Majapahit bukan sekadar sebuah kerajaan, melainkan puncak peradaban maritim dan agraris yang pernah bersemi di bumi Nusantara. Berpusat di Jawa Timur, kerajaan ini muncul dari puing-puing kekuasaan sebelumnya dan berhasil mengukirkan nama sebagai entitas politik terkuat yang menyatukan wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia dan lebih jauh lagi. Kehadirannya mewariskan pondasi bagi konsep kesatuan wilayah, sistem tata kelola, dan identitas kultural yang masih terasa hingga kini. Untuk memahami keagungan Majapahit, perlu diselami bagaimana ia lahir dari intrik politik, kearifan lokal, dan ambisi besar seorang pendiri di tengah badai invasi asing.
Konteks geografis Majapahit sangat menentukan kejayaannya. Terletak di lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo, jantung wilayahnya—terutama Trowulan—menawarkan lahan pertanian yang subur (agraris) sekaligus akses strategis menuju jalur perdagangan laut (maritim). Kombinasi dua kekuatan ini, antara padi yang berlimpah di pedalaman dan lada, rempah-rempah, serta komoditas eksotis dari kepulauan lain yang dialirkan melalui pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tuban dan Gresik, menjadikan Majapahit pusat gravitasi ekonomi di Asia Tenggara.
Latar belakang pendirian Majapahit tidak terlepas dari tragedi yang menimpa Kerajaan Singhasari. Pada masa pemerintahan Raja Kertanagara (Singhasari), ambisi untuk menyatukan Nusantara memicu ketegangan internal dan eksternal. Puncaknya terjadi ketika pasukan Kubilai Khan dari Mongol, yang merasa terhina karena menolak tunduk, bersiap melancarkan invasi. Namun, sebelum Mongol tiba, Kertanagara telah lebih dahulu tewas di tangan pemberontak Jaya Katwang dari Kediri.
Sosok sentral yang memanfaatkan kekacauan ini adalah menantu Kertanagara, Raden Wijaya. Ia adalah seorang figur cerdik yang berhasil meloloskan diri dan mencari perlindungan. Dengan muslihat yang luar biasa, Wijaya berpura-pura tunduk kepada Jaya Katwang dan diberikan hak untuk membuka hutan di wilayah Tarik, yang kemudian dikenal sebagai desa Majapahit (dari rasa buah maja yang pahit).
Ketika armada besar Mongol tiba untuk menghukum Singhasari, Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan mereka. Ia bersekutu dengan pasukan Mongol untuk menggulingkan Jaya Katwang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, Wijaya dengan cepat membalikkan keadaan. Ia menyerang balik pasukan Mongol yang kelelahan dan berhasil mengusir mereka dari Jawa. Keberhasilan strategis ini pada tahun 1293 M secara resmi menandai berdirinya Kerajaan Majapahit, dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Meskipun Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit, masa awal kerajaan dipenuhi gejolak. Ancaman terbesar datang bukan dari luar, melainkan dari para pembantu dan bangsawan yang merasa berjasa dalam perjuangan awal. Pemberontakan-pemberontakan ini menunjukkan betapa rapuhnya loyalitas di awal pendirian kerajaan dan betapa pentingnya peran seorang patih atau mahapatih yang cakap dalam menjaga stabilitas.
Setelah wafatnya Raden Wijaya, takhta jatuh kepada putranya, Jayanagara. Pemerintahan Jayanagara (Sri Jayanagara) sering kali digambarkan dalam sumber-sumber seperti Pararaton dan Nagarakretagama sebagai masa yang kurang stabil. Pemberontakan silih berganti, dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti. Pemberontakan Kuti bahkan berhasil memaksa Jayanagara melarikan diri dari ibu kota, menunjukkan betapa dekatnya Majapahit dengan kehancuran di masa-masa awal ini.
Dalam kekacauan inilah muncul sosok yang kelak mengubah peta sejarah Majapahit: Gajah Mada. Gajah Mada, yang awalnya hanya seorang bekel (komandan prajurit) Bhayangkara, menunjukkan kecerdasan dan keberaniannya saat menyelamatkan Jayanagara dari pemberontakan Kuti. Kenaikannya dalam hierarki kekuasaan sangat cepat, didorong oleh efektivitasnya dalam menumpas pemberontakan internal yang mengancam eksistensi kerajaan. Keberhasilannya ini memberinya posisi yang semakin tinggi dan kepercayaan mutlak dari keluarga kerajaan.
Masa Jayanagara berakhir tragis melalui pembunuhan yang dilakukan oleh tabib istana, Ra Tanca. Peristiwa ini memunculkan kekosongan kekuasaan dan menempatkan ibunda Jayanagara, Gayatri, sebagai figur kunci. Karena Gayatri telah menjadi seorang biksuni (bhiksu perempuan), kekuasaan diturunkan kepada putrinya, Tribhuwana Tunggadewi. Masa pemerintahan Tribhuwana menjadi jembatan krusial menuju era keemasan Majapahit, didukung penuh oleh sang patih yang baru, Gajah Mada.
Era keemasan Majapahit identik dengan dua nama besar yang bekerja secara sinergis: Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada. Sinergi antara pemimpin spiritual-politik (Raja) dan administrator-militer ulung (Mahapatih) ini menghasilkan stabilitas yang memungkinkan ekspansi besar-besaran dan kemakmuran budaya yang tiada tara.
Gajah Mada mencapai puncak kariernya pada tahun 1331, setelah berhasil menumpas pemberontakan Sadeng. Ia kemudian dilantik menjadi Mahapatih Amangkubhumi. Dalam upacara pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal dalam Pararaton, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Sumpah ini menegaskan tekadnya untuk tidak menikmati kesenangan duniawi (tidak makan 'palapa', yang diinterpretasikan sebagai rempah-rempah atau kenikmatan) sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara. Daftar wilayah yang ia sebutkan sangat ambisius, mencakup Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), Seram, Tanjungpura (Kalimantan), bahkan sebagian besar Semenanjung Melayu dan wilayah timur.
Di bawah kepemimpinan Tribhuwana dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit memulai serangkaian kampanye militer yang terencana dan efektif. Bali ditaklukkan pada tahun 1343 setelah perlawanan sengit. Kekuasaan Majapahit meluas ke Sumatra, Kalimantan, hingga ke wilayah timur, menegaskan dominasi Majapahit atas jalur perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1350, Hayam Wuruk naik takhta menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi. Hayam Wuruk, yang bergelar Sri Rajasanagara, memimpin Majapahit selama 39 tahun (1350-1389), yang dikenal sebagai periode paling gemilang. Pada masa ini, Majapahit mencapai luas wilayah teritorial dan pengaruh politik tertinggi.
Hayam Wuruk bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga seorang patron seni dan budaya. Ia dikenal melakukan perjalanan keliling wilayah kekuasaan di Jawa (dharma yatra), memastikan loyalitas vasal, dan memeriksa keadaan rakyatnya. Perjalanan ini didokumentasikan dengan indah oleh Mpu Prapanca dalam kakawin Nagarakretagama. Dokumen ini, yang merupakan sumber utama historiografi Majapahit, melukiskan ibukota Trowulan sebagai kota yang tertata rapi, kaya akan upacara keagamaan, dan memiliki arsitektur megah.
Salah satu insiden tragis yang menjadi noda dalam catatan emas ini adalah Perang Bubat. Peristiwa ini terjadi karena kegagalan diplomasi, di mana pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka dari Sunda berujung pada pertumpahan darah. Gajah Mada menafsirkan kedatangan rombongan Sunda ke lapangan Bubat sebagai tanda penyerahan diri, sementara pihak Sunda melihatnya sebagai pernikahan setara. Konflik ini menunjukkan batasan moral dan ambisi kekuasaan Gajah Mada, meskipun setelah kejadian itu, Hayam Wuruk tetap memegang kendali penuh.
Salah satu kunci keberlangsungan Majapahit adalah sistem pemerintahan yang terstruktur, meski sentralistik. Kerajaan ini dikelola berdasarkan prinsip Dharmasastra (kitab hukum keagamaan) dan Rajaniti (politik kerajaan), menjamin adanya hirarki yang jelas dari pusat hingga daerah.
Pusat kekuasaan tertinggi berada di tangan Raja (Sri Maharaja), yang dipandang sebagai penjelmaan dewa (konsep Dewa Raja). Raja memimpin dewan tertinggi yang disebut Bhatara Saptaprabhu, yaitu dewan keluarga kerajaan yang terdiri dari raja dan enam kerabat utama yang biasanya menjabat sebagai penguasa wilayah penting (Bhre). Jabatan Bhre (Bhatara i) diberikan kepada bangsawan yang memiliki wilayah sendiri, misalnya Bhre Wengker, Bhre Matahun, dan Bhre Tumapel.
Di bawah Raja, terdapat birokrasi sipil yang dipimpin oleh Rakryan Mahamantri Hino, biasanya dipegang oleh putra mahkota atau kerabat terdekat raja, yang berperan sebagai penasihat utama. Jabatan paling kuat dalam administrasi sehari-hari dan militer adalah Rakryan Mahapatih Amangkubhumi (yang diemban oleh Gajah Mada), yang berfungsi sebagai kepala administrasi eksekutif dan panglima tertinggi.
Struktur administrasi Majapahit dibagi menjadi dua fokus utama:
Majapahit memiliki sistem hukum yang relatif maju, dibuktikan dengan keberadaan kitab undang-undang Kutara Manawa Dharmasastra, sebuah kompilasi hukum pidana dan perdata yang dipengaruhi oleh tradisi hukum India (Hindu) dan kearifan lokal Jawa. Pengadilan dipegang oleh dharmadhyaksa (ahli hukum agama) dan dharmapaddhaja (jaksa), yang memastikan penerapan hukum yang adil berdasarkan kasta dan status sosial.
Sektor ekonomi dikendalikan erat melalui sistem perpajakan yang berlapis, dikenal sebagai pajak hasil bumi dan pajak perdagangan. Pemasukan terbesar berasal dari pajak pelabuhan, cukai komoditas impor dan ekspor, serta pajak tanah pertanian (sistem sawah). Kontribusi hasil bumi, terutama beras dari Jawa Timur yang subur, menjadi tulang punggung yang menjamin ketahanan pangan seluruh kerajaan dan para prajurit.
Majapahit disebut sebagai kerajaan agraris-maritim karena kemampuannya mengintegrasikan produksi pangan domestik dengan jaringan perdagangan internasional. Kerajaan ini menjadi penghubung penting antara Asia Barat, India, dan kepulauan rempah-rempah (Maluku).
Ibu kota Majapahit, di Trowulan (kini Mojokerto, Jawa Timur), adalah pusat peradaban dan ekonomi. Deskripsi dalam Nagarakretagama menunjukkan Trowulan sebagai kota metropolitan yang besar, dikelilingi tembok bata merah yang kokoh, dengan puri raja di pusatnya. Kota ini memiliki pasar yang ramai, tempat para pedagang dari berbagai etnis dan bangsa—termasuk Khmer, Siam, Champa, India, dan Tiongkok—bertemu untuk bertukar barang.
Infrastruktur air sangat penting bagi Trowulan. Sistem kanal dan irigasi canggih tidak hanya mendukung pertanian padi yang masif, tetapi juga menghubungkan kota dengan Sungai Brantas, yang menjadi arteri utama untuk transportasi barang menuju pelabuhan di pesisir utara, seperti Canggu, Hujung Galuh, dan Tuban.
Dominasi Majapahit atas laut adalah prasyarat keberhasilan Sumpah Palapa. Angkatan laut Majapahit (Dharmmadyaksa ring Mahamandala) memiliki armada kapal yang kuat, termasuk kapal-kapal dagang besar yang dikenal sebagai Jong. Armada ini tidak hanya berfungsi militer, tetapi juga menjamin keamanan jalur pelayaran dari perompak, memastikan arus komoditas lancar.
Komoditas utama yang diperdagangkan meliputi:
Penggunaan mata uang pada masa Majapahit cukup terorganisir. Meskipun praktik barter masih ada, mata uang logam yang umum digunakan adalah koin perak dan emas, serta koin tembaga Tiongkok (picis) yang beredar luas. Keberadaan sistem moneter yang stabil ini memudahkan transaksi perdagangan jarak jauh dan memperkuat integrasi ekonomi Nusantara.
Puncak keagungan Majapahit paling jelas terlihat dalam bidang budaya dan spiritual. Kerajaan ini dikenal mampu memadukan berbagai elemen keyakinan dan seni, menciptakan identitas kultural yang unik, yang dikenal sebagai budaya Jawa Kuna.
Majapahit memegang teguh prinsip toleransi beragama yang ekstrem, diwujudkan dalam sinkretisme antara Hindu (terutama aliran Shiwa) dan Buddha Mahayana. Raja dan kerabat istana seringkali memeluk kedua agama tersebut secara bersamaan. Konsep ini diabadikan dalam kutipan terkenal dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular: "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" (Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua).
Pemujaan dilakukan melalui pendirian candi-candi yang menggabungkan elemen kedua agama, serta pengangkatan dua pejabat tinggi agama di istana: Dharmadhyaksa ring Kasaiwan (pemimpin agama Shiwa) dan Dharmadhyaksa ring Kasogatan (pemimpin agama Buddha). Interaksi harmonis ini merupakan model pluralisme yang langka di era tersebut.
Era Majapahit adalah masa keemasan sastra Jawa Kuna. Karya-karya monumental dihasilkan, memberikan wawasan mendalam mengenai tata negara, spiritualitas, dan kehidupan sehari-hari kerajaan.
1. Nagarakretagama (Désawarnana): Ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M, kakawin ini adalah pujian terhadap Raja Hayam Wuruk dan deskripsi paling rinci mengenai wilayah kekuasaan Majapahit, struktur istana, ritual kerajaan, dan perayaan keagamaan. Karya ini merupakan sumber historis primer yang tak ternilai.
2. Pararaton (Kitab Raja-Raja): Sumber yang lebih naratif dan bersifat legendaris, menceritakan silsilah raja-raja Jawa, mulai dari Ken Arok hingga Jayanagara dan seterusnya. Meskipun nilai historisnya harus ditelaah kritis, ia memberikan detail penting tentang intrik politik dan pemberontakan di masa awal.
3. Kakawin Sutasoma: Karya Mpu Tantular, yang di dalamnya memuat filosofi Bhinneka Tunggal Ika, menjadi inti dari ideologi kebangsaan Majapahit.
Seni ukir dan arsitektur juga berkembang pesat. Bukti fisik terpenting adalah Trowulan, dengan sisa-sisa gapura Wringin Lawang dan Bajang Ratu, yang menunjukkan kemahiran Majapahit dalam menggunakan bata merah sebagai bahan bangunan utama, menciptakan gaya arsitektur yang khas.
Setelah wafatnya Gajah Mada (sekitar 1364 M) dan Hayam Wuruk (1389 M), Majapahit memasuki periode kemunduran yang perlahan namun pasti. Kehilangan dua pilar utama stabilitas ini segera membuka pintu bagi persaingan suksesi yang berkepanjangan dan melemahnya kendali atas wilayah luar Jawa.
Puncak dari kekacauan internal terjadi setelah Hayam Wuruk wafat. Perebutan takhta terjadi antara Wikramawardhana (menantu dan sepupu Hayam Wuruk) dan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir, yang menguasai Blambangan). Konflik ini, yang dikenal sebagai Perang Paregreg (Perang Antar Kerabat), berlangsung dari tahun 1404 hingga 1406 M.
Perang Paregreg adalah bencana bagi Majapahit. Meskipun Wikramawardhana akhirnya menang dan Bhre Wirabhumi tewas, perang saudara ini menghabiskan sumber daya militer dan ekonomi yang sangat besar, merusak infrastruktur, dan meruntuhkan kepercayaan vasal-vasal di luar Jawa. Banyak wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Melayu yang mulai memisahkan diri, mengambil keuntungan dari kelemahan pusat.
Seiring melemahnya otoritas pusat di Trowulan, kekuatan ekonomi dan politik bergeser ke wilayah pesisir Jawa. Pelabuhan-pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Demak berkembang pesat. Area ini tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional, tetapi juga tempat penyebaran agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari Gujarat, Persia, dan Tiongkok.
Penguasa-penguasa pesisir ini, yang mulai memeluk Islam, perlahan-lahan membangun basis kekuatan yang independen dari Majapahit yang berbasis Hindu-Buddha. Meskipun Majapahit masih berdiri hingga akhir abad ke-15, pengaruhnya hanya terbatas di Jawa Timur. Sumber-sumber Tiongkok mencatat bahwa utusan Majapahit ke Tiongkok mulai berkurang intensitasnya, menandakan berkurangnya kekuatan maritimnya.
Faktor-faktor lain yang mempercepat kemunduran meliputi:
Secara tradisional, akhir Majapahit sering dikaitkan dengan penyerangan oleh Kerajaan Demak, kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah. Penyerangan yang paling signifikan terjadi pada sekitar tahun 1478 M (menurut Candrasengkala yang populer), meskipun para sejarawan modern cenderung menempatkan keruntuhan total Majapahit pada awal abad ke-16.
Penyerangan Demak ini berhasil menaklukkan ibu kota Trowulan. Meskipun sebagian besar keluarga bangsawan Majapahit, termasuk Raja terakhir, diyakini melarikan diri ke pedalaman atau ke Bali, kekalahan militer ini secara simbolis mengakhiri status Majapahit sebagai penguasa utama di Jawa. Warisan dan elit budayanya kemudian berpindah ke Bali, memperkaya budaya Bali yang melestarikan tradisi Hindu Jawa Kuna.
Meskipun Majapahit telah runtuh, pengaruh dan warisannya jauh melampaui batas geografis dan kronologisnya. Kerajaan ini memberikan kontribusi yang fundamental bagi pembentukan identitas kebangsaan dan geopolitik di Nusantara.
Konsep Nusantara—sebagai kesatuan kepulauan di bawah satu payung politik—adalah warisan langsung dari cita-cita Sumpah Palapa Gajah Mada. Ketika para pendiri bangsa Indonesia mencari dasar historis untuk mengklaim wilayah yang luas, mereka menemukan legitimasi dalam peta kekuasaan Majapahit yang dideskripsikan Mpu Prapanca. Majapahit menjadi simbol persatuan dan kebesaran masa lalu yang digunakan untuk memperkuat semangat nasionalisme modern.
Dua filosofi kunci Majapahit telah diabadikan dalam simbol-simbol negara modern:
Sistem irigasi yang canggih di lembah Brantas dan Bengawan Solo, yang dikembangkan sejak era Majapahit, menjadi model bagi sistem pertanian di Jawa dan sekitarnya. Kemampuan Majapahit menghasilkan surplus beras yang masif tidak hanya mendukung populasi yang besar tetapi juga menjadikannya kekuatan ekonomi yang tak tertandingi di Asia Tenggara. Warisan dalam bidang metalurgi, terutama pembuatan keris dan senjata lainnya, juga terus berkembang menjadi seni kriya yang dihormati.
Meskipun Kutara Manawa tidak lagi digunakan secara harfiah, keberadaannya membuktikan adanya tradisi hukum tertulis yang mendalam di Jawa, jauh sebelum kolonialisme. Tradisi musyawarah dan dewan (seperti Bhatara Saptaprabhu) mencerminkan upaya Majapahit untuk menciptakan sistem tata kelola yang melibatkan berbagai pihak, meski pada akhirnya tetap didominasi oleh kekuasaan raja.
Bahkan setelah keruntuhannya, legenda Majapahit terus hidup dalam tradisi lisan dan tulisan (babad), memengaruhi kerajaan-kerajaan penerusnya di Jawa (seperti Mataram Islam) dan Bali. Cerita tentang keagungan Gajah Mada, kebijaksanaan Hayam Wuruk, dan kemegahan Trowulan tetap menjadi mitos pendiri peradaban di Indonesia.
Studi mengenai Majapahit di era modern sangat bergantung pada sumber-sumber primer yang terbatas dan interpretasi arkeologi yang terus berkembang. Dua kelompok sumber utama—sumber lokal Jawa (Nagarakretagama, Pararaton) dan sumber asing (kronik Tiongkok dan catatan pedagang Arab)—sering kali memberikan gambaran yang berbeda mengenai skala dan sifat kekuasaan Majapahit.
Interpretasi paling populer, didasarkan pada daftar wilayah Sumpah Palapa dan Nagarakretagama, menggambarkan Majapahit sebagai "kekaisaran" yang menguasai seluruh Nusantara. Namun, historiografi kritis modern cenderung melihat Majapahit lebih sebagai sebuah thalassocracy atau kerajaan maritim yang didasarkan pada hubungan suzerainty (kekuasaan atas, tetapi bukan pendudukan militer langsung).
Pendekatan ini menyarankan bahwa Majapahit memiliki wilayah inti yang dikelola secara langsung (Jawa dan Bali), dan wilayah luar yang merupakan negara vasal atau mitra dagang yang hanya membayar upeti sebagai pengakuan kedaulatan, bukan dikelola oleh birokrasi sentral. Wilayah di luar Jawa, terutama di timur dan barat, lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan militer Majapahit daripada oleh pemerintahan politik sehari-hari.
Penemuan arkeologi di Trowulan memberikan bukti nyata mengenai kehidupan sehari-hari dan infrastruktur kerajaan. Penggalian menemukan sisa-sisa istana, saluran air, kolam pemandian (seperti Candi Tikus), hingga peninggalan industri seperti peleburan logam dan pembuatan keramik. Bukti material ini mendukung deskripsi dalam Nagarakretagama mengenai Trowulan sebagai kota besar dan terorganisir.
Salah satu penemuan penting adalah keberadaan artefak dari berbagai budaya (koin Tiongkok, keramik asing), yang memperkuat peran Majapahit sebagai simpul utama dalam jaringan perdagangan global. Studi arsitektur bata merah, yang sangat dominan di Trowulan, juga memberikan pemahaman tentang gaya seni yang berbeda dari periode pra-Majapahit.
Struktur sosial di Majapahit, meskipun berbasis pada sistem kasta Hindu (caturwangsa), sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal Jawa. Praktik kasta di Jawa Kuna cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan India. Struktur ini memastikan adanya hirarki yang jelas antara bangsawan, pendeta, dan rakyat jelata.
Kehidupan petani sangat bergantung pada sistem irigasi subak yang dikelola oleh komunitas desa (wanua). Desa memiliki otonomi yang cukup besar dalam mengurus tanah mereka dan mengumpulkan hasil panen, yang kemudian sebagian diserahkan sebagai pajak kepada kerajaan. Kesejahteraan rakyat secara langsung berkaitan dengan stabilitas istana dan kondisi cuaca yang memengaruhi pertanian.
Peran perempuan di Majapahit terbilang signifikan, terutama di kalangan bangsawan. Tokoh seperti Gayatri (istri Raden Wijaya dan ibu Tribhuwana) dan Ratu Suhita (penguasa setelah Perang Paregreg) menunjukkan bahwa perempuan dapat memegang kekuasaan politik tertinggi. Tribhuwana Tunggadewi, khususnya, adalah raja perempuan yang memimpin selama periode ekspansi militer Gajah Mada. Perempuan bangsawan sering menjadi penguasa wilayah (Bhre) dan memiliki pengaruh besar di istana, meski dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tetap patriarkal.
Sebagai kekuatan maritim, Majapahit aktif dalam diplomasi dan hubungan luar negeri. Kebijakan luar negeri Majapahit didasarkan pada dua pilar: pengakuan kedaulatan (lewat upeti) dan menjaga stabilitas perdagangan.
Tiongkok (Dinasti Yuan dan Ming) adalah mitra dagang terbesar Majapahit. Kronik Tiongkok, seperti Ying-yai Sheng-lan karya Ma Huan, memberikan deskripsi rinci tentang keadaan Jawa dan Majapahit. Hubungan ini diwarnai oleh perdagangan keramik dan sutra. Ketika terjadi Perang Paregreg, Tiongkok bahkan terlibat secara diplomatik, mencoba menengahi konflik, meskipun hasilnya terbatas.
Majapahit menjaga hubungan diplomatik yang intens dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu, Siam (Thailand), Champa (Vietnam Selatan), dan Kamboja. Meskipun Majapahit menuntut pengakuan kedaulatan, hubungan ini seringkali bersifat timbal balik. Majapahit memastikan bahwa tidak ada kekuatan lain yang bisa mendominasi jalur laut yang mengarah ke Maluku, melindungi kepentingannya sebagai perantara rempah-rempah.
Kisah Majapahit adalah kisah tentang ambisi, integrasi, dan akhirnya, kelemahan yang datang dari internal. Ia berdiri sebagai kesaksian abadi atas kemampuan peradaban Nusantara dalam mengelola kerajaan yang kompleks di tengah lautan yang luas, meninggalkan warisan budaya dan politik yang terus membentuk karakter bangsa hingga hari ini.