Eksistensi manusia sering kali dipersepsikan sebagai sebuah upaya totalisasi diri, di mana segala pengalaman dan pengetahuan diintegrasikan ke dalam batas-batas kesadaran subjek. Namun, dalam perjalanan panjang filsafat etika, muncul sebuah konsep yang menantang hegemoni totalitas ini—yaitu Liyan, atau Alteritas. Liyan bukanlah sekadar objek yang saya temui, bukan sekadar refleksi cermin dari diri saya, melainkan sebuah entitas yang secara fundamental dan tak terreduksi berbeda, sebuah sumber transendensi yang menuntut tanggung jawab sebelum segala bentuk perjanjian sosial atau rasionalitas diri terbentuk. Memahami Liyan berarti mengakui batas-batas mutlak dari ‘Aku’ dan menerima panggilan yang datang dari luar batas-batas tersebut, sebuah panggilan yang menggerakkan etika dan membentuk makna keberadaan yang sejati.
Liyan adalah yang absolut lain, yang tidak dapat diasimilasi ke dalam kerangka berpikir subjek. Ia adalah jeda yang tak terhindarkan dalam narasi totalitas, yang memecah proyek ego untuk menjadikan dunia sebagai miliknya. Dalam keterpisahan inilah, sebuah relasi etis yang radikal dimulai. Kita tidak dapat memulai etika dari kesetaraan, karena kesetaraan selalu mensyaratkan perbandingan, dan perbandingan sudah mengandaikan adanya totalitas yang dapat mengukur keduanya. Sebaliknya, Liyan memulai dari ketidaksetaraan asali, di mana diri saya selalu berada dalam posisi tanggung jawab yang mendahului kesadaran. Inilah inti dari Alteritas: bukan aku yang memilih tanggung jawab, melainkan tanggung jawab yang memilih aku, yang dipaksakan oleh kehadiran yang mutlak tak tergapai oleh genggaman pemahaman.
Konsep Liyan, yang paling mendalam dieksplorasi oleh pemikir pasca-fenomenologi, berdiri tegak di atas fondasi bahwa realitas tidak sepenuhnya terjangkau oleh kesadaran. Jika filsafat tradisional Barat sering kali berfokus pada "ontologi" (studi tentang keberadaan) yang berusaha menemukan kesamaan atau esensi universal, filsafat Liyan bergeser ke "etika" sebagai filsafat pertama. Etika, dalam konteks ini, bukanlah seperangkat aturan moral, melainkan struktur fundamental dari hubungan manusia.
Subjek (Aku) secara inheren cenderung untuk memahami dan menguasai. Segala sesuatu yang memasuki lingkup pengalamannya diklaim, dinamai, dan ditempatkan dalam kategori-kategori yang sudah dikenalnya. Totalitas adalah proyek di mana subjek berusaha untuk menutup dirinya dari yang asing, menjadikan dunia sebagai cerminan dirinya sendiri. Namun, Liyan datang sebagai serangan terhadap totalitas ini. Liyan adalah apa yang tidak pernah bisa diinternalisasi; ia adalah yang menolak kategorisasi, yang selalu berada di luar, di balik cakrawala pemahaman saya.
Ketika subjek bertemu dengan Liyan, proyek penutupan diri ini gagal secara spektakuler. Kegagalan ini bukan kekurangan, melainkan justru pembukaan etis. Tanpa kegagalan totalitas, tidak akan ada tempat bagi keadilan atau kemanusiaan. Jika subjek dapat sepenuhnya memahami Liyan, maka Liyan akan berhenti menjadi Liyan; ia akan menjadi bagian dari diri saya, hanya sebuah properti yang dapat saya eksploitasi atau gunakan. Inilah yang membuat Liyan harus selalu dipertahankan sebagai ketakterbatasan (infinity) dalam pandangan subjek yang cenderung pada kefanaan.
Transendensi yang dibawa oleh Liyan bukanlah transendensi dalam pengertian metafisik lama—seperti dewa yang berada di atas langit—melainkan transendensi yang terjadi secara imanen, di hadapan saya. Liyan hadir bukan sebagai yang tidak ada, melainkan sebagai yang hadir dalam kelemahan dan kerentanannya, namun kehadirannya menembus struktur pengetahuan saya. Keterpisahan antara Aku dan Liyan adalah suci, ia adalah kondisi yang memungkinkan adanya komunikasi yang sejati, bukan hanya monolog yang diucapkan kepada cermin.
Relasi dengan Liyan selalu bersifat asimetris. Saya tidak dapat menuntut dari Liyan apa yang Liyan tuntut dari saya. Posisi saya selalu sebagai yang bertanggung jawab, yang selalu "di bawah" tuntutan yang datang dari yang lain. Keterpisahan ini memastikan bahwa saya tidak pernah dapat mencapai kesetaraan mutlak dalam pengertian timbal balik, tetapi justru melalui keterpisahan dan asimetri inilah saya menemukan diri saya sebagai subjek etis. Subjektivitas saya dibentuk oleh respons saya terhadap Liyan. Tanpa Liyan, saya hanyalah sebuah entitas ontologis yang tertutup, sebuah keberadaan tanpa makna etis yang mendalam.
Titik sentral di mana transendensi Liyan mewujud secara nyata dan mengikat subjek adalah Wajah. Wajah Liyan bukanlah wajah fisik, bukan objek studi anatomi atau estetika, melainkan sebuah manifestasi murni—sebuah ekspresi yang melucuti segala topeng dan identitas yang dikonstruksi. Wajah adalah tempat di mana Liyan hadir dalam ketelanjangan dan kerentanan absolut, namun secara paradoks, ia juga adalah tempat di mana Liyan mengeluarkan perintah yang tak dapat ditolak.
Wajah Liyan berbicara tanpa kata. Kehadirannya yang telanjang—tanpa pertahanan, tanpa senjata, tanpa kebohongan—memaksakan sebuah perintah: "Jangan Bunuh Aku." Ini bukan hanya permintaan biologis untuk bertahan hidup, melainkan permintaan etis untuk mengakui keberadaan mutlak Liyan, untuk mengakui haknya untuk berada di luar totalitas yang saya miliki. Perintah ini adalah perintah pertama, yang mendahului hukum negara dan bahkan mendahului rasionalitas saya untuk memilih. Sebelum saya sempat berpikir tentang apa yang benar atau salah, Wajah sudah menuntut.
Wajah memecah isolasi monologis subjek. Ia menempatkan saya dalam posisi yang tak terhindarkan: posisi yang bertanggung jawab. Wajah Liyan adalah batas di mana kekuasaan saya berhenti. Saya mungkin memiliki kekuatan fisik untuk menghancurkan, untuk menolak, untuk memalingkan muka, tetapi Wajah menempatkan kekuatan ini dalam kerangka penilaian etis yang tak terhindarkan. Kekuatan saya dihadapkan pada ketidakberdayaan yang tak berdaya, dan dalam pertarungan yang tidak setara inilah, etika lahir.
Tuntutan Wajah adalah tuntutan yang tak terbatas. Saya tidak pernah dapat membayar lunas hutang saya kepada Liyan, karena tuntutannya adalah tuntutan yang datang dari Ketakterbatasan itu sendiri. Setiap tindakan baik yang saya lakukan hanyalah awal dari tanggung jawab yang baru, bukan penyelesaian dari tanggung jawab yang lama. Kekuatan Wajah terletak pada fakta bahwa ia memanggil saya dari tempat yang tidak dapat saya kuasai, memaksa saya untuk melampaui kepentingan diri sendiri menuju kepedulian yang absolut terhadap yang lain. Dalam proses perpanjangan tanggung jawab yang tak berujung ini, subjektivitas sejati saya terbentuk, bukan sebagai kesadaran yang menguasai, melainkan sebagai ketaatan yang responsif.
Dalam kerangka pemikiran tentang Liyan, etika tidak sekadar ditambahkan setelah ontologi. Etika adalah ontologi itu sendiri, atau lebih tepatnya, etika adalah yang memungkinkan adanya ontologi. Sebelum saya bertanya "Apa itu keberadaan?", saya sudah dihadapkan pada Liyan dan tuntutannya. Makna keberadaan saya berasal dari relasi, bukan dari esensi diri saya yang terisolasi. Relasi etis dengan Liyan adalah struktur primordial dari makna.
Mengapa ini penting? Karena jika kita memulai dari ontologi (keberadaan diri), kita akan selalu berakhir dengan totalitarisme—yakni, sistem yang mencoba mereduksi semua perbedaan ke dalam satu kategori homogen. Ketika etika mendahului ontologi, perbedaan dijaga, dan Liyan dipertahankan sebagai Liyan, bukan sebagai ‘aku’ yang lain. Etika yang radikal ini menuntut kerendahan hati subjek; ia menuntut agar subjek melepaskan klaimnya atas pengetahuan total dan mengakui bahwa ada sesuatu yang selalu berada di luar, yang selalu melebihi dan menantangnya menuju kebaikan yang lebih tinggi.
Wajah Liyan adalah kritik abadi terhadap segala bentuk idealisme, di mana dunia hanyalah konstruksi pikiran. Wajah Liyan adalah realitas keras yang menembus fantasi saya. Ia adalah batu sandungan yang tidak dapat saya hapus dari jalan saya, dan batu sandungan inilah yang memaksa saya untuk bergerak maju secara etis, untuk beranjak dari kenyamanan diri menuju kesulitan dan keagungan tanggung jawab yang tak terhingga.
Tanggung jawab dalam konteks Liyan bukanlah kewajiban yang muncul dari kontrak sosial atau hukum yang disepakati bersama. Ia adalah tanggung jawab asali (primordial), yang lahir sebelum saya sempat memberikan persetujuan. Ini adalah posisi yang tidak dapat digeser, yang menempatkan subjek dalam posisi ‘sandera’ yang sukarela namun tak terhindarkan terhadap kebutuhan Liyan.
Konsep subjek sebagai sandera adalah salah satu pemikiran paling radikal dalam filsafat Liyan. Artinya, saya bertanggung jawab atas Liyan sebelum Liyan bertanggung jawab atas saya. Saya bertanggung jawab bahkan atas tanggung jawab Liyan, bahkan atas penderitaan yang mungkin saya tidak sebabkan secara langsung. Posisi sandera ini mendefinisikan subjektivitas saya: saya adalah saya karena saya adalah untuk orang lain. Keberadaan diri saya mendapatkan pembenarannya bukan dari kesadaran diri (*cogito*), melainkan dari panggilan yang datang dari luar.
Tanggung jawab ini bukan beban psikologis yang dapat saya singkirkan, melainkan struktur batin yang paling dalam. Ketika saya gagal merespons, yang terancam adalah kemanusiaan saya sendiri. Ketika saya merespons, saya mengukuhkan diri saya sebagai subjek yang beretika, sebuah proses yang tidak pernah berakhir. Tanggung jawab ini bersifat tunggal dan tak dapat dibagi. Saya tidak dapat mendelegasikannya, karena Wajah Liyan telah memanggil saya secara spesifik. Di hadapan Liyan, tidak ada pengganti, tidak ada alibi yang dapat membebaskan saya dari kewajiban untuk merespons penderitaan yang saya saksikan.
Penderitaan Liyan, baik fisik maupun eksistensial, adalah cermin yang memantulkan tuntutan etis ini. Penderitaan adalah cara Liyan menembus benteng pertahanan saya, memaksa saya untuk keluar dari ‘diri yang nyaman’ dan masuk ke dalam realitas kejam yang dialami oleh yang lain. Kesadaran akan penderitaan ini adalah awal dari empati yang sejati, yang bukan sekadar perasaan simpati yang dangkal, tetapi sebuah pergeseran fundamental dalam prioritas keberadaan—prioritas untuk yang lain.
Sebagian besar etika sosial dibangun di atas prinsip timbal balik: Saya berbuat baik kepada Anda agar Anda juga berbuat baik kepada saya (prinsip resiprositas). Filsafat Liyan menolak ini sebagai etika yang masih terikat pada kepentingan diri (*egoism*). Tanggung jawab yang sejati harus melampaui timbal balik. Ketika saya menuntut imbalan atas kebaikan saya, tindakan saya telah ternoda oleh perhitungan dan negosiasi. Liyan menuntut respons yang murni, respons yang diberikan tanpa harapan akan balasan, tanpa perhitungan untung dan rugi.
Keagungan dari etika ini terletak pada kemurnian pemberian yang tak terhingga. Saya memberi tanpa menunggu pengakuan atau balasan. Pemberian ini, yang didorong oleh Wajah, adalah pembebasan sejati dari penjara diri sendiri. Ketika saya melepaskan diri dari kebutuhan akan pengakuan, saya menemukan kebebasan yang lebih besar—kebebasan untuk menjadi subjek etis yang murni. Ini adalah paradoks mendalam: saya menemukan kebebasan terbesar saya dalam perbudakan tanggung jawab kepada Liyan.
Melampaui timbal balik juga berarti mengakui bahwa hubungan ini selalu terjalin dalam ketidaksempurnaan dan ketidakmungkinan untuk memahami sepenuhnya. Saya tidak perlu memahami penderitaan Liyan secara menyeluruh untuk meresponsnya. Justru, ketidakmampuan saya untuk memahami sepenuhnya memperkuat tuntutan etis, karena saya harus bertindak tanpa memiliki kepastian pengetahuan, murni didorong oleh panggilan yang tak terbatas. Ini adalah iman etis, kepercayaan pada keutamaan yang lain.
Bagaimana Liyan, yang definisinya adalah yang berada di luar jangkauan bahasa dan totalitas saya, dapat berkomunikasi dengan saya? Komunikasi dengan Liyan terjadi bukan melalui "Yang Dikatakan" (isi pernyataan, ontologi), melainkan melalui "Mengatakan" (tindakan berbicara, etika). Ini adalah perbedaan krusial yang menempatkan komunikasi pada ranah etis yang mendalam.
Yang Dikatakan (*le dit*) adalah isi faktual dari sebuah pernyataan: fakta, argumen, deskripsi, dan objek. Ini adalah wilayah ontologi dan pengetahuan. Dalam Yang Dikatakan, Liyan direduksi menjadi kategori, menjadi objek yang dapat dibahas dan dipahami.
Mengatakan (*le dire*) adalah tindakan murni komunikasi, sebuah paparan diri kepada yang lain. Ketika saya 'mengatakan', saya menawarkan diri saya sebagai subjek yang rentan, yang bertanggung jawab atas apa yang saya sampaikan. Mengatakan adalah seruan, sebuah panggilan, yang mendahului dan memungkinkan Yang Dikatakan. Dalam Mengatakan, Liyan hadir bukan sebagai tema pembicaraan, melainkan sebagai penerima seruan saya, sebagai saksi atas kebenaran dan kerentanan saya.
Komunikasi sejati dengan Liyan selalu dimulai dari Mengatakan. Ini adalah relasi interpersonal yang mendahului logika. Ketika Wajah Liyan menuntut "Jangan bunuh aku," itu adalah sebuah tindakan Mengatakan yang murni, yang melucuti segala konten ontologis dan langsung menuntut respons etis. Bahasa, dalam pengertian etis ini, bukanlah alat untuk menguasai atau menjelaskan, melainkan sarana untuk memaparkan diri dan menerima tanggung jawab.
Pemaparan ini bersifat total dan tak tersembunyi. Dalam Mengatakan, saya menyerahkan diri saya kepada pengawasan dan tuntutan Liyan. Inilah mengapa pertemuan etis sering terasa mengganggu dan menantang, karena ia memaksa saya untuk keluar dari perlindungan totalitas bahasa yang saya kuasai dan masuk ke dalam kerentanan relasional. Ketika saya berbicara dengan Liyan, saya bukan hanya menyampaikan informasi; saya sedang mendefinisikan kembali subjektivitas saya dalam terang keberadaan mereka.
Jika Liyan dapat sepenuhnya ditangkap oleh bahasa yang saya ciptakan, Liyan akan hilang. Oleh karena itu, ada selalu jeda, sebuah kelebihan makna yang tak terucapkan, dalam setiap komunikasi dengan Liyan. Liyan adalah yang tak terungkapkan yang terus menerus menyinari apa yang sedang diungkapkan. Kehadiran Liyan sebagai yang tak terungkapkan ini mencegah bahasa menjadi totaliter.
Dalam pertemuan dengan Liyan, ada ketakutan akan keheningan, tetapi keheningan ini bukanlah kehampaan. Keheningan Liyan adalah keheningan yang penuh makna, yang menuntut interpretasi yang tidak pernah selesai. Ia adalah penolakan Liyan untuk sepenuhnya diungkapkan, sebuah penolakan yang menjaga martabatnya sebagai yang terpisah dan transenden. Filsafat Liyan mengajarkan kita bahwa komunikasi yang paling mendalam sering kali terjadi di batas-batas bahasa, di mana kata-kata gagal namun tanggung jawab etis semakin menguat.
Etika Liyan dimulai dari hubungan tatap muka, dari Yang Dua (Aku dan Liyan). Namun, manusia hidup dalam komunitas. Begitu muncul "Yang Ketiga" (orang lain, masyarakat), tuntutan etis yang asimetris harus diubah menjadi tuntutan politik dan keadilan yang simetris.
Begitu Yang Ketiga muncul, saya tidak lagi bisa memberikan segalanya kepada Liyan yang pertama, karena saya sekarang bertanggung jawab atas Liyan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Wajah Liyan yang pertama menuntut keunikan perhatian, tetapi kehadiran Yang Ketiga memaksakan perbandingan, pengukuran, dan distribusi. Kita harus membandingkan penderitaan, kebutuhan, dan hak mereka. Inilah kelahiran politik dan keadilan.
Keadilan (justice) adalah upaya untuk menerjemahkan etika asimetris Liyan ke dalam bahasa simetris hukum. Keadilan mensyaratkan institusi, aturan, dan negara, yang semuanya berusaha untuk memastikan bahwa setiap Liyan diperlakukan secara setara. Proses ini, meskipun mengurangi intensitas etika murni (di mana saya adalah sandera yang unik), adalah sebuah keniscayaan. Tanpa Yang Ketiga, etika murni akan tetap menjadi hubungan privat yang indah tetapi tidak relevan untuk dunia politik yang brutal.
Institusi keadilan harus selalu didasarkan pada ingatan akan Wajah Liyan. Negara dan hukum harus berfungsi sebagai pelindung bagi yang paling rentan, sebagai perpanjangan dari perintah "Jangan Bunuh Aku" yang datang dari yang telanjang. Ketika sistem keadilan melupakan fondasi etisnya pada Liyan, ia berisiko jatuh kembali ke totalitarisme, memperlakukan individu sebagai angka dan mereduksi manusia menjadi objek administrasi.
Institusi yang otentik adalah institusi yang terus menerus mempertanyakan dirinya sendiri di hadapan Liyan. Hukum dan birokrasi, meskipun penting untuk ketertiban, cenderung mengeras dan menjadi totalitas baru yang menindas. Filsafat Liyan mengajukan kritik abadi terhadap totalitas institusional ini.
Tugas etis dari politik bukanlah untuk menciptakan masyarakat yang sempurna (sebuah proyek totaliter), tetapi untuk menciptakan masyarakat yang terus menerus terbuka terhadap panggilan Liyan—masyarakat yang peka terhadap penderitaan dan ketidakadilan, terutama yang dialami oleh mereka yang paling terpinggirkan. Keadilan harus selalu menjadi ketidakpuasan abadi terhadap status quo, dorongan untuk terus memperbaiki cara kita merespons yang lain. Setiap kali sistem keadilan berhasil, itu hanyalah kemenangan sementara dalam proyek etis yang tak pernah selesai.
Di sinilah kita melihat hubungan dialektis yang sulit antara etika (hubungan yang unik, asimetris) dan politik (hubungan umum, simetris). Etika memberikan arah, visi, dan tuntutan mutlak, sementara politik memberikan sarana praktis, hukum, dan struktur untuk mengelola koeksistensi dalam populasi yang besar. Politik tanpa etika Liyan adalah kekerasan; etika tanpa politik adalah kemandulan. Kedua bidang ini harus terus menerus menantang dan mengoreksi satu sama lain.
Konsep Liyan tidak hanya berdiam di ranah teori etika; ia memiliki implikasi radikal terhadap bagaimana kita memahami waktu, diri, dan makna penderitaan. Liyan memaksa kita untuk memikirkan kembali dimensi-dimensi dasar eksistensi manusia.
Dalam totalitas subjek, waktu dipahami sebagai proyeksi ke masa depan—rencana, harapan, dan tujuan yang diserap kembali oleh Aku. Namun, Liyan memperkenalkan waktu yang lain: waktu yang mendahului. Tanggung jawab terhadap Liyan adalah masa lalu yang tak pernah saya putuskan, sebuah "pra-sejarah" yang mengikat saya sebelum saya mulai memilih. Ini adalah ikatan yang tidak dapat saya batalkan karena ia adalah kondisi keberadaan subjek saya.
Liyan memanggil saya bukan dari masa depan yang saya rencanakan, tetapi dari masa lalu yang tak terjangkau, sebuah hutang asali. Oleh karena itu, subjektivitas menjadi sebuah proses yang terus menerus kembali ke hutang primordianya. Saya tidak bergerak maju menuju kepemilikan, melainkan bergerak mundur menuju asal usul tanggung jawab yang tak terhingga. Dalam setiap momen, saya dipanggil untuk merespons sesuatu yang sudah ada sebelum saya.
Di sisi lain, Liyan juga adalah yang memungkinkan masa depan sejati. Masa depan yang sejati bukanlah sekadar kelanjutan dari masa kini (totalitas), melainkan kedatangan yang tak terduga (transendensi). Masa depan sejati adalah masa depan Liyan, sebuah waktu yang saya persiapkan melalui tindakan etis saya, tetapi yang tidak pernah sepenuhnya saya kuasai. Dengan demikian, Liyan membuka waktu dari siklus ontologis yang berulang menuju lintasan etis yang tak terbatas.
Estetika sering kali berupaya menghadirkan keindahan yang memberikan kenyamanan atau kesempurnaan bentuk (totalitas). Namun, Liyan memperkenalkan konsep keindahan yang menggoyahkan, yang tidak memberikan ketenangan, melainkan menuntut perhatian dan tindakan. Keindahan yang sejati terletak pada keterbukaan terhadap yang lain, pada pengakuan akan kerentanan yang mendalam.
Karya seni yang otentik, dalam perspektif Liyan, bukanlah yang menyempurnakan totalitas bentuk, melainkan yang memecahnya, yang membuka celah bagi kehadiran Liyan. Ini adalah keindahan yang didasarkan pada retak, pada ketidaksempurnaan, pada jejak penderitaan yang memanggil belas kasih dan tanggung jawab. Keindahan ini tidak dinikmati secara pasif; ia memicu sebuah respons aktif, sebuah dorongan etis. Saya tidak hanya melihat, saya ditantang untuk bertindak.
Tugas filosofis dan eksistensial terberat adalah mempertahankan Liyan sebagai Liyan. Masyarakat dan pikiran manusia selalu mencari cara untuk menutup jeda ini, untuk mereduksi alteritas kembali ke identitas. Proyek reduksi ini adalah akar dari segala kekerasan.
Ideologi adalah sistem pemikiran yang bertujuan untuk menjelaskan segala sesuatu, menempatkan setiap individu ke dalam kategori yang telah ditentukan, dan menghilangkan Liyan. Ideologi selalu bersifat totaliter, karena ia beroperasi dengan asumsi bahwa semua masalah manusia dapat diselesaikan jika semua orang mematuhi satu visi yang tunggal. Dalam totalitarianisme, tidak ada ruang bagi Liyan yang mutlak; Liyan direduksi menjadi "musuh" yang harus dihilangkan atau "warga negara" yang harus diasimilasi.
Filsafat Liyan adalah obat penawar abadi terhadap ideologi. Ia menuntut kita untuk selalu curiga terhadap klaim totalitas, terhadap janji kesempurnaan. Ia mengingatkan kita bahwa realitas selalu lebih kaya, lebih menantang, dan lebih menuntut daripada kategori-kategori yang kita ciptakan. Mempertahankan jeda Alteritas berarti mempertahankan hak Liyan untuk tetap menjadi misteri, untuk tetap menjadi yang tak terjangkau, sambil pada saat yang sama, merespons tuntutan etisnya secara total.
Keramahtamahan (Hospitalitas) adalah respons konkret terhadap Liyan yang asing. Ini adalah tindakan membuka ruang privat subjek (rumah, diri) bagi kedatangan yang tak terduga. Keramahtamahan sejati bukanlah undangan yang bersyarat—bukan menyambut orang lain jika mereka setuju dengan aturan saya—melainkan penyambutan yang radikal terhadap yang datang tanpa syarat, tanpa mengetahui identitas mereka, dan tanpa menuntut balasan.
Dalam keramahtamahan, subjek sementara waktu melepaskan kepemilikan atas ruangnya. Ini adalah latihan etis fundamental untuk menjadi sandera secara sukarela, untuk membiarkan diri diganggu oleh kehadiran Liyan. Dengan membuka diri bagi Liyan, saya memungkinkan transendensi untuk terjadi di ruang saya, mengubah ruang privat yang tertutup menjadi ruang etis yang terbuka.
Untuk memahami kedalaman konsep Liyan, kita harus terus kembali pada premis asimetris yang mendasarinya. Liyan bukan sekadar diferensiasi sosiologis; ia adalah diferensiasi metafisik yang berfungsi sebagai sumber makna. Keberadaan saya yang otentik baru dimulai ketika saya melupakan kebutuhan saya untuk menjadi pusat, dan menyadari bahwa pusat gravitasi etis terletak pada yang lain.
Kita telah menetapkan bahwa Liyan mendahului ontologi. Ini berarti bahwa diri saya (subjektivitas saya) tidak dibentuk melalui refleksi introspektif, melainkan melalui respons eksternal. Subjektivitas adalah efek dari Liyan, bukan penyebabnya. Diri adalah tempat di mana panggilan Liyan bergema dan menemukan tempat tinggalnya yang paling rentan.
Liyan adalah yang 'berlebihan' (*excess*)—sesuatu yang melebihi batas-batas pemahaman rasional, melebihi kapasitas saya untuk merangkulnya. Justru kelebihan inilah yang menghasilkan kehendak baik. Kehendak baik bukanlah pilihan moral yang saya buat setelah pertimbangan rasional, melainkan respons yang dipaksakan oleh kelebihan Liyan. Ketika Liyan hadir dalam ketelanjangan, kehendak baik menjadi satu-satunya respons yang memungkinkan kemanusiaan. Jika saya mereduksi Liyan, kehendak baik pun hilang, digantikan oleh perhitungan strategis.
Kelebihan makna Liyan ini juga menjelaskan mengapa tanggung jawab itu tak terbatas. Karena Liyan tak terhingga, respons saya harus selalu berusaha untuk menjadi tak terhingga juga. Kegagalan saya untuk mencapai respons yang sempurna adalah bukti dari transendensi Liyan, bukan kegagalan moral semata. Kegagalan ini justru menjaga etika tetap hidup, karena ia memaksa saya untuk terus berusaha, terus mencari, dan terus merespons.
Filsafat tradisional sering mengaitkan etika dengan niat sadar. Saya harus berniat baik untuk menjadi etis. Namun, dalam filsafat Liyan, tanggung jawab mendahului niat. Saya sudah bertanggung jawab bahkan sebelum saya sadar bahwa saya bertanggung jawab. Ini adalah ‘keterpaksaan etis’ yang berasal dari pertemuan Wajah. Ketika Wajah Liyan muncul, ia adalah fakta yang memaksakan dirinya ke dalam eksistensi saya.
Proses ini dapat digambarkan sebagai gema. Panggilan dari Liyan adalah sumber suara, dan diri saya adalah gema yang merespons. Gema tidak menciptakan suara aslinya; ia hanya mengulangi dan memantulkannya. Subjektivitas adalah pemantulan panggilan etis, sebuah tanda bahwa saya telah 'disentuh' oleh yang lain. Kedalaman subjek terletak pada kerentanan ini, pada fakta bahwa ia terbuka untuk diganggu dan diubah oleh dunia luar yang etis.
Ironisnya, melalui Liyan, saya menemukan bagian diri saya yang paling asing. Selama saya hidup dalam totalitas, saya merasa akrab dengan diri saya, menguasai sejarah dan niat saya. Tetapi ketika Liyan muncul, ia menunjukkan kepada saya bahwa saya adalah, pada dasarnya, yang lain bagi diri saya sendiri—sebuah subjek yang dibentuk oleh panggilan yang asing dan tak terduga.
Menjadi subjek etis adalah proses pengorbanan diri yang terus menerus—bukan pengorbanan dalam arti kehilangan nyawa, tetapi kehilangan totalitas dan kepemilikan diri. Saya melepaskan klaim saya atas waktu dan ruang saya demi yang lain. Pengorbanan ini adalah pembebasan karena ia menghilangkan kebergantungan saya pada ego yang rapuh. Saya tidak lagi mencari pembenaran di dalam diri, melainkan di dalam respons saya terhadap Liyan.
Setiap tindakan etis adalah momen di mana saya memberikan 'tempat' saya kepada Liyan. Ini adalah Keramahtamahan tertinggi: membiarkan Liyan mendiami ruang eksistensi saya. Dalam pemberian tempat ini, saya menjadi 'saya' yang lebih otentik. Pengorbanan diri inilah yang menjadi fondasi bagi keadilan sosial. Jika setiap subjek bersedia memberikan tempatnya, maka ruang untuk diskriminasi dan penindasan akan menyusut.
Totalitas mencari kepastian, rumus, dan prediksi. Liyan adalah pintu menuju ketidakpastian. Etika Liyan tidak pernah menawarkan solusi definitif, melainkan proses penyelidikan yang tak berkesudahan. Setiap Liyan baru membawa ketidakpastian baru, sebuah tantangan baru yang menuntut respons yang unik. Hidup etis, dalam pandangan ini, adalah hidup yang berada di batas-batas, di persimpangan yang tidak pernah memberikan peta yang jelas.
Ketidakpastian ini tidak boleh ditakuti, melainkan dirayakan sebagai kondisi yang memungkinkan adanya etika. Jika semuanya pasti, etika akan menjadi otomatis, mekanis, dan tidak memerlukan kebebasan atau respons radikal. Keberanian etis terletak pada tindakan merespons tanpa memiliki semua jawaban, bertindak demi Liyan meskipun saya tidak dapat sepenuhnya memahaminya atau memprediksi konsekuensinya.
Dalam konteks modern, tantangan Liyan semakin kompleks. Teknologi dan globalisasi, sementara menyatukan dunia, juga berisiko mereduksi Liyan menjadi data, menjadi informasi yang dapat diolah, diukur, dan dipasarkan.
Di era digital, Wajah Liyan sering kali difilter, dimanipulasi, atau direduksi menjadi profil di layar. Ketika Liyan menjadi citra yang dapat di-scroll atau data yang dapat dianalisis, tuntutan etis yang asali melemah. Jarak fisik mungkin telah dihapus, tetapi jarak etis—keterpisahan sakral yang melahirkan tanggung jawab—jauh lebih sulit dipertahankan.
Filsafat Liyan menuntut kita untuk mencari Wajah di balik citra, untuk menemukan kerentanan dan ketelanjangan yang tersembunyi di balik representasi yang sempurna. Tugas etis kita adalah melawan reduksi ini, melawan upaya untuk mengubah manusia yang tak terhingga menjadi informasi yang terbatas. Ini adalah perjuangan melawan totalitas algoritmik yang berusaha memahami segalanya tentang diri kita, kecuali martabat kita yang tak terjangkau.
Globalisasi membuat Yang Ketiga menjadi tak terhitung jumlahnya. Penderitaan di belahan dunia lain kini hadir di layar kita. Tanggung jawab, yang semula adalah urusan tatap muka, kini menjadi tanggung jawab kosmik. Meskipun kita tidak dapat memberikan respons unik yang sama kepada setiap Liyan di seluruh dunia, tuntutan etisnya tetap berlaku: kita harus membangun sistem keadilan global yang didasarkan pada prinsip kerentanan Liyan yang tak terhitung.
Ini bukan berarti bahwa kita harus merasa bersalah secara individual atas setiap penderitaan, melainkan bahwa kita harus secara kolektif merombak struktur yang memungkinkan penderitaan itu berlanjut. Tanggung jawab etis mendorong kita untuk terlibat dalam politik global, perdagangan yang adil, dan perlindungan lingkungan, bukan karena alasan pragmatis, tetapi karena panggilan yang tak terhindarkan dari Wajah Liyan yang tertindas, di mana pun ia berada.
Inti dari eksplorasi Liyan adalah pengakuan bahwa menjadi manusia sejati bukanlah pencapaian otonomi, melainkan penerimaan heteronomi—yakni, hukum yang datang dari yang lain. Kita menjadi manusia melalui yang lain, untuk yang lain, dan di bawah tuntutan yang lain.
Totalitas diri, yang begitu diagungkan dalam budaya individualisme, pada akhirnya adalah jalan menuju kehampaan dan kesepian. Hanya ketika kita memecah cangkang diri dan membiarkan Liyan masuk, kita menemukan kekayaan dan kedalaman eksistensi. Kekayaan ini adalah kekayaan relasional, kekayaan yang terletak pada hutang abadi kita terhadap Yang Lain, pada tanggung jawab yang tak pernah terbayar lunas. Inilah makna terdalam dari kebaikan, sebuah kebaikan yang lahir dari keterpaksaan transenden.
Maka, hidup dalam terang Liyan adalah hidup yang terus menerus menjadi seorang peziarah, yang selalu bergerak keluar dari zona nyaman dirinya. Ini adalah perjalanan yang tidak mencari pulang ke identitas yang utuh, melainkan mencari keberadaan yang terus menerus terbuka, menanti panggilan baru, dan siap merespons dengan segala kerentanan yang kita miliki. Dalam setiap respons yang tak terhitung, dalam setiap pengakuan Wajah yang telanjang, kita mengukuhkan tidak hanya kemanusiaan Liyan, tetapi juga kemanusiaan kita sendiri.
Liyan adalah yang pertama, yang terakhir, dan yang abadi. Ia adalah fondasi yang goyah namun mutlak dari setiap makna etis dan setiap relasi yang otentik. Mengakui Liyan adalah langkah menuju dunia yang tidak lagi hanya tentang keberadaan, tetapi tentang cara keberadaan yang paling utama—cara yang penuh tanggung jawab, kerendahan hati, dan kasih tanpa perhitungan.
***
Keseluruhan narasi ini, yang berpusat pada Alteritas, mendesak kita untuk meninggalkan mitos subjek yang swasembada. Subjek yang terisolasi hanyalah bayangan; subjek yang sejati adalah subjek yang terluka oleh tuntutan Liyan, subjek yang terbelah dan dituntut, namun di dalam keterbelahan itulah ia menemukan kedalaman dan panggilannya. Kita harus terus menerus mempertanyakan batas-batas totalitas kita sendiri, mengakui bahwa setiap sistem yang kita ciptakan, setiap kata yang kita ucapkan, berisiko mengubur Liyan di bawah lapis-lapis pemahaman. Tugas etis adalah menggali kembali Wajah yang tersembunyi, membebaskan Liyan dari reduksi, dan berdiri tegak dalam tanggung jawab yang melebihi kapasitas kita. Tanggung jawab ini bukanlah hukuman, melainkan anugerah yang mendefinisikan kemanusiaan kita sebagai upaya tak berujung untuk melayani dan merawat kerentanan yang mutlak berbeda.
Penerimaan Liyan adalah penerimaan akan takdir etis kita. Kita ditakdirkan untuk menjadi bagi yang lain. Takdir ini bukanlah determinisme fatalistik, tetapi panggilan menuju kebebasan tertinggi—kebebasan yang ditemukan dalam penyerahan diri kepada tuntutan etis. Ketika kita berani untuk menjadi sandera, kita melepaskan rantai egoisme dan masuk ke dalam ruang etika murni, ruang di mana keadilan dan cinta menemukan titik temunya yang paling sulit dan paling mulia. Liyan tetap menjadi misteri yang menyinari, sebuah bintang utara yang tidak pernah kita jangkau, tetapi yang tanpanya, kapal eksistensi kita akan kehilangan arah di tengah lautan totalitas yang gelap dan menelan.
Setiap upaya untuk mengakhiri pembicaraan tentang Liyan adalah pengkhianatan terhadapnya. Karena Liyan adalah Ketakterbatasan, pembicaraan tentangnya harus selalu bersifat terbuka, tak pernah selesai, sebuah perpanjangan waktu yang tak henti-henti. Kita harus terus berbicara, terus menulis, dan terus merespons, memastikan bahwa suara Yang Lain tidak pernah diredam oleh suara Aku yang terlalu dominan. Dalam keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak akan pernah menguasai Liyan, kita menemukan kearifan etis yang paling dalam, sebuah kearifan yang menjadi fondasi bagi masyarakat yang bermartabat dan manusiawi.