Majapahit. Nama ini tidak hanya sekadar sebutan untuk sebuah kerajaan kuno, melainkan simbol puncak peradaban maritim dan agraris di kepulauan Nusantara. Berdiri tegak selama lebih dari dua abad, Majapahit berhasil menyatukan wilayah yang kini menjadi inti identitas Indonesia, meninggalkan jejak sejarah, budaya, dan filosofi yang masih relevan hingga hari ini. Kisah Majapahit adalah kisah tentang ambisi, strategi politik yang canggih, toleransi beragama yang unik, dan yang terpenting, kisah tentang buah pahit—sang maja—yang tanpa sengaja memberikan namanya pada sebuah imperium yang tak tertandingi.
Penelitian mendalam mengenai Majapahit memerlukan penelusuran sumber-sumber primer seperti Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca dan Pararaton, yang memberikan gambaran detail tentang struktur kekuasaan, wilayah kekuasaan, dan kehidupan sosial di bawah naungan kerajaan yang berpusat di Jawa Timur ini. Pemahaman tentang Majapahit adalah kunci untuk membuka pemahaman tentang konsep awal persatuan kepulauan di bawah satu payung kekuasaan politik dan spiritual.
Simbol Surya Majapahit, merefleksikan kosmologi Hindu-Buddha yang menjadi fondasi kerajaan.
Pendirian Majapahit pada akhir abad ke-13 Masehi tidak terlepas dari intrik politik dan serangkaian peristiwa dramatis yang melibatkan penaklukan Mongol dan kekosongan kekuasaan di Jawa. Titik balik ini melibatkan sosok Raden Wijaya, menantu terakhir Raja Kertanagara dari Singhasari, yang berhasil memanfaatkan situasi geopolitik yang kacau balau.
Kisah Majapahit bermula dari kehancuran Kerajaan Singhasari yang disebabkan oleh pemberontakan Jayakatwang dari Kediri. Kertanagara, raja terakhir Singhasari, yang terlalu fokus pada ekspansi luar (Ekspedisi Pamalayu), menjadi lengah terhadap ancaman internal. Setelah Kertanagara wafat, Raden Wijaya melarikan diri dan mencari perlindungan di Madura, sebelum akhirnya diizinkan oleh Jayakatwang untuk membuka hutan di Trowulan.
Hutan yang dibuka inilah yang kemudian menjadi pusat kerajaan baru. Saat pembukaan lahan, para pekerja menemukan banyak pohon yang menghasilkan buah dengan rasa sangat pahit. Buah ini adalah buah maja (Aegle marmelos), atau Bael. Rasa pahit yang dominan inilah yang kemudian diabadikan dalam nama kerajaan: Majapahit—di mana ‘maja’ merujuk pada buah tersebut dan ‘pahit’ merujuk pada rasanya yang getir. Ironisnya, dari kegetiran rasa buah itu, lahir sebuah imperium termanis dalam sejarah Jawa.
Peristiwa krusial yang memungkinkan Wijaya mendirikan kerajaan terjadi pada tahun 1293 M. Saat itu, armada besar Mongol yang dipimpin oleh Shi-Bi dan Ike Mese datang ke Jawa untuk menghukum Kertanagara yang telah menghina utusan mereka. Raden Wijaya melihat peluang emas. Ia berpura-pura tunduk kepada pasukan Mongol dan menawarkan diri sebagai pemandu sekaligus sekutu untuk menyerang Jayakatwang.
Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh gabungan pasukan Mongol dan Wijaya, Raden Wijaya kembali menjalankan strategi licik. Ia meminta izin kepada pemimpin Mongol untuk kembali ke Trowulan dan mempersiapkan persembahan. Namun, alih-alih persembahan, ia melancarkan serangan mendadak terhadap tentara Mongol yang sudah lelah. Pasukan Mongol yang terkejut dan kehilangan komando akhirnya mundur tergesa-gesa kembali ke Tiongkok, meninggalkan Wijaya sebagai penguasa tunggal atas Jawa bagian timur.
Pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka (sekitar 1293 M), Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Penetapan ibu kota di wilayah yang kaya akan pohon maja tersebut menandai dimulainya era Majapahit, sebuah kerajaan yang menggabungkan warisan Hindu-Buddha dari Singhasari dengan visi geopolitik yang baru.
Masa pemerintahan Raden Wijaya (1293–1309 M) dan penerusnya, Jayanegara (1309–1328 M), diwarnai oleh upaya keras untuk mengatasi pemberontakan internal dan menstabilkan fondasi kerajaan. Fondasi yang dibangun di atas pengkhianatan sering kali rentan terhadap pengkhianatan balasan.
Meskipun Raden Wijaya cerdik dalam politik luar negeri, masa awalnya diganggu oleh ketidakpuasan para pengikut setia yang merasa jasa mereka tidak dihargai. Pemberontakan Ranggalawe, yang tercatat dalam Pararaton, adalah yang paling terkenal. Ranggalawe menantang otoritas Wijaya karena kecewa dengan pembagian jabatan. Meskipun pemberontakan ini berhasil dipadamkan, insiden ini menunjukkan betapa rapuhnya loyalitas pada masa-masa awal Majapahit.
Setelah Wijaya wafat, takhta diwariskan kepada putranya, Jayanegara. Masa pemerintahan Jayanegara dikenal sebagai periode yang sangat bergejolak. Raja ini tidak populer, dan pemberontakan terus meletus, yang paling parah adalah Pemberontakan Kuti.
Pemberontakan Kuti memaksa Jayanegara melarikan diri dari ibu kota. Dalam krisis ini, muncullah seorang perwira muda yang cerdas dan sangat setia: Gajah Mada. Gajah Mada, yang saat itu menjabat sebagai Bhayangkara (pasukan pengawal), berhasil menyusun strategi tipuan, memecah belah pasukan pemberontak, dan mengembalikan Jayanegara ke takhta. Keberanian dan kecerdasannya membuat Gajah Mada diangkat menjadi patih, menandai awal dari kebangkitan terbesar Majapahit.
Namun, Jayanegara meninggal secara tragis, dibunuh oleh tabib istananya sendiri, Tanca. Pembunuhan ini menciptakan kekosongan politik. Tanca konon merasa dendam karena perlakuan raja yang dianggap tidak adil. Peristiwa ini membuka jalan bagi Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk naik takhta.
Majapahit mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328–1350 M) dan, yang paling monumental, di bawah Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M). Keduanya didampingi oleh seorang patih agung yang visinya melampaui batas-batas Jawa: Mahapatih Gajah Mada.
Pada tahun 1334 M, saat Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi, ia mengucapkan sumpah yang terkenal—Sumpah Palapa. Sumpah ini, yang tercatat dalam Pararaton, menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan menikmati rempah-rempah (palapa, sering diartikan sebagai kenikmatan duniawi, atau secara harfiah sebagai buah/rempah-rempah) sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit.
Visi Gajah Mada adalah penyatuan geopolitik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konsep 'Nusantara' yang ia usung adalah sebuah manifestasi dari ambisi kekuasaan yang terorganisir, mencakup wilayah dari semenanjung Malaya hingga kepulauan timur. Wilayah-wilayah yang menjadi target ekspansi ini termasuk:
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
— Bagian dari Sumpah Palapa yang menggarisbawahi tekad Gajah Mada untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang luas.
Di bawah kepemimpinan Ratu Tribhuwana dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit memulai serangkaian ekspedisi militer yang sistematis. Penaklukan Bali pada tahun 1343 M adalah salah satu pencapaian terbesar, yang mengakhiri dinasti Bali kuno dan menanamkan pengaruh Majapahit secara permanen di pulau tersebut.
Tahun 1350 M menandai kenaikan takhta Hayam Wuruk, cucu Raden Wijaya, yang dikenal dengan gelar Sri Rajasanagara. Bersama Gajah Mada, Hayam Wuruk memimpin Majapahit ke era stabilitas, kemakmuran, dan supremasi budaya yang tak tertandingi.
Masa ini didokumentasikan dengan indah dan detail dalam Kakawin Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Karya sastra ini bukan hanya puisi, tetapi juga laporan resmi yang memuji keagungan raja, mencatat silsilahnya, dan yang paling penting, mendaftar semua wilayah yang tunduk di bawah Majapahit, baik sebagai vasal langsung maupun sebagai mitra dagang yang dihormati.
Majapahit di era Hayam Wuruk tidak hanya mengandalkan kekuatan militer. Mereka juga piawai dalam diplomasi. Kerajaan ini menjalin hubungan erat dengan Tiongkok di bawah Dinasti Ming, Ayutthaya (Thailand), Campa, dan Vietnam. Hubungan ini vital untuk menjaga stabilitas perdagangan di Laut Jawa dan Selat Malaka. Kekuatan maritim Majapahit memastikan rute perdagangan rempah-rempah dan komoditas lain berjalan lancar.
Meskipun Majapahit dikenal karena kebijaksanaan Gajah Mada, tragedi Perang Bubat pada tahun 1357 M menjadi noda gelap dalam catatan sejarah. Peristiwa ini terjadi ketika Hayam Wuruk berencana menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda (Pajajaran). Gajah Mada menginterpretasikan kedatangan rombongan Sunda ke Bubat sebagai penyerahan diri vasal, bukan sebagai proses pernikahan politik setara.
Penolakan Raja Sunda untuk menerima status vasal memicu pertempuran berdarah. Seluruh rombongan Sunda tewas, termasuk Raja Sunda dan Dyah Pitaloka yang bunuh diri (bela pati). Tragedi ini mengakhiri upaya penyatuan Jawa secara damai dan menyebabkan ketegangan abadi antara Majapahit dan Sunda, serta konon menjadi salah satu faktor yang mengurangi pengaruh Gajah Mada di akhir hayatnya, meskipun ia tetap menjabat sebagai Mahapatih hingga wafatnya sekitar tahun 1364 M.
Pusat pemerintahan Majapahit, yang terletak di Trowulan, Jawa Timur (tempat di mana pertama kali ditemukan buah maja), adalah kota metropolitan besar pada zamannya. Struktur pemerintahan Majapahit sangat kompleks dan terorganisir, mencerminkan pemikiran administrasi yang maju.
Raja adalah puncak dari segalanya, dianggap sebagai inkarnasi dewa di bumi (konsep Dewa Raja). Namun, kekuasaan dijalankan melalui birokrasi yang berlapis.
Di bawah Mahapatih terdapat lembaga-lembaga yang mengurusi berbagai aspek kehidupan, seperti pengadilan (dharmadyaksa), pengurus ritual (upapati), dan pejabat pajak (pajagalan). Sistem ini menjamin bahwa setiap aspek kehidupan, mulai dari ritual keagamaan hingga irigasi pertanian, terkelola secara terpusat.
Salah satu ciri paling menonjol dari Majapahit adalah toleransi beragama yang tinggi, yang terwujud dalam sinkretisme Hindu-Buddha. Agama resmi kerajaan adalah campuran dari aliran Syiwa dan Buddha Mahayana.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbeda-beda tapi tetap satu, tidak ada kebenaran ganda) yang berasal dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, menjadi filosofi utama negara. Filosofi ini bukan hanya retorika, tetapi diterapkan dalam struktur administrasi: ada dua pejabat tinggi agama (Dharmadyaksa): satu untuk Syiwa (Dharmadyaksa Kasaiwan) dan satu untuk Buddha (Dharmadyaksa Kasogatan). Kedua aliran ini hidup berdampingan, bahkan kadang-kadang diyakini sebagai manifestasi dari kekuatan yang sama (Hayam Wuruk sering digambarkan sebagai wujud Syiwa dan Gajah Mada sebagai inkarnasi Buddha).
Ekonomi Majapahit adalah ekonomi ganda yang kuat: agraris di pedalaman dan maritim di pesisir.
Lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang subur menjadi lumbung padi utama. Raja secara aktif mengawasi pembangunan sistem irigasi canggih, memastikan surplus hasil panen yang kemudian digunakan untuk membiayai ekspedisi militer dan perdagangan. Tanah di Trowulan, tempat tumbuh subur pohon maja dan tanaman lainnya, sangat diandalkan untuk kebutuhan pangan.
Sebagai kerajaan Nusantara sejati, kekuatan laut Majapahit tak tertandingi di Asia Tenggara. Pelabuhan-pelabuhan seperti Canggu, Hujung Galuh, dan Tuban menjadi pusat perdagangan internasional. Majapahit mengekspor beras, rempah-rempah (terutama dari Maluku yang dikontrolnya), kayu, dan hasil hutan lainnya. Impor meliputi sutra, keramik, dan logam mulia dari Tiongkok dan India. Kontrol atas jalur perdagangan ini adalah inti dari kekayaan Majapahit.
Kapal-kapal Majapahit, termasuk jenis Jong besar, memungkinkan proyeksi kekuatan militer dan perdagangan melintasi samudra. Kapasitas angkut dan daya jelajah armada Majapahit adalah salah satu faktor kunci keberhasilan Sumpah Palapa.
Masa keemasan Majapahit meninggalkan warisan budaya yang tak terhapuskan, terutama dalam seni bangunan, seni pahat, dan kesusastraan. Periode ini adalah puncak dari tradisi sastra Jawa Kuno.
Selain Nagarakretagama dan Pararaton, banyak karya sastra penting yang muncul pada masa Majapahit, berfungsi sebagai cermin ajaran agama, etika, dan sejarah.
Karya-karya ini ditulis dalam aksara Jawa Kuno (Kawi) dan banyak di antaranya masih tersimpan dalam tradisi Bali, yang menerima migrasi besar-besaran bangsawan dan cendekiawan Majapahit menjelang keruntuhannya.
Peninggalan fisik Majapahit terfokus di situs Trowulan. Meskipun banyak bangunan terbuat dari bahan organik yang tidak bertahan lama, sisa-sisa candi, gapura, dan kolam menunjukkan keahlian arsitektur yang tinggi.
Artefak-artefak keramik, mata uang (keping tembaga), dan terakota yang ditemukan di Trowulan memberikan gambaran detail tentang kehidupan sehari-hari, mulai dari mainan anak-anak hingga patung dewa dan figur-figur yang menggambarkan profesi tertentu. Penggunaan terakota secara masif menunjukkan adaptasi Majapahit terhadap material lokal, jauh berbeda dari gaya batu candi era Singhasari atau Mataram Kuno.
Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M dan sebelumnya Gajah Mada pada 1364 M, Majapahit memasuki periode penurunan yang lambat namun pasti. Kekurangan pemimpin kaliber besar dan munculnya konflik internal melemahkan struktur pusat Majapahit.
Konflik internal paling merusak adalah Perang Paregreg (Perang Berurutan) yang meletus antara tahun 1404 hingga 1406 M. Konflik ini terjadi antara Raja Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir, yang menguasai Jawa bagian timur).
Perang saudara ini menghabiskan sumber daya ekonomi dan militer Majapahit. Meskipun Wikramawardhana akhirnya menang dan Bhre Wirabhumi tewas, kerajaan telah terbagi dan citranya sebagai kekuatan tak terkalahkan telah runtuh. Para vasal di luar Jawa melihat peluang untuk memerdekakan diri.
Pada abad ke-15, kekuatan politik bergeser dari pedalaman agraris ke pesisir maritim. Jalur perdagangan yang selama ini dikontrol Majapahit mulai diambil alih oleh kesultanan-kesultanan Islam baru yang berdiri di pesisir utara Jawa, seperti Demak.
Proses Islamisasi di Nusantara berjalan damai dan bertahap melalui perdagangan dan perkawinan. Karena Majapahit terlalu fokus pada konflik internal dan mempertahankan kekuasaan tradisionalnya, mereka gagal beradaptasi dengan perubahan demografi dan ekonomi yang didorong oleh kekuatan baru ini. Para pedagang Muslim yang kaya mendirikan basis-basis kekuatan otonom yang perlahan-lahan mengikis pengaruh pusat Majapahit.
Tanggal pasti keruntuhan Majapahit sering diperdebatkan, namun umumnya dikaitkan dengan serangan dari Girindrawardhana dari Kediri pada sekitar tahun 1478 M (menurut Pararaton) atau bahkan hingga awal abad ke-16. Serangan ini menghancurkan ibu kota di Trowulan.
Legenda Jawa sering menyebutkan keruntuhan Majapahit ditandai oleh suratan takdir yang tercermin dalam Candra Sangkala (kronogram), yang diterjemahkan menjadi angka tahun 1400 Saka (1478 M). Setelah keruntuhan, banyak bangsawan, intelektual, dan pengikut Hindu-Buddha Majapahit melarikan diri ke timur Jawa dan Bali, yang menjadi benteng terakhir tradisi Majapahit. Tradisi Maja ini kemudian mengakar kuat di Bali, membentuk kebudayaan Hindu-Bali yang dikenal sekarang.
Meskipun Majapahit telah lama tiada, warisannya jauh melampaui sisa-sisa reruntuhan batu di Trowulan. Filosofi dan konsep politik yang dikembangkan selama masa kejayaan Majapahit menjadi fondasi tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia.
Kata 'Nusantara', yang dicetuskan oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapa, kini menjadi sinonim untuk seluruh kepulauan Indonesia. Konsep ini memberikan legitimasi historis bagi negara modern yang menyatukan ribuan pulau di bawah satu pemerintahan. Majapahit membuktikan bahwa persatuan kepulauan yang luas, meskipun beragam dalam budaya dan bahasa, adalah hal yang mungkin diwujudkan.
Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika," adalah warisan langsung dari toleransi agama Majapahit yang termaktub dalam Kakawin Sutasoma. Semboyan ini mencerminkan pengakuan Majapahit terhadap keragaman—bahwa meskipun ada perbedaan (Hindu, Buddha, dan bahkan tradisi lokal), semua menyatu dalam satu kebenasan (dharma). Filosofi ini adalah pondasi bagi pluralisme dan kesatuan Indonesia.
Struktur birokrasi dan etika kepemimpinan Majapahit, seperti yang digambarkan dalam Nagarakretagama, menjadi rujukan studi mengenai tata kelola tradisional Jawa yang efisien. Prinsip Maja dalam konteks ini adalah pengingat bahwa kepemimpinan yang hebat harus mampu mengubah hal yang pahit (tantangan, keragaman) menjadi hal yang manis (kemakmuran dan persatuan).
Peta simbolis kekuatan maritim Majapahit, menunjukkan dominasi atas jalur perdagangan Nusantara.
Untuk memahami keagungan Majapahit secara utuh, kita harus meneliti detail kehidupan masyarakatnya, jauh di luar istana raja dan Mahapatih. Kehidupan sosial di bawah naungan pohon maja di Trowulan diatur oleh sistem hukum yang terperinci dan stratifikasi sosial yang ketat, meskipun ada mobilitas vertikal yang terbatas.
Meskipun Majapahit menganut sistem Hindu-Buddha, struktur kasta di Jawa berbeda dengan India. Kasta tidak selalu menentukan profesi secara mutlak, tetapi sangat memengaruhi status sosial dan politik.
Yang menarik, banyak pejabat tinggi kerajaan, termasuk Gajah Mada, konon berasal dari kalangan yang mungkin bukan Ksatria murni, menunjukkan bahwa kecakapan dan loyalitas dapat mengungguli garis keturunan, sebuah fleksibilitas yang menjadi ciri khas birokrasi Majapahit.
Majapahit menerapkan sistem hukum yang canggih. Sumber hukum utama adalah adat (tradisi lokal) dan hukum tertulis yang disebut Kutara Manawa (kemungkinan adaptasi dari hukum Manu). Ada dua jenis peradilan:
Hukuman bervariasi dari denda, penyitaan harta, hingga hukuman mati yang kejam, bergantung pada bobot kejahatan dan status sosial pelaku. Prinsip keadilan di Majapahit, meskipun terkadang bias terhadap elit, bertujuan untuk menjaga keharmonisan (rêksa bhumi) antara alam, manusia, dan kosmos.
Peran wanita di Majapahit, terutama di lingkungan istana, sangat signifikan. Tidak seperti banyak kerajaan sezaman, Majapahit secara eksplisit mengakui kekuasaan wanita.
Ratu Tribhuwana adalah bukti paling nyata dari kekuatan wanita di Majapahit. Ia memerintah dengan otoritas penuh setelah kematian Jayanegara dan berhasil menstabilkan kerajaan di masa yang paling bergejolak, bahkan memimpin kampanye militer. Kepemimpinannya yang kuat adalah prasyarat bagi Gajah Mada untuk melaksanakan Sumpah Palapa. Ia dikenal sebagai sosok yang pragmatis dan tegas, meletakkan dasar bagi masa keemasan putranya, Hayam Wuruk.
Setelah Hayam Wuruk naik takhta, Tribhuwana tidak pensiun total; ia dihormati sebagai Raja Putri dan terus memegang pengaruh signifikan dalam dewan penasihat (Bhatara Sapta Prabu). Putri-putri raja juga sering diberikan jabatan penting sebagai penguasa wilayah (Bhre). Jabatan-jabatan 'Bhre' ini menunjukkan bahwa keluarga inti raja memiliki peran administratif yang diwariskan, sering kali diberikan kepada wanita.
Wanita di luar istana juga memiliki peran ekonomi yang aktif, terutama dalam perdagangan dan pertanian. Penemuan terakota yang menggambarkan wanita pedagang di pasar, penenun, dan pekerja rumah tangga menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit memiliki pandangan yang relatif terbuka tentang partisipasi wanita dalam kegiatan publik dan ekonomi.
Kekuatan Majapahit tidak dapat dipisahkan dari kemampuannya untuk menguasai lautan. Lautan di sekitar kepulauan Indonesia pada era Majapahit adalah pusat koneksi global, dan kerajaan ini memastikan bahwa seluruh jaringan perdagangan di wilayah ini tunduk pada kendali mereka.
Gajah Mada menggunakan kekuatan maritim untuk melakukan ekspedisi ke berbagai penjuru, dari Sriwijaya (Palembang), Tumasik (Singapura), hingga kepulauan Maluku. Kontrol Majapahit atas Selat Malaka dan Selat Sunda tidak mutlak seperti Sriwijaya, tetapi Majapahit berhasil memproyeksikan kekuatan yang cukup untuk menjamin kapal-kapal dagang asing harus berurusan dengan birokrasi kerajaan di pelabuhan Jawa.
Pelabuhan-pelabuhan Majapahit menjadi titik temu bagi berbagai budaya:
Interaksi intensif ini tidak hanya memperkaya ekonomi Majapahit tetapi juga memicu pertukaran budaya dan ideologi. Tumbuhnya komunitas asing di sekitar pelabuhan Majapahit mempercepat adopsi agama dan teknologi baru, termasuk Islam yang akhirnya menjadi kekuatan penantang Majapahit.
Kembali kepada kata kunci inti: maja. Etimologi nama kerajaan ini—Majapahit—adalah pengingat bahwa bahkan hal-hal sepele dapat memiliki signifikansi historis yang monumental.
Pohon maja, atau Bael, adalah tanaman yang penting secara spiritual dalam tradisi Hindu (sering dikaitkan dengan Dewa Syiwa). Meskipun buahnya di Majapahit dikenal karena rasa pahitnya, pohon ini secara keseluruhan memiliki kegunaan obat yang luas. Kehadiran pohon ini secara melimpah di Trowulan memberikan nama yang sederhana, namun mengandung kontras yang mendalam.
Kontras antara nama ‘pahit’ dan kejayaan yang 'manis' sering diinterpretasikan secara filosofis: Majapahit lahir dari keadaan yang pahit (pelarian Raden Wijaya dan kehancuran Singhasari), namun melalui perjuangan dan visi, ia mencapai kemanisan supremasi.
Meskipun Majapahit sering diidentifikasi dengan Surya (Matahari), elemen alam seperti pohon maja dan flora lainnya sangat dihormati. Dalam relief candi dan ukiran terakota, penggambaran alam menunjukkan hubungan yang erat antara manusia Majapahit dan lingkungannya. Nama Majapahit sendiri adalah pengingat bahwa identitas kerajaan terkait erat dengan geografi lokal.
Kerajaan Majapahit mungkin telah runtuh, kota Trowulan mungkin telah menjadi reruntuhan, dan pohon maja mungkin kini hanya menjadi bagian dari latar belakang lanskap. Namun, warisan abadi dari imperium ini terus hidup. Dari visi persatuan Gajah Mada hingga filosofi toleransi Mpu Tantular, Majapahit memberikan narasi tentang kekuatan, ambisi, dan kemampuan kepulauan ini untuk menyatukan perbedaan yang ekstrem.
Majapahit bukan hanya babak sejarah; ia adalah cetak biru tentang bagaimana sebuah bangsa maritim dapat berdaulat, makmur, dan secara budaya unggul. Kisah Majapahit, yang dimulai dari rasa pahit sebuah buah, telah menjadi kisah paling manis dan heroik dalam memori kolektif Indonesia. Studi tentang peradaban Maja ini akan selalu relevan bagi siapapun yang berusaha memahami akar mendalam dari identitas Nusantara.