Fenomena 'main serong', atau yang secara psikologis dikenal sebagai perselingkuhan (infidelity), merupakan salah satu tantangan paling destruktif yang dihadapi oleh institusi hubungan, baik pernikahan maupun komitmen jangka panjang lainnya. Istilah ini merangkum pelanggaran janji kesetiaan emosional, seksual, atau keduanya, yang telah disepakati bersama dalam sebuah ikatan. Perselingkuhan bukanlah sekadar kesalahan sesaat, melainkan sebuah proses kompleks yang melibatkan lapisan psikologis, sosiologis, dan dinamika relasional yang mendalam.
Dalam masyarakat modern, definisi perselingkuhan semakin meluas. Tidak lagi hanya terbatas pada kontak fisik, kini ‘main serong’ juga mencakup perselingkuhan emosional (emotional affair) atau perselingkuhan siber (cyber infidelity), di mana batasan intim yang seharusnya hanya dimiliki oleh pasangan dilanggar melalui interaksi non-fisik dengan pihak ketiga. Pelanggaran batas ini menyebabkan kerusakan fundamental pada fondasi kepercayaan, yang merupakan pilar utama dari setiap hubungan yang sehat.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa fenomena ini terjadi, faktor-faktor internal dan eksternal yang memicunya, dampak psikologis dan emosional yang ditimbulkan, hingga langkah-langkah praktis dan terapeutik untuk menghadapi dan memulihkan diri dari trauma perselingkuhan. Pemahaman yang mendalam diperlukan bukan untuk membenarkan tindakan tersebut, tetapi untuk menganalisis akar masalah dan mencari jalur restorasi, baik bagi individu maupun hubungan yang bersangkutan.
Mencari tahu alasan di balik perselingkuhan adalah upaya menggali kedalaman psikologi manusia. Perselingkuhan jarang sekali disebabkan oleh satu faktor tunggal; biasanya merupakan hasil interaksi kompleks antara kerentanan pribadi, kegagalan relasional, dan kesempatan yang muncul. Ada perbedaan mendasar antara perselingkuhan yang dilakukan karena alasan situasional murni (misalnya, mabuk dan penyesalan instan) dan perselingkuhan yang berakar dari defisit psikologis jangka panjang.
Banyak pelaku perselingkuhan didorong oleh perasaan kosong atau hampa, bahkan ketika hubungan utama mereka terlihat stabil di permukaan. Mereka mencari validasi atau kegembiraan (thrill) yang hilang dari diri mereka sendiri. Orang tersebut mungkin mengalami Krisis Identitas Paruh Baya (Midlife Crisis) atau merasa terjebak dalam rutinitas. Pihak ketiga menjadi cerminan dari potensi diri yang belum tereksplorasi atau versi diri yang lebih berani dan bebas yang mereka rindukan.
Pola perilaku masa lalu sering berulang. Individu yang berasal dari latar belakang keluarga dengan sejarah perselingkuhan atau yang tidak pernah belajar cara memproses emosi yang sulit cenderung mengadopsi mekanisme koping yang tidak sehat. Alih-alih menghadapi masalah dalam hubungan, mereka melarikan diri ke dalam fantasi hubungan baru. Perselingkuhan menjadi strategi penghindaran (avoidance strategy) terhadap konflik internal maupun eksternal.
Psikolog sering menyoroti bahwa 'main serong' dapat menjadi upaya sadar atau tidak sadar untuk memenuhi kebutuhan yang terabaikan sejak masa kanak-kanak, seperti kebutuhan akan perhatian tanpa syarat atau kebutuhan akan rasa aman. Kekurangan ini diproyeksikan ke dalam hubungan pasangan, dan ketika pasangan gagal memenuhinya (suatu hal yang mustahil), pencarian eksternal pun dimulai.
Banyak kasus perselingkuhan terjadi dalam hubungan yang secara lahiriah tampak baik-baik saja, namun secara emosional telah mati. Komunikasi telah berubah menjadi transaksional (hanya membicarakan logistik anak, tagihan, pekerjaan) tanpa adanya berbagi perasaan mendalam. Ketika pasangan berhenti menjadi tempat berlindung emosional, keterbukaan akan dicari di tempat lain. Pihak ketiga seringkali masuk sebagai 'pendengar' yang menawarkan ketersediaan emosional yang hilang.
Meskipun perselingkuhan tidak selalu bersifat seksual, ketidakpuasan seksual adalah pemicu utama. Hal ini bisa berupa perbedaan libido yang ekstrem, perasaan ditolak secara konsisten, atau keinginan untuk mencoba pengalaman seksual baru yang tidak dapat atau tidak mau dipenuhi oleh pasangan utama. Penting dicatat, dalam kasus ini, perselingkuhan seringkali lebih merupakan reaksi terhadap kurangnya keintiman, bukan sekadar kelebihan gairah.
Dalam hubungan di mana salah satu pihak merasa tidak dihargai, tertekan, atau tidak memiliki suara (power imbalance), perselingkuhan dapat digunakan sebagai bentuk pemberontakan pasif-agresif atau sebagai cara untuk merebut kembali rasa kontrol diri. Tindakan rahasia ini memberi pelaku rasa otonomi dan kekuatan yang mereka rasakan telah hilang dalam hubungan utama.
Perselingkuhan jarang terjadi secara instan. Ini adalah proses bertahap yang melibatkan serangkaian keputusan dan pergeseran batas. Memahami tahapan ini penting untuk intervensi preventif dan juga untuk analisis pasca-kejadian.
Pada fase awal, pelaku mulai merasakan adanya kekosongan atau ketidakpuasan. Mereka mulai membiarkan diri mereka lebih rentan terhadap orang lain yang menarik. Batasan yang seharusnya melindungi hubungan mulai dilonggarkan.
Ini adalah fase di mana hubungan dengan pihak ketiga menjadi sumber utama dukungan emosional, validasi, dan keintiman. Meskipun belum tentu melibatkan kontak fisik, kerusakan pada hubungan utama sudah sangat parah.
Pada titik ini, hubungan rahasia berkembang menjadi kontak fisik atau seksual. Bagi banyak pelaku, ini adalah konsekuensi logis dari keintiman emosional yang telah mereka kembangkan. Rasionalisasi semakin kuat untuk membenarkan tindakan tersebut, seringkali dengan menyalahkan pasangan utama atas 'kegagalan' hubungan.
Perselingkuhan biasanya terungkap melalui tiga cara: pengakuan sukarela (jarang terjadi), penemuan oleh pasangan, atau tindakan sengaja oleh pelaku (seringkali untuk memaksa pengakhiran hubungan utama). Fase ini adalah titik krisis terbesar, yang langsung memicu Trauma Pasca-Pengungkapan (Post-Disclosure Trauma) pada pasangan yang dikhianati.
Selama proses perselingkuhan, pelaku sering mengalami disonansi kognitif—konflik antara nilai-nilai moral mereka (kesetiaan) dan tindakan mereka (pengkhianatan). Untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis ini, otak pelaku cenderung melakukan pembenaran: menyalahkan pasangan ("dia pantas mendapatkannya"), meminimalisir keparahan tindakan ("ini hanya seks"), atau mengidealisasi pihak ketiga ("dia adalah belahan jiwa sejati saya"). Disonansi ini yang membuat pelaku sering tampak dingin atau defensif saat perselingkuhan terungkap.
Mendapati fakta bahwa pasangan 'main serong' bukanlah sekadar patah hati; ini adalah pengalaman traumatis yang sering disamakan dengan PSTD (Post-Traumatic Stress Disorder). Kerusakan yang ditimbulkan bersifat multidimensi, mencakup ranah psikologis, fisik, dan sosial.
Pengungkapan perselingkuhan memicu respons stres akut (fight, flight, or freeze). Tubuh dibanjiri kortisol dan adrenalin, menyebabkan gejala yang nyata secara fisik.
Perselingkuhan menghancurkan 'narasi hubungan' yang dibangun oleh korban. Korban harus mempertanyakan semua yang mereka yakini tentang hubungan mereka, pasangan mereka, dan bahkan diri mereka sendiri. "Apakah seluruh hidup saya adalah kebohongan?" Pertanyaan eksistensial ini menyebabkan kerusakan besar pada identitas diri.
Kepercayaan tidak hanya hilang pada pasangan, tetapi juga pada kemampuan diri sendiri untuk menilai orang lain, pada realitas, dan pada masa depan. Korban seringkali kesulitan mempercayai informasi apa pun yang berasal dari sumber luar, menciptakan isolasi emosional yang mendalam.
Korban sering bergantian antara kemarahan yang membara, kesedihan mendalam, rasa malu, dan keputusasaan. Mereka mungkin merasa bersalah (mencari tahu apa yang salah dari diri mereka sendiri), meskipun kesalahan utama berada pada pelaku yang memilih melanggar komitmen.
Pemulihan dari perselingkuhan adalah maraton, bukan lari cepat. Ini membutuhkan dedikasi, kerentanan ekstrem, dan seringkali bantuan profesional. Langkah pertama yang kritis adalah keputusan apakah hubungan akan dilanjutkan (restorasi) atau diakhiri (pemulihan individu).
Restorasi hanya mungkin terjadi jika pelaku menunjukkan penyesalan yang mendalam dan bersedia melakukan kerja keras yang substansial. Ini bukan tentang 'melupakan', melainkan tentang 'membangun kembali fondasi yang sepenuhnya baru' di atas puing-puing lama.
Pelaku harus sepenuhnya menerima tanggung jawab atas pilihan yang dibuat. Tidak boleh ada pembenaran, menyalahkan pasangan, atau minimisasi tindakan. Akuntabilitas melibatkan:
Terapi bukan tentang memperbaiki hubungan, melainkan mengelola trauma yang disebabkan oleh pengkhianatan. Terapis berfungsi sebagai mediator yang menjaga keamanan emosional selama pasangan yang terluka memproses rasa sakit mereka.
Jika pasangan memilih untuk berpisah, pemulihan berfokus pada individu yang dikhianati untuk mendapatkan kembali rasa harga diri dan keamanan emosional mereka.
Perpisahan akibat perselingkuhan melibatkan rasa duka ganda: duka atas berakhirnya hubungan dan duka atas hilangnya versi masa depan yang pernah direncanakan bersama. Proses ini harus diakui dan dilegitimasi.
Sangat penting bagi korban untuk mengalihkan fokus dari mencari tahu 'mengapa saya tidak cukup baik?' menjadi 'saya layak mendapatkan kejujuran dan rasa hormat'. Ini dilakukan melalui fokus pada karir, hobi, dan jaringan sosial yang sehat.
Langkah akhir dalam pemulihan adalah menerima bahwa Anda tidak dapat mengendalikan tindakan orang lain, dan melepaskan tanggung jawab atas kegagalan moral pelaku. Pemulihan sejati terjadi ketika fokus beralih dari pelaku ke pertumbuhan diri sendiri.
Pencegahan perselingkuhan melibatkan upaya proaktif dan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan emosional dan seksual hubungan. Hubungan yang kuat bukanlah hubungan tanpa masalah, melainkan hubungan yang memiliki mekanisme yang solid untuk mengatasi masalah tersebut secara internal.
Pasangan harus secara rutin mengalokasikan waktu untuk "cek in" emosional—bukan hanya membicarakan logistik, tetapi juga berbagi perasaan, ketakutan, dan harapan terdalam. Ini menciptakan rasa koneksi yang menjaga pasangan tetap menjadi prioritas utama satu sama lain. Hindari asumsi; selalu tanyakan, validasi, dan dengarkan tanpa interupsi atau pembelaan diri.
Konflik yang tidak terpecahkan adalah reservoir racun yang dapat mendorong seseorang mencari kenyamanan di luar. Pasangan harus belajar teknik seperti Soft Start-Up (mengawali keluhan dengan lembut) dan Repair Attempts (upaya memperbaiki situasi saat konflik memanas) untuk mencegah spiral negatif.
Batasan seringkali diasumsikan, padahal seharusnya dinegosiasikan dan didefinisikan secara eksplisit. Pasangan perlu duduk bersama dan menentukan apa yang dianggap 'main serong' bagi mereka: Apakah makan siang berdua dengan lawan jenis di luar kerja termasuk? Apakah membandingkan pasangan dengan orang lain termasuk pelanggaran emosional? Batasan harus disepakati bersama, tidak dipaksakan.
Jurnalistik hubungan seringkali menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi ketika salah satu pihak secara emosional dan fisik terlalu jauh. Prioritaskan keintiman reguler, baik fisik maupun non-fisik. Perhatian yang konsisten jauh lebih penting daripada hadiah besar sesekali. Saling bertanya 'Bagaimana perasaanmu hari ini?' harus menjadi ritual harian.
Dalam kehidupan yang sibuk (pekerjaan, anak-anak, tuntutan sosial), mudah bagi hubungan pasangan untuk terdegradasi menjadi prioritas terakhir. Pencegahan utama adalah menjadikan hubungan sebagai entitas yang membutuhkan investasi waktu dan energi paling besar, di atas segalanya. Jika pasangan berhenti berusaha untuk menyenangkan satu sama lain, pintu menuju pencarian pemuasan eksternal akan terbuka.
Untuk mencapai kedalaman analisis yang komprehensif, kita perlu mempertimbangkan perselingkuhan bukan hanya sebagai kegagalan pribadi, tetapi juga sebagai fenomena yang dibentuk oleh tekanan sosial, ekspektasi budaya, dan evolusi norma hubungan.
Di Indonesia, di mana norma komitmen dan keluarga sangat ditekankan, konsekuensi sosial dari 'main serong' sangat berat. Pelaku (terutama wanita, meskipun ini tidak adil) sering menghadapi stigma yang jauh lebih parah. Hal ini menyebabkan pelaku cenderung menyembunyikan perselingkuhan jauh lebih dalam, memperburuk trauma korban ketika kebenaran terungkap. Budaya diam (omerta) seputar masalah hubungan juga menghambat pasangan untuk mencari bantuan profesional di awal.
Perselingkuhan (zina) di Indonesia memiliki konsekuensi hukum yang diatur dalam KUHP, menunjukkan bahwa ini bukan hanya masalah moral pribadi, tetapi juga pelanggaran terhadap tatanan sosial yang diakui negara. Pemahaman ini menambah lapisan tekanan dan risiko bagi pelaku, namun ironisnya, jarang berfungsi sebagai pencegah yang efektif karena motivasi perselingkuhan umumnya didasari kebutuhan emosional, bukan rasional.
Secara historis, monogami adalah konstruksi sosial yang terkait erat dengan kepemilikan properti dan jalur keturunan. Beberapa ahli psikologi evolusioner berpendapat bahwa kecenderungan manusia untuk menyimpang dari monogami ketat adalah alami, namun, etika komitmen modern menuntut kesepakatan dan kejujuran.
Penting untuk membedakan antara 'main serong' (pelanggaran rahasia terhadap komitmen monogami yang disepakati) dan hubungan non-monogami konsensual (misalnya poliamori atau hubungan terbuka) yang didasarkan pada kejujuran dan persetujuan penuh dari semua pihak. Perselingkuhan bersifat destruktif karena kerahasiaannya dan pengkhianatan kepercayaan; bentuk hubungan terbuka bersifat etis karena didasarkan pada transparansi.
Dalam analisis yang lebih dalam, perselingkuhan seringkali merupakan sinyal bahwa individu belum memiliki kemampuan keterikatan (attachment) yang aman. Mereka mungkin memiliki gaya keterikatan menghindari (avoidant) atau cemas (anxious), yang mendorong mereka untuk mencari validasi secara kompulsif di luar batas aman hubungan utama. Mengatasi perselingkuhan pada akhirnya menuntut pelaku untuk memperbaiki akar masalah keterikatan mereka sendiri.
Di era digital, main serong tidak memerlukan kedekatan fisik. Perselingkuhan emosional (emotional affair) yang berkembang melalui media sosial, aplikasi pesan, atau game online menjadi semakin umum dan sama merusaknya. Gejala-gejalanya meliputi:
Meskipun tidak ada jaminan 100% untuk mencegah 'main serong', pasangan dapat secara sadar mengurangi kerentanan hubungan mereka dengan mempraktikkan mitigasi risiko yang proaktif.
Perselingkuhan sering memuncak selama periode stres atau transisi besar, seperti kelahiran anak, perubahan karir besar, masalah keuangan, atau kematian orang tua. Pada masa-masa ini, pasangan cenderung mengabaikan satu sama lain karena fokus energi dialihkan. Masa-masa ini harus diidentifikasi sebagai periode risiko tinggi, di mana upaya koneksi harus ditingkatkan.
Lingkungan kerja yang menuntut kedekatan emosional dan waktu panjang di luar rumah (misalnya, perjalanan bisnis) serta penggunaan zat yang mengganggu penilaian (alkohol) adalah pemicu situasional yang signifikan. Penetapan aturan ketat di sekitar interaksi profesional dan penggunaan zat adalah langkah mitigasi yang bijaksana.
Bagi pasangan yang waspada, ada tanda-tanda halus bahwa fondasi hubungan sedang terkikis, jauh sebelum perselingkuhan fisik terjadi.
Mengenali tanda-tanda ini bukan bertujuan untuk menuduh, tetapi untuk memicu dialog yang jujur tentang kesehatan hubungan. Jika salah satu atau kedua pasangan melihat tanda-tanda ini, saatnya mencari intervensi profesional sebelum krisis membesar.
Pemaafan adalah inti dari pemulihan. Pemaafan bukanlah 'melupakan' atau 'membenarkan', melainkan proses yang dilakukan oleh korban untuk melepaskan dendam dan kepahitan demi kebebasan emosional mereka sendiri. Pemaafan bersifat pribadi, terlepas dari apakah hubungan dilanjutkan atau diakhiri.
Korban harus diizinkan untuk sepenuhnya dan tanpa hambatan mengungkapkan rasa sakit, kemarahan, dan pengkhianatan yang mereka rasakan. Pelaku harus menerima ini sebagai bagian dari konsekuensi alami dari tindakan mereka, tanpa menjadi defensif.
Memahami alasan mendalam (bukan dangkal) mengapa perselingkuhan terjadi dapat membantu korban melepaskan sebagian beban. Pemahaman ini membantu korban melihat pelaku sebagai individu yang cacat dan tidak sempurna (bukan iblis murni), yang mungkin memiliki masalah psikologis atau defisit relasional. Ini membantu memindahkan fokus dari pengkhianatan menjadi pemahaman manusiawi, tanpa membenarkan tindakan tersebut.
Pemaafan sejati terjadi ketika korban memutuskan bahwa pengkhianatan tidak akan mendefinisikan sisa hidup mereka. Mereka melepaskan peran 'korban' yang pasif dan mengambil kembali agensi (kekuatan diri) mereka untuk menentukan masa depan. Ini adalah keputusan sadar untuk tidak membiarkan tindakan orang lain terus mengendalikan emosi dan kualitas hidup mereka.
Pemaafan tidak menghilangkan triggers. Suara, tempat, atau tanggal tertentu dapat memicu kembali kilas balik perselingkuhan (flashback). Pasangan yang memaafkan harus memiliki kesabaran dan kerangka berpikir bahwa pemulihan tidak linier; kemunduran adalah bagian normal dari proses.
Kepercayaan yang dibangun kembali setelah perselingkuhan bukanlah kepercayaan naif yang hilang, melainkan kepercayaan yang lebih bijak, yang mengakui kerentanan manusia dan didukung oleh transparansi radikal dari pelaku. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun, bukan bulan.
Hubungan yang berhasil melewati perselingkuhan seringkali adalah hubungan yang bersedia menghadapi masalah mendasar yang selama ini dihindari. Pengungkapan perselingkuhan, meskipun merusak, memaksa pasangan untuk melihat kegagalan mereka dan berkomunikasi secara jujur untuk pertama kalinya. Mereka yang bertahan seringkali mengatakan bahwa mereka tidak kembali ke hubungan lama, melainkan membangun hubungan baru yang lebih jujur, mendalam, dan resilien.
Fenomena 'main serong' adalah cerminan dari kompleksitas manusia, kekurangan dalam komitmen, dan kesulitan mempertahankan hubungan yang hidup dan sehat di tengah tekanan kehidupan. Ini adalah krisis yang menuntut pertimbangan etis dan psikologis yang mendalam.
Baik sebagai pelaku, korban, maupun pengamat, kita didorong untuk merenungkan makna sejati dari komitmen: apakah komitmen hanyalah janji di depan umum, ataukah ia adalah upaya harian yang terus-menerus untuk memilih pasangan kita kembali, bahkan ketika godaan atau kesulitan muncul?
Jalan keluar dari trauma perselingkuhan, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan, selalu berawal dari kejujuran mutlak—kejujuran terhadap diri sendiri tentang kebutuhan dan kekurangan, kejujuran terhadap pasangan tentang batasan, dan kejujuran tentang kerja keras yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupan yang didasarkan pada integritas dan rasa hormat. Pemulihan adalah mungkin, tetapi hanya bagi mereka yang bersedia menghadapi bayangan paling gelap dari hubungan mereka dan diri mereka sendiri.
Fondasi hubungan yang kuat tidak dibangun dari tidak adanya kesalahan, melainkan dari keberanian untuk memperbaiki fondasi yang retak dengan ketulusan yang tak tergoyahkan.