Kisah tentang Majapahit tidak akan pernah utuh tanpa menyinggung figur sentral yang memegang kendali administrasi, militer, dan visi politik kerajaan: Mahapatih Gajah Mada. Lebih dari sekadar seorang perdana menteri atau panglima perang, Gajah Mada adalah arsitek sejati yang mengubah sekadar kerajaan lokal menjadi sebuah imperium maritim yang menguasai sebagian besar kepulauan Nusantara.
Di bawah panji kekuasaan Majapahit, khususnya selama periode keemasan Hayam Wuruk, Gajah Mada menjalankan peran yang tak tertandingi. Kehadirannya tidak hanya menandai konsolidasi kekuasaan Jawa, tetapi juga menjadi simbol aspirasi persatuan yang hingga kini masih bergaung dalam narasi kebangsaan modern. Visi utamanya, yang terabadikan melalui Sumpah Palapa, merupakan sebuah ikrar monumental yang melampaui ambisi pribadi, menargetkan penyatuan seluruh ‘Nusa’ di bawah satu payung kekuasaan tunggal.
Visualisasi simbolis Trias Otoritas Majapahit, di mana Mahapatih Gajah Mada memegang peran sentral dalam menegakkan fondasi kerajaan.
Data historis mengenai masa kecil dan latar belakang keluarga Gajah Mada sangatlah minim, bahkan cenderung diselimuti mitos dan interpretasi. Sumber utama, seperti Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, lebih fokus pada pencapaiannya di puncak karir, sementara Pararaton memberikan rincian yang lebih dramatis namun terkadang kurang terverifikasi. Kesenjangan informasi ini justru memperkuat aura misterius dan keagungan sosoknya, seolah-olah ia muncul dari ketiadaan untuk memenuhi takdir besar.
Beberapa spekulasi menyebutkan Gajah Mada mungkin berasal dari kalangan rakyat biasa yang berhasil meniti karir melalui jalur meritokrasi militer, sebuah indikasi bahwa Majapahit, setidaknya di era awalnya, menghargai kemampuan di atas garis keturunan. Nama 'Gajah Mada' sendiri telah menjadi bahan perdebatan. Beberapa ahli bahasa Jawa kuno mengaitkannya dengan kekuatan dan kecerdasan, di mana 'Gajah' melambangkan kebesaran dan kekuatan fisik, sementara 'Mada' dapat diartikan sebagai "gila" atau "mabuk"—mengacu pada keberanian yang tak kenal takut, atau, dalam interpretasi lain, "penasihat" atau "ahli siasat".
Apapun asal-usulnya, Gajah Mada pertama kali tercatat dalam sejarah sebagai seorang anggota Bhayangkara, pasukan pengawal elite Raja Jayanagara. Posisi ini, meskipun terdengar rendah, adalah gerbang strategis yang memungkinkan individu berbakat untuk mendapatkan kepercayaan langsung dari pusat kekuasaan. Ini adalah bukti pertama dari kecerdasan taktis Gajah Mada; ia memilih jalur yang memberikannya akses langsung ke dinamika politik istana.
Kenaikan Gajah Mada dari seorang pengawal biasa menjadi figur yang tak tergantikan terjadi selama krisis politik paling serius pada masa pemerintahan Jayanagara, yaitu Pemberontakan Ra Kuti. Ra Kuti, seorang pejabat tinggi yang kecewa, berhasil merebut ibukota Trowulan dan memaksa Raja Jayanagara melarikan diri. Situasi ini menghadirkan Majapahit di ambang kehancuran total.
Dalam kekacauan tersebut, Gajah Mada mengambil inisiatif. Dengan keberanian dan kecerdikan yang luar biasa, ia tidak hanya berhasil menyelundupkan Jayanagara ke desa Badander yang aman, tetapi juga menjalankan operasi intelijen yang rumit. Gajah Mada menyebarkan informasi palsu bahwa Jayanagara telah wafat, memancing para pemberontak untuk merayakan dan melonggarkan pertahanan mereka. Setelah suasana dipastikan kondusif, Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara yang tersisa dalam serangan balik mendadak. Ra Kuti berhasil dikalahkan, dan Jayanagara kembali ke tahtanya tanpa pertempuran besar yang berlarut-larut.
Kesuksesan ini memiliki dua dampak langsung: pertama, menyelamatkan Majapahit dari keruntuhan dini; kedua, memberikan Gajah Mada posisi yang tak tertandingi di mata raja. Penghargaan atas jasa heroiknya ini segera datang. Gajah Mada dipromosikan menjadi Patih Kahuripan, kemudian Patih Kediri, dan akhirnya, diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit, posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan setelah raja itu sendiri.
Momen yang paling mendefinisikan Gajah Mada dalam sejarah adalah ketika ia mengucapkan Sumpah Palapa. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, sekitar tahun 1334 M, setelah Gajah Mada secara resmi diangkat sebagai Mahapatih. Sumpah ini bukanlah sekadar janji lisan, melainkan proklamasi politik dan militer yang secara radikal mengubah arah kebijakan luar negeri Majapahit.
Sumpah Palapa dicatat dalam naskah Pararaton. Menurut naskah tersebut, Gajah Mada berikrar tidak akan menikmati 'palapa' (yang secara harfiah berarti buah pala, tetapi diyakini sebagai metafora untuk kenikmatan atau istirahat) sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Keberanian dari sumpah ini mengejutkan para pembesar istana, bahkan memicu cemoohan dari beberapa petinggi yang menganggap ambisinya terlalu jauh dan tidak realistis.
Target wilayah yang disebutkan dalam Pararaton menunjukkan cakupan ambisi Majapahit yang sangat luas, meliputi: Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok), Maluku, dan bahkan sebagian wilayah Filipina selatan. Ini adalah proyek geopolitik yang belum pernah terbayangkan oleh kerajaan-kerajaan pendahulunya, termasuk Sriwijaya yang kekuasaannya cenderung bersifat lebih longgar (talassokrasi).
"Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."
– Kutipan Sumpah Palapa (Pararaton)
Sumpah ini sering dilihat sebagai tindakan arogan oleh sebagian kalangan istana. Namun, dari perspektif Gajah Mada, janji tersebut adalah kebutuhan strategis. Setelah keruntuhan Singasari dan Sriwijaya yang menyisakan banyak kekuatan regional otonom (seperti sisa-sisa Melayu dan kerajaan-kerajaan kecil di timur), Nusantara berada dalam kondisi fragmentasi. Fragmentasi ini rentan terhadap intervensi asing (seperti ancaman Mongol di masa sebelumnya) dan juga mengganggu jalur perdagangan vital rempah-rempah yang menjadi sumber kekayaan Majapahit.
Dengan memproklamasikan Sumpah Palapa, Gajah Mada melakukan tiga hal penting:
Implementasi Sumpah Palapa membutuhkan waktu yang sangat panjang, memakan waktu puluhan tahun, dan melibatkan serangkaian kampanye militer yang direncanakan dengan sangat matang. Gajah Mada menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi, menggunakan strategi militer, negosiasi, dan bahkan intimidasi politik untuk mencapai tujuannya.
Salah satu penaklukan paling signifikan di awal karir Gajah Mada adalah Bali. Pulau Bali memiliki struktur politik dan keagamaan yang kuat, menjadikannya lawan yang tangguh. Pada tahun 1343 M, di bawah komando Gajah Mada dan dibantu oleh Adityawarman (sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan di Minangkabau), ekspedisi besar dikirimkan.
Pertempuran di Bali sangat brutal, yang akhirnya mengarah pada kekalahan Raja Bedahulu. Setelah penaklukan, Majapahit tidak hanya menancapkan kekuasaan, tetapi juga meninggalkan administrator setia, yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan budaya dan agama Hindu Jawa di pulau tersebut. Penaklukan ini membuka pintu ke timur, mengamankan jalur rempah-rempah dari Maluku.
Wilayah Sumatera sangat penting karena merupakan kunci perdagangan internasional dan bekas pusat kekuatan Sriwijaya. Gajah Mada berfokus pada penaklukan kerajaan-kerajaan yang masih independen, seperti Haru (Sumatera Utara), Palembang, dan Melayu (Jambi). Penaklukan ini seringkali tidak hanya bersifat militer, tetapi juga melibatkan perjanjian politik. Adityawarman, yang merupakan kerabat Hayam Wuruk, dikirim ke Sumatera untuk mengurus wilayah tersebut dan mendirikan kerajaan yang bersekutu erat dengan Majapahit, memperkuat pengaruh Majapahit tanpa harus selalu menempatkan garnisun militer yang besar.
Di bagian barat laut, Kerajaan Pahang dan Tumasik (sekarang Singapura) juga tunduk. Pengendalian atas Selat Malaka menjadi fundamental, mengubah Majapahit dari sekadar kerajaan agraris-maritim menjadi kekuatan yang mengontrol rute perdagangan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Representasi simbolis wilayah-wilayah yang masuk dalam target unifikasi Majapahit sesuai dengan Sumpah Palapa.
Keberhasilan Majapahit sangat bergantung pada kekuatan lautnya. Gajah Mada menyadari bahwa menguasai Nusantara berarti menguasai laut. Ia mengorganisir armada kapal yang canggih untuk masanya, mampu melakukan perjalanan jarak jauh dan membawa pasukan dalam jumlah besar. Armada ini tidak hanya berfungsi untuk penaklukan, tetapi juga untuk patroli anti-bajak laut (yang dikenal sebagai 'lanun') dan menjaga kelancaran perdagangan.
Sistem ini menciptakan apa yang disebut para sejarawan sebagai "Pax Majapahitica" (Kedamaian Majapahit), periode stabilitas dan kemakmuran di seluruh wilayah yang tunduk, yang memungkinkan perdagangan rempah-rempah (cengkeh dan pala) dari Maluku mengalir bebas menuju pusat Majapahit, dan selanjutnya diekspor ke India dan Tiongkok.
Puncak kejayaan Gajah Mada terjadi saat ia mendampingi Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350–1389 M). Periode ini, yang dicatat secara rinci dan puitis dalam Nagarakretagama, menggambarkan sebuah kerajaan yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga tertata rapi secara administratif dan berkembang pesat dalam bidang budaya dan spiritual.
Sebagai Mahapatih, Gajah Mada bertanggung jawab atas seluruh administrasi harian, memastikan bahwa titah raja dilaksanakan dari istana hingga ke pelosok desa. Struktur pemerintahan Majapahit sangat hierarkis dan kompleks, dirancang untuk mengelola wilayah yang luas dan heterogen. Di bawah raja dan patih utama, terdapat dewan menteri (Bhre) yang merupakan kerabat kerajaan, serta dewan pendeta dan ahli hukum (Dharma Adhyaksa) yang memastikan hukum dijalankan sesuai prinsip Hindu-Buddha.
Gajah Mada menyempurnakan sistem birokrasi ini. Wilayah kekuasaan dibagi menjadi tiga kategori utama:
Pendekatan ini menunjukkan kepiawaian Gajah Mada dalam manajemen imperium. Ia memahami bahwa integrasi penuh secara militer di seluruh Nusantara adalah mustahil; oleh karena itu, ia memilih sistem vasal (bawahan) yang efektif dan didukung oleh jaminan keamanan maritim dari Majapahit.
Di bawah pengawasan Gajah Mada, hukum dan tatanan (Dharma) diterapkan secara ketat. Nagarakretagama memuji periode Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai era di mana kejahatan ditekan dan keadilan ditegakkan. Salah satu ciri khas Majapahit adalah toleransi beragama yang tinggi, ditunjukkan oleh adanya dua pejabat tinggi yang menangani urusan agama secara terpisah: Dharma Adhyaksa Ring Kasogatan (Buddha) dan Dharma Adhyaksa Ring Kasaiwan (Hindu Siwa). Gajah Mada memastikan bahwa perbedaan agama tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan fondasi pluralisme Majapahit.
Perjalanan keliling Hayam Wuruk, yang juga didampingi Gajah Mada, ke seluruh wilayah inti dan mancanegara menjadi sarana untuk menunjukkan kehadiran fisik raja dan memastikan loyalitas para penguasa daerah. Tur ini bukan sekadar rekreasi; itu adalah inspeksi besar-besaran untuk menegaskan kembali rantai komando dan mengumpulkan informasi intelijen tentang kondisi di lapangan.
Meskipun Gajah Mada dikenal sebagai pemersatu, karirnya juga diwarnai oleh salah satu peristiwa paling berdarah dan kontroversial dalam sejarah Majapahit: Peristiwa Bubat. Tragedi ini terjadi pada tahun 1357 M dan melibatkan Kerajaan Sunda (Pasundan), yang pada saat itu merupakan salah satu kerajaan di Nusantara yang belum tunduk sepenuhnya.
Peristiwa ini berawal dari rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Maharaja Linggabuana dari Sunda. Pernikahan ini awalnya dimaksudkan sebagai penyelesaian politik damai, di mana Sunda akan bersekutu (atau setidaknya menjalin hubungan setara) dengan Majapahit, bukan tunduk sebagai negara taklukan.
Maharaja Linggabuana dan rombongan bangsawan Sunda datang ke Trowulan. Mereka tiba di lapangan Bubat, sebuah area di luar kompleks istana, menunggu upacara pernikahan dilangsungkan.
Di sinilah letak konflik Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Hayam Wuruk mungkin memandang pernikahan itu sebagai hubungan sederajat (besan), tetapi bagi Gajah Mada, pernikahan ini adalah kesempatan terakhir untuk memenuhi Sumpah Palapa secara mutlak, karena Sunda adalah satu-satunya wilayah penting di Jawa yang belum secara resmi tunduk.
Gajah Mada bersikeras bahwa Dyah Pitaloka harus diserahkan kepada Majapahit bukan sebagai calon Ratu yang sederajat, melainkan sebagai upeti atau persembahan dari negara taklukan. Maharaja Sunda menolak keras tuntutan ini. Bagi Sunda, menerima syarat tersebut berarti mengakui status mereka sebagai vasal Majapahit, yang akan menodai kehormatan kerajaan mereka.
Ketika negosiasi mencapai jalan buntu, ketegangan meledak menjadi konflik bersenjata. Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit mengepung rombongan Sunda di Lapangan Bubat. Dalam pertempuran yang tidak seimbang tersebut, rombongan Sunda, termasuk Maharaja Linggabuana, tewas dalam upaya mempertahankan kehormatan mereka. Dyah Pitaloka kemudian memilih untuk bunuh diri (suicide ritual/bela) demi mempertahankan martabatnya, mengikuti jejak ayahnya dan para prajurit Sunda.
Bubat menjadi titik hitam dalam sejarah Gajah Mada, di mana kepentingan politik dan kehormatan kerajaan bertabrakan secara brutal.
Peristiwa Bubat sangat memukul Hayam Wuruk secara emosional. Ia kehilangan calon permaisuri dan hubungan politiknya dengan Sunda hancur total. Dalam literatur Sunda, Gajah Mada digambarkan sebagai sosok antagonis yang kejam, sementara dalam sumber Jawa, ia mungkin dilihat sebagai pejabat yang terlalu bersemangat dalam menjalankan Sumpah Palapa.
Meskipun secara militer Gajah Mada mencapai tujuannya (Sunda tunduk), secara politik ia menghadapi kemunduran besar. Kedudukannya di istana mulai goyah, dan Hayam Wuruk diduga mulai menjauhkan diri darinya. Gajah Mada kemudian dipensiunkan atau setidaknya dikurangi kekuasaan eksekutifnya, dipindahtugaskan untuk fokus pada aspek keagamaan dan spiritual sebagai bentuk penghormatan sekaligus peminggiran halus.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa ambisi unifikasi Gajah Mada, meskipun berhasil dalam menciptakan imperium teritorial, terkadang mengorbankan diplomasi dan kemanusiaan.
Kekuatan Gajah Mada bukan hanya terletak pada pedang, tetapi juga pada kemampuan ekonominya. Majapahit adalah kerajaan agraris (penghasil beras) sekaligus maritim (pengontrol perdagangan). Gajah Mada memastikan kedua sektor ini saling mendukung untuk menghasilkan kekayaan yang dibutuhkan guna membiayai ekspansi dan memelihara birokrasi yang besar.
Wilayah inti Majapahit di lembah Sungai Brantas adalah lumbung padi utama. Gajah Mada, melalui sistem Patih dan penguasa daerah, memastikan bahwa sistem irigasi kuno (termasuk waduk dan kanal) dirawat dan diperluas. Keseimbangan antara output beras yang melimpah dan kontrol atas rempah-rempah yang berharga memberikan Majapahit daya tawar yang unik di Asia Tenggara.
Perdagangan rempah-rempah (terutama cengkeh dan pala dari Maluku) adalah sumber pendapatan eksternal terbesar Majapahit. Dengan menaklukkan atau menguasai jalur menuju Maluku (melalui Sulawesi dan Nusa Tenggara), Gajah Mada berhasil memotong perantara yang tidak diinginkan dan memonopoli komoditas ini. Pelabuhan-pelabuhan Majapahit menjadi titik temu bagi para pedagang dari Tiongkok, India, dan Arab. Pajak pelabuhan dan upeti dari daerah taklukan mengalir deras ke Trowulan, membiayai proyek-proyek monumental dan mempertahankan armada militernya.
Inilah yang membuat istilah Mahapatih menjadi lebih dalam dari sekadar panglima. Gajah Mada adalah ahli strategi ekonomi yang memahami bahwa kekuasaan jangka panjang harus didukung oleh kas negara yang stabil, bukan hanya oleh kemenangan militer sesaat.
Majapahit di masa Gajah Mada menjalin hubungan diplomatik yang intens dengan negara-negara besar di Asia. Tiongkok, di bawah Dinasti Ming, sangat menghormati Majapahit sebagai kekuatan maritim. Hubungan ini dipertahankan melalui pertukaran duta besar dan perdagangan reguler. Hubungan yang baik dengan Tiongkok dan kerajaan di Champa dan Siam memastikan stabilitas regional, memungkinkan Majapahit memusatkan energi untuk konsolidasi internal tanpa takut invasi dari utara.
Setelah Tragedi Bubat, pengaruh Gajah Mada dalam pengambilan keputusan sehari-hari di Majapahit memang berkurang, meskipun ia tetap memegang gelar Mahapatih Amangkubhumi. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa periode pasca-Bubat adalah masa di mana Hayam Wuruk mulai mengambil kendali lebih besar dalam administrasi, mungkin sebagai upaya untuk menyeimbangkan kembali etika kekuasaan yang terlalu militeristik yang diterapkan oleh Gajah Mada.
Menurut Pararaton, Gajah Mada wafat pada sekitar tahun 1364 M. Terdapat spekulasi bahwa kematiannya mungkin disebabkan oleh sakit keras, yang dalam bahasa Jawa kuno sering dihaluskan sebagai 'moksha' atau 'kembali ke nirwana'. Ketiadaan Gajah Mada segera menciptakan kekosongan politik yang besar. Hayam Wuruk mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan membagi jabatan Patih menjadi empat posisi terpisah, sebuah langkah yang secara jelas menunjukkan bahwa tidak ada satu pun individu yang dianggap setara dengan kemampuan komprehensif Gajah Mada.
Pembagian jabatan Patih ini, meskipun mungkin bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu orang (seperti yang dilakukan Gajah Mada), ironisnya, melemahkan efektivitas birokrasi pusat. Tidak ada lagi satu visi tunggal yang mengikat seperti Sumpah Palapa.
Warisan Gajah Mada tidak hanya terletak pada peta geografis yang ia ciptakan, tetapi juga pada sistem yang ia tinggalkan:
Dalam narasi nasional Indonesia, Gajah Mada diangkat sebagai pahlawan nasional, simbol persatuan, dan tokoh yang mewujudkan kejayaan masa lampau. Sumpah Palapa sering dikutip sebagai prekursor gagasan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu), meskipun Gajah Mada mencapai unifikasi melalui kekerasan militer, dan bukan melalui musyawarah damai.
Perannya yang ambigu—seorang pemersatu yang brutal, seorang arsitek yang ambisius, dan seorang politisi yang taktis—terus menjadikannya subjek studi dan perdebatan yang tak ada habisnya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Majapahit yang kita kenal sebagai Imperium bukanlah hasil dari satu raja saja, melainkan karya agung seorang Mahapatih yang visioner.
Untuk memahami kedalaman pengaruh Gajah Mada, kita harus menganalisis posisi Mahapatih (atau Patih Amangkubhumi) dalam struktur Majapahit yang rumit. Jabatan ini jauh melampaui posisi Perdana Menteri modern; ia adalah tangan kanan Raja, panglima tertinggi, kepala eksekutif, dan penegak hukum utama. Jabatan Gajah Mada adalah inti dari birokrasi Majapahit.
Dalam tradisi Jawa Kuno, raja (Raja Deva) adalah representasi dewa di bumi, berkuasa atas aspek spiritual dan kosmologis. Namun, pelaksanaan kekuasaan duniawi (administrasi, militer, keuangan) didelegasikan sepenuhnya kepada Patih. Gajah Mada berhasil memaksimalkan delegasi ini. Hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah sinergi yang sempurna: Hayam Wuruk memberikan legitimasi ilahi dan simbolisme kekuasaan, sementara Gajah Mada menyediakan pragmatisme politik dan kekuatan militer yang diperlukan untuk merealisasikan visi tersebut.
Keseimbangan ini sangat rapuh. Bubat menunjukkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Ketika keputusan Gajah Mada melukai kepentingan pribadi dan legitimasi spiritual raja (seperti dalam kasus penolakan terhadap pernikahan suci), kekuasaannya pun otomatis dibatasi. Namun, selama periode kejayaan, dualitas ini menjadi motor penggerak Majapahit.
Gajah Mada juga secara efektif mengendalikan Catur Parahyangan (empat lembaga tertinggi) Majapahit. Keempat lembaga ini adalah:
Kemampuan Gajah Mada untuk menyeimbangkan kepentingan dan mengintegrasikan semua lembaga ini di bawah satu tujuan—unifikasi Nusantara—adalah bukti jenius administrasinya.
Unifikasi yang dilakukan Gajah Mada tidak hanya meninggalkan warisan politik, tetapi juga warisan budaya dan linguistik yang mendalam, membentuk identitas Jawa yang dominan di Nusantara saat itu.
Dengan meluasnya pengaruh politik Majapahit, Bahasa Kawi (Jawa Kuno) menjadi bahasa lingua franca di kalangan elit di sebagian besar kepulauan, dari Bali hingga sebagian Sumatera. Naskah-naskah penting, seperti Nagarakretagama, yang dikomposisi pada masa itu, menjadi standar sastra yang tinggi. Pengaruh budaya Jawa, terutama dalam seni ukir, arsitektur, dan sistem kepercayaan Hindu-Buddha yang sinkretis, menyebar ke daerah taklukan, menciptakan homogenitas budaya tertentu di lingkungan istana vasal.
Misalnya, di Bali, meskipun penaklukan Gajah Mada berdarah, ia menghasilkan transfer signifikan para bangsawan dan pendeta Jawa (Brahmana), yang memperkuat fondasi Hindu Dharma Bali dan melestarikan tradisi sastra Jawa Kuno setelah Islamisasi di Jawa.
Di bawah manajemen Gajah Mada, Trowulan, ibukota Majapahit, berkembang menjadi kota metropolitan yang sangat besar dan terstruktur. Catatan dari Tiongkok dan deskripsi dalam Nagarakretagama menunjukkan Trowulan sebagai kota yang rapi, dengan tembok tinggi, istana yang megah, dan jaringan perdagangan yang padat. Populasi kota diperkirakan mencapai ratusan ribu orang, menjadikannya salah satu kota terbesar di dunia pada abad ke-14.
Trowulan adalah representasi nyata dari kekayaan dan stabilitas yang dihasilkan oleh Sumpah Palapa. Kota ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat manufaktur (terutama kerajinan emas dan perak) dan pusat ritual keagamaan.
Gajah Mada, sebagai Mahapatih, melampaui perannya sebagai tokoh sejarah Majapahit. Dalam konteks Indonesia modern, ia adalah mitos pendiri, jembatan yang menghubungkan kejayaan masa lampau dengan cita-cita negara kesatuan. Studi tentang Gajah Mada, oleh karena itu, harus dilihat dari dua perspektif: sejarah murni dan konstruksi identitas nasional.
Ketika Indonesia merdeka, para pendiri negara mencari legitimasi historis untuk persatuan. Mereka menemukan figur ideal dalam Gajah Mada dan visi Nusantara-nya. Konsep penyatuan yang diusungnya, yang mencakup hampir semua wilayah modern Indonesia, menjadi pembenaran historis yang kuat untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namanya diabadikan di universitas terkemuka (UGM) dan di berbagai institusi militer dan politik. Ini adalah pengakuan bahwa meski metode Gajah Mada brutal (seperti Bubat), hasil akhirnya—konsep satu kesatuan geografis kepulauan—adalah fundamental bagi bangsa. Ia dihormati bukan karena tindakannya yang sempurna, tetapi karena skalanya visi dan keberhasilannya dalam mewujudkannya.
Ironisnya, setelah Gajah Mada wafat, Majapahit mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran, meski perlahan. Kejatuhan Majapahit bukan karena invasi besar-besaran, tetapi karena kelemahan struktural internal dan perang suksesi (Perang Paregreg) yang meletus beberapa dekade setelah kematian Hayam Wuruk. Ketiadaan seorang Mahapatih dengan kapasitas moral dan administrasi yang sama setelah Gajah Mada adalah faktor kunci.
Pelajaran yang dapat dipetik dari masa Gajah Mada adalah bahwa kekuasaan terpusat yang terlalu bergantung pada kejeniusan satu individu, meskipun sangat efektif, juga rentan terhadap kekosongan kepemimpinan saat individu tersebut tiada. Stabilitas Majapahit di masa puncak adalah cerminan pribadi Gajah Mada, dan ketidakstabilannya pasca 1364 M adalah cerminan dari kesulitan Majapahit menemukan pengganti yang sepadan.
Sebagai penutup, kisah Mahapatih Gajah Mada adalah epik tentang ambisi, kekuatan, dan realisasi visi. Ia adalah panglima, politikus, dan administrator ulung yang berhasil membentuk struktur geopolitik yang abadi. Dari seorang pengawal rendah, ia menaklukkan kepulauan, menciptakan sistem yang stabil, dan meninggalkan warisan yang mendefinisikan identitas bangsa. Gajah Mada adalah manifestasi nyata dari kekuatan Majapahit yang tak tertandingi, seorang arsitek sejati yang mendirikan fondasi bagi impian persatuan Nusantara.