Pusat Kehidupan dan Sumber Segala Wujud
Konsep Maha Esa, yang dalam terminologi teologis seringkali disebut sebagai Tauhid atau monoteisme murni, adalah poros utama yang mendasari seluruh sistem kepercayaan dan pandangan dunia yang mengakui adanya Tuhan. Ini bukan sekadar pengakuan numerik bahwa Tuhan itu satu, melainkan pengakuan esensial bahwa Ia adalah tunggal, unik, dan mutlak dalam Zat-Nya, Sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya. Keesaan ini melampaui perhitungan matematis; ia adalah keabsolutan ontologis yang menetapkan bahwa segala sesuatu yang ada di luar Diri-Nya adalah ciptaan, terikat pada hukum keterbatasan, dan bergantung sepenuhnya pada Wujud yang Esa tersebut.
Pengakuan terhadap Maha Esa adalah titik tolak bagi setiap pemahaman kosmis dan moralitas manusia. Tanpa pemahaman yang kokoh tentang keesaan ini, pandangan tentang alam semesta menjadi terfragmentasi, moralitas kehilangan sumber otoritasnya yang abadi, dan ibadah menjadi praktik yang diarahkan kepada entitas yang terbatas atau imajiner. Keesaan ini adalah kunci yang membuka rahasia tentang mengapa alam semesta begitu teratur, mengapa ada hukum universal, dan mengapa pencarian makna kehidupan selalu mengarah pada sumber tunggal yang tak terbatas.
Ketunggalan Allah adalah pemisah fundamental antara kebenaran murni dan segala bentuk kepercayaan yang bercabang. Ia menolak dualisme, yang mengajukan dua kekuatan abadi (baik dan buruk), dan menolak politeisme, yang membagi kekuasaan ketuhanan di antara banyak dewa. Konsep Maha Esa mengajarkan bahwa hanya ada satu sumber kekuasaan, satu sumber hukum, dan satu tujuan akhir. Konsekuensi dari penegasan ini sangat luas, membentuk etika pribadi, struktur sosial, dan bahkan pengembangan ilmu pengetahuan, yang mencari kesatuan fundamental di balik keragaman fenomena.
Lebih jauh lagi, memahami keesaan berarti memahami kemahakuasaan-Nya yang tak terbagi. Jika kekuasaan Ilahi dibagi, maka setiap bagian akan terbatas oleh bagian yang lain, yang secara inheren akan menghilangkan sifat keilahian yang sempurna. Oleh karena itu, Ketuhanan haruslah mutlak dalam kekuasaan, pengetahuan, dan kemauan. Konsep Maha Esa memastikan bahwa tidak ada kekuatan oposisi yang setara, tidak ada kehendak yang mampu menandingi, dan tidak ada pengetahuan yang luput dari cakupan-Nya. Ini adalah landasan filosofis bagi keyakinan bahwa segala peristiwa, baik yang terlihat baik maupun buruk di mata manusia, berasal dari satu sumber tunggal yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Keesaan Zat merupakan inti terdalam dari Tauhid. Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah unik dalam Diri-Nya (Zat-Nya). Tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada yang memiliki sifat-sifat keilahian sebagaimana yang Ia miliki. Zat Allah bukanlah zat fisik yang dapat dibayangkan, tidak terikat pada ruang atau waktu, dan tidak dapat dibagi-bagi. Keesaan ini menolak segala upaya untuk memvisualisasikan-Nya atau membandingkan-Nya dengan makhluk. Ia melampaui kategori-kategori yang diciptakan-Nya sendiri.
Pengakuan ini juga mencakup penolakan terhadap pemikiran bahwa Zat Ilahi dapat berinkarnasi atau menyatu dengan makhluk. Inkarnasi, dalam pandangan keesaan murni, berarti Batasan yang Mutlak dan Tidak Terbatas telah memasuki ranah Batasan dan Keterbatasan, yang secara logis mustahil. Maha Esa menegaskan bahwa Zat-Nya berdiri sendiri, tidak membutuhkan tempat, tidak membutuhkan waktu, dan tidak membutuhkan entitas lain untuk menopang keberadaan-Nya. Ia adalah Al-Qayyum, Yang Berdiri Sendiri dan menopang segala sesuatu.
Ketidakserupaan ini memberikan landasan bagi pemahaman bahwa metode untuk mengenal-Nya harus melalui wahyu dan manifestasi Sifat-sifat-Nya, bukan melalui penalaran analogis yang didasarkan pada pengalaman duniawi. Ketika kita merenungkan kebesaran alam semesta, kita hanya melihat jejak dari Kemahakuasaan-Nya, bukan Zat-Nya yang hakiki. Zat-Nya tetap misteri yang hanya dapat didekati melalui kesucian hati dan kepatuhan mutlak pada ajaran-Nya yang menunjukkan jalan.
Pembahasan mendalam mengenai Zat Yang Esa menuntut pemikiran yang sangat hati-hati, sebab batas antara pengenalan dan pemujaan yang salah sangat tipis. Upaya mendefinisikan Zat secara spesifik seringkali jatuh pada antropomorfisme, yaitu upaya menyamakan Tuhan dengan sifat-sifat manusia. Keesaan Zat menolak hal ini secara tegas. Ia adalah wujud yang berbeda total dari wujud ciptaan. Keunikan ini adalah sumber kekaguman dan kerendahan hati terbesar bagi mereka yang merenungkan hakikat ketuhanan. Ketidakmungkinan untuk sepenuhnya mengukur atau membatasi Zat Ilahi ini justru menegaskan keabsolutan-Nya, memberikan kepastian bahwa sumber dari segala eksistensi adalah tak terbatas dan sempurna.
Setelah mengakui Keesaan Zat, langkah berikutnya adalah memahami Keesaan Sifat. Ini berarti bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Maha Esa adalah sempurna, unik, dan tidak dapat dibagi. Tidak ada makhluk yang dapat memiliki sifat-sifat Ilahi secara penuh atau independen. Misalnya, meskipun manusia mungkin memiliki pengetahuan atau kekuasaan, pengetahuan dan kekuasaan Ilahi adalah absolut, tidak terikat oleh waktu, ruang, atau batasan kapasitas. Pengetahuan Ilahi mencakup masa lalu, masa kini, dan masa depan secara simultan, tanpa perlu belajar atau mengingat.
Jika ada entitas lain yang berbagi sifat-sifat keilahian secara hakiki, maka akan terjadi dualitas atau pluralitas kekuasaan, yang akan menyebabkan konflik kosmis dan ketidakstabilan tatanan alam semesta. Namun, keteraturan yang kita saksikan – mulai dari gerakan atom hingga putaran galaksi – adalah bukti nyata dari satu sumber kemauan dan satu tatanan yang tak terbagi. Keesaan Sifat ini memastikan bahwa ada keselarasan sempurna antara kehendak, pengetahuan, dan tindakan-Nya.
Implikasi dari Keesaan Sifat ini juga penting dalam konteks pengharapan dan doa. Ketika seseorang berdoa, ia harus yakin bahwa hanya Maha Esa yang memiliki sifat Al-Qadir (Maha Kuasa), Al-Sami' (Maha Mendengar), dan Al-Ghafur (Maha Pengampun) secara mutlak. Mengharapkan pengampunan atau bantuan dari sumber lain berarti membagi sifat-sifat ini, yang bertentangan dengan prinsip keesaan. Oleh karena itu, ibadah dan permohonan harus diarahkan hanya kepada-Nya, karena hanya Ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk menjawab dan mengubah takdir.
Keesaan Sifat juga menuntut kita untuk menolak segala bentuk takwil (interpretasi yang menyesatkan) atau tasybih (penyerupaan) yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Walaupun istilah yang digunakan untuk sifat Ilahi mungkin juga digunakan untuk makhluk (seperti "Mendengar" atau "Melihat"), makna dan hakikat sifat Ilahi itu sendiri berbeda total, tidak terbatas, dan tidak cacat. Sifat-sifat ini adalah manifestasi dari Zat yang sempurna, berdiri sendiri, dan tidak memerlukan penyempurnaan dari luar.
Keesaan Perbuatan adalah pengakuan bahwa hanya Maha Esa yang merupakan Pencipta (Al-Khaliq), Pemberi Rezeki (Ar-Raziq), Pengatur (Al-Mudabbir), dan Penguasa tunggal atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Ini berarti setiap gerakan, setiap hasil, setiap kehidupan, dan setiap kematian adalah hasil dari kehendak dan perbuatan-Nya yang tunggal dan mutlak. Tidak ada perantara dalam penciptaan yang memiliki kekuasaan independen untuk bertindak di luar kehendak-Nya.
Pemahaman ini menolak kepercayaan pada 'kekuatan alam' yang independen atau 'nasib buta'. Segala hukum fisika, kimia, dan biologi adalah mekanisme yang ditetapkan oleh-Nya, dan Ia memiliki kekuasaan mutlak untuk mengubah atau menangguhkan mekanisme tersebut kapan saja Ia kehendaki. Mukjizat, misalnya, adalah penegasan terhadap Keesaan Perbuatan ini, menunjukkan bahwa pencipta hukum juga berada di atas hukum yang Ia ciptakan.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Keesaan Perbuatan mengajarkan ketergantungan total dan tawakkal (penyerahan diri). Ketika manusia berusaha dan merencanakan, ia harus mengakui bahwa keberhasilan atau kegagalan tertinggi berada dalam genggaman kekuasaan Maha Esa. Pengakuan ini menghilangkan kesombongan ketika sukses dan keputusasaan ketika gagal, karena fokusnya beralih dari kemampuan diri yang terbatas kepada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Oleh karena itu, ketika kita menyadari bahwa segala perbuatan dan hasil adalah milik-Nya, kita diarahkan untuk bersyukur atas nikmat dan bersabar atas musibah. Ini adalah realisasi filosofis dan praktis bahwa di balik layar setiap peristiwa, hanya ada satu Operator Universal yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tidak ada entitas lain yang layak mendapatkan rasa takut (sebagai penguasa takdir) atau harapan (sebagai pemberi manfaat tertinggi) selain Wujud Yang Maha Esa ini. Pengakuan ini membebaskan jiwa dari ketakutan kepada makhluk dan mengikatnya hanya kepada Sang Pencipta.
Dalam tradisi filsafat teologis, konsep Maha Esa berakar pada gagasan tentang Wajib al-Wujud (Wujud yang Pasti Ada atau Wujud yang Tidak Mungkin Tidak Ada). Ini adalah pembedaan fundamental antara keberadaan Tuhan dan keberadaan makhluk. Keberadaan Tuhan adalah esensial (wajib), sedangkan keberadaan makhluk adalah kontingen (mumkin), artinya keberadaannya tergantung pada yang lain, yaitu kehendak Tuhan.
Jika Tuhan bukanlah Wajib al-Wujud, maka Ia akan membutuhkan pencipta atau sebab, dan rantai sebab-akibat akan mundur tanpa henti (regressus ad infinitum), yang secara logis tidak dapat menjelaskan permulaan eksistensi. Konsep Maha Esa memutus rantai ini dengan menetapkan satu sumber yang berdiri sendiri, abadi, tanpa permulaan, dan tanpa akhir. Keunikan ini menempatkan-Nya di luar batas-batas alam yang Ia ciptakan.
Keesaan dalam konteks Wajib al-Wujud ini juga memastikan bahwa Tuhan tidak memiliki pasangan atau rival. Jika ada entitas lain yang juga Wajib al-Wujud, maka entitas tersebut pasti akan identik dengan Tuhan karena sifat 'wajib' itu sendiri adalah sifat keunikan yang absolut. Keberadaan dua wujud yang mutlak dan tak terbatas secara logis akan menyebabkan salah satu dari tiga kemungkinan: (1) Mereka identik, sehingga hanya ada satu; (2) Mereka saling membatasi, sehingga masing-masing menjadi terbatas dan bukan lagi Wajib al-Wujud; atau (3) Mereka berselisih dan menciptakan kekacauan. Kenyataan harmoni kosmis meniadakan kemungkinan ketiga dan kedua, meninggalkan hanya yang pertama: bahwa Wujud yang Wajib adalah tunggal, yaitu Maha Esa.
Pengakuan terhadap Wajib al-Wujud menuntut manusia untuk merefleksikan sifat keterbatasan dirinya sendiri. Kita adalah mumkin al-wujud, keberadaan kita rapuh dan sementara. Pemahaman ini melahirkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa segala capaian, kesehatan, dan bahkan napas kita adalah pinjaman dari sumber Wujud yang Abadi. Filsafat ini mengubah pandangan hidup dari fokus pada diri yang fana menjadi fokus pada sumber yang kekal.
Dalam epistemologi (teori pengetahuan), Maha Esa adalah sumber tunggal dari segala kebenaran hakiki. Kebenaran yang absolut tidak dapat bersifat relatif atau berubah-ubah, karena jika demikian, ia tidak akan menjadi kebenaran yang universal. Oleh karena itu, kebenaran harus bersumber pada Wujud yang abadi dan sempurna, yang pengetahuan-Nya meliputi segalanya. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan primordial yang menentukan realitas, bukan sekadar refleksi atas realitas yang sudah ada.
Keesaan ini menolak pandangan relativisme ekstrem yang mengklaim bahwa semua kebenaran adalah setara atau subjektif. Meskipun pengalaman manusia terhadap kebenaran mungkin beragam dan terbatas, kebenaran itu sendiri bersifat objektif, ditopang oleh Zat Yang Maha Esa. Ini memberikan landasan kokoh bagi ilmu pengetahuan, karena pencarian ilmiah adalah upaya untuk mengungkap hukum-hukum tunggal dan konsisten yang ditetapkan oleh satu Pencipta.
Filsuf yang mengakui konsep ini melihat alam semesta sebagai kitab yang ditulis dengan bahasa matematika dan fisika, namun penulisnya hanya satu. Jika terdapat banyak sumber kebenaran yang bertentangan, maka tidak akan ada koherensi dalam hukum alam. Namun, karena ada gravitasi yang sama bekerja di Bumi dan di galaksi terjauh, ini menunjukkan adanya otoritas tunggal yang menetapkan hukum tersebut. Pengetahuan yang kita capai melalui akal dan indra hanyalah potongan-potongan dari pengetahuan universal yang dimiliki sepenuhnya oleh Maha Esa.
Implikasi moral dari Keesaan Pengetahuan juga sangat besar. Jika Tuhan adalah sumber kebenaran, maka moralitas yang benar tidak dapat diciptakan oleh konsensus manusia yang berubah-ubah, melainkan harus diwahyukan dari sumber yang abadi. Etika dan hukum yang bersumber dari Keesaan memiliki otoritas mutlak yang melampaui batas-batas budaya atau zaman.
Paradoks keesaan terletak pada manifestasi-Nya yang tak terbatas dalam keragaman ciptaan. Bagaimana mungkin Wujud yang Tunggal menciptakan triliunan bentuk kehidupan dan fenomena yang berbeda tanpa menjadi terpecah? Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa keragaman adalah tanda kesempurnaan dan kekayaan sifat Sang Pencipta, bukan tanda pluralitas ketuhanan.
Setiap makhluk, dari yang terkecil hingga yang terbesar, adalah 'ayat' atau tanda yang menunjuk kembali kepada sumber tunggalnya. Keragaman spesies, perbedaan bahasa, variasi geologis, dan kompleksitas psikologis manusia adalah bukti keagungan perbuatan Maha Esa. Jika sang pencipta terbatas, output ciptaannya juga akan terbatas dan monoton. Keragaman yang tak terhingga menunjukkan kemahakaryaan yang berasal dari sumber tunggal yang tak terbatas.
Dalam kosmologi, semua gaya fundamental alam semesta (gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat dan lemah) bekerja dalam harmoni yang luar biasa. Para fisikawan selalu mencari Teori Segalanya (Theory of Everything) yang dapat menyatukan gaya-gaya ini menjadi satu persamaan tunggal. Pencarian ilmiah ini secara tidak langsung adalah pengakuan terhadap Keesaan Perbuatan; pengakuan bahwa di balik keragaman fenomena yang kompleks, pasti ada kesederhanaan mendasar dan kesatuan otoritas yang mengatur. Pencarian kesatuan ilmiah adalah cerminan fitrah manusia untuk mencari Maha Esa.
Ketika manusia merenungkan langit yang bertabur bintang, ia tidak melihat karya dari banyak dewa yang berselisih, melainkan melihat satu orkestra kosmis yang dipimpin oleh satu Konduktor. Keteraturan rotasi planet, siklus air, dan keseimbangan ekosistem bumi semuanya bersaksi tentang satu kehendak yang mendominasi dan satu pengetahuan yang mengatur. Dengan demikian, keragaman adalah bahasa yang digunakan Maha Esa untuk berkomunikasi dengan makhluk-Nya tentang keagungan Diri-Nya yang Tunggal.
Konsep Maha Esa tidak hanya bersifat teoritis atau filosofis; ia memiliki dampak transformatif yang mendalam pada eksistensi manusia. Mengakui Keesaan berarti membebaskan diri dari segala bentuk perbudakan kepada makhluk, baik itu harta, kekuasaan, orang lain, atau bahkan diri sendiri. Jika hanya ada satu Wujud yang layak disembah dan ditakuti, maka segala hal di luar Dia kehilangan kekuatan absolutnya.
Secara psikologis, ini memberikan ketenangan batin yang tak tertandingi. Kehidupan seringkali dipenuhi dengan kekhawatiran yang berasal dari ketergantungan pada hal-hal yang fana. Orang takut kehilangan harta, kekuasaan, atau status sosial. Namun, ketika seseorang meletakkan ketergantungan mutlaknya hanya pada Maha Esa (Tauhid), ia menyadari bahwa sumber segala manfaat dan mudarat adalah satu. Ini mengubah kekhawatiran menjadi kepasrahan yang aktif, dikenal sebagai tawakkal.
Jika kekuasaan dibagi, manusia akan hidup dalam ketidakpastian abadi, takut bahwa satu dewa mungkin membatalkan kehendak dewa yang lain. Namun, keyakinan pada Maha Esa menciptakan kepastian. Karena hanya ada satu pengatur takdir, maka setiap musibah atau cobaan yang datang pasti memiliki tujuan yang koheren dan bijaksana, meskipun manusia mungkin tidak memahaminya saat itu. Kepastian ini adalah benteng melawan keputusasaan dan kegelisahan eksistensial.
Keyakinan ini juga menghapuskan rasa takut yang berlebihan terhadap kematian. Kematian hanyalah transisi yang diatur oleh Maha Esa. Bagi orang yang meyakini Keesaan, kematian bukanlah akhir yang acak atau hasil dari kekuatan buta, melainkan kembali kepada sumbernya yang tunggal. Pemahaman ini membebaskan manusia untuk hidup dengan keberanian dan integritas, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengambil atau memberikan kehidupan tanpa izin Ilahi.
Selain itu, konsep ini membebaskan manusia dari perbudakan kepada nafsu. Nafsu seringkali disembah dalam bentuk mengejar kesenangan sesaat dan materialisme. Maha Esa mengajarkan bahwa tujuan tertinggi bukan terletak pada pemenuhan keinginan terbatas, melainkan pada pencarian keridhaan Wujud yang Abadi. Dengan mengarahkan ibadah dan hidup pada satu tujuan ini, manusia menemukan makna yang melampaui kerangka biologis dan sosialnya yang sempit.
Keesaan dalam konteks eksistensi juga mendorong kesetaraan. Karena semua manusia adalah ciptaan dari satu Pencipta, dan tidak ada yang memiliki kekuasaan Ilahi, maka tidak ada dasar hakiki bagi penindasan, rasisme, atau sistem kasta yang mengklaim keunggulan rasial atau keturunan. Semua berdiri sama di hadapan Maha Esa, dan perbedaan di antara mereka hanyalah sarana untuk saling mengenal, bukan untuk saling mendominasi. Ini adalah fondasi etika sosial yang paling murni.
Pengamalan praktis dari konsep Maha Esa adalah Ibadah yang murni (Syirik adalah lawan mutlak dari Tauhid). Syirik, atau pengkultusan selain Tuhan, dapat berbentuk penyembahan berhala (syirik akbar) atau bentuk yang lebih halus, seperti riya (pamer dalam beribadah) atau bergantung secara emosional atau spiritual pada makhluk (syirik khafi).
Ibadah murni, yang berakar pada Keesaan, memastikan bahwa setiap tindakan spiritual diarahkan hanya kepada-Nya. Shalat, puasa, sedekah, dan setiap tindakan baik lainnya hanya bernilai jika dilakukan untuk mencari wajah Maha Esa. Ketika ibadah disisipi motif untuk mendapatkan pujian manusia atau keuntungan duniawi, ia telah dicemari oleh syirik khafi karena perhatian dan ketaatan telah dibagi antara Tuhan dan makhluk.
Syirik adalah kezaliman terbesar karena menempatkan makhluk, yang terbatas dan bergantung, pada level yang sama dengan Sang Pencipta, yang mutlak dan independen. Keindahan konsep Maha Esa terletak pada kesederhanaan tuntutannya: hati dan jiwa harus sepenuhnya milik satu entitas yang layak menerimanya. Ketika hati dibagi, ia menjadi lemah dan rentan; ketika hati diarahkan secara tunggal, ia mencapai kekuatan dan fokus yang tak tergoyahkan.
Keesaan mengajarkan bahwa keberadaan manusia memiliki tujuan tunggal dan transenden: yaitu mengenal, mengabdi, dan meraih keridhaan Sang Pencipta. Tanpa tujuan tunggal ini, kehidupan manusia menjadi serangkaian tindakan yang tidak berarti dan terpisah-pisah. Maha Esa memberikan koherensi dan arah universal bagi seluruh perjalanan hidup, dari lahir hingga kembali kepada-Nya.
Untuk memahami keunikan dan keabsolutan konsep Maha Esa, kita harus merenungkan beberapa Asmaul Husna (Nama-nama Terbaik Allah) yang secara eksplisit atau implisit menegaskan Keesaan-Nya. Nama-nama ini bukan sekadar label, melainkan deskripsi esensial dari sifat-sifat yang hanya dapat dimiliki oleh Wujud yang Tunggal.
Meskipun kedua nama ini sering diterjemahkan sebagai 'Satu' atau 'Esa', dalam teologi terdapat perbedaan nuansa yang signifikan, yang keduanya menguatkan konsep Maha Esa:
Konsep Maha Esa tercermin sempurna dalam Al-Ahad, menolak keras segala bentuk trinitas, kemitraan, atau pembagian kekuasaan. Zat-Nya adalah monolitik; tidak terdiri dari unsur-unsur yang berbeda. Inilah yang menjadi landasan bagi penolakan terhadap pemikiran bahwa Tuhan dapat memiliki anak atau sekutu. Memiliki anak menyiratkan adanya kebutuhan akan pasangan dan pewarisan, yang keduanya bertentangan dengan keabsolutan, keabadian, dan ketidakbergantungan Al-Ahad.
Ketika manusia memahami Al-Ahad, ia menyadari bahwa seluruh usahanya untuk membagi atau memecah Ketuhanan menjadi entitas yang lebih mudah dipahami secara manusiawi adalah sia-sia. Al-Ahad adalah kebenaran yang menantang keterbatasan akal manusia dan menuntut penyerahan total pada konsep Wujud yang benar-benar unik dan tak tertandingi.
Nama Ash-Shamad secara langsung berhubungan dengan implikasi Keesaan. Ash-Shamad berarti Wujud yang menjadi tumpuan segala kebutuhan, Wujud yang tidak membutuhkan apa pun, tetapi segala sesuatu membutuhkan-Nya. Keberadaan makhluk adalah lubang yang harus diisi, sedangkan keberadaan Maha Esa adalah kepenuhan yang tidak memiliki kekurangan apa pun.
Jika ada entitas lain yang layak menjadi tumpuan (selain Dia), maka entitas tersebut harus Ash-Shamad juga, yang mustahil karena hanya ada satu Wajib al-Wujud. Dengan demikian, pengakuan terhadap Ash-Shamad menggarisbawahi keesaan dalam hal Kebutuhan dan Kebergantungan. Semua makhluk, mulai dari malaikat tertinggi hingga materi paling dasar, semuanya berdiri dalam keadaan membutuhkan dan bergantung secara eksistensial pada Maha Esa.
Pemahaman ini menghancurkan ilusi otonomi atau kemandirian manusia. Manusia mungkin merasa mandiri dalam pekerjaannya atau kekayaannya, tetapi dalam setiap tarikan napas, detak jantung, dan proses berpikir, ia sepenuhnya bergantung pada kehendak Maha Esa. Menginternalisasi Ash-Shamad adalah langkah penting untuk mencapai tawakkal sejati, karena ia memastikan bahwa sumber satu-satunya yang dapat memenuhi segala kebutuhan adalah Dia yang Maha Esa, yang tidak pernah lelah dan tidak pernah kekurangan.
Seorang hamba yang memahami Ash-Shamad akan mengarahkan seluruh harapan, ketakutan, dan permohonannya kepada satu titik fokus. Ia tidak akan meminta kepada orang mati, patung, atau bahkan orang hidup yang mengaku memiliki kekuasaan gaib independen, karena ia tahu bahwa segala kekuasaan dan manfaat hanya mengalir dari sumber tunggal yang tak pernah kering.
Nama Al-Qayyum menegaskan Keesaan Perbuatan dan Keesaan Zat secara simultan. Ini berarti Allah adalah Wujud yang sepenuhnya berdiri sendiri (Self-Subsisting), tidak membutuhkan penopang, makanan, tidur, atau bantuan apa pun, dan pada saat yang sama, Ia adalah Penopang (Maintainer) bagi seluruh alam semesta. Jika Dia berhenti menopang, seluruh eksistensi akan runtuh seketika.
Keesaan dalam Al-Qayyum menolak konsep Tuhan yang beristirahat setelah penciptaan (deisme). Ini menegaskan bahwa keterlibatan Maha Esa dalam eksistensi adalah terus-menerus, dari momen penciptaan hingga kehancuran alam semesta. Setiap momen keberadaan dihidupkan oleh kehendak-Nya. Keterlibatan aktif dan terus-menerus ini adalah konsekuensi logis dari Keesaan-Nya. Jika ada jeda dalam kekuasaan-Nya, maka akan ada ruang bagi kekuasaan lain untuk masuk, yang bertentangan dengan Tauhid.
Pilar dari Al-Qayyum adalah bahwa Dia tidak memerlukan apa pun dari ciptaan-Nya. Dia tidak menjadi lebih kuat karena disembah, atau menjadi lebih lemah karena diabaikan. Kesempurnaan-Nya adalah intrinsik. Hal ini memberikan nilai etika yang tinggi pada ibadah; ibadah bukanlah sesuatu yang Dia butuhkan, melainkan kehormatan yang diberikan kepada manusia sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan diri dan kedekatan dengan sumber Wujud.
Refleksi pada Al-Qayyum membantu melawan godaan untuk mencari penopang di dunia material yang fana. Karir, hubungan, atau kekayaan, semuanya adalah 'mumkin al-wujud' yang rapuh. Hanya Wujud Al-Qayyum yang menawarkan jaminan dan keteguhan abadi, menegaskan bahwa Maha Esa adalah satu-satunya realitas yang tidak dapat dipindahkan atau dihancurkan.
Konsep Maha Esa bukanlah penemuan filosofis baru, melainkan pesan fundamental yang telah disampaikan secara konsisten sepanjang sejarah kemanusiaan melalui berbagai nabi dan rasul. Sejarah peradaban dipenuhi dengan konflik antara monoteisme murni dan kecenderungan manusia untuk membagi kekuasaan Ilahi atau mengagungkan makhluk.
Sejak awal, pengakuan Maha Esa selalu bertabrakan dengan sistem kepercayaan yang membagi kekuasaan. Politeisme sering kali muncul sebagai upaya untuk menjelaskan keragaman alam semesta melalui banyak entitas yang mewakili aspek-aspek alam (dewa matahari, dewa perang, dewa panen). Namun, sistem ini selalu menghasilkan masyarakat yang terfragmentasi, di mana ketakutan didominasi oleh ketidakpastian para dewa yang berselisih.
Di era modern, tantangan terhadap Maha Esa mengambil bentuk sekularisme dan materialisme, yang meskipun tidak secara eksplisit menyembah dewa, secara implisit menuhankan materi, ilmu pengetahuan (independen dari moralitas), atau negara. Ketika otoritas moral dan legislatif dialihkan sepenuhnya kepada manusia tanpa pengakuan terhadap sumber tunggal yang lebih tinggi, maka manusia secara efektif telah menciptakan berhala baru: diri mereka sendiri. Sekularisme adalah bentuk syirik modern yang menempatkan kehendak kolektif manusia sebagai yang maha kuasa.
Pesan Maha Esa berperan penting dalam pembebasan peradaban dari tirani. Para nabi yang menyerukan keesaan selalu menantang struktur kekuasaan yang mengklaim otoritas Ilahi (seperti Firaun atau kaisar Romawi). Pengakuan bahwa hanya Tuhan yang Maha Esa menghilangkan legitimasi spiritual bagi para tiran yang menuntut ketaatan mutlak. Ini adalah fondasi bagi konsep hak asasi manusia universal, yang menyatakan bahwa semua manusia, tanpa kecuali, memiliki nilai yang sama karena mereka adalah ciptaan dari satu Tuhan.
Paradigma Maha Esa secara historis mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Berbeda dengan pandangan dunia politeis yang melihat alam sebagai domain dewa-dewa yang arbitrari dan tidak konsisten, pandangan monoteis melihat alam sebagai ciptaan yang rasional dan terstruktur berdasarkan hukum-hukum tunggal yang ditetapkan oleh Pencipta yang Maha Bijaksana.
Keyakinan ini menghasilkan keyakinan bahwa alam dapat dipelajari, diprediksi, dan dipahami. Jika alam semesta adalah harmonis karena diatur oleh satu kehendak, maka mencari hukum-hukum alam (fisika, astronomi) adalah tindakan ibadah dan pengenalan terhadap Sang Pencipta. Hal ini menjadi pendorong utama bagi kemajuan ilmiah di berbagai peradaban, terutama selama masa keemasan peradaban yang berlandaskan konsep Tauhid.
Keesaan mengajarkan bahwa tidak ada dikotomi antara iman dan akal. Akal adalah alat yang diberikan oleh Maha Esa untuk merenungkan tanda-tanda-Nya di alam semesta. Kegagalan untuk menggunakan akal adalah pelanggaran terhadap kewajiban untuk mengenal Sang Pencipta melalui karya-karya-Nya. Oleh karena itu, pencarian pengetahuan bukan hanya kepentingan praktis, tetapi juga kewajiban spiritual yang berakar pada pengakuan terhadap kesempurnaan Pengetahuan Ilahi.
Di sisi lain, konsep keesaan mencegah sains menjadi arogan. Ketika ilmuwan menemukan hukum baru, mereka harus mengakui bahwa mereka tidak menciptakan hukum itu, tetapi hanya menemukannya. Penemuan tersebut adalah bukti lebih lanjut dari kehebatan Sang Perencana, bukan bukti kehebatan independen ilmuwan itu sendiri. Ini menjaga keseimbangan antara rasa ingin tahu intelektual yang tak terbatas dan kerendahan hati spiritual yang diperlukan.
Pengenalan terhadap Maha Esa tidak terbatas pada ranah akal dan filosofi; ia juga merupakan perjalanan spiritual dan meditatif yang mendalam. Dalam tradisi mistik, keesaan adalah tujuan akhir di mana kesadaran diri (ego) menjadi kabur di hadapan realitas Wujud yang Tunggal.
Para mistikus sering menggunakan istilah 'Fana' (penghancuran atau penghilangan diri) dan 'Baqa' (kekekalan atau keberadaan abadi bersama Tuhan) untuk menggambarkan puncak pengalaman Keesaan. Fana' di sini bukan berarti peleburan Zat manusia dengan Zat Ilahi (yang bertentangan dengan Keesaan Zat), melainkan penghilangan total kesadaran akan ego dan kehendak diri yang independen, sehingga yang tersisa hanyalah kehendak Maha Esa.
Dalam keadaan ini, seseorang menyadari secara intuitif bahwa segala sesuatu yang ia yakini sebagai 'miliknya' – kekuasaan, kehendak, kepintaran – hanyalah pinjaman. Realisasi ini menghancurkan dualitas antara hamba dan Tuhan dalam pikiran, meskipun secara ontologis perbedaan tetap ada. Fana' adalah titik di mana manusia benar-benar memahami bahwa ia adalah 'mumkin al-wujud' (kontingen) dan bahwa hanya Tuhan yang 'wajib al-wujud' (mutlak).
Setelah Fana', muncullah Baqa'. Baqa' adalah keadaan menetap dalam kesadaran Keesaan dan bertindak hanya berdasarkan cahaya petunjuk-Nya. Individu yang mencapai Baqa' melihat semua tindakannya, baik yang kecil maupun yang besar, sebagai manifestasi dari kehendak Maha Esa, dan ia bertindak dengan ketenangan dan kepastian yang sempurna, bebas dari keegoisan dan ambisi duniawi yang memecah belah.
Salah satu metode utama untuk mencapai kedalaman spiritual Keesaan adalah kontemplasi yang mendalam terhadap Asmaul Husna. Nama-nama seperti Al-Wadud (Maha Mencintai), Al-Hakim (Maha Bijaksana), dan Al-Latif (Maha Lembut) harus direnungkan bukan hanya sebagai daftar sifat, tetapi sebagai cara Maha Esa berinteraksi dengan dunia yang Tunggal dan Terintegrasi.
Ketika seseorang merenungkan Al-Wadud, ia menyadari bahwa cinta adalah energi universal yang mengalir dari Sumber Tunggal. Ketika ia merenungkan Al-Hakim, ia memahami bahwa tidak ada kejadian yang acak; semua terajut dalam permadani kebijaksanaan tunggal. Kontemplasi ini mengintegrasikan seluruh pengalaman hidupnya ke dalam satu narasi besar yang ditulis oleh Maha Esa.
Praktik zikir (mengingat Tuhan) secara berulang-ulang terhadap nama-nama Keesaan seperti Al-Ahad, Al-Wahid, dan Huwa (Dia) berfungsi untuk menyelaraskan detak jantung dan pikiran dengan realitas Wujud yang Tunggal, secara bertahap membersihkan hati dari segala bentuk 'syirik khafi' (pengkultusan tersembunyi) yang melekat pada dunia materi. Ini adalah latihan untuk mencapai kesadaran yang terfokus, yang merupakan esensi dari keesaan spiritual.
Dengan demikian, perjalanan menuju Maha Esa adalah perjalanan penyatuan batin. Semakin manusia menyadari Keesaan, semakin terintegrasi batinnya, dan semakin besar kedamaian yang ia rasakan, karena ia telah berhenti mencari dukungan dari sumber-sumber yang terbagi dan fana.
Semua Wujud Mengalir Menuju Pusat Yang Mutlak
Dalam diskusi filosofis modern, konsep Maha Esa sering diuji oleh berbagai teori keberadaan dan kekuasaan. Namun, setiap analisis mendalam selalu kembali pada kebutuhan logis akan Keesaan. Mengajukan pluralitas Ketuhanan menghasilkan kontradiksi logis yang tidak dapat diatasi oleh akal manusia.
Pertimbangkan kemungkinan adanya dua atau lebih entitas yang memiliki sifat-sifat keilahian secara absolut (misalnya, dua entitas yang keduanya Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Wajib al-Wujud). Jika keduanya mutlak, maka mereka harus sama dalam segala aspek; jika demikian, mereka hanyalah manifestasi yang sama, sehingga hanya ada satu. Jika mereka berbeda dalam hal apapun, perbedaan itu akan menjadi batasan, dan entitas yang terbatas tidak dapat disebut mutlak atau Ilahi.
Argumentasi yang paling kuat adalah mengenai kehendak. Jika ada dua Tuhan, A dan B, dan keduanya memiliki kehendak yang independen, pasti ada skenario di mana kehendak mereka bertentangan (misalnya, A ingin menciptakan X, dan B ingin mencegah penciptaan X). Ada tiga kemungkinan hasil:
Karena alam semesta ada dan menunjukkan tatanan yang koheren, dan karena kita menyaksikan bahwa kehendak kosmis terwujud secara konsisten, maka kehendak yang mengatur pasti tunggal, yang menegaskan kembali kebenaran Maha Esa dalam Perbuatan. Konflik kehendak Ketuhanan adalah mustahil secara ontologis bagi Wujud yang Sempurna.
Lebih jauh lagi, jika dua Wujud yang Mutlak ada, ruang yang ditempati oleh Wujud A tidak dapat ditempati oleh Wujud B (kecuali jika mereka bersifat spasial, yang meniadakan keabsolutan mereka). Jika mereka berada di ruang yang sama, mereka harus berbagi sifat, yang berarti mereka terbatas. Wujud Ilahi haruslah tak terbatas dalam segala dimensi. Hanya satu Wujud yang Tak Terbatas yang dapat memenuhi seluruh realitas tanpa membatasi yang lain, karena tidak ada 'yang lain' yang setara untuk dibatasi.
Dalam konteks moralitas, Maha Esa berfungsi sebagai penjamin keadilan universal dan pertanggungjawaban. Jika ada banyak dewa, tanggung jawab moral bisa menjadi relatif, tergantung dewa mana yang disembah atau dewa mana yang sedang berkuasa. Ini akan menciptakan kekacauan etika dan melemahkan konsep keadilan abadi.
Keesaan menjamin bahwa ada satu standar keadilan, satu hari perhitungan, dan satu Penguasa yang tidak dapat disuap atau dihindari. Kepercayaan ini adalah pendorong utama bagi umat manusia untuk bertindak benar bahkan di tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Keadilan Ilahi adalah tunggal, sempurna, dan mutlak, yang tidak dapat dinegosiasikan oleh entitas lain.
Inilah inti dari tanggung jawab (responsibility) manusia: karena kita diciptakan oleh Maha Esa dengan tujuan yang tunggal, maka tindakan kita diukur berdasarkan standar tunggal yang abadi. Tidak ada jalan keluar dari Pertanggungjawaban kepada Yang Tunggal, dan ini adalah pembebasan sekaligus beban terbesar yang diletakkan pada pundak manusia.
Pemahaman yang mendalam mengenai Keesaan menuntun pada kesimpulan bahwa segala pemikiran yang mengarah pada dualisme atau pluralisme, baik dalam bentuk keyakinan religius maupun filosofis, pada akhirnya merupakan kegagalan akal untuk menerima kebenaran yang paling sederhana dan paling mutlak: bahwa realitas yang menopang segala sesuatu haruslah Tunggal, Sempurna, dan Tak Terbagi. Keesaan adalah kesimpulan logis dan spiritual dari segala pencarian kebenaran.
Ketunggalan ini memastikan bahwa setiap doa, setiap permohonan, dan setiap helaan napas yang diikrarkan oleh makhluk, diarahkan menuju satu titik fokus yang tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah hilang, dan tidak akan pernah mengecewakan. Stabilitas kosmis dan stabilitas spiritual manusia terletak pada pengakuan terhadap Maha Esa, Sang Sumber dari segala Wujud dan Sang Penentu segala Hukum.
Perjalanan eksplorasi konsep Maha Esa adalah perjalanan tanpa akhir, sebuah perenungan abadi terhadap hakikat Ketuhanan yang mutlak. Kita telah melihat bahwa Keesaan ini melampaui sekadar angka; ia adalah sifat esensial dari Zat Ilahi yang menolak batasan, perbandingan, dan pembagian. Keesaan ini adalah fondasi filosofis dari Wajib al-Wujud, penjamin harmoni alam semesta, dan satu-satunya sumber otoritas moral yang abadi.
Pengakuan terhadap Maha Esa adalah pembebasan dari rantai ketergantungan kepada yang fana dan merupakan janji akan kebebasan spiritual sejati. Dengan mengarahkan seluruh ibadah, cinta, harapan, dan ketakutan hanya kepada-Nya, manusia mencapai integrasi diri yang sempurna, menghilangkan konflik batin yang disebabkan oleh perpecahan loyalitas. Keesaan adalah kesatuan batin yang dicapai melalui pengenalan terhadap Kesatuan Sumber Kehidupan.
Setiap detail dalam alam semesta, dari kerumitan molekuler hingga keagungan galaksi, adalah tanda-tanda (ayat) yang menunjuk pada satu-satunya sumber. Kita hidup dalam lautan Keesaan, di mana setiap fenomena adalah manifestasi dari nama dan sifat Maha Esa. Tugas manusia bukanlah untuk menciptakan kebenaran baru, melainkan untuk hidup selaras dengan kebenaran tunggal ini, untuk menjadi cerminan dari kesatuan, keadilan, dan kasih sayang yang mengalir dari Sumber Yang Mutlak.
Pada akhirnya, realitas Maha Esa adalah kebenaran yang tidak bisa dihindari. Ia adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi. Pengakuan tulus terhadap ketunggalan-Nya adalah kunci menuju pemahaman makna hidup yang paling mendalam, memberikan makna yang tak terhingga pada keberadaan yang singkat ini, dan mengikat nasib semua makhluk kepada Takdir Yang Tunggal dan Maha Bijaksana.
Keesaan adalah ketenangan. Keesaan adalah kepastian. Keesaan adalah titik di mana semua keraguan dan kekacauan mereda, meninggalkan hanya cahaya murni dari Realitas Yang Tunggal. Inilah inti dari semua ajaran spiritual, inilah Tauhid, dan inilah Hakikat Maha Esa yang Abadi.