Alt Text: Ilustrasi bulan sabit (hilal) sebagai simbol penetapan awal bulan Hijriah.
Majlis Agama Islam Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, atau yang disingkat MABIMS, adalah sebuah forum konsultatif dan kerjasama tingkat menteri agama yang melibatkan empat negara serumpun di kawasan Asia Tenggara. Dibentuk atas dasar kesamaan budaya, sejarah, dan terutama akidah Islam, MABIMS memainkan peran sentral dalam upaya harmonisasi praktik keagamaan, standarisasi regulasi, dan mempererat ukhuwah Islamiyah di antara negara-negara anggotanya.
Dalam konteks global, umat Islam sering kali menghadapi tantangan signifikan terkait kesamaan jadwal ibadah yang bergantung pada perhitungan kalender Qamariyah (Bulan), seperti penetapan awal Ramadan, Syawal (Idul Fitri), dan Zulhijjah (Idul Adha). Perbedaan metodologi, baik itu menggunakan pendekatan astronomi (hisab) maupun pengamatan langsung (rukyat), seringkali menyebabkan perbedaan tanggal hari raya antar negara, bahkan terkadang di dalam satu negara. MABIMS hadir sebagai inisiatif strategis untuk menjembatani perbedaan-perbedaan metodologis ini, dengan fokus utama pada perumusan kriteria tunggal penetapan awal bulan yang dapat diterima secara luas di kawasan regional.
Signifikansi MABIMS jauh melampaui koordinasi hari raya semata. Forum ini juga menjadi wadah diskusi penting mengenai isu-isu kontemporer umat Islam, mulai dari pendidikan agama, manajemen haji dan umrah, hingga standarisasi produk halal. Kerjasama yang terjalin erat ini mencerminkan komitmen empat negara untuk menyelaraskan kebijakan keagamaan demi kepentingan jutaan umat Muslim yang menjadi populasi mayoritas atau minoritas signifikan di kawasan tersebut.
Pembentukan MABIMS tidak terjadi dalam ruang vakum, melainkan merupakan kristalisasi dari kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah klasik dalam Islam: variasi penetapan awal bulan Qamariyah. Meskipun keempat negara memiliki akar Islam yang kuat, kebijakan dan metodologi penetapan kalender yang mereka gunakan bervariasi secara historis.
Meskipun gagasan persatuan umat Islam di kawasan ini telah lama ada, formalisasi kerjasama dimulai melalui serangkaian pertemuan informal menteri agama. Keprihatinan utama adalah seringnya terjadi perbedaan Hari Raya yang menimbulkan kebingungan publik dan tantangan logistik bagi pemerintah. Kebutuhan untuk memiliki panduan bersama yang mengintegrasikan aspek syariat (rukun rukyat) dan aspek ilmiah (astronomi modern) menjadi pendorong utama.
MABIMS secara resmi didirikan melalui pertemuan yang melibatkan para menteri agama dari empat negara pada tahun 1989. Namun, fondasi diskusi dan pertukaran data hisab dan rukyat sudah dimulai jauh sebelum itu, menunjukkan proses dialog yang panjang dan matang. Pertemuan ini sepakat untuk membentuk sebuah Majlis yang bertindak sebagai forum musyawarah tertinggi dalam hal-hal keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan kalender Hijriah.
Dalam Piagam MABIMS awal, terdapat beberapa tujuan fundamental yang menjadi landasan operasional Majlis ini:
Kehadiran Singapura dalam forum ini, meskipun memiliki populasi Muslim minoritas dibandingkan tiga negara lainnya, sangat strategis karena Singapura merupakan pusat penting dalam kajian astronomi dan logistik regional, menambah dimensi ilmiah dan praktis dalam diskusi.
MABIMS beroperasi sebagai sebuah majlis menteri, yang berarti pengambilan keputusan tertinggi berada di tangan para Menteri Agama atau setara dari empat negara. Struktur organisasi MABIMS dirancang agar fleksibel namun efektif dalam menghasilkan konsensus teknis dan kebijakan.
Struktur MABIMS biasanya terdiri dari:
Proses pengambilan keputusan dalam MABIMS menekankan pada prinsip musyawarah dan mufakat. Meskipun seringkali data astronomi menunjukkan hasil yang tegas, keputusan akhir selalu mempertimbangkan aspek fiqih, tradisi, dan implikasi sosial regional. Ini menjadikan prosesnya unik, menggabungkan sains modern dengan jurisprudence Islam tradisional.
Alt Text: Diagram empat bintang yang saling terhubung, melambangkan kerjasama erat empat negara anggota MABIMS.
Pencapaian paling monumental dari MABIMS adalah perumusan kriteria tunggal penetapan awal bulan Hijriah, yang dikenal sebagai Kriteria Imkanur Rukyat MABIMS. Konsep Imkanur Rukyat (Kemungkinan Melihat) adalah sebuah pendekatan hibrida yang menggabungkan prinsip fiqih rukyat (pengamatan) dengan data hisab (perhitungan astronomi) untuk menentukan apakah hilal (bulan sabit baru) secara astronomis mungkin untuk dilihat pada saat matahari terbenam.
Sejak akhir 1980-an hingga awal 1990-an, MABIMS mulai menyusun kriteria awal untuk membatasi perbedaan yang terjadi akibat penggunaan hisab murni atau rukyat murni yang tidak terstandarisasi. Kriteria awal yang sempat diterapkan, meskipun tidak selalu dikenal publik secara eksplisit, adalah bahwa bulan baru dianggap masuk apabila kriteria dasar terpenuhi pada saat matahari terbenam (Ghurub):
Kriteria awal ini, meskipun menjadi langkah maju, masih sering dikritik karena dianggap terlalu permisif secara astronomis, terutama karena kriteria tinggi 2 derajat sering dianggap terlalu rendah untuk observasi visual yang konsisten dan akurat di garis lintang tropis dengan kondisi atmosfer yang cenderung lembab.
Menyadari keterbatasan kriteria awal, dan didorong oleh penelitian astronomi Islam yang semakin cermat, MABIMS kemudian merumuskan kriteria yang lebih ketat, yang dikenal sebagai “Kriteria 3-3-8” atau varian sejenis. Kriteria ini sempat menjadi standar regional selama beberapa dekade:
Penggunaan kriteria ini berhasil mengurangi frekuensi perbedaan Hari Raya di kawasan MABIMS, namun kontroversi tetap muncul. Kritik utama terhadap 3-3-8 adalah bahwa meskipun lebih baik, ia masih belum sepenuhnya selaras dengan batas visibilitas hilal yang dipublikasikan oleh otoritas astronomi Islam global, seperti kurva Odeh atau kriteria Syeikh Muhammad Elias.
Perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri yang signifikan pada beberapa tahun yang lalu, terutama antara Indonesia dan Saudi Arabia/negara-negara lain, memicu tinjauan ulang total terhadap kriteria MABIMS. Hal ini memunculkan kesadaran bahwa kriteria regional harus lebih mendekati standar visibilitas global untuk memastikan kesatuan waktu ibadah yang lebih luas.
Setelah melalui Sidang Teknis yang intensif dan mendalam, melibatkan data astronomi terkini dan simulasi visibilitas dari observatorium di kawasan tropis, MABIMS sepakat untuk mengadopsi kriteria baru yang jauh lebih ketat. Kriteria baru ini mulai diterapkan oleh negara anggota seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei pada periode terkini (sering disebut sebagai kriteria yang disempurnakan atau Kriteria Neo-MABIMS).
Penting untuk dicatat bahwa dalam kriteria yang disempurnakan ini, faktor 'umur bulan' mulai ditinggalkan atau diintegrasikan secara implisit ke dalam perhitungan elongasi dan tinggi, yang dianggap sebagai indikator visibilitas yang lebih akurat. Kriteria 3-6.4-7.5 (Tinggi-Elongasi-Azimuth) atau varian 3-2-8 (yang merujuk pada elongasi 6.4 dan azimuth 8) adalah formula yang kini menjadi standar regional. Kriteria baru ini secara signifikan mengurangi kemungkinan melihat hilal pada kondisi sangat tipis (yang dikenal sebagai rukyat *impossible* secara astronomis), sehingga menghasilkan keselarasan yang lebih baik dengan kalender global, termasuk kalender Ummul Qura Saudi Arabia, meskipun tidak selalu identik.
Penetapan kriteria Imkanur Rukyat bukanlah semata-mata latihan matematika astronomi. Ia merupakan hasil dari persilangan antara ilmu falak, fiqih (yurisprudensi Islam), dan kebijakan publik. Kriteria MABIMS mencerminkan upaya untuk memenuhi dua tuntutan syariat utama: tuntutan rukyat (pengamatan) dan tuntutan hisab (kepastian ilmiah).
Mayoritas ulama di kawasan MABIMS menganut mazhab Syafi’i dan memiliki tradisi kuat dalam melaksanakan rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) secara fisik. Namun, rukyatul hilal memiliki keterbatasan, terutama dalam kondisi cuaca buruk atau di mana saksi mata mungkin keliru melihat objek lain (mirage, awan, atau ilusi optik).
Di sinilah hisab (astronomi) berperan. MABIMS menggunakan hisab tidak untuk menggantikan rukyat, melainkan untuk menjadi filter dan parameter. Hisab digunakan untuk:
Filosofi Imkanur Rukyat MABIMS adalah menciptakan "zona aman" astronomis. Jika hilal berada di atas ambang batas 3 derajat tinggi dan 6,4 derajat elongasi, maka secara ilmiah ia berpotensi terlihat, dan jika ada saksi rukyat yang kredibel, maka bulan baru dapat ditetapkan. Kriteria ini mengakui otoritas rukyat, tetapi membatasi rukyat tersebut dengan batasan ilmiah yang rasional.
Satu hal yang sangat ditekankan dalam forum MABIMS adalah kedisiplinan dalam penerapan kriteria. Ketika sebuah kriteria telah disepakati melalui konsensus menteri, negara anggota wajib menerapkannya, meskipun hasil rukyat lokal mereka mungkin kontradiktif (misalnya, jika hisab menunjukkan kriteria tidak terpenuhi, namun ada klaim rukyat lokal). Disiplin ini penting untuk menjaga kesatuan regional, mencegah anarki penetapan, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap otoritas agama negara.
Walaupun isu penetapan kalender Hijriah mendominasi diskusi publik MABIMS, ruang lingkup kerjasama forum ini sebenarnya jauh lebih luas, mencakup aspek-aspek vital kehidupan umat Islam di kawasan ini.
Asia Tenggara adalah pusat perdagangan global untuk produk halal. Kerjasama MABIMS sangat krusial dalam harmonisasi standar sertifikasi halal. Perbedaan prosedur, definisi bahan baku, dan metode penyembelihan antar negara dapat menghambat perdagangan dan menimbulkan keraguan konsumen.
MABIMS memfasilitasi pertukaran pelajar, dosen, dan ulama. Tujuannya adalah untuk memastikan kurikulum pendidikan Islam di kawasan ini memiliki standar kualitas yang tinggi dan untuk mencegah masuknya ideologi keagamaan ekstrem yang dapat memecah belah umat.
Meskipun manajemen haji sangat bergantung pada kebijakan Arab Saudi, MABIMS menjadi platform untuk koordinasi regional terkait kuota haji, isu kesehatan, dan perlindungan jamaah. Diskusi bersama ini memungkinkan negara anggota untuk menyuarakan kepentingan regional dengan satu suara yang lebih kuat di forum-forum internasional.
Untuk memahami sepenuhnya keberhasilan dan tantangan MABIMS, kita harus menyelam lebih dalam ke terminologi astronomi yang digunakan. Kriteria Imkanur Rukyat bergantung pada tiga variabel kunci yang harus dihitung dengan sangat presisi pada saat matahari terbenam di lokasi pengamatan:
Tinggi hilal adalah sudut vertikal antara pusat bulan dan horizon sejati. MABIMS menetapkan minimal 3 derajat. Kenapa angka 3 derajat? Penelitian menunjukkan bahwa di daerah tropis, faktor atmosfer, seperti turbulensi, kelembaban, dan awan tipis, membuat pengamatan bulan sabit di bawah 3 derajat hampir mustahil untuk dikonfirmasi secara konsisten oleh mata telanjang, bahkan dengan bantuan teleskop dalam beberapa kondisi. Ambang batas 3 derajat adalah batas psikologis dan ilmiah yang dirancang untuk meminimalisir 'rukyat palsu'.
Elongasi adalah jarak sudut antara pusat bulan dan pusat matahari. Ini adalah indikator langsung seberapa jauh cahaya bulan dipisahkan dari silau matahari. MABIMS menetapkan 6,4 derajat. Semakin kecil elongasi, semakin kecil porsi bulan yang bercahaya dan semakin dekat ia dengan sinar matahari, membuatnya sulit dilihat. Nilai 6,4 derajat ini sering dikaitkan dengan kriteria visibilitas minimum yang disepakati secara internasional untuk memastikan hilal telah memiliki intensitas cahaya yang cukup kuat untuk menembus atmosfer senja.
Beda Azimuth adalah perbedaan sudut horizontal antara posisi matahari terbenam dan posisi hilal. MABIMS menyempurnakan kriteria ini menjadi minimal 7.5 atau 8 derajat (tergantung varian perhitungan). Jika bulan dan matahari terbenam di lokasi yang hampir sama (beda azimuth kecil), meskipun hilal sudah cukup tinggi, silau matahari yang menyebar di atmosfer akan menghalangi visibilitas. Beda azimuth yang cukup besar memastikan hilal terbenam pada kuadran langit yang relatif lebih gelap setelah matahari benar-benar menghilang.
Implikasi Perubahan Kriteria (Neo-MABIMS)
Perubahan dari kriteria lama ke kriteria baru (3-6.4-7.5/8) memiliki implikasi besar. Kriteria baru ini secara otomatis menolak kemungkinan penetapan awal bulan jika ijtima' terjadi terlalu dekat dengan waktu maghrib, karena hilal tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mencapai tinggi 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat secara simultan. Ini mempromosikan kalender yang lebih stabil dan mengurangi risiko kesalahan penetapan, meskipun kadang-kadang berarti Hari Raya di kawasan MABIMS akan jatuh sehari setelah negara-negara yang menggunakan hisab murni atau rukyat global (seperti Turki atau Saudi Arabia yang cenderung lebih dulu).
Meskipun MABIMS telah mencapai tingkat koordinasi yang luar biasa, forum ini tidak luput dari tantangan, baik dari internal maupun eksternal.
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki tradisi hisab dan rukyat yang beragam di antara organisasi-organisasi besar (NU, Muhammadiyah, dan pemerintah). Meskipun pemerintah Indonesia secara resmi mengadopsi Kriteria MABIMS yang disempurnakan, penerapan di tingkat masyarakat masih membutuhkan edukasi dan sosialisasi yang berkelanjutan. Demikian pula, tantangan di Malaysia, Brunei, dan Singapura adalah memastikan bahwa konsensus teknis dapat diserap dan dipatuhi oleh semua lembaga keagamaan di tingkat akar rumput.
Isu terberat adalah konflik batas tanggal dengan negara-negara di luar MABIMS, terutama negara-negara Timur Tengah (yang sering memulai bulan lebih cepat) dan beberapa negara Asia Selatan. Ketika MABIMS memutuskan Hari Raya pada hari tertentu berdasarkan kriteria ketat, sementara negara-negara lain merayakan sehari sebelumnya, hal ini menciptakan tekanan sosial dan media yang signifikan. MABIMS harus terus menjelaskan bahwa mereka menerapkan kriteria yang paling sesuai dengan visibilitas hilal di garis lintang ekuatorial/tropis mereka, yang secara astronomis berbeda dari daerah subtropis.
Di masa depan, MABIMS diharapkan dapat memperkuat perannya sebagai otoritas keagamaan Islam di ASEAN.
Kriteria Imkanur Rukyat MABIMS (disempurnakan) merupakan upaya ilmiah dan syar'i untuk memastikan bulan baru ditetapkan hanya jika visibilitasnya terjamin di kawasan tropis. Penerapannya mencerminkan komitmen regional untuk memilih kehati-hatian (ihtiyat) dalam ibadah dan kesatuan umat, meskipun berpotensi berbeda satu hari dengan wilayah geografis lain.
Meskipun kriteria MABIMS bersifat hisab (perhitungan), proses penetapan akhirnya tetap memerlukan sidang Isbat (penetapan) dan pengamatan fisik (rukyať) di negara-negara anggota sebagai konfirmasi syar’i. Proses ini sangat terstruktur dan memerlukan koordinasi yang ketat.
Beberapa minggu sebelum akhir bulan Hijriah, komite teknis MABIMS (yang terdiri dari ahli falak) dari keempat negara bertukar data astronomi yang sangat rinci. Data ini meliputi:
Tujuan utama dari pertukaran data ini adalah untuk mencapai kesamaan hasil hisab. Jika hasil hisab keempat negara sudah selaras, kemungkinan perbedaan dalam sidang isbat menjadi sangat kecil.
Pada hari ke-29 bulan berjalan, masing-masing negara anggota MABIMS melakukan pengamatan (rukyat) di titik-titik observatorium resmi. Lokasi-lokasi ini dipilih berdasarkan ketinggian, kebersihan atmosfer, dan faktor geografis yang optimal. Pengamatan ini dilakukan oleh tim ahli yang terdiri dari ulama, ahli falak, dan perwakilan pemerintah. Di Indonesia, misalnya, lokasi rukyat bisa mencapai puluhan titik yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Sidang Isbat adalah forum penentuan akhir di tingkat nasional. Dalam konteks MABIMS, sidang ini memiliki dua tugas: memvalidasi data hisab dan menerima laporan rukyat.
Setelah penetapan di tingkat nasional selesai, keempat negara anggota MABIMS (melalui komunikasi antar menteri) mengkonfirmasi dan mengumumkan hasil konsensus regional. Konsensus ini biasanya mengikat, memastikan bahwa umat Islam di Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura merayakan Hari Raya pada tanggal yang sama.
MABIMS menggunakan konsep wilayah kriterial (territorial criterion), di mana hasil rukyat atau hisab yang memenuhi kriteria di salah satu titik observasi di wilayah negara anggota dianggap berlaku untuk seluruh wilayah tersebut dan, idealnya, bagi seluruh anggota MABIMS. Konsep ini adalah kunci untuk menciptakan kesatuan regional, menghindari situasi di mana satu negara merayakan Idul Fitri sementara negara tetangga mereka masih berpuasa.
Penerapan kriteria MABIMS paling terasa dampaknya pada penetapan Idul Fitri dan Idul Adha. Kasus-kasus kontroversial di masa lalu sering menjadi pemicu penting untuk penyempurnaan kriteria.
Idul Fitri sering menjadi kasus paling sensitif. Jika pada tanggal 29 Ramadan, posisi hilal berada di perbatasan Kriteria MABIMS (misalnya, tinggi 2,8 derajat dan elongasi 5,9 derajat—sedikit di bawah batas), maka keputusan yang diambil MABIMS adalah menggenapkan bulan Ramadan menjadi 30 hari (Istikmal). Keputusan ini sering kali bertentangan dengan negara-negara yang menggunakan kriteria visibilitas yang lebih longgar atau hisab murni, yang mungkin menetapkan Idul Fitri pada hari tersebut.
Dalam situasi ini, MABIMS harus menyediakan narasi yang kuat dan berbasis ilmu pengetahuan untuk menjelaskan kepada publik mengapa mereka memilih "lebih lambat satu hari." Alasannya adalah pertimbangan fiqih yang mengutamakan keyakinan (yakin) daripada dugaan (zhan), sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan puasa atau berhari raya berdasarkan pengamatan yang sah.
Meskipun Idul Adha lebih jarang menimbulkan perbedaan (karena penentuannya seringkali mengikuti ketetapan Hari Arafah di Mekah), MABIMS juga berperan penting dalam memvalidasi awal Zulhijjah. Kriteria yang sama diterapkan untuk memastikan bahwa Hari Arafah (9 Zulhijjah) dan Idul Adha (10 Zulhijjah) telah ditetapkan berdasarkan perhitungan astronomi yang solid. Koordinasi ini sangat vital bagi jamaah haji dari empat negara MABIMS yang harus menyesuaikan jadwal mereka dengan ketetapan global, sekaligus bagi umat yang tidak berhaji di kawasan ini.
Faktor Penting: Ijtimak Qablal Ghurub (Konjungsi Sebelum Matahari Terbenam). Salah satu syarat fundamental bagi semua negara MABIMS adalah ijtima' (konjungsi) harus terjadi sebelum matahari terbenam pada hari rukyat. Jika konjungsi terjadi setelah matahari terbenam, maka secara syar'i, malam itu masih terhitung sebagai akhir bulan lama, dan rukyat tidak sah.
Selain aspek praktisnya dalam kalender, MABIMS telah memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan ilmu falak (astronomi Islam) di Asia Tenggara.
Forum ini mendorong peningkatan kualitas ahli falak dan peneliti di keempat negara. Pertemuan teknis MABIMS bukan hanya sidang kebijakan, tetapi juga simposium ilmiah di mana data observasi, algoritma hisab, dan metodologi rukyat dipertukarkan dan dikritik secara konstruktif. Hal ini telah meningkatkan akurasi perhitungan di observatorium-observatorium regional, memastikan bahwa perhitungan yang digunakan adalah yang paling mutakhir dan paling sesuai dengan kondisi geografis tropis.
Alt Text: Ilustrasi buku terbuka dengan garis-garis teks, melambangkan ilmu pengetahuan dan fiqih Islam.
MABIMS berfungsi sebagai model diplomasi agama yang berhasil. Di tengah meningkatnya polarisasi global, forum ini menunjukkan bagaimana negara-negara dengan sistem politik dan populasi yang berbeda dapat bersatu atas dasar kepentingan bersama dalam urusan agama. Kesuksesan MABIMS dalam menstabilkan kalender regional memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana konsensus ilmiah dapat digunakan untuk mengatasi perbedaan fiqih tradisional.
Keputusan MABIMS memiliki bobot moral dan kebijakan yang kuat, tidak hanya bagi anggotanya tetapi juga bagi komunitas Muslim di seluruh Asia Pasifik. Harmonisasi yang diciptakan oleh MABIMS telah memberikan stabilitas, kemudahan logistik (terutama untuk bisnis dan perencanaan publik), dan yang terpenting, ketenangan batin bagi jutaan umat Muslim yang kini memiliki kepastian yang lebih besar mengenai jadwal ibadah mereka.
Untuk mencapai ketepatan dalam penerapan kriteria MABIMS, dibutuhkan data yang sangat spesifik dan akurat, termasuk:
Keterlibatan yang mendalam dalam detail teknis ini menunjukkan bahwa MABIMS bukan sekadar forum politik, melainkan lembaga yang didukung oleh keahlian ilmiah tingkat tinggi.
Salah satu isu kontemporer yang kini mulai dibahas dalam Sidang Teknis MABIMS adalah dampak perubahan iklim dan polusi udara terhadap rukyatul hilal. Peningkatan kabut asap (haze) regional, peningkatan kelembaban, dan potensi perubahan pola cuaca ekstrem (misalnya, El Niño) secara langsung dapat mengurangi kemungkinan visibilitas hilal, bahkan ketika kriteria hisab (3-6.4-7.5) sudah terpenuhi. MABIMS perlu terus beradaptasi dengan mengembangkan protokol yang memperhitungkan faktor-faktor lingkungan ini saat memverifikasi laporan rukyat dari lapangan.
MABIMS pada dasarnya memilih kesatuan praktis (aplikasi satu kalender) di atas kesatuan fiqih mutlak. Artinya, meskipun mungkin masih ada perbedaan mazhab dalam cara menerima kesaksian rukyat, yang diutamakan adalah hasil akhir yang seragam, untuk menghindari perpecahan sosial. Keputusan ini menunjukkan kematangan kebijakan keagamaan regional, yang mengutamakan kemaslahatan umat (maslahah ‘ammah) di atas perbedaan pendapat minor.
MABIMS berdiri sebagai contoh sukses integrasi antara ajaran agama, sains modern (astronomi), dan kebijakan publik. Melalui dedikasi selama beberapa dekade untuk harmonisasi, terutama dalam perumusan dan penyempurnaan Kriteria Imkanur Rukyat, MABIMS telah berhasil menciptakan landasan penetapan kalender Hijriah yang stabil dan dapat dipertanggungjawabkan di empat negara serumpun. Kriteria Neo-MABIMS yang ketat menjadi jaminan bahwa Hari Raya yang ditetapkan didasarkan pada visibilitas hilal yang benar-benar mungkin di kawasan tropis.
Lebih dari sekadar kalender, kerjasama MABIMS mencakup spektrum luas isu keagamaan, memperkuat jaringan halal regional dan mempromosikan pendidikan Islam yang moderat dan terpadu. Keberadaan Majlis ini memastikan bahwa meskipun negara anggota menghadapi tantangan modernitas, kebijakan keagamaan mereka tetap berakar kuat pada prinsip syariat yang didukung oleh data ilmiah yang akurat, menjadikan MABIMS sebuah pilar penting bagi kesatuan dan kemajuan umat Islam di Asia Tenggara.