Neraca Hukum dan Integritas Peradilan Syariah
Mahkamah Syariah di Indonesia merupakan lembaga yudikatif yang memainkan peran fundamental dalam sistem hukum nasional. Sebagai bagian integral dari sistem peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA), keberadaannya memastikan penegakan hukum Islam bagi umat Muslim, khususnya dalam ranah hukum keluarga, harta benda, dan aspek ekonomi syariah. Artikel ini akan mengupas secara tuntas sejarah, struktur, yurisdiksi, serta tantangan kontemporer yang dihadapi oleh Mahkamah Syariah, memberikan pemahaman komprehensif mengenai pilar keadilan yang unik ini.
Sistem peradilan di Indonesia dikenal memiliki karakteristik dualistik, membagi yurisdiksi antara Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama (yang dalam konteks Aceh disebut Mahkamah Syariah). Meskipun namanya spesifik untuk Aceh, fungsi dan substansi hukum yang diurusinya secara umum mencerminkan peran Peradilan Agama di provinsi lain, namun dengan kewenangan yang diperluas, menjadikannya model penting dalam studi hukum Islam di kawasan tersebut.
Eksistensi Mahkamah Syariah bukanlah fenomena modern, melainkan akar historis yang panjang, terjalin erat dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Sejak masa kerajaan-kerajaan Islam, peradilan yang berbasis syariat telah berfungsi, meskipun dalam bentuk yang belum terstruktur modern.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, hukum Islam (fiqh) telah menjadi salah satu sumber utama hukum adat di banyak wilayah. Pengadilan lokal (biasanya dipimpin oleh Qadhi atau ulama kerajaan) menangani perkara-perkara perkawinan, warisan, dan perselisihan keagamaan.
Pemerintah Kolonial Belanda mengakui eksistensi Pengadilan Agama (Priesterraden). Namun, pengakuan ini bersifat terbatas dan sering kali diintervensi oleh kebijakan hukum kolonial, terutama melalui Teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku jika telah diterima oleh hukum adat setempat. Kebijakan ini secara signifikan membatasi ruang gerak yurisdiksi Peradilan Agama, mengalihkannya dari penanganan kriminal atau sengketa tanah besar, fokus pada urusan domestik dan ritual keagamaan.
Setelah kemerdekaan, ada upaya berkelanjutan untuk mengintegrasikan Peradilan Agama ke dalam sistem peradilan nasional yang utuh. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi landasan, namun baru pada era reformasi, kedudukan Mahkamah Syariah benar-benar dikuatkan.
UU ini memberikan penegasan kuat mengenai yurisdiksi Peradilan Agama yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Ini menandai perluasan signifikan dari yurisdiksi yang sebelumnya sangat terbatas. Khusus di Aceh, Mahkamah Syariah memiliki dasar hukum khusus yang memberikan kompetensi lebih luas, termasuk penanganan beberapa jenis pelanggaran syariat (Qanun Jinayah).
Yurisdiksi adalah batas wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Syariah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Yurisdiksi ini dibagi menjadi beberapa kluster utama yang mencerminkan kebutuhan masyarakat Muslim.
Ini adalah jantung dari yurisdiksi Mahkamah Syariah. Perkara yang ditangani mencakup seluruh siklus kehidupan keluarga Muslim, dari pembentukan hingga pembubaran dan akibat hukumnya.
Mahkamah Syariah menangani dua jenis perkara perceraian utama:
Selain putusan perceraian itu sendiri, Mahkamah juga memutuskan perkara turunan, termasuk:
Perkara Mawaris (hukum kewarisan Islam) merupakan kompetensi eksklusif Mahkamah Syariah. Prinsip-prinsip Faraid diterapkan untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris.
Mahkamah Syariah menetapkan siapa saja yang berhak mewarisi, seberapa besar bagian mereka (ashabul furudh), dan menyelesaikan sengketa pembagian. Proses ini seringkali melibatkan penetapan silsilah keluarga yang rumit dan perhitungan matematis yang cermat sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits.
Mahkamah juga berwenang mengadili sengketa yang timbul dari pelaksanaan wasiat (pesan terakhir pewaris) dan hibah (pemberian semasa hidup). Dalam hukum Islam, wasiat memiliki batasan, yaitu tidak boleh melebihi sepertiga dari total harta warisan dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya.
Pengelolaan dana sosial dan keagamaan yang besar juga berada di bawah pengawasan Mahkamah Syariah. Hal ini penting untuk menjaga amanah publik dan keabsahan aset keagamaan.
Wakaf (penyerahan harta benda untuk kepentingan umum selamanya) seringkali menimbulkan sengketa, terutama terkait status nazhir (pengelola wakaf), pengalihan aset wakaf, atau pembatalan ikrar wakaf. Mahkamah memastikan bahwa harta wakaf tetap sesuai dengan peruntukannya (mauquf alaih).
Ini adalah perluasan yurisdiksi yang relatif baru dan sangat krusial seiring perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia.
Mahkamah Syariah berwenang menyelesaikan sengketa antara bank syariah (atau lembaga keuangan syariah lainnya) dengan nasabahnya. Ini mencakup sengketa terkait pembiayaan (Murabahah, Mudharabah, Musyarakah), deposito, asuransi syariah (Takaful), dan obligasi syariah (Sukuk). Kewenangan ini menegaskan bahwa setiap akad yang menggunakan prinsip syariah harus diselesaikan di badan peradilan yang memahami hukum substansialnya.
Sumber Hukum Islam: Al-Qur'an, Hadits, dan Ijtihad Hakim
Untuk memahami kedalaman Mahkamah Syariah, perlu diuraikan secara detail prinsip-prinsip hukum materiil yang menjadi dasar putusan, yang sebagian besar bersumber dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan berbagai Qanun Lokal (khususnya di Aceh).
Hukum keluarga ditekankan pada asas kemaslahatan, perlindungan terhadap perempuan dan anak, serta pencegahan kemudaratan (mafsadah).
Mahkamah Syariah memiliki peran vital dalam memastikan bahwa perceraian tidak merugikan pihak istri, terutama jika ia tidak memiliki penghasilan. Hal ini diwujudkan melalui penetapan Nafkah Madhiyah (nafkah yang terlewatkan), Nafkah Iddah (nafkah selama masa tunggu), dan Mut’ah (pemberian penghibur).
Dalam konteks Hadhanah, prinsip utama yang digunakan adalah bahwa anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) secara umum diserahkan kepada ibu, kecuali terbukti ibu tersebut tidak cakap secara moral atau fisik. Keputusan akhir selalu berorientasi pada best interest of the child.
Di Indonesia, konsep harta bersama dipandang sebagai perpaduan antara hukum Islam (yang membedakan harta bawaan dan harta yang diperoleh) dan hukum adat. Mahkamah Syariah biasanya menetapkan pembagian 50:50 jika kontribusi kedua pihak dianggap setara, namun pembagian bisa bervariasi tergantung bukti kontribusi finansial atau non-finansial (seperti mengurus rumah tangga dan mendidik anak) yang diajukan di persidangan.
Hukum waris Islam adalah disiplin yang sangat rigid dan rinci. Mahkamah Syariah bertugas memastikan pembagian sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an, di mana bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan (2:1), meskipun dalam prakteknya, terdapat pengecualian melalui konsep wasiat wajibah.
Wasiat Wajibah adalah penetapan hakim yang memberikan hak waris kepada pihak yang secara fiqih klasik tidak berhak, misalnya anak angkat atau ahli waris yang berbeda agama, demi keadilan. Konsep ini adalah manifestasi dari upaya Mahkamah Syariah untuk mengadopsi prinsip keadilan substantif dalam kerangka hukum positif Indonesia, meskipun batasannya tetap sepertiga dari harta peninggalan.
Mahkamah harus memverifikasi adanya faktor penghalang waris (Mawani’ul Irts), seperti pembunuhan (pembunuh tidak berhak mewarisi korban), atau adanya penghalang (Hijab), di mana keberadaan satu ahli waris dapat mengurangi atau meniadakan bagian ahli waris lainnya.
Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, Mahkamah tidak menggunakan pendekatan bunga (riba), melainkan mencari keadilan berdasarkan prinsip bagi hasil (syirkah) dan prinsip saling ridha (antaradhin). Hukum materiilnya merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai rujukan utama.
Jika terjadi cidera janji (wanprestasi) dalam pembiayaan, Mahkamah Syariah akan menilai apakah kegagalan bayar disebabkan oleh kelalaian nasabah (taghrir) atau risiko bisnis yang wajar (risiko mudharabah atau musyarakah). Sanksi yang dikenakan bukan berupa denda berbasis bunga, melainkan penggantian biaya riil atau penjualan agunan sesuai akad yang disepakati.
Meskipun menggunakan hukum materiil Islam, Mahkamah Syariah tunduk pada Hukum Acara Perdata yang berlaku umum di Indonesia (seperti diatur dalam HIR/RBG), namun dengan penyesuaian untuk mengakomodasi nilai-nilai syariah, khususnya yang berkaitan dengan mediasi dan pembuktian.
Pihak yang berperkara (Penggugat/Pemohon) mengajukan gugatan atau permohonan ke Kepaniteraan Mahkamah Syariah. Gugatan harus memenuhi syarat formal seperti identitas pihak, dasar hukum (posita), dan tuntutan (petitum).
Setiap perkara perdata (kecuali perkara perceraian talak yang sudah melalui proses mediasi non-formal) wajib melalui tahap mediasi. Mediator (baik dari hakim, mediator bersertifikat, atau pihak ketiga) berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Mediasi di Mahkamah Syariah sangat ditekankan, khususnya dalam perkara keluarga, untuk menjaga keutuhan rumah tangga atau mencapai kesepakatan damai atas pembagian harta.
Pembuktian adalah inti dari persidangan. Alat bukti yang diakui Mahkamah Syariah meliputi:
Hakim Mahkamah Syariah (Qadhi) dituntut tidak hanya menguasai hukum positif (UU dan KHI), tetapi juga mendalami ilmu fiqh dan ushul fiqh. Dalam memutus perkara, hakim harus menggunakan asas kebebasan dan independensi yudisial, namun tetap terikat pada kaidah-kaidah syariah.
Pihak yang tidak puas dengan putusan Mahkamah Syariah tingkat pertama dapat mengajukan upaya hukum:
Mahkamah Syariah di Provinsi Aceh memiliki kekhususan yang membedakannya dari Peradilan Agama di provinsi lain. Keistimewaan ini didasarkan pada Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, yang memberikan kewenangan lebih luas dalam menjalankan syariat Islam secara kaffah.
Selain yurisdiksi perdata yang umum (perkawinan, waris, ekonomi syariah), Mahkamah Syariah Aceh berwenang mengadili perkara pidana khusus yang diatur dalam Qanun (Peraturan Daerah) Jinayah, antara lain:
Dalam perkara Jinayah, Mahkamah Syariah Aceh menerapkan sanksi uqubat (hukuman) yang seringkali berupa cambuk (deraan) atau denda, yang dilaksanakan secara terbuka atau tertutup sesuai ketentuan Qanun.
Penerapan Qanun oleh Mahkamah Syariah memerlukan koordinasi erat dengan lembaga penegak hukum syariah lainnya, yaitu Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) dan Kejaksaan Syariah. Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yang menuntut kehati-hatian tinggi dalam pembuktian (misalnya, syarat saksi dalam kasus tertentu).
Mahkamah Syariah, sebagai lembaga keadilan yang beroperasi di tengah modernitas dan masyarakat majemuk, menghadapi sejumlah tantangan signifikan, mulai dari isu internal hingga tekanan globalisasi.
Penanganan perkara, terutama yang kompleks seperti sengketa ekonomi syariah atau sengketa harta warisan yang bernilai besar, menuntut hakim dan panitera memiliki kompetensi ganda: penguasaan hukum positif dan fiqh muamalah. Kurangnya hakim yang spesialis di bidang ekonomi syariah menjadi hambatan utama dalam penegakan hukum di sektor ini.
Dalam menghadapi tuntutan efisiensi, Mahkamah Syariah telah mengadopsi sistem e-court, yang memungkinkan pendaftaran gugatan online (e-filing), pembayaran biaya perkara online (e-payment), dan pemanggilan pihak secara elektronik (e-summons). Digitalisasi ini bertujuan mengurangi potensi kolusi dan meningkatkan transparansi layanan publik.
Meskipun yurisdiksi Mahkamah Syariah telah diperluas, seringkali muncul perdebatan hukum (konflik yurisdiksi) dengan Peradilan Umum, terutama dalam kasus yang melibatkan sengketa aset, di mana salah satu pihak mungkin berargumen bahwa sengketa tersebut murni perdata umum.
Sengketa harta bersama yang melibatkan pihak non-Muslim atau sengketa waris yang di dalamnya terdapat harta benda bergerak dan tidak bergerak, seringkali memerlukan penetapan batas yang jelas agar putusan Mahkamah Syariah tidak bertentangan dengan putusan Peradilan Umum. Dalam kasus ekonomi syariah, Mahkamah Agung telah memperjelas bahwa selama perjanjian (akad) menggunakan prinsip syariah, maka Mahkamah Syariah yang berhak mengadilinya.
Mahkamah Syariah modern dituntut untuk menyeimbangkan antara pelaksanaan syariat Islam dan perlindungan hak asasi manusia universal, khususnya hak-hak perempuan dan anak. Dalam penentuan poligami, misalnya, Mahkamah sangat ketat dan harus memastikan terpenuhinya syarat keadilan, kemampuan finansial, dan izin dari istri pertama, demi mencegah diskriminasi.
Untuk mencapai kedalaman substansi hukum yang memadai, perlu diulas beberapa doktrin dan putusan kunci yang sering diterapkan oleh Mahkamah Syariah dan bagaimana doktrin tersebut membentuk jurisprudensi nasional.
Doktrin Istislah (mencari kemaslahatan publik) sering digunakan oleh hakim Mahkamah Syariah ketika menghadapi perkara yang tidak diatur secara eksplisit dalam KHI atau Fatwa DSN. Misalnya, dalam menentukan pembagian hak pensiun bekas suami kepada bekas istri (yang diakui sebagai harta bersama) atau penyesuaian nafkah anak sesuai inflasi ekonomi.
Mahkamah Syariah dituntut untuk tidak hanya menerapkan teks hukum secara literalistik, tetapi juga secara progresif. Contohnya adalah penafsiran ulang terhadap pasal-pasal KHI mengenai kedudukan saksi wanita. Meskipun fiqih klasik mensyaratkan dua saksi pria atau satu pria dan dua wanita dalam kasus tertentu, Mahkamah modern cenderung menyejajarkan nilai kesaksian wanita berdasarkan konteks perkara dan profesionalisme saksi.
Itsbat nikah (pengesahan pernikahan) adalah prosedur yang sering diajukan di Mahkamah. Kasus ini menjadi rumit ketika melibatkan perkawinan kedua, ketiga, atau keempat yang dilakukan tanpa izin resmi. Mahkamah Syariah biasanya hanya akan mengesahkan pernikahan tersebut jika pernikahan tersebut memenuhi syarat sah secara syariat (rukun nikah) dan setelah itu, pihak suami wajib memproses izin poligami secara retrospektif (jika dimungkinkan) atau menghadapi sanksi administrasi.
Putusan Itsbat Nikah bertujuan melindungi hak-hak istri yang tidak tercatat (terutama hak waris dan hak anak-anak) meskipun pernikahan tersebut melanggar prosedur administratif negara.
Perkembangan wakaf tidak lagi terbatas pada aset tidak bergerak (tanah dan bangunan), tetapi juga wakaf uang (cash waqf). Mahkamah Syariah kini harus menangani sengketa terkait pengelolaan dana wakaf produktif, memastikan bahwa nazhir menginvestasikan dana tersebut sesuai prinsip syariah (misalnya, di Sukuk Wakaf) dan menghasilkan imbal hasil (mauquf alaih) yang bermanfaat bagi penerima wakaf.
Jika nazhir terbukti lalai atau melakukan penyalahgunaan dana, Mahkamah berhak mencabut status nazhir dan menunjuk nazhir pengganti, serta menuntut pengembalian kerugian harta wakaf.
Putusan Mahkamah Syariah tidak berarti tanpa kekuatan jika tidak dapat dieksekusi. Proses eksekusi putusan seringkali menjadi tantangan terbesar, terutama jika melibatkan aset bergerak atau sengketa harta yang berlokasi di daerah yurisdiksi berbeda.
Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), pihak yang menang (eksekutan) dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Mahkamah Syariah.
Salah satu eksekusi yang paling sulit adalah pemenuhan nafkah iddah, mut'ah, dan nafkah anak yang tertunggak. Untuk mengatasi hal ini, Mahkamah Syariah sering menggunakan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) atau menetapkan jumlah nafkah yang jelas dan mengikat, bahkan melibatkan pemotongan gaji (jika mantan suami adalah pegawai negeri) untuk menjamin hak anak terpenuhi.
Dalam konteks Aceh, eksekusi putusan Jinayah (uqubat cambuk) dilakukan secara terpisah melalui koordinasi dengan Kejaksaan Syariah dan Wilayatul Hisbah. Mahkamah hanya memutus perkara, sementara eksekusi fisik dilaksanakan oleh otoritas penegak hukum yang berwenang, dengan pengawasan ketat untuk memastikan tidak melanggar prosedur yang ditetapkan dalam Qanun.
Kedudukan Mahkamah Syariah di Indonesia adalah unik karena ia mewakili akomodasi hukum Islam dalam bingkai negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila. Mahkamah Syariah adalah lembaga negara, bukan lembaga keagamaan murni.
Secara organisatoris, administratif, dan finansial, Mahkamah Syariah berada di bawah Mahkamah Agung (MA), setara dengan empat lingkungan peradilan lainnya. Hal ini menjamin kesatuan kebijakan peradilan di tingkat nasional dan memastikan bahwa putusan Mahkamah Syariah tunduk pada pengawasan yudisial tertinggi (Kasasi dan PK di MA).
Keberadaan Mahkamah Syariah diterima secara luas oleh masyarakat Muslim Indonesia karena memberikan kepastian hukum yang sesuai dengan keyakinan agama mereka, terutama dalam urusan sakral seperti perkawinan dan warisan. Kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Syariah cenderung tinggi karena putusan tersebut dianggap sah secara hukum negara dan sesuai dengan norma agama.
Dalam sejarah perjalanannya, Mahkamah Syariah telah berevolusi dari pengadilan kolonial yang terpinggirkan menjadi pilar keadilan yang modern, transparan, dan responsif terhadap tantangan sosial. Dengan yurisdiksi yang semakin luas, terutama dalam bidang ekonomi syariah, Mahkamah Syariah terus meneguhkan perannya sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional, memastikan bahwa keadilan berdasarkan syariat Islam dapat ditegakkan di seluruh pelosok Nusantara.