Ilustrasi visualisasi kearifan Masyarakat Adat Bahari (MAB) Nusantara.
Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki identitas yang secara intrinsik terikat pada lautan. Lebih dari dua pertiga wilayahnya adalah air, membentuk koridor kehidupan yang tak terpisahkan dari daratan. Dalam konteks ini, keberadaan Masyarakat Adat Bahari, yang selanjutnya kita singkat sebagai MAB, adalah fondasi kultural dan ekologis yang menjaga keseimbangan dan kedaulatan maritim. MAB bukan sekadar komunitas yang tinggal di pesisir; mereka adalah penjaga pengetahuan purba tentang samudra, pewaris tradisi navigasi, dan pelaksana sistem kearifan lokal yang telah teruji ribuan tahun dalam mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan. Eksistensi MAB adalah manifestasi hidup dari filosofi bahwa laut adalah ibu, sumber penghidupan, dan ruang sakral yang harus dihormati.
Konsep MAB mencakup seluruh spektrum komunitas yang menggantungkan hidup, budaya, dan spiritualitas mereka pada lautan, mulai dari Suku Bajo yang nomaden hingga komunitas pelaut Bugis-Makassar yang legendaris dengan armada Pinisi mereka. Mereka telah menetapkan standar pengelolaan sumber daya alam jauh sebelum konsep konservasi modern dikenal. Sistem adat, ritual pelayaran, dan tata cara penangkapan ikan yang mereka praktikkan menunjukkan pemahaman mendalam tentang siklus ekologis dan batasan alam. Menelaah MAB adalah menelusuri kembali akar kebesaran maritim Nusantara, yang dahulu kala menjadi poros Jalur Rempah dan penguasa perdagangan dunia.
Sejarah MAB berakar kuat pada migrasi Austronesia, di mana kemampuan mengarungi lautan dalam jarak jauh menjadi penentu peradaban. Nenek moyang MAB adalah pelaut ulung yang memahami pola angin muson, arus laut, dan penanda bintang sebagai peta navigasi mereka. Jauh sebelum kedatangan kapal-kapal Eropa, armada MAB telah menghubungkan Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur. Kemampuan ini bukan hanya sekadar keterampilan teknis; ia melibatkan sinkronisasi budaya dan spiritualitas dengan elemen air, menjadikannya sebuah sistem pengetahuan yang holistik.
Pada masa kerajaan-kerajaan besar, seperti Sriwijaya dan Majapahit, kekuatan maritim yang didukung oleh MAB menjadi tulang punggung hegemoni regional. Pelabuhan-pelabuhan Nusantara menjadi titik temu peradaban, dan MAB adalah agen utamanya. Pengetahuan MAB tentang teknik pembangunan kapal, seperti Pinisi atau Sandeq, mencerminkan inovasi teknologi yang selaras dengan lingkungan, menggunakan bahan-bahan lokal namun mampu menahan badai samudra yang ganas. Keberlanjutan tradisi ini membuktikan ketahanan budaya MAB di tengah gempuran modernisasi dan perubahan zaman.
Salah satu kontribusi terbesar MAB bagi Nusantara adalah sistem kearifan lokal mereka dalam konservasi laut. Berbeda dengan pandangan modern yang seringkali melihat sumber daya alam sebagai komoditas yang dieksploitasi tanpa batas, MAB memandang lautan sebagai entitas hidup yang memberikan rezeki, namun juga menuntut penghormatan dan pembatasan. Konsep ini terwujud dalam berbagai praktik adat yang unik di setiap wilayah.
Contoh paling terkenal dari kearifan MAB adalah praktik *Sasi* yang tersebar luas di Maluku dan Papua. Sasi adalah sebuah larangan adat untuk memanen atau mengambil sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, selama periode waktu tertentu. Selama masa Sasi Laut diberlakukan, terumbu karang dapat pulih, populasi ikan meningkat, dan ekosistem memiliki waktu untuk meregenerasi diri. Pelanggaran Sasi bukan hanya menghadapi sanksi hukum formal, tetapi juga sanksi sosial dan spiritual dari komunitas MAB. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya di kalangan MAB didasarkan pada kesadaran kolektif yang kuat, bukan sekadar regulasi yang dipaksakan dari luar.
Di wilayah lain, MAB memiliki mekanisme serupa. Di Sulawesi Tenggara, dikenal istilah *Pajeko*, sebuah sistem penangkapan ikan yang mengatur jenis alat tangkap dan zona penangkapan untuk mencegah kerusakan habitat. Sementara itu, di beberapa bagian pesisir Jawa dan Bali, terdapat ritual *Mekarung* atau *Nyegara Gunung*, yang secara simbolis menegaskan hubungan timbal balik antara gunung (daratan) dan laut, mengingatkan MAB dan masyarakat umum akan keseimbangan kosmologis yang harus dijaga. Semua praktik MAB ini menegaskan bahwa konservasi adalah bagian integral dari kehidupan, bukan sekadar kebijakan sementara.
Pengetahuan MAB sangat mendalam terhadap ekosistem pesisir yang rapuh, seperti mangrove dan padang lamun. Mereka memahami bahwa mangrove bukan hanya penghalang abrasi, tetapi juga tempat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan dan biota laut. Oleh karena itu, ritual penanaman dan pemeliharaan mangrove seringkali menjadi bagian dari upacara adat MAB. Di Kalimantan dan Sumatera, MAB Suku Laut secara turun-temurun menjaga keberlanjutan hutan mangrove karena ini adalah habitat utama bagi hewan laut yang menjadi sumber pangan mereka. Tanpa pengetahuan MAB, kawasan-kawasan ini akan jauh lebih rentan terhadap kerusakan akibat pembangunan atau penangkapan ikan yang merusak.
Teknologi dan filosofi pelayaran yang dimiliki oleh MAB merupakan warisan tak ternilai. Ini bukan hanya tentang perahu yang kuat, tetapi tentang hubungan spiritual dengan samudra. Perahu bagi MAB adalah perpanjangan diri, sebuah rumah di atas air, dan simbol koneksi dengan leluhur.
Kapal Pinisi dari Suku Bugis-Makassar adalah ikon kearifan MAB. Proses pembangunannya, yang dikenal sebagai *Panrita Lopi*, melibatkan ritual yang mendalam, mulai dari pemilihan kayu hingga peluncuran. Setiap elemen Pinisi, dari lambung hingga tujuh layarnya, memiliki makna filosofis yang menggambarkan tujuan hidup dan hubungan dengan Tuhan. Teknologi Pinisi membuktikan bahwa MAB mampu menciptakan kapal layar yang sangat efisien, mampu menjelajahi rute trans-samudra tanpa bantuan mesin modern, hanya mengandalkan angin dan pengetahuan navigasi tradisional. Keahlian ini telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia.
Selain Pinisi yang megah, terdapat pula perahu-perahu kecil seperti *Jukung* atau *Kolek* yang digunakan MAB untuk aktivitas harian. Meskipun sederhana, desainnya sangat ergonomis dan disesuaikan dengan karakteristik ombak lokal. Jukung Madura, misalnya, dikenal karena kecepatan dan stabilitasnya. Seluruh teknologi perahu MAB adalah bukti nyata bagaimana inovasi dapat beriringan dengan kelestarian alam, menggunakan bahan-bahan terbarukan dan meminimalisir jejak ekologis.
Navigasi MAB sangat berbeda dari navigasi modern yang berbasis GPS. MAB menggunakan sistem navigasi berbasis alam, di mana bintang, rasi bintang (seperti Bintang Biduk atau Salib Selatan), arah angin, warna air laut, pergerakan burung, hingga suhu udara menjadi penunjuk arah. Pelaut MAB mampu "membaca" laut; mereka tahu di mana terdapat arus berbahaya atau di mana ikan berkumpul hanya dengan melihat riak permukaan air. Pengetahuan ini diturunkan secara lisan, melalui nyanyian dan cerita, dari generasi ke generasi, memastikan bahwa tradisi MAB tidak pernah terputus.
Kemampuan MAB dalam navigasi alamiah ini tidak hanya relevan untuk pelayaran tradisional, tetapi juga krusial dalam mitigasi bencana. Mereka memiliki pemahaman intuitif tentang perubahan cuaca ekstrem dan tanda-tanda alam yang mendahului badai atau tsunami, yang seringkali menyelamatkan nyawa mereka jauh sebelum peringatan dini modern dapat diakses. Kearifan MAB ini adalah aset pertahanan maritim yang sesungguhnya.
Meskipun memiliki sejarah dan kearifan yang luar biasa, MAB dihadapkan pada tantangan berat di era modern. Globalisasi, industrialisasi pesisir, dan perubahan iklim mengancam kelangsungan hidup dan tradisi MAB. Pengakuan hukum atas wilayah adat laut seringkali menjadi isu sentral yang menimbulkan konflik.
Ekspansi sektor perikanan skala besar, pembangunan pelabuhan industri, dan eksplorasi minyak dan gas di wilayah pesisir seringkali mengabaikan hak-hak tradisional MAB. Tumpahan minyak, pengerukan terumbu karang, dan penggunaan alat tangkap destruktif (seperti pukat harimau) yang dilakukan oleh industri luar telah merusak ekosistem yang selama ini dijaga oleh MAB. Ketika habitat rusak, sumber penghidupan MAB hilang, memaksa mereka untuk meninggalkan tradisi dan beralih profesi, yang pada akhirnya mengikis budaya maritim Nusantara.
Sistem MAB yang sangat bergantung pada keseimbangan ekologis mudah terganggu oleh polusi. Polusi plastik, misalnya, yang kini menjadi isu global, merusak kawasan penangkapan ikan tradisional MAB dan mengancam kesehatan masyarakat pesisir. Perlawanan MAB terhadap eksploitasi ini sering kali dianggap sebagai penghalang pembangunan, padahal yang mereka perjuangkan adalah keberlanjutan sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak semua generasi.
Secara hukum, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, termasuk MAB, telah diamanatkan oleh konstitusi dan beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, implementasi di lapangan masih tersendat. Penetapan 'Wilayah Kelola Adat Laut' seringkali terhambat oleh birokrasi, tumpang tindih regulasi, dan kepentingan investasi. Tanpa pengakuan yang jelas atas wilayah laut tempat mereka berburu dan mempraktikkan Sasi, MAB rentan kehilangan kontrol atas sumber daya mereka.
Isu ini tidak hanya seputar perikanan, tetapi juga kedaulatan budaya. Jika MAB tidak diakui sebagai subjek hukum yang berhak mengelola wilayahnya, kearifan lokal seperti Sasi akan kehilangan kekuatan hukumnya, digantikan oleh peraturan pemerintah yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi ekologis setempat. Memperkuat posisi MAB dalam kerangka hukum nasional adalah kunci untuk memastikan bahwa kedaulatan maritim tidak hanya ditegakkan oleh angkatan laut, tetapi juga oleh penjaga budaya di garis depan.
Untuk memahami kedalaman MAB, kita perlu melihat keragaman praktiknya di berbagai kepulauan Indonesia. Setiap kelompok MAB memiliki adaptasi unik terhadap lingkungan perairan mereka, menciptakan mosaik budaya bahari yang kaya.
Suku Bajo, yang sering disebut “Gipsi Laut,” adalah contoh MAB yang paling unik karena adaptasi fisik dan budayanya yang luar biasa terhadap kehidupan di atas air. Mereka secara tradisional hidup nomaden di perairan Sulawesi, Maluku, hingga Filipina. Rumah mereka adalah perahu, dan mereka hanya sesekali menginjak daratan. Penelitian menunjukkan adaptasi genetik Suku Bajo, seperti limpa yang lebih besar, yang membantu mereka menyelam lebih lama dan lebih dalam, membuktikan kedekatan evolusioner MAB dengan lingkungan laut.
Suku Bajo memiliki pengetahuan mendalam tentang jalur migrasi ikan dan titik-titik penangkapan yang kaya. Meskipun kini banyak komunitas Bajo yang mulai menetap, tradisi mereka tetap menjadi pengingat akan kemungkinan hidup harmonis sepenuhnya dengan samudra. Peran MAB Bajo dalam memetakan dasar laut secara tradisional dan memahami arus lokal adalah kunci bagi pemahaman oseanografi Nusantara.
Di Sulawesi Selatan, MAB Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut pedagang ulung. Keunggulan mereka terletak pada kombinasi antara teknologi kapal (Pinisi) dan hukum laut adat. Mereka tidak hanya mencari nafkah dari laut, tetapi juga menciptakan jaringan perdagangan regional yang kompleks. Konsep kepemimpinan maritim dan tata kelola pelayaran yang mereka miliki (misalnya, peran *Nakhoda*) menjadi model organisasi sosial yang efektif di atas kapal.
Bagi MAB Bugis, pelayaran adalah perjalanan spiritual. Mereka memiliki mantra dan ritual khusus sebelum berlayar untuk meminta restu dari penguasa laut. Keterkaitan antara iman, tradisi, dan mata pencaharian membuat mereka menjadi MAB yang sangat resilien terhadap perubahan ekonomi global, meskipun mereka kini menghadapi persaingan dari kapal-kapal kargo modern. MAB Bugis terus berjuang mempertahankan warisan Pinisi sebagai simbol identitas nasional.
Di timur Indonesia, MAB Maluku dan Papua menunjukkan sistem pengelolaan yang sangat ketat, seperti Sasi, yang dikelola oleh pemimpin adat (misalnya, *Latunusa*). Di Papua, beberapa komunitas MAB memiliki larangan penangkapan hiu atau penyu secara periodik, yang menunjukkan kesadaran tinggi akan perlindungan spesies kunci dalam rantai makanan laut. MAB di wilayah ini seringkali menjadi garis pertahanan terakhir melawan penangkapan ikan ilegal (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing - IUU Fishing) karena mereka memiliki pemahaman detail tentang siapa yang seharusnya berada di perairan mereka dan siapa yang asing.
Kedaulatan maritim Indonesia tidak hanya diukur dari kekuatan militer atau jumlah kapal patroli. Kedaulatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan dan menjaga keamanan wilayah perairan dari dalam. Dalam konteks ini, MAB adalah sekutu strategis yang tak tergantikan.
MAB memiliki pengetahuan lokal (local knowledge) yang jauh lebih rinci tentang wilayah pesisir dan laut dangkal dibandingkan dengan pihak berwenang. Mereka mengetahui setiap terumbu karang, setiap alur pelayaran sempit, dan pola pergerakan kapal asing atau kapal penangkap ikan ilegal. Dengan mengintegrasikan MAB ke dalam sistem pengawasan maritim nasional, pemerintah dapat memanfaatkan mata dan telinga yang tersebar di seluruh pelosok kepulauan. MAB berfungsi sebagai sistem peringatan dini (early warning system) yang sangat efektif terhadap kegiatan IUU Fishing dan perusakan lingkungan.
Pemberdayaan MAB dalam pengawasan harus diiringi dengan pengakuan legal atas peran mereka. Ketika MAB merasa diakui dan diberi mandat, mereka akan bertindak sebagai pemilik sah atas perairan tersebut, bukan hanya sebagai korban eksploitasi. Ini adalah model pertahanan berbasis masyarakat yang paling efisien dan paling berkelanjutan.
Konsep ekonomi biru (blue economy) modern yang menekankan keberlanjutan dan nilai tambah berbasis sumber daya maritim, harus menjadikan MAB sebagai pusatnya. Daripada mendorong industrialisasi yang merusak, investasi harus diarahkan pada penguatan praktik MAB yang ramah lingkungan. Contohnya adalah pengembangan perikanan skala kecil yang bersertifikat berkelanjutan, pengembangan ekowisata berbasis komunitas MAB (misalnya, belajar navigasi tradisional dari Suku Bajo), dan revitalisasi tradisi pembuatan kapal Pinisi yang kini diminati pasar internasional.
Ekonomi MAB harus memastikan bahwa nilai tambah dari sumber daya laut tetap dinikmati oleh komunitas lokal. Ini adalah cara untuk memerangi kemiskinan di wilayah pesisir sekaligus menjaga integritas budaya MAB. MAB mampu menjadi wirausahawan bahari yang unggul jika mereka didukung dengan akses permodalan dan pelatihan yang menghargai pengetahuan tradisional mereka.
Salah satu ancaman terbesar bagi MAB adalah terputusnya transmisi pengetahuan tradisional kepada generasi muda. Banyak pemuda MAB kini beralih ke pekerjaan di darat atau di kapal modern, meninggalkan kemampuan membaca bintang, memprediksi cuaca, dan memahami ritual laut yang diwarisi leluhur mereka.
Diperlukan upaya serius untuk mengintegrasikan pengetahuan MAB ke dalam sistem pendidikan formal dan informal. Sekolah-sekolah di pesisir harus mengajarkan kurikulum yang mencakup navigasi tradisional, etika Sasi, dan teknik pembuatan perahu yang berkelanjutan. Hal ini penting agar generasi MAB berikutnya tidak hanya memahami teknologi modern, tetapi juga menghargai dan melestarikan warisan budaya bahari mereka. Program magang atau mentoring oleh *Panrita Lopi* (ahli pembuat kapal) atau *Puang Lopi* (pemimpin pelayaran) kepada anak-anak muda MAB adalah investasi masa depan yang krusial.
Revitalisasi ritual adat juga penting. Ritual yang mungkin tampak kuno, seperti upacara ‘tolak bala’ atau ‘pesta laut’, sesungguhnya merupakan mekanisme sosial MAB untuk memperkuat ikatan komunitas, menegaskan kembali batas-batas wilayah kelola, dan menyampaikan rasa syukur atas karunia laut. Pelestarian praktik MAB ini adalah pelestarian identitas bangsa.
MAB, sebagai komunitas yang paling dekat dengan laut, adalah pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim global, namun ironisnya, kontribusi mereka terhadap krisis iklim sangat minim. Kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut, dan peningkatan intensitas badai adalah ancaman nyata bagi keberlanjutan MAB.
Meskipun MAB rentan, mereka juga memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi berkat pengetahuan tradisional mereka. Misalnya, MAB yang terbiasa hidup di atas rumah panggung atau perahu (seperti Suku Bajo), secara alami lebih fleksibel dalam menghadapi kenaikan air laut dibandingkan masyarakat darat. Pengetahuan MAB tentang variabilitas cuaca dan pola angin juga dapat membantu proyeksi adaptasi lokal.
Namun, perubahan iklim yang terlalu cepat melampaui kemampuan adaptasi tradisional MAB. Kerusakan terumbu karang akibat pemutihan massal, yang menjadi sumber utama ikan bagi MAB, mengharuskan adanya kolaborasi antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan MAB untuk menemukan solusi konservasi yang efektif, seperti penanaman terumbu karang berbasis komunitas yang dipimpin oleh MAB.
Suara MAB harus didengar di forum-forum internasional yang membahas isu kelautan, biodiversitas, dan perubahan iklim. Kisah keberhasilan praktik Sasi atau keberlanjutan armada Pinisi oleh MAB adalah bukti bahwa pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana sangat mungkin dilakukan. MAB harus diakui bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai pemegang solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions) yang telah teruji oleh waktu. Integrasi pandangan MAB ke dalam kebijakan kelautan global akan memastikan bahwa solusi yang diusulkan relevan dan adil secara sosial.
Masyarakat Adat Bahari (MAB) adalah cermin dari jati diri Nusantara yang sesungguhnya: bangsa pelaut yang menghormati samudra. Keberadaan MAB memastikan bahwa konsep Indonesia sebagai negara maritim bukan hanya slogan politik, melainkan realitas budaya dan ekologis yang hidup. Warisan mereka—mulai dari teknologi perahu yang elegan, sistem navigasi bintang yang kompleks, hingga hukum adat Sasi yang menjamin kelestarian sumber daya—adalah aset nasional yang harus dilindungi dan diperkuat.
Melindungi MAB berarti melindungi kedaulatan maritim, melindungi biodiversitas laut, dan menjaga sumber pengetahuan purba yang kian langka. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa MAB dapat terus menjalankan tradisi mereka di tengah gempuran modernitas. Masa depan yang berkelanjutan bagi Indonesia sebagai poros maritim dunia sangat bergantung pada pengakuan dan penghormatan terhadap MAB sebagai pewaris sah samudra ini.
Tanpa MAB, laut kita hanya akan menjadi hamparan air kosong yang dieksploitasi. Dengan MAB, laut kita akan tetap menjadi lumbung kehidupan, sumber spiritualitas, dan jalur peradaban yang menghubungkan ribuan pulau, seperti yang telah terjadi selama ribuan tahun. Pelestarian kearifan MAB adalah kunci menuju kedaulatan maritim yang abadi.
Masyarakat Adat Bahari telah mengajarkan kepada kita bahwa kekayaan laut bukanlah milik individu atau negara semata, tetapi merupakan warisan bersama yang harus dikelola dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Dalam setiap riak ombak, dalam setiap helai layar Pinisi yang dikendalikan oleh pelaut MAB, terdapat janji akan masa depan maritim Indonesia yang makmur dan lestari.
Pengetahuan yang terkandung dalam MAB mengenai musim penangkapan, lokasi ikan tertentu, dan prakiraan cuaca adalah data oseanografi yang tak ternilai harganya. Data-data ini, yang telah diuji oleh praktik MAB selama ratusan generasi, seringkali lebih akurat untuk kondisi lokal dibandingkan model prakiraan global. Integrasi data MAB ke dalam sistem penelitian kelautan modern akan menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang dinamika perairan Nusantara.
Fenomena global seperti peningkatan suhu laut sangat berdampak pada kehidupan MAB. Perubahan pola migrasi ikan, misalnya, memaksa MAB untuk mengubah praktik penangkapan tradisional mereka, yang telah didasarkan pada siklus alam yang stabil selama ini. Dukungan teknologi yang tepat, yang tidak merusak lingkungan tetapi membantu MAB melacak perubahan ini, adalah esensial untuk memastikan ketahanan pangan dan ekonomi mereka.
Sistem sosial MAB, yang seringkali bersifat komunal, juga memainkan peran penting dalam ketahanan bencana. Ketika badai datang, MAB memiliki jaringan komunitas yang kuat untuk saling membantu dan membangun kembali. Solidaritas ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Memperkuat struktur adat MAB berarti memperkuat kemampuan mitigasi bencana di wilayah pesisir.
MAB juga menghadapi tantangan internal, yaitu konflik antarkomunitas adat terkait batas wilayah tangkap. Dalam situasi ini, peran pemerintah daerah dan lembaga adat sangat penting untuk memfasilitasi dialog, menggunakan peta adat MAB, dan menyelesaikan sengketa berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal yang telah ada. Penyelesaian konflik berbasis MAB lebih cenderung menghasilkan solusi yang berkelanjutan dan diterima oleh semua pihak.
Revitalisasi tradisi lisan MAB, seperti lagu-lagu pelaut dan dongeng-dongeng tentang makhluk laut, juga penting. Ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana transmisi pengetahuan navigasi dan etika konservasi. Setiap lagu MAB seringkali mengandung kode-kode rahasia tentang penanda alam atau rute pelayaran tertentu. Mendokumentasikan dan mempromosikan warisan MAB ini adalah tugas budaya yang mendesak.
Peran perempuan dalam MAB seringkali luput dari perhatian. Meskipun pria MAB fokus pada pelayaran dan penangkapan di laut terbuka, perempuan MAB memainkan peran vital dalam pengolahan hasil laut, menjaga ekosistem pesisir (terutama mangrove dan kerang), serta meneruskan pengetahuan domestik dan herbal. Pemberdayaan ekonomi perempuan MAB adalah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan.
Dalam bingkai MAB, laut tidak pernah dilihat sebagai ‘batas’ yang memisahkan, melainkan sebagai ‘penghubung’ yang menyatukan. Filosofi ini, yang tertanam dalam setiap aspek kehidupan MAB, adalah antidot terhadap pandangan modern yang melihat laut hanya sebagai jalur logistik atau sumber daya yang harus diekstraksi. MAB mengajarkan kita untuk hidup berdampingan, bukan mendominasi, lautan.
Kontribusi MAB terhadap keanekaragaman hayati global tidak bisa diremehkan. Dengan praktik penangkapan yang selektif dan musim tutup tangkap (Sasi), MAB secara efektif menciptakan suaka alam yang tidak berlabel. Wilayah kelola adat MAB seringkali menunjukkan tingkat kesehatan ekosistem yang lebih tinggi dibandingkan wilayah yang dikelola secara eksklusif oleh pemerintah atau korporasi. Pengakuan terhadap Wilayah Konservasi Berbasis Masyarakat Adat (WCBM) yang diinisiasi MAB adalah langkah maju yang esensial.
Kehadiran MAB di pulau-pulau terdepan juga memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Mereka adalah warga negara yang berdiam di garis batas terluar, menegaskan kehadiran Indonesia secara damai dan kultural. Dengan menjaga kesejahteraan dan hak-hak MAB di pulau-pulau tersebut, negara secara tidak langsung memperkuat pertahanan teritorialnya dari ancaman eksternal dan klaim wilayah ilegal. Pemberdayaan MAB adalah investasi dalam pertahanan nirmiliter.
Tantangan birokrasi dalam mendukung MAB harus diatasi melalui pendekatan partisipatif. Program-program pemerintah yang ditujukan untuk MAB harus dirancang bersama dengan MAB sendiri, bukan diimplementasikan dari atas ke bawah. Hanya dengan cara ini, kebijakan dapat selaras dengan kebutuhan spesifik dan kearifan lokal MAB, menjamin bahwa bantuan atau intervensi benar-benar bermanfaat.
Filosofi maritim MAB, yang terkadang terwujud dalam konsep *Puang Lopi* (pemimpin kapal) atau *Panglima Laut*, mencerminkan struktur kepemimpinan yang berwibawa namun bertanggung jawab. Kepemimpinan MAB didasarkan pada kemampuan navigasi, etika sosial, dan pemahaman mendalam tentang alam, sebuah model yang layak dipelajari oleh kepemimpinan di sektor maritim modern.
Perjuangan MAB untuk mempertahankan hak-hak mereka seringkali menjadi perjuangan yang sunyi. Mereka melawan kekuatan ekonomi besar dengan hanya berbekal perahu kecil, pengetahuan warisan, dan ikatan komunitas yang kuat. Solidaritas nasional untuk mendukung MAB, misalnya melalui kampanye kesadaran dan dukungan hukum, adalah manifestasi dari tanggung jawab moral kita terhadap pelestari budaya Nusantara.
Di era digital, MAB juga mulai memanfaatkan teknologi, namun harus dilakukan dengan hati-hati. Penggunaan GPS untuk keselamatan, atau aplikasi digital untuk memetakan hasil tangkapan, dapat membantu MAB bersaing. Namun, MAB harus memastikan bahwa teknologi tersebut berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti, dari pengetahuan navigasi tradisional mereka yang tak ternilai harganya.
MAB mengajarkan bahwa keberlanjutan adalah filosofi hidup, bukan sekadar tujuan proyek. Dengan kembali mempelajari dan mengadopsi prinsip-prinsip MAB, Indonesia dapat mewujudkan potensi maritimnya tanpa mengorbankan masa depan. Laut adalah jantung MAB, dan MAB adalah jantung Nusantara.
Pengembangan infrastruktur pesisir harus selalu mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis terhadap MAB. Pembangunan yang memindahkan MAB dari wilayah kelola tradisional mereka atau merusak habitat penting (seperti terumbu karang yang mereka anggap keramat) sama saja dengan menghancurkan fondasi budaya dan ekonomi mereka. Pendekatan pembangunan yang inklusif, yang menjadikan MAB sebagai mitra dalam perencanaan, adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan yang adil.
Setiap kelompok MAB memiliki nama unik untuk angin, gelombang, dan jenis ikan yang berbeda. Kekayaan leksikon ini menunjukkan tingkat interaksi dan pemahaman yang sangat detail terhadap lingkungan laut. Mendokumentasikan bahasa-bahasa maritim MAB adalah salah satu cara untuk melestarikan pengetahuan ini, karena hilangnya bahasa MAB seringkali berarti hilangnya keseluruhan sistem pengetahuan ekologis yang terkandung di dalamnya.
Keselamatan di laut, yang merupakan perhatian utama bagi MAB, tidak hanya dijamin oleh peralatan modern, tetapi juga oleh ritual dan penghormatan terhadap laut. Kepercayaan MAB bahwa laut dapat memberikan keselamatan jika dihormati, menciptakan etika pelayaran yang penuh kehati-hatian dan tanggung jawab. Ini adalah pelajaran penting bagi semua pengguna lautan.
Isu modern seperti hak cipta dan kekayaan intelektual juga relevan bagi MAB. Pengetahuan MAB tentang ramuan tradisional, teknik pengawetan ikan, atau desain kapal, seringkali dieksploitasi tanpa pengakuan atau kompensasi yang layak. Perlu ada mekanisme hukum yang melindungi hak kekayaan intelektual kolektif MAB atas warisan budaya mereka.
Sistem MAB merupakan model adaptasi manusia terhadap lingkungan paling ekstrem. Kehidupan di atas air, berpindah-pindah, dan bergantung sepenuhnya pada alam, membentuk karakter MAB yang ulet, inovatif, dan sangat terikat pada komunitas. Nilai-nilai MAB ini—keterikatan, keuletan, dan harmoni—adalah modal sosial yang harus diaplikasikan dalam skala nasional untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
Eksistensi MAB adalah pengingat bahwa lautan Nusantara adalah ruang hidup yang berdenyut, bukan sekadar peta kosong yang harus diisi. Peran MAB sebagai penjaga ekologi, pewaris budaya, dan pilar kedaulatan, menjadikan mereka elemen kunci dalam menentukan masa depan Indonesia sebagai negara maritim yang jaya dan berkelanjutan. MAB adalah harta karun bangsa yang harus dipertahankan hingga akhir zaman.
Pengetahuan MAB tentang pola migrasi penyu atau mamalia laut juga sangat membantu dalam upaya konservasi spesies yang terancam punah. Karena interaksi harian mereka dengan laut, MAB seringkali menjadi yang pertama melihat perubahan populasi atau tanda-tanda penyakit pada biota laut. Kemitraan antara konservasionis dan MAB menghasilkan program perlindungan yang lebih efektif dan diterima oleh komunitas lokal.
Salah satu ancaman finansial terbesar bagi MAB adalah fluktuasi harga komoditas laut dan perantara (tengkulak) yang mengambil margin keuntungan besar. Membangun koperasi MAB yang kuat dan memberikan akses langsung ke pasar akan memutus rantai eksploitasi dan memberikan nilai ekonomi yang lebih adil bagi hasil jerih payah mereka.
MAB Suku Laut di Kepulauan Riau, misalnya, menghadapi tekanan besar dari pembangunan jalur pelayaran internasional dan reklamasi. Ruang gerak mereka terbatas, dan tradisi nomaden mereka terancam. Solusi yang adil harus mencakup pengakuan terhadap ruang hidup MAB dan memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan hak-hak fundamental mereka.
Konsep *‘Laut sebagai Rumah’* yang dipegang teguh oleh MAB harus menjadi pedoman bagi kebijakan kelautan nasional. Rumah harus dijaga, dihormati, dan diberikan hak untuk pulih. Filosofi ini menuntut pergeseran paradigma dari eksploitasi ke pengelolaan berbasis ekosistem dan kebudayaan.
Kajian mendalam tentang struktur sosial MAB, seperti sistem kepemilikan komunal atas perahu atau alat tangkap, juga memberikan wawasan tentang model ekonomi berbagi dan keberlanjutan yang dapat diadopsi lebih luas. MAB menunjukkan bahwa kerjasama, bukan kompetisi, adalah kunci untuk bertahan hidup di lingkungan maritim yang keras.
Untuk menutup perbincangan ini, penting ditekankan bahwa MAB adalah arsitek hidup peradaban maritim. Setiap jengkal wilayah pesisir Nusantara memiliki cerita dan kearifan MAB yang menunggu untuk diakui dan diapresiasi. Kelanjutan tradisi MAB adalah jaminan bahwa Indonesia akan selalu ingat akarnya sebagai bangsa bahari.
MAB adalah representasi nyata dari filosofi ‘Jalesveva Jayamahe’—Di Laut Kita Jaya—yang bukan hanya keberanian di medan perang, melainkan kemampuan untuk hidup harmonis, mengelola, dan melestarikan kekayaan samudra demi kebesaran bangsa. Dengan menghormati dan memberdayakan MAB, Indonesia mengukuhkan posisinya sebagai negara maritim yang berdaulat, berbudaya, dan berkelanjutan.
Peranan MAB dalam menjaga keragaman genetik perikanan juga perlu diangkat. Karena MAB cenderung menggunakan alat tangkap selektif, mereka tidak merusak stok ikan muda atau spesies yang tidak ditargetkan, berbeda dengan metode industrial yang sering kali menghasilkan tangkapan sampingan (bycatch) yang tinggi. Praktik MAB ini secara tidak langsung menjamin konservasi sumber daya perikanan masa depan.
Bagi MAB, pengetahuan tentang arus bawah laut, yang tidak terlihat dari permukaan, adalah vital. Arus-arus ini mempengaruhi migrasi plankton, yang pada gilirannya mempengaruhi pergerakan ikan besar. MAB di berbagai wilayah memiliki istilah dan sistem prediksi untuk arus ini, pengetahuan yang sangat berharga bagi ilmu oseanografi dan perikanan modern yang mulai menghadapi kerumitan perairan tropis.
Aspek seni dan ritual MAB, seperti tarian atau musik yang menyertai upacara pelayaran atau perayaan panen laut, adalah ekspresi budaya yang mendalam. Seni MAB ini sering kali bercerita tentang mitos penciptaan laut, pertemuan dengan roh laut, atau tantangan dalam menghadapi badai, yang semuanya berfungsi sebagai alat pendidikan moral dan transmisi sejarah.
Dalam menghadapi masalah sampah laut, MAB dapat berperan aktif sebagai kolektor dan pengawas. Karena mereka sangat bergantung pada kebersihan laut, MAB memiliki insentif terbesar untuk menjaga perairan tetap murni. Program pengelolaan sampah yang melibatkan MAB secara langsung, dengan memberikan insentif ekonomi untuk pengumpulan dan daur ulang, dapat menjadi model solusi yang efektif di tingkat desa pesisir.
Ketahanan MAB tidak hanya terletak pada kemampuan berlayar, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam memproduksi makanan dari laut secara mandiri. Teknik budidaya laut tradisional, seperti budidaya rumput laut yang ramah lingkungan atau budidaya mutiara yang dijaga secara adat, menunjukkan bagaimana MAB mampu menciptakan ekonomi yang stabil tanpa merusak ekosistem.
Isu pendidikan bagi anak-anak MAB yang hidup nomaden, seperti Suku Bajo, adalah tantangan kemanusiaan dan pembangunan. Program pendidikan yang fleksibel, yang dapat diakses di atas perahu atau di pemukiman sementara, sangat dibutuhkan. Pendidikan ini harus menguatkan literasi dasar sambil tetap menghargai dan meneruskan pengetahuan maritim MAB yang unik.
Pengakuan terhadap MAB juga berarti pengakuan terhadap hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination) terkait pengelolaan sumber daya laut di wilayah adat mereka. Ini adalah prinsip inti dari keadilan lingkungan dan hak asasi manusia. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak secara paternalistik mendikte MAB, melainkan mendukung keputusan kolektif MAB.
Peran MAB dalam menjaga keamanan perairan juga terbukti dalam sejarah. Mereka seringkali menjadi mata-mata alami terhadap kapal-kapal asing yang melanggar batas, memberikan informasi krusial kepada otoritas sebelum pelanggaran itu meluas. Membangun komunikasi yang efektif antara MAB dan lembaga keamanan laut adalah investasi pertahanan yang cerdas.
Di wilayah terpencil yang akses informasinya terbatas, MAB seringkali bergantung pada jaringan komunikasi tradisional mereka. Jaringan ini melibatkan pertukaran informasi antar pulau melalui pelayaran dan kunjungan. Memahami dan memanfaatkan jaringan komunikasi MAB ini dapat memperkuat kohesi sosial dan kesiapsiagaan regional.
MAB juga memiliki sistem pengobatan tradisional berbasis laut, menggunakan biota laut tertentu, rumput laut, atau mineral dari pantai untuk penyembuhan. Pengetahuan ini, yang merupakan bagian dari kekayaan farmakologi tradisional Nusantara, perlu didokumentasikan dan dipelajari dengan hati-hati untuk manfaat kesehatan yang lebih luas, sambil tetap menghormati hak kepemilikan MAB atas penemuan tersebut.
Melestarikan MAB berarti melestarikan keragaman genetika tanaman dan hewan laut. Karena MAB hidup di dalam dan bersama ekosistem, mereka adalah pelindung terbaik dari stok genetik lokal yang mungkin rentan terhadap penyakit atau perubahan lingkungan. Praktik mereka membantu mempertahankan varietas lokal yang adaptif.
Secara spiritual, MAB memandang laut sebagai ruang yang dihuni oleh entitas supernatural, seperti dewa laut atau roh leluhur. Pandangan MAB ini menumbuhkan rasa hormat dan takut yang sehat terhadap samudra, yang secara otomatis mendorong perilaku konservatif dan hati-hati dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Penguatan MAB melalui program kemitraan dengan sektor pariwisata juga harus dikelola dengan hati-hati agar tidak terjadi komodifikasi budaya MAB. Ekowisata yang berkelanjutan harus memastikan bahwa MAB mendapatkan manfaat finansial langsung, dan bahwa tradisi mereka disajikan secara otentik, bukan direduksi menjadi atraksi semata.
Kisah-kisah sukses MAB dalam menghadapi tantangan modern, seperti komunitas MAB yang berhasil memenangkan kasus hukum melawan perusahaan tambang yang merusak terumbu karang mereka, harus disebarluaskan. Kisah-kisah ini menjadi inspirasi bagi MAB lain untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
MAB adalah representasi historis dari peradaban bahari yang unggul. Di saat dunia modern mencari solusi krisis iklim dan hilangnya biodiversitas, MAB menawarkan peta jalan yang sudah teruji: hidup selaras dengan alam. Penerapan filosofi MAB pada skala nasional adalah langkah revolusioner menuju Indonesia yang lestari.
Oleh karena itu, setiap upaya pembangunan di wilayah pesisir harus mengawali prosesnya dengan dialog dan persetujuan dari MAB yang relevan. *Free, Prior, and Informed Consent* (Persetujuan Bebas, Didahului, dan Diinformasikan) adalah prinsip kunci dalam menjamin hak-hak MAB dan menghasilkan proyek pembangunan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. MAB adalah mitra, bukan hambatan.
Pentingnya MAB sebagai penjaga etika maritim juga harus ditanamkan pada seluruh masyarakat. Etika MAB mengajarkan rasa syukur, kesabaran, dan keberanian. Nilai-nilai MAB ini sangat relevan untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan mandiri, terutama bagi generasi muda yang akan mewarisi kepulauan ini.