Di antara semua nama yang bersinar—dan berdarah—dalam narasi epik Tiga Kerajaan Tiongkok, tidak ada satu pun yang menarik perhatian, kekaguman, dan kontroversi sebanyak Lu Bu. Dikenal dalam catatan sejarah dan legenda sebagai seorang prajurit yang tidak tertandingi, kemampuannya dalam seni perang dan pertarungan individu sungguh legendaris. Namun, di balik kehebatan fisik dan ketangkasan militer yang tak terlukiskan, terdapat bayangan pengkhianatan, ambisi yang dangkal, dan kegagalan strategis yang pada akhirnya menyegel takdirnya. Eksplorasi mendalam mengenai Lu Bu, atau Lü Bu Fengxian, adalah perjalanan kompleks antara keajaiban fisik dan kelemahan karakter manusia yang paling mendasar.
Kisah Lu Bu bukan hanya sekadar catatan kaki dalam perebutan kekuasaan antara Cao Cao, Liu Bei, dan Sun Quan; ia adalah inti dari pergolakan, simbol kekuatan liar yang tidak dapat dijinakkan oleh moralitas atau kesetiaan. Kehadirannya di medan perang mengubah dinamika, dan ketidakpastian karakternya membuat sekutunya selalu berada dalam kondisi waspada. Melalui berabad-abad, citranya telah diukir dalam sejarah, fiksi, dan budaya populer, selalu membawa serta aura kekuatan yang tak terbayangkan.
Lu Bu, atau nama lengkapnya Lu Bu Fengxian (Lü Bu Fèngxiān), berasal dari Wuyuan, Jiuyuan. Keberadaannya dikonfirmasi dalam catatan sejarah resmi, khususnya Sanguozhi (Catatan Tiga Kerajaan) yang dikompilasi oleh Chen Shou. Catatan-catatan ini menyajikan potret yang jauh lebih kelam dan pragmatis dibandingkan dengan mitos yang disebarkan oleh novel roman. Secara historis, Lu Bu memang diakui memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, seorang pemanah ulung, dan ahli menunggang kuda. Kemampuannya dalam duel satu lawan satu tidak pernah diragukan, bahkan oleh musuh-musuhnya yang paling sengit.
Namun, Catatan Tiga Kerajaan menyoroti kelemahan krusial dalam kepribadiannya: ketidakstabilan emosi dan kurangnya perencanaan strategis yang mendalam. Dia mudah dipengaruhi, cepat marah, dan kesetiaannya seringkali dapat dibeli. Kelemahan fatal inilah yang membentuk pola hidupnya yang diwarnai oleh pengkhianatan dan perpindahan aliansi yang konstan. Sejarawan Chen Shou dengan gamblang mencatat bahwa Lu Bu adalah seorang prajurit luar biasa tetapi memiliki karakter seperti anak kecil; ia tidak mampu melihat gambaran besar dan terlalu bergantung pada kekuatan fisiknya.
Karier Lu Bu dimulai di bawah Ding Yuan, seorang Inspektur Provinsi Bing. Ding Yuan memperlakukan Lu Bu dengan sangat baik, bahkan menganggapnya sebagai anak angkat. Di masa awal ini, Lu Bu sudah menunjukkan janji besar sebagai seorang jenderal garis depan, melindungi dan memimpin pasukan Ding Yuan dengan keberanian yang nyaris gila. Namun, takdirnya berubah drastis ketika kekuatan besar dan gelap memasuki panggung sejarah kekaisaran: Dong Zhuo.
Ketika Dong Zhuo, seorang panglima perang tiran dari Liang, mendominasi ibu kota Luoyang, ia menyadari bahwa untuk mengamankan kekuasaannya, ia harus menyingkirkan lawan-lawan tangguh, termasuk Ding Yuan. Dong Zhuo, yang dikenal karena kekejaman tetapi juga keahliannya dalam manipulasi, melihat Lu Bu sebagai kunci kelemahan Ding Yuan. Melalui utusan, Dong Zhuo menawarkan kekayaan, kuda legendaris Chitu (Kuda Merah), dan posisi yang lebih tinggi kepada Lu Bu. Imbalan ini jauh melampaui apa pun yang bisa ditawarkan Ding Yuan.
Digerakkan oleh ambisi dan ketamakan, Lu Bu merespons tawaran tersebut dengan mengkhianati dan membunuh ayah angkatnya sendiri, Ding Yuan. Tindakan brutal ini, yang dilakukan demi kekuasaan dan harta benda, adalah cetak biru untuk sisa hidup Lu Bu. Pembunuhan Ding Yuan tidak hanya menandai titik balik moral bagi Lu Bu, tetapi juga mengangkatnya secara instan ke dalam lingkaran dalam kekuasaan tiran Dong Zhuo. Ini adalah kali pertama dunia menyaksikan bahwa kekuatan Lu Bu tidak disertai dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Setelah pengkhianatan Ding Yuan, Lu Bu menjadi pengawal pribadi dan anak angkat kesayangan Dong Zhuo. Hubungan ini memberikan Lu Bu kekuasaan dan pengaruh yang tak terbayangkan. Ia diperlakukan seperti pangeran, diberikan jubah sutra terbaik, makanan lezat, dan diizinkan untuk menguasai harta rampasan perang. Dong Zhuo sangat mengandalkan kekuatan fisik Lu Bu untuk mengintimidasi para pejabat istana yang berani menentangnya. Dalam banyak kesempatan, ketika Dong Zhuo merasa terancam, ia hanya perlu memanggil Lu Bu untuk memamerkan kehadiran militer yang kejam.
Meskipun menikmati kekayaan dan kekuasaan, hubungan antara Lu Bu dan Dong Zhuo dipenuhi dengan ketegangan. Dong Zhuo memiliki temperamen yang tidak stabil dan sering kali melemparkan Halberd ke arah Lu Bu dalam kemarahan, hanya untuk menyesalinya kemudian. Meskipun demikian, Lu Bu selalu mematuhi dan melindungi Dong Zhuo. Ikatan ini, meskipun beracun, bertahan untuk sementara waktu, menunjukkan bahwa Lu Bu, meskipun mudah terpengaruh oleh hadiah, juga memiliki rasa takut terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya—dalam hal ini, adalah otoritas Dong Zhuo.
Posisi Lu Bu sebagai penjaga Dong Zhuo memberinya banyak kesempatan untuk bertarung dan menunjukkan keahliannya. Ia menjadi wajah teror Dong Zhuo di Luoyang. Namun, statusnya sebagai anak angkat tiran juga menjadikannya target utama bagi koalisi panglima perang yang berjuang untuk membebaskan kekaisaran Han dari cengkeraman Dong Zhuo. Setiap panglima perang mengetahui bahwa selama Lu Bu berdiri di sisi Dong Zhuo, mengalahkan tiran itu akan menjadi tugas yang hampir mustahil di medan terbuka.
Jika catatan sejarah memberikan gambaran yang tegas dan kadang-kadang kejam, maka novel Romansa Tiga Kerajaan (Sanguo Yanyi) oleh Luo Guanzhong mengangkat Lu Bu dari seorang prajurit tangguh menjadi sosok superhuman yang abadi dalam mitologi Tiongkok. Dalam fiksi, pengkhianatan dan kehebatan Lu Bu ditingkatkan ke tingkat dramatis, membentuk citra yang dikenal luas oleh publik modern.
Momen paling ikonik Lu Bu dalam Romansa Tiga Kerajaan terjadi di Gerbang Hulao. Ketika koalisi panglima perang yang dipimpin oleh Yuan Shao berkumpul untuk menggulingkan Dong Zhuo, Lu Bu berdiri sendirian di gerbang, menantang dan mengalahkan satu demi satu jenderal terhebat dari koalisi. Dalam kisah ini, ia digambarkan sebagai badai yang tak terhentikan.
Klimaks dari adegan ini adalah pertarungan tiga lawan satu: Lu Bu melawan tiga saudara angkat legendaris—Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei. Sementara Lu Bu tidak kalah dalam pertarungan tersebut, fakta bahwa dibutuhkan tiga pahlawan legendaris untuk mengimbangi kekuatannya menjadi bukti abadi akan keunggulannya. Adegan ini memastikan statusnya sebagai "Jenderal Terkuat di Bawah Langit" (Wushuang Zhanjiang). Meskipun pertarungan ini sebagian besar fiksi, dampaknya terhadap narasi Tiga Kerajaan tak terbantahkan. Kekuatan Lu Bu tidak pernah bisa disangkal; ia adalah standar yang dengannya semua jenderal lainnya diukur.
Dalam sejarah, pembunuhan Dong Zhuo murni didorong oleh plot politik yang dipimpin oleh Wang Yun dan didorong oleh rasa takut Lu Bu akan keselamatan pribadinya (setelah Dong Zhuo melemparkan Halberd padanya dan Lu Bu terlibat dalam hubungan terlarang dengan salah satu pelayan Dong Zhuo). Namun, Romansa Tiga Kerajaan menyulam kisah ini dengan elemen romansa tragis: Diaochan.
Diaochan digambarkan sebagai salah satu dari Empat Wanita Cantik Agung Tiongkok kuno. Wang Yun, seorang pejabat istana yang setia kepada Han, menggunakan Diaochan dalam 'skema rantai kecantikan' untuk menanamkan benih perselisihan antara Dong Zhuo dan Lu Bu. Diaochan dijanjikan kepada Lu Bu tetapi kemudian dipersembahkan kepada Dong Zhuo. Melihat kekasihnya direbut oleh ayah angkatnya, cemburu dan marah Lu Bu mencapai puncaknya. Didorong oleh Diaochan dan didesak oleh Wang Yun, Lu Bu akhirnya menusuk Dong Zhuo, mengakhiri kekuasaannya yang mengerikan dan mengamankan kebebasan bagi ibu kota.
Pengkhianatan kedua ini, meskipun dibenarkan dalam konteks menyelamatkan kekaisaran dari tiran, memperkuat citra Lu Bu sebagai seseorang yang mudah dipengaruhi oleh hasrat pribadi—baik itu kekayaan, kuda, atau seorang wanita. Dia adalah jenderal yang dapat dibeli dan dijual, bukan oleh koin emas, melainkan oleh godaan ambisi dan emosi yang mendominasi.
***
Setelah membunuh Dong Zhuo, Lu Bu sempat menguasai ibu kota, tetapi ketidakmampuan politiknya kembali terlihat. Ia gagal mengamankan aliansi yang kuat dan tidak dapat mengelola pasukan yang loyal. Mantan pengikut Dong Zhuo, yang dipimpin oleh Li Jue dan Guo Si, segera bangkit untuk membalas dendam. Lu Bu terpaksa melarikan diri, memulai periode pengembaraannya yang panjang dan kacau, mencari perlindungan dan sekutu baru di antara panglima perang yang semakin kuat.
Periode pengembaraan ini adalah fase paling penting dalam pembentukan citra Lu Bu sebagai jenderal yang kuat tetapi tidak dapat dipercaya. Ia sempat bersekutu dengan panglima perang utara, Yuan Shao, dan berhasil melayaninya dalam beberapa kampanye militer. Namun, sifatnya yang arogan dan ketidakmampuannya untuk tunduk pada otoritas membuat Yuan Shao akhirnya mencoba membunuhnya. Lu Bu lolos dan terus mencari tempat berlindung, akhirnya berpapasan dengan salah satu panglima perang yang paling berbahaya dan cerdas, Cao Cao.
Di wilayah Yan, Lu Bu mengambil keuntungan dari ketidakhadiran Cao Cao (yang sedang menyerang Provinsi Xu) untuk merebut beberapa kota penting. Periode ini, yang dikenal sebagai Kampanye Yan, adalah puncak strategis singkat bagi Lu Bu. Dia menunjukkan bahwa dia mampu mengorganisir serangan dan mempertahankan posisi. Namun, ketika Cao Cao kembali, keunggulan strategis Lu Bu runtuh. Keunggulan Lu Bu di medan perang selalu kalah oleh keunggulan logistik dan kecerdasan taktis musuh-musuhnya. Pasukan Cao Cao, yang jauh lebih disiplin dan dipimpin oleh komandan yang cerdik, berhasil memukul mundur Lu Bu. Setelah serangkaian kekalahan, Lu Bu terpaksa melarikan diri ke timur, ke Provinsi Xu, di mana ia bertemu dengan panglima perang yang paling bermoral (atau paling licik), Liu Bei.
Liu Bei, meskipun pada saat itu belum sekuat Cao Cao atau Yuan Shao, adalah sosok yang dihormati karena dianggap sebagai keturunan kekaisaran Han dan memiliki moralitas yang tinggi. Liu Bei menerima Lu Bu dengan kehangatan dan rasa hormat, bahkan memberinya tempat tinggal di kota kecil dekat Xiapi. Namun, sifat alami Lu Bu kembali muncul. Meskipun diberikan perlindungan, Lu Bu melihat kesempatan untuk merebut Provinsi Xu dari Liu Bei. Dalam tindakan yang menjadi salah satu pengkhianatan paling menyakitkan dan merusak dalam kariernya, Lu Bu merebut kota utama Liu Bei, Xiapi, saat Liu Bei sedang berperang melawan musuh lain.
Tindakan ini menunjukkan sisi pragmatis dan tak kenal ampun dari Lu Bu. Dia tidak memiliki rasa hutang budi atau kesetiaan yang mengikatnya pada kebaikan yang ditunjukkan. Baginya, setiap keuntungan taktis atau wilayah harus direbut jika ada peluang. Liu Bei, dipaksa menjadi pengungsi di wilayah yang sekarang dikuasai Lu Bu, akhirnya harus mencari perlindungan di bawah kekuasaan Cao Cao, sebuah aliansi yang pada akhirnya akan menjadi malapetaka bagi Lu Bu.
***
Karier Lu Bu adalah serangkaian kilasan kehebatan militer yang diselingi oleh bencana strategis. Setelah merebut Xiapi, ia mencoba membentuk basis kekuasaan yang stabil di wilayah tersebut, tetapi ia dihadapkan pada dua masalah besar: yang pertama adalah kurangnya dukungan internal dari para cendekiawan dan birokrat, dan yang kedua adalah ancaman gabungan dari Cao Cao dan Liu Bei. Bahkan ketika ia memiliki penasihat yang cerdik seperti Chen Gong, Lu Bu sering kali mengabaikan nasihat mereka demi keputusannya yang didorong oleh emosi atau ambisi jangka pendek. Chen Gong, seorang ahli strategi yang bergabung dengan Lu Bu setelah meninggalkan Cao Cao, berulang kali memperingatkan Lu Bu tentang bahaya sifatnya yang tidak disiplin, tetapi peringatan itu jatuh di telinga yang tuli. Ini menggarisbawahi paradoks Lu Bu: ia memiliki kekuatan untuk menjadi penguasa, tetapi tidak memiliki kebijaksanaan untuk menguasai dirinya sendiri.
Kekuatan Lu Bu tidak terpisahkan dari dua atribut legendarianya: Halberd Sky Piercer dan kuda Red Hare.
Senjata khas Lu Bu adalah Fangtian Huaji, atau Halberd Sky Piercer. Ini adalah jenis tombak ganda (halberd) yang memiliki bilah berbentuk bulan sabit di satu sisi mata tombak. Senjata ini sangat sulit digunakan dan memerlukan kekuatan serta ketangkasan luar biasa—hanya seorang pejuang seperti Lu Bu yang mampu mengayunkannya dengan keunggulan mematikan.
Dalam Romansa Tiga Kerajaan, Halberd Sky Piercer bukan hanya alat perang; ia adalah perpanjangan dari kesombongan dan kekuatan Lu Bu. Ketika Lu Bu menantang musuh, Halberd ini menjadi titik fokus yang menginspirasi ketakutan. Bilahnya yang berkilauan dalam pertempuran adalah janji akan kematian. Penguasaan Lu Bu terhadap senjata ini melambangkan kekuatannya yang unik: kemampuan untuk menggunakan alat yang rumit dan berat dengan presisi yang hanya dimiliki oleh dewa perang.
Simbolisme Halberd juga penting. Berbeda dengan tombak standar yang digunakan oleh banyak prajurit, Halberd Sky Piercer adalah senjata yang lebih halus, digunakan untuk upacara atau duel kehormatan di luar medan pertempuran massal. Penggunaannya oleh Lu Bu menunjukkan bahwa ia melihat dirinya bukan hanya sebagai prajurit biasa, tetapi sebagai seorang jawara elit, di atas semua jenderal lainnya.
Detail tentang bagaimana Lu Bu melatih dirinya dengan Halberd ini sering menjadi topik diskusi di kalangan sejarawan militer dan penggemar. Senjata yang membutuhkan keseimbangan sempurna antara berat dan kecepatan adalah refleksi sempurna dari pengguna yang harus menggabungkan kekuatan brutal dengan ketangkasan yang cepat. Setiap ayunan Halberd adalah demonstrasi kekuatan murni yang mampu menembus baju besi terberat dan mematahkan perisai. Dalam duel epik melawan jenderal-jenderal musuh, dentingan Halberd ini melawan senjata lain selalu menjadi pertanda bahwa pertempuran itu akan berakhir dengan cepat, dengan Lu Bu sebagai pemenangnya.
Penguasaan Halberd oleh Lu Bu juga menegaskan reputasinya. Bahkan ketika ia dikelilingi oleh musuh yang tak terhitung jumlahnya, ia bisa menggunakan bilah Halberd untuk mengiris formasi, memaksa musuh mundur hanya dengan satu gerakan pergelangan tangan. Ini bukanlah kemampuan yang bisa ditiru oleh jenderal biasa; ini adalah hasil dari dedikasi seumur hidup untuk kesempurnaan fisik. Halberd Sky Piercer adalah identitas Lu Bu, dan identitas ini adalah ketakutan bagi mereka yang berada di sisi berlawanan medan perang. Kehilangan atau terlepasnya Halberd dalam pertempuran berarti keruntuhan moral bagi pasukannya dan merupakan sinyal kekalahan bagi dirinya sendiri.
Kuda Red Hare (Chitu Ma, yang secara harfiah berarti 'Kuda Kelinci Merah') adalah kuda paling terkenal dalam sejarah Tiongkok kuno. Kuda ini dikenal mampu melakukan perjalanan seribu li dalam sehari dan memiliki stamina yang tak tertandingi. Kuda ini awalnya dimiliki oleh Dong Zhuo, yang kemudian menggunakannya sebagai hadiah untuk merayu Lu Bu agar mengkhianati Ding Yuan.
Chitu adalah pasangan yang sempurna bagi Lu Bu. Jika Lu Bu adalah jenderal tak tertandingi di darat, maka Chitu memberinya keunggulan tak tertandingi dalam mobilitas dan kecepatan. Kombinasi Lu Bu dan Chitu berarti tidak ada musuh yang bisa mengejarnya jika ia melarikan diri, dan tidak ada target yang bisa melarikan diri darinya jika ia mengejar.
Dalam narasi Tiga Kerajaan, kepemilikan Chitu adalah simbol status dan kekuatan. Lu Bu adalah panglima perang pertama yang benar-benar memanfaatkannya. Kuda ini memungkinkan Lu Bu untuk secara cepat berpindah antar medan perang, tiba-tiba muncul di belakang garis musuh, atau melarikan diri dari pengepungan yang mematikan. Chitu bukan hanya kuda, tetapi aset strategis yang memberikan keunggulan logistik yang signifikan kepada tuannya.
Ironisnya, setelah eksekusi Lu Bu, Chitu Ma jatuh ke tangan Cao Cao, yang kemudian memberikannya kepada Guan Yu, saingan terberat Lu Bu di Gerbang Hulao. Transfer kepemilikan ini menunjukkan bahwa meskipun Lu Bu telah pergi, warisan kecepatan dan kekuatannya terus berlanjut melalui kuda legendaris ini.
Kecepatan Chitu sangat penting dalam memahami mengapa Lu Bu mampu bertahan dari begitu banyak pengkhianatan dan kekalahan. Setiap kali situasinya memburuk, Lu Bu mampu melarikan diri dengan cepat. Kuda ini memberinya kesempatan kedua, atau bahkan ketiga, yang tidak dimiliki oleh panglima perang lain yang jatuh. Jika bukan karena Chitu, kemungkinan besar Lu Bu akan tertangkap dan dieksekusi jauh lebih awal dalam kariernya yang penuh gejolak. Kuda Merah itu adalah perwujudan dari nasib baik dan keunggulan fisik Lu Bu yang memungkinkannya lolos dari jerat maut berulang kali.
***
Kisah Chitu tidak berakhir dengan Lu Bu. Setelah diberikan kepada Guan Yu, kuda tersebut menjadi sama terkenalnya dengan pemilik barunya. Namun, kesetiaan Chitu pada dasarnya terkait dengan tuan yang memanfaatkannya dalam pertempuran. Ketika Guan Yu tewas, Chitu menolak untuk makan dan mati tak lama kemudian, sebuah kisah yang memperkuat tema kesetiaan dan kemuliaan dalam legenda Tiga Kerajaan. Namun, selama masa Lu Bu, Chitu adalah lambang kekuatan tak bermoral dan ambisi tak terbatas, sebuah kendaraan yang membawa "Jenderal Terkuat" melintasi Tiongkok yang terpecah belah.
Kehidupan Lu Bu mencapai puncaknya (dan segera setelah itu, kehancurannya) selama ia menguasai Provinsi Xu, terutama kota benteng Xiapi. Setelah mengkhianati Liu Bei, Lu Bu mendapati dirinya dikelilingi oleh musuh yang jauh lebih terorganisir dan termotivasi: Cao Cao dan Liu Bei kini bersekutu dengan tujuan tunggal untuk melenyapkan Lu Bu.
Pengepungan Xiapi adalah studi kasus tentang bagaimana kekuatan individu tidak dapat mengalahkan strategi dan logistik superior. Lu Bu memiliki benteng yang kuat, tetapi moral pasukannya rendah. Kualitas kepemimpinannya dirusak oleh ketidakpercayaan. Ia terkenal karena kebiasaan buruknya mabuk-mabukan dan memukul prajuritnya, bahkan perwira tingginya.
Penasihat utamanya, Chen Gong, berulang kali menyarankan agar Lu Bu tidak bersembunyi di dalam benteng, tetapi mengambil keuntungan dari mobilitas pasukannya untuk melakukan serangan kilat yang mengganggu jalur pasokan Cao Cao. Chen Gong berargumen bahwa Lu Bu yang hebat di medan terbuka akan menjadi kekuatan yang tak terhindarkan, tetapi Lu Bu yang terjebak di dalam tembok benteng hanya akan menjadi target yang menunggu untuk dilucuti. Sayangnya, Lu Bu, yang percaya pada kekuatan bentengnya dan terganggu oleh kenyamanan hidup di Xiapi, mengabaikan nasihat ini.
Keengganan Lu Bu untuk menerima nasihat Chen Gong adalah sebuah kelemahan karakter yang berulang kali muncul. Ketika Chen Gong menyarankan taktik yang berisiko tetapi cerdik, Lu Bu selalu memilih jalur yang tampak lebih aman atau yang memerlukan sedikit upaya mental. Kepercayaan dirinya yang berlebihan pada kekuatannya sendiri, dan anggapannya bahwa tidak ada yang berani menghadapinya, menjadi racun bagi keputusannya. Chen Gong melihat ini sebagai cacat fatal: seseorang yang begitu kuat seharusnya tidak takut mengambil risiko strategis; rasa takut akan kegagalan membuatnya memilih isolasi dalam benteng, yang merupakan keputusan yang paling buruk dalam menghadapi pengepungan yang panjang.
Cao Cao, di sisi lain, dikenal sebagai ahli pengepungan. Ketika dia menyadari bahwa serangan langsung ke tembok Xiapi terlalu mahal, Cao Cao menerapkan taktik yang cerdik: dia mengalihkan aliran Sungai Si dan Yi, menyebabkan banjir besar di sekitar Xiapi. Benteng yang tadinya kuat berubah menjadi pulau yang tenggelam dalam lumpur, moral pasukan Lu Bu hancur, dan pasokan makanan menjadi kritis. Keputusan taktis Cao Cao ini menunjukkan superioritas intelektualnya atas kekuatan fisik Lu Bu. Banjir itu tidak hanya membasahi persediaan, tetapi juga membanjiri semangat para pembela. Itu adalah bukti nyata bahwa strategi air Cao Cao lebih mematikan daripada Halberd Lu Bu.
Pengepungan berlangsung selama tiga bulan penuh. Kelaparan dan putus asa menyebar di kalangan pasukan Lu Bu. Ketidakpuasan di antara para perwira tinggi mencapai titik didih. Pada saat itu, Lu Bu, yang kehilangan kepercayaan pada siapa pun kecuali dirinya sendiri, telah membuat keputusan yang tidak populer, termasuk memukuli komandan garis depan yang gagal, sehingga menabur benih pengkhianatan di barisan mereka sendiri. Perwira seperti Hou Cheng, Song Xian, dan Wei Xu, yang telah lama melayani Lu Bu tetapi lelah dengan arogansi dan kebodohannya, memutuskan untuk bertindak. Mereka mencuri Halberd Sky Piercer, mengikat Lu Bu saat ia tidur karena kelelahan, dan membuka gerbang kota untuk pasukan Cao Cao.
Pengkhianatan ini bersifat simbolis. Jenderal Terkuat di Bawah Langit tidak dikalahkan dalam duel mulia di medan perang; ia ditangkap saat tidur oleh anak buahnya sendiri yang jijik, dan senjata legendarisnya dicuri. Ini menegaskan tema utama kehidupan Lu Bu: kekuatannya tidak pernah bisa mengimbangi kelemahan karakternya. Halberd itu hanya efektif di tangan seorang pejuang yang dipercaya, dan Lu Bu telah kehilangan kepercayaan dari semua orang yang pernah bersamanya.
Lu Bu dibawa di hadapan Cao Cao dan Liu Bei. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan hidupnya, Lu Bu mencoba merayu Cao Cao. Dia menawarkan kesetiaannya, berargumen bahwa dengan Lu Bu di pihaknya, Cao Cao dapat dengan mudah menaklukkan seluruh Tiongkok. Lu Bu bahkan menyarankan bahwa dia bisa menjadi komandan garis depan, sementara Cao Cao bertindak sebagai ahli strategi di belakang.
Cao Cao, yang dikenal karena kepintarannya, ragu-ragu. Memiliki Lu Bu dalam pasukan akan menjadi aset militer yang tak ternilai. Namun, Liu Bei, yang duduk di samping Cao Cao, segera menyela. Liu Bei mengingatkan Cao Cao, dengan nada dingin yang kejam, tentang sejarah Lu Bu:
"Tuanku, tidakkah Anda ingat bagaimana Lu Bu memperlakukan Ding Yuan dan Dong Zhuo?"
Peringatan itu menyentuh inti masalah. Lu Bu adalah pengkhianat serial. Jika ia mengkhianati dua ayah angkatnya sendiri, ia pasti akan mengkhianati Cao Cao suatu saat nanti. Cao Cao, yang menghargai stabilitas dan kesetiaan di atas segalanya, membuat keputusan yang tegas. Dia tidak bisa mengambil risiko membiarkan kekuatan Lu Bu kembali mengancamnya di masa depan.
Lu Bu memohon kepada Liu Bei, "Anda adalah tamu, sementara saya adalah tahanan. Mengapa Anda ingin membunuh saya?" Liu Bei hanya menjawab, "Anda tidak mendengarkan saran Chen Gong." Lu Bu kemudian mencela Liu Bei sebagai "si penjahat telinga panjang" (sebutan penghinaan untuk Liu Bei). Dalam kemarahan, Lu Bu dieksekusi bersama dengan penasihat setianya, Chen Gong (yang menolak memohon ampun) dan Gao Shun. Eksekusi ini di Xiapi menandai akhir dari Jenderal Terkuat di Bawah Langit.
Eksekusi ini menjadi pelajaran keras bagi semua jenderal yang menyaksikan. Hal itu menunjukkan bahwa di era Tiga Kerajaan, kekuatan fisik dan kemampuan bertarung, betapapun hebatnya, tidak cukup untuk menjamin kelangsungan hidup. Stabilitas politik, kepercayaan, dan kecerdasan strategis (yang dimiliki oleh Cao Cao dan, secara halus, oleh Liu Bei) adalah mata uang yang jauh lebih berharga daripada pedang yang paling tajam.
***
Kejatuhan Lu Bu di Xiapi adalah sebuah babak penting yang mengubah peta kekuatan. Dengan kematian Lu Bu, Cao Cao menghilangkan ancaman militer paling besar yang pernah ia hadapi, dan ia juga menyingkirkan pesaing yang paling tidak terduga dan paling berbahaya. Eliminasi Lu Bu mengkonsolidasikan kekuasaan Cao Cao di Tiongkok utara dan membuka jalan bagi dominasinya yang tak terhindarkan. Kisah Lu Bu menjadi peringatan abadi bagi semua orang yang terlalu mengandalkan kekuatan tanpa memiliki hati nurani, kesetiaan, atau pemahaman yang mendalam tentang seni politik yang lebih halus. Warisan Lu Bu adalah dualitas yang tragis: pahlawan terbesar dan pengkhianat terbesar yang pernah ada.
Untuk memahami Lu Bu sepenuhnya, kita harus membedah sifat batinnya yang rumit. Dia adalah antitesis sempurna dari para pahlawan Tiga Kerajaan lainnya. Sementara Liu Bei mewakili kebajikan, dan Cao Cao mewakili kecerdasan dan pragmatisme yang kejam, Lu Bu mewakili kekuatan tanpa kendali.
Paradoks utama Lu Bu adalah bahwa kehebatan militernya berfungsi sebagai penutup bagi kelemahan pribadinya. Kekuatan fisiknya yang superior sering kali membuatnya merasa tak terkalahkan, menyebabkan dia mengabaikan saran yang bijaksana. Dalam psikologi kekuasaan, ini dikenal sebagai hubris: kesombongan berlebihan yang pada akhirnya membawa kehancuran.
Kelemahan utamanya dapat dikategorikan menjadi beberapa poin kritis, yang semuanya terjalin dalam narasi sejarah dan fiksi:
Perbedaan antara Lu Bu dan pesaing-pesaingnya sangat mencolok. Cao Cao mampu mengumpulkan para sarjana dan ahli strategi terhebat (seperti Xun Yu dan Guo Jia), sementara Lu Bu, meskipun memiliki Chen Gong, tidak pernah mendengarkan. Liu Bei mampu menginspirasi kesetiaan tak tergoyahkan dari Guan Yu dan Zhang Fei, sementara anak buah Lu Bu sendiri mengikatnya saat tidur. Ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati di Tiga Kerajaan membutuhkan lebih dari sekadar mengalahkan musuh dalam duel; itu membutuhkan kemampuan untuk memimpin hati dan pikiran orang lain.
Keunikan Lu Bu sebagai karakter adalah bahwa ia adalah jenderal yang paling dikagumi sekaligus yang paling mudah dilupakan oleh sejarah. Kekaguman datang dari kekuatan fisiknya; kelupaan datang dari kegagalan strategisnya. Dia adalah peringatan bahwa keunggulan tunggal tidak pernah bisa menggantikan kecakapan multidimensi yang diperlukan untuk memerintah sebuah wilayah yang terfragmentasi. Jika Lu Bu memiliki seperseribu kecerdasan strategis Chen Gong, atau seperseribu kesetiaan Zhang Liao, ia mungkin akan menjadi salah satu pendiri kerajaan. Namun, ia hanya mampu menjadi pion yang berharga untuk sementara waktu sebelum menjadi ancaman yang harus dilenyapkan.
Meskipun ia gagal mendirikan kerajaan, warisan Lu Bu abadi dalam budaya populer, terutama dalam media modern:
Dalam narasi ulang modern, fokus sering kali bergeser dari pengkhianat menjadi 'anti-hero' yang tragis. Kekuatan Lu Bu begitu memesona sehingga khalayak modern cenderung mengabaikan kelemahan karakternya, memilih untuk memuji kehebatan duelnya. Ini adalah bukti kekuatan mitos: seiring berjalannya waktu, elemen kekejaman dan pengkhianatan memudar, meninggalkan hanya citra murni dari seorang pejuang yang berdiri sendirian melawan dunia.
***
Warisan abadi Lu Bu di dalam budaya Tiongkok dan dunia adalah bahwa ia mendefinisikan batas-batas kekuatan fisik. Ia adalah patokan—jika seorang jenderal dapat menahan serangan Lu Bu, ia dianggap hebat. Jika ia bisa mengalahkan Lu Bu, ia dianggap legenda. Meskipun ia mati tanpa meninggalkan kerajaan, namanya tetap menjadi simbol kekuatan militer tertinggi, sebuah kekuatan yang begitu besar sehingga hanya strategi terhebat yang mampu meredamnya. Ia adalah badai yang mengamuk di Tiongkok kuno, meninggalkan jejak kehancuran, tetapi juga cerita-cerita tentang kehebatan yang akan diceritakan selama ribuan tahun.
Analisis karakter Lu Bu tidak akan lengkap tanpa menempatkannya dalam konteks dinamika politik dan militer Tiga Kerajaan yang lebih luas. Periode ini adalah waktu kekacauan total di mana tatanan sosial telah runtuh. Keberhasilan tidak ditentukan oleh tradisi atau legitimasi kekaisaran, tetapi oleh kekuatan militer dan kecerdasan politik. Lu Bu unggul dalam elemen pertama, tetapi gagal total dalam yang kedua. Kegagalannya memberikan pelajaran penting tentang sifat kepemimpinan di tengah kekacauan.
Untuk memahami mengapa Lu Bu gagal, kita bisa membandingkannya dengan jenderal garis depan lainnya yang memiliki kekuatan besar tetapi menunjukkan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seperti Guan Yu atau Zhang Fei. Guan Yu, misalnya, memiliki kekuatan yang mendekati Lu Bu (walaupun banyak yang berdebat siapa yang lebih kuat), tetapi kesetiaan Guan Yu kepada Liu Bei adalah mutlak. Kesetiaan ini memberinya otoritas moral dan dukungan yang tak tergoyahkan dari pasukannya dan sekutunya. Ketika Guan Yu berjuang, ia melakukannya untuk suatu tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Lu Bu, sebaliknya, berjuang hanya untuk Lu Bu, membuat setiap kemenangan terasa hampa dari tujuan politik yang bertahan lama.
Selain itu, perhatikan pula jenderal-jenderal yang awalnya berasal dari panglima perang yang lebih lemah tetapi berhasil naik status melalui ketekunan dan kesetiaan, seperti Zhang Liao (yang pada akhirnya melayani Cao Cao). Ironisnya, Zhang Liao adalah salah satu perwira yang awalnya melayani Lu Bu. Ketika Lu Bu ditangkap di Xiapi, Zhang Liao menolak untuk menyerah pada Cao Cao pada awalnya, menunjukkan kesetiaan yang luar biasa. Setelah Lu Bu dieksekusi, Zhang Liao diampuni oleh Cao Cao (atas rekomendasi Guan Yu) dan kemudian menjadi salah satu jenderal terbaik Cao Cao, dikenal karena kecakapannya dalam pertempuran dan kesetiaannya yang baru ditemukan. Fakta bahwa salah satu jenderal terbaik Tiga Kerajaan tumbuh di bawah Lu Bu tetapi berkembang setelah meninggalkannya adalah metafora yang kuat untuk kepemimpinan Lu Bu yang buruk.
Dalam analisis ekonomi politik era Tiga Kerajaan, kekuatan fisik adalah mata uang yang memiliki nilai tinggi di pasar yang fluktuatif, tetapi tidak memiliki nilai jaminan (collateral value). Lu Bu adalah mata uang tersebut. Dia bisa dibeli (Dong Zhuo) dan dijual (Wang Yun), tetapi begitu pasar kekuasaan stabil, mata uang tersebut kehilangan nilainya. Ketika Cao Cao dan Liu Bei mulai mengkonsolidasikan wilayah, mereka membutuhkan jenderal yang tidak hanya kuat, tetapi juga dapat diandalkan untuk jangka panjang.
Cao Cao menganggap Lu Bu terlalu berisiko. Risiko pengkhianatan di masa depan lebih mahal daripada potensi kemenangan militer yang dapat diberikan oleh Lu Bu. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hanya merupakan prasyarat, bukan jaminan untuk sukses. Jaminan sejati datang dari jaringan kesetiaan, struktur administrasi yang efisien, dan perencanaan suksesi yang bijaksana—semua hal yang Lu Bu abaikan secara konsisten demi sensasi pertempuran dan kemewahan instan. Kelemahan fatal Lu Bu bukanlah di medan perang, melainkan di ruang dewan dan di antara barisan pasukannya sendiri, yang ia perlakukan dengan penghinaan dan ketidakpercayaan.
Kembali ke simbolisme Chitu Ma. Kuda Merah memungkinkan Lu Bu untuk menjadi 'pengacau' sempurna di era Tiga Kerajaan. Kecepatannya memungkinkannya muncul tanpa peringatan, merebut kota (seperti merebut Xiapi dari Liu Bei), dan melarikan diri dari konsekuensi buruk yang ditimbulkannya. Chitu memperpanjang periode kekacauan Lu Bu, memastikan bahwa ia tetap menjadi ancaman bergerak yang tidak terduga. Tanpa Chitu, Lu Bu akan lebih mudah ditangkap dan akan memiliki karier yang jauh lebih pendek.
Namun, Chitu juga memfasilitasi sifat pengembara Lu Bu. Karena ia bisa melarikan diri, ia tidak pernah dipaksa untuk bertahan dan menghadapi masalah administrasinya sendiri. Mobilitas ini mencegahnya membangun fondasi kekuasaan yang permanen. Dalam pengertian ini, Chitu adalah hadiah dan kutukan: ia memberinya kebebasan yang terlalu besar, mencegahnya dari disiplin yang dibutuhkan untuk menguasai sebuah negara. Kuda itu adalah perwujudan fisik dari keinginannya untuk terus bergerak dari satu konflik ke konflik berikutnya, menghindari tanggung jawab dan konsekuensi dari tindakannya.
***
Pada akhirnya, Lu Bu adalah salah satu karakter paling menarik karena ia mengajukan pertanyaan mendasar tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Apakah kekuatan fisik murni dapat mengatasi kekurangan karakter? Dalam konteks Tiga Kerajaan, jawabannya adalah tidak. Kehebatan militer Lu Bu hanya berfungsi untuk menunda kehancurannya sendiri, yang pada akhirnya disebabkan oleh keegoisan, ketidaksetiaan, dan kebutaan strategis. Ia adalah petarung terhebat, tetapi sekaligus pemimpin yang paling tidak cocok untuk era yang sangat membutuhkan kebijaksanaan dan stabilitas.
Plot Diaochan, meskipun sebagian besar fiktif, memberikan wawasan yang mendalam tentang psikologi Lu Bu. Jika kita menerima versi fiksi ini, Lu Bu didorong oleh hasrat romantis, sebuah emosi yang tulus tetapi tidak terkendali. Wang Yun berhasil memanipulasi Lu Bu bukan dengan emas (seperti Dong Zhuo), melainkan dengan janji cinta yang terhalang. Hal ini menunjukkan kerentanan Lu Bu terhadap emosi yang kuat, menjadikannya target yang mudah bagi para manipulator cerdik.
Dalam versi sejarah yang lebih kering, hubungan terlarang Lu Bu dengan seorang pelayan Dong Zhuo menciptakan rasa takut akan hukuman mati, yang menjadi motivasi utamanya untuk membunuh Dong Zhuo. Bahkan di sini, tindakannya didasarkan pada reaksi naluriah dan rasa takut akan keselamatan pribadi, bukan kalkulasi politik yang matang. Baik dorongan fiksi (cinta) maupun historis (rasa takut) menunjukkan bahwa Lu Bu adalah seorang yang didominasi oleh hati (atau organ lain), bukan oleh pikirannya.
Kontras ini adalah kunci. Tokoh-tokoh seperti Cao Cao dan Zhuge Liang selalu digambarkan sebagai pribadi yang mengendalikan emosi mereka dan membuat keputusan berdasarkan analisis dingin. Lu Bu, sebaliknya, adalah api yang menyala-nyala, mudah dipicu dan cepat menghanguskan, tetapi tidak mampu mempertahankan panas untuk waktu yang lama. Kekuatan luar biasa Lu Bu tidak pernah mencapai potensi penuhnya karena ia tidak pernah bisa menenangkan gejolak emosional di dalam dirinya. Ini adalah tragedi dari pahlawan terbesar: ia mampu mematahkan semua senjata musuh, tetapi tidak mampu mematahkan belenggu hasrat dan ambisinya sendiri.
Oleh karena itu, ketika kita merayakan legenda Lu Bu sebagai dewa perang, kita juga harus mengingat peringatan yang diwakilinya: bahwa kekuatan tanpa kendali adalah kekuatan yang mengarah pada kehancuran diri. Lu Bu adalah manifestasi dari era Tiga Kerajaan itu sendiri—brutal, penuh gejolak, dan penuh dengan potensi yang pada akhirnya gagal bersatu menjadi sesuatu yang permanen. Ia adalah pedang yang sempurna, tetapi tanpa gagang yang stabil, ia hanya akan memotong tangan orang yang mencoba mengayunkannya, termasuk tangannya sendiri.