makan. Namun, untuk mencegah perahu terdorong ke samping (drifting) saat melawan angin (lee-way), Bajau mengandalkan keterampilan pelayaran mereka yang cerdas. Mereka menyesuaikan layar, berat internal, dan menggunakan dayung kemudi yang berfungsi ganda sebagai lunas sementara untuk 'menggigit' air dan menjaga jalur pelayaran tetap lurus.
Dalam kondisi berlayar yang ideal, Lepa Lepa dianggap sebagai salah satu desain perahu tradisional paling efisien. Kecanggihan desain ini adalah testimoni bahwa pengetahuan empiris yang diwariskan lisan selama ribuan tahun dapat menghasilkan solusi rekayasa yang setara atau bahkan lebih unggul dari metode modern di lingkungan spesifiknya.
Kita harus menutup pembahasan Lepa Lepa dengan melihat bagaimana keberlanjutan perahu ini terkait erat dengan krisis ekologi maritim yang lebih luas.
Lepa Lepa dirancang untuk berlayar di lautan yang murni. Namun, lautan hari ini penuh dengan sampah plastik. Sampah ini tidak hanya mencemari sumber makanan Bajau, tetapi juga mengancam integritas struktural perahu. Jaring nilon yang terbuang dapat tersangkut di baling-baling mesin (bagi yang menggunakan mesin), dan sampah di dasar laut mengganggu navigasi di perairan dangkal. Ini memaksa Bajau untuk mengubah rute pelayaran dan mencari tempat tinggal yang semakin jauh dari pusat polusi.
Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang semakin tidak terduga dan badai yang lebih ganas. Bagi Bajau, yang mengandalkan pengetahuan lisan tentang angin dan cuaca, perubahan ini mengganggu sistem prediksi tradisional mereka. Badai yang tidak terduga sangat berbahaya bagi Lepa Lepa yang lambungnya tidak dirancang untuk menahan badai kategori tinggi. Kegagalan memprediksi cuaca ini tidak hanya mengancam fisik, tetapi juga mengikis kepercayaan spiritual mereka terhadap alam, karena 'roh laut' kini bertindak di luar aturan yang dikenal oleh nenek moyang mereka.
Melestarikan Lepa Lepa berarti melestarikan cara pandang dunia yang unik, di mana rumah, identitas, dan ekosistem adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hilangnya Lepa Lepa sebagai rumah adalah hilangnya peradaban yang telah beradaptasi dengan laut selama ribuan tahun, mengubah laut dari batas menjadi tempat perlindungan. Perahu ini adalah puisi abadi yang ditulis di atas ombak, sebuah penghormatan terhadap kehidupan yang sederhana, nomaden, dan terikat pada ritme pasang surut.