Ilustrasi simbolis ruang Majilis, tempat berkumpul dan berdiskusi yang dilandasi adab dan etika.
Majilis, sebuah kata yang secara harfiah berarti 'tempat duduk' atau 'tempat berkumpul', jauh melampaui definisi fisik sebuah ruangan. Dalam peradaban Islam dan budaya Timur Tengah, Majilis adalah institusi sosial, budaya, dan politik yang melambangkan kearifan komunal, etika interaksi, dan saluran komunikasi langsung antara penguasa dan rakyat, atau antara sesama anggota masyarakat. Ia adalah arena di mana adab diuji, pengetahuan diwariskan, dan keputusan penting dibentuk melalui dialog yang terstruktur.
Konsep Majilis telah bertahan selama berabad-abad, menembus batas-batas geografis dan waktu. Dari istana khalifah di Baghdad hingga tenda-tenda Bedouin di gurun pasir, dan bahkan hingga ruang rapat modern di pemerintahan kontemporer, Majilis berfungsi sebagai pusat saraf bagi pengambilan keputusan kolektif. Memahami Majilis berarti memahami struktur sosial dan filosofi komunikasi yang menjadi pilar peradaban yang kaya akan nilai-nilai musyawarah dan penghormatan.
Kata Majilis (مجلس) berasal dari akar kata Arab jalasa (جلس), yang berarti 'duduk'. Namun, makna institusionalnya berkembang pesat sejak masa awal Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, praktik berkumpul untuk musyawarah, yang dikenal sebagai syura, menjadi fondasi bagi pembentukan Majilis. Pertemuan-pertemuan di masjid atau di rumah pribadi bukan sekadar interaksi sosial, melainkan forum untuk menyepakati hukum, memecahkan masalah, dan menyebarkan ajaran. Inilah cikal bakal dari setiap Majilis yang didirikan kemudian: sebuah ruang yang didedikasikan untuk tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar waktu luang.
Ketika kekhalifahan berkembang, Majilis mengambil bentuk formal yang lebih terstruktur. Di bawah Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, Majilis terbagi menjadi beberapa kategori fungsional yang sangat spesifik. Ada Majilis al-Hukm (Dewan Pemerintahan), tempat khalifah menerima laporan dan membuat keputusan eksekutif. Kemudian ada Majilis al-Ilm (Dewan Ilmu Pengetahuan), yang merupakan pusat intelektual tempat para sarjana, filsuf, dan penyair berdebat dan bertukar ide. Peran Majilis al-Ilm sangat krusial dalam masa keemasan Islam, berfungsi sebagai mesin penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban, termasuk Yunani, Persia, dan India.
Di istana-istana Mughal di India atau Kesultanan Utsmaniyah di Istanbul, Majilis sering kali menjadi ajang demonstrasi kekuasaan dan kemegahan, tetapi fungsi intinya tetap sebagai saluran untuk keadilan. Khalifah atau Sultan akan mengadakan Majilis terbuka, di mana rakyat jelata bisa mengajukan petisi atau keluhan secara langsung. Praktik ini dikenal sebagai Majilis al-Mazalim (Dewan Pengaduan), yang memastikan bahwa keadilan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, sebuah konsep yang mendasari prinsip akuntabilitas publik yang sangat maju pada masanya.
Struktur hierarkis Majilis di masa lalu menekankan pentingnya posisi duduk. Posisi yang paling dekat dengan pemimpin (atau yang paling terhormat di ruang tersebut, seringkali di mihrab atau panggung kecil yang disebut dikka) diperuntukkan bagi mereka yang memiliki status atau pengetahuan tertinggi. Tata letak ini bukan sekadar formalitas, tetapi manifestasi fisik dari adab (etika) dan maqam (kedudukan) seseorang dalam tatanan sosial yang berlaku. Setiap orang yang hadir tahu persis di mana mereka harus duduk, mencerminkan pemahaman mendalam tentang tatanan sosial dan kepatuhan terhadap norma-norma Majilis.
Inti dari Majilis bukanlah ruang fisik, melainkan serangkaian etika dan protokol, yang secara kolektif disebut Adab al-Majilis. Adab ini berfungsi memastikan bahwa diskusi berjalan produktif, menghormati, dan mencapai tujuan kolektif. Pelanggaran terhadap adab dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan kolektif dari Majilis itu sendiri.
Adab dimulai sebelum seseorang memasuki Majilis dan berlanjut hingga mereka meninggalkannya. Ada beberapa prinsip universal yang dipegang teguh di berbagai budaya yang mengamalkan tradisi ini:
Setiap peserta diharapkan datang dengan niat yang murni—untuk mencari pengetahuan, memberikan nasihat yang baik, atau berkontribusi pada solusi. Kehadiran fisik harus disertai dengan kehadiran mental penuh. Menjadi tidak fokus atau terganggu dianggap meremehkan pentingnya pertemuan. Dalam tradisi keilmuan, sarjana sering menekankan bahwa Majilis ilmu harus didekati dengan rasa hormat layaknya tempat ibadah, karena pengetahuan dianggap suci.
Adab yang paling tampak adalah mengenai tempat duduk. Orang yang datang belakangan tidak boleh memaksa orang lain untuk bergeser; mereka harus duduk di mana pun ruang kosong tersedia, kecuali jika diundang secara eksplisit oleh tuan rumah untuk duduk di posisi yang lebih terhormat. Prinsip ini mengajarkan kerendahan hati dan menghindari keangkuhan. Posisi yang paling utama (sadr al-Majilis) secara tradisional disediakan untuk pemimpin, tuan rumah, atau tamu kehormatan, yang seringkali dihormati karena usia, pengetahuan, atau kedudukan sosial mereka.
Penghormatan terhadap posisi ini bukan tentang kekuasaan semata, tetapi pengakuan terhadap beban tanggung jawab yang diemban oleh individu tersebut dalam memimpin diskusi atau Majilis. Jika Majilis adalah Majilis ilmu, posisi terhormat diberikan kepada ulama atau guru yang akan memimpin pengajian, sementara para murid akan duduk melingkari dalam formasi yang memungkinkan semua orang melihat dan mendengar dengan jelas.
Ini adalah jantung dari Majilis. Berbicara haruslah jelas, ringkas, dan relevan. Menginterupsi adalah tindakan yang sangat tidak sopan. Peserta harus menunggu giliran mereka dan ketika berbicara, harus ditujukan untuk memperkaya diskusi, bukan untuk mendominasi atau mempermalukan lawan bicara. Mendengar aktif (istima') adalah kewajiban yang sama pentingnya dengan berbicara. Mendengar dengan penuh perhatian menunjukkan rasa hormat terhadap pembicara, terlepas dari status sosialnya.
Dalam Majilis Syura, adab berbicara juga mencakup kewajiban untuk menyampaikan kebenaran, bahkan jika itu bertentangan dengan pendapat penguasa atau mayoritas. Keberanian moral ini, yang disandingkan dengan kerendahan hati dalam penyampaian, adalah ciri khas diskusi Majilis yang efektif dan otentik. Menggunakan bahasa yang lembut, menghindari kata-kata kotor, dan tidak meninggikan suara adalah standar mutlak yang harus dipatuhi oleh semua peserta.
Banyak Majilis, terutama yang membahas isu-isu sensitif politik atau keluarga, dilindungi oleh prinsip kerahasiaan. Apa yang dibicarakan dalam Majilis harus tetap berada di dalamnya, kecuali jika diizinkan untuk disebarkan. Prinsip ini membangun kepercayaan dan menciptakan ruang aman di mana orang merasa nyaman berbagi kekhawatiran dan pendapat tanpa takut dihakimi atau disalahgunakan di luar forum tersebut. Pelanggaran kerahasiaan Majilis dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah kolektif.
Aspek kerahasiaan ini sangat menonjol dalam Majilis yang berfungsi sebagai forum mediasi atau penyelesaian sengketa tradisional, di mana detail pribadi atau konflik diungkapkan dengan harapan mencapai rekonsiliasi. Tanpa jaminan kerahasiaan, fungsi Majilis sebagai wasit sosial akan runtuh total.
Elaborasi mendalam tentang Adab Majilis ini menunjukkan bahwa Majilis adalah sebuah sekolah moralitas yang berkelanjutan, di mana partisipan secara konstan diingatkan akan kewajiban mereka terhadap komunitas dan pentingnya mengendalikan ego demi kebaikan bersama. Majilis adalah seni interaksi sosial yang terinternalisasi, bukan sekadar seperangkat aturan yang dipaksakan dari luar. Keindahan Majilis terletak pada kemampuannya menyeimbangkan antara kebebasan berpendapat dan kewajiban untuk menghormati tatanan sosial.
Meskipun Majilis bersifat filosofis dan etik, ia juga memiliki manifestasi fisik yang sangat spesifik, terutama dalam arsitektur tradisional Arab dan Persia. Desain ruang Majilis dirancang untuk mendukung dan memperkuat prinsip-prinsip adab yang telah ditetapkan.
Mayoritas Majilis menghindari pengaturan kursi ala Barat (baris-baris berhadapan dengan podium). Sebaliknya, Majilis tradisional menggunakan konfigurasi melingkar atau tapal kuda (U-shape). Konfigurasi ini secara fisik menegaskan kesetaraan akses dan pandangan di antara semua yang hadir, memfasilitasi komunikasi mata ke mata, dan mengurangi nuansa konfrontasi yang sering muncul dalam pengaturan berbaris. Tuan rumah atau individu yang paling dihormati (sering disebut Shaykh atau Amir) akan duduk di tengah, di dinding kehormatan (Sadr), yang biasanya berhadapan dengan pintu masuk. Posisi ini memberikan otoritas visual dan akustik tanpa mengisolasi pemimpin dari peserta lain.
Material di dalam Majilis juga mengandung simbolisme. Lantai biasanya ditutupi karpet mewah (zilai atau farsh) yang melambangkan kehangatan, kekayaan budaya, dan rasa hormat terhadap tempat tersebut. Bantal-bantal besar (masnad) dan sandaran dinding (takht) disediakan untuk kenyamanan, menandakan bahwa Majilis adalah ruang untuk diskusi yang panjang dan mendalam, yang memerlukan kesabaran dan relaksasi.
Majilis hampir tidak pernah terpisah dari ritual jamuan. Hospitality (diyafa) adalah komponen vital, dan kopi (qahwa) serta kurma sering disajikan segera setelah tamu tiba. Ritual penyajian kopi, yang dilakukan oleh seorang pelayan (qahwaji) dengan cangkir kecil tanpa pegangan (finjan), memiliki protokol yang ketat. Kopi disajikan kepada yang paling tua atau yang paling terhormat terlebih dahulu, dan ritual ini berulang hingga semua orang terlayani. Tindakan menerima atau menolak kopi dengan isyarat tertentu (menggoyangkan cangkir) merupakan bentuk komunikasi non-verbal yang penting dalam Majilis.
Jamuan makanan (terutama hidangan utama seperti machboos atau mandi) seringkali menandakan akhir dari Majilis formal atau perpindahan ke diskusi yang lebih santai. Praktik berbagi makanan dari piring yang sama (tradisi makan bersama) memperkuat ikatan sosial dan kolektivitas di antara para peserta, menegaskan bahwa mereka adalah satu kesatuan yang memiliki nasib bersama. Dalam konteks ini, makanan bukan sekadar nutrisi, melainkan sakramen sosial yang mengikat janji dan kesepakatan.
Secara tradisional, arsitektur Majilis dirancang dengan plafon tinggi atau kubah untuk menciptakan akustik yang baik. Ini penting karena dalam Majilis ilmu, setiap kata yang diucapkan oleh guru harus terdengar jelas oleh semua murid, bahkan di sudut ruangan yang paling jauh. Pencahayaan, yang dulunya berasal dari lentera gantung, diatur agar menerangi wajah para pembicara, memungkinkan peserta lain membaca ekspresi dan bahasa tubuh, yang merupakan bagian integral dari proses komunikasi yang jujur dan efektif.
Desain pintu masuk yang seringkali rendah (sehingga orang harus sedikit membungkuk saat masuk) juga merupakan simbol adab, mengingatkan setiap orang untuk masuk dengan kerendahan hati dan meninggalkan keangkuhan di luar. Seluruh ruang Majilis dirancang untuk mempromosikan introspeksi, penghormatan timbal balik, dan dialog yang konstruktif, menjadikannya 'ruang suci' untuk pertukaran ide dan kearifan.
Fungsi Majilis dapat dikategorikan ke dalam tiga dimensi utama: politik/pemerintahan, yudisial/resolusi konflik, dan edukasi/pelestarian budaya. Tiga dimensi ini saling terkait erat, memastikan bahwa Majilis menjadi pilar yang menopang stabilitas dan perkembangan masyarakat.
Di banyak kesultanan, Majilis berfungsi sebagai lembaga legislatif de-facto, meskipun tidak memiliki struktur formal parlemen modern. Ini adalah tempat di mana penguasa (Sultan, Emir, atau Syekh) menerima laporan dari wazir dan gubernur, serta berunding dengan para penasihat utama (Ahl al-Hall wa al-'Aqd – 'Orang-orang yang Mengikat dan Melepaskan').
Fungsi politik Majilis melibatkan beberapa aspek penting:
Salah satu fungsi Majilis yang paling mulia adalah perannya sebagai pengadilan tertinggi atau dewan mediasi. Majilis al-Mazalim (Dewan Keluhan) dipimpin langsung oleh penguasa atau seorang Qadhi terkemuka. Majilis ini memiliki yurisdiksi untuk meninjau kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah atau kasus-kasus kompleks di mana pengadilan biasa mungkin tidak memiliki wewenang atau kekuatan untuk menegakkan keputusan.
Proses mediasi dalam Majilis tradisional sangat berbeda dari sistem pengadilan adversarial modern. Fokusnya adalah pada islah (rekonsiliasi) dan pemulihan harmoni sosial, daripada sekadar penetapan kesalahan dan hukuman. Mediator (biasanya Shaykh atau kepala suku) akan menggunakan otoritas moralnya, serta pengetahuan mendalam tentang adat (urf) dan hukum agama (Syariah), untuk membimbing pihak-pihak yang bersengketa menuju penyelesaian yang dapat diterima bersama.
Dalam Majilis suku (di semenanjung Arab atau komunitas Badui), Majilis adalah satu-satunya mekanisme hukum. Putusan yang dibuat dalam Majilis ini memiliki kekuatan mengikat yang lebih kuat daripada keputusan pengadilan formal, karena didukung oleh ikatan sosial dan ancaman pengucilan dari komunitas. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan Majilis seringkali bersifat sosial-moral sebelum menjadi politis-hukum.
Majilis ilmu (Majlis al-'Ilm) adalah institusi vital untuk transmisi pengetahuan. Ini bisa berupa halaqah (lingkaran studi) di masjid, atau pertemuan para ulama di rumah seorang patron. Dalam Majilis ini, kitab-kitab dibacakan, diulas, dan didiskusikan secara mendalam. Sarjana akan memberikan ijazah (sertifikat otoritas) kepada murid-muridnya setelah menyelesaikan studi tertentu dalam Majilis tersebut.
Majilis ilmu berfungsi lebih dari sekadar mengajar; ia melatih pemikiran kritis dan disiplin intelektual. Perdebatan (munazharah) antara berbagai mazhab atau disiplin ilmu (seperti Fiqih, Filsafat, dan Logika) sering terjadi di Majilis, yang merupakan mesin utama yang mendorong inovasi dan sintesis intelektual di dunia Islam.
Majilis sastra (Majlis al-Adab) juga memiliki peran penting, berfungsi melestarikan bahasa dan tradisi puitis. Penyair akan membacakan karya mereka, dan kritik serta apresiasi akan diberikan oleh sesama penyair dan kritikus. Majilis seperti ini memastikan bahwa bahasa Arab klasik dan tradisi puitis tetap hidup dan berkembang, tidak hanya sebagai warisan akademis, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kelas atas dan intelektual.
Seiring modernisasi dan munculnya negara-bangsa (nation-state), bentuk Majilis mengalami perubahan signifikan, menyesuaikan diri dengan struktur politik dan teknologi baru. Meskipun fungsi tradisionalnya sebagai pusat mediasi sosial tetap kuat di tingkat lokal, Majilis juga telah menjadi nama resmi untuk lembaga politik formal.
Di banyak negara, Majilis kini merujuk pada parlemen atau badan legislatif. Contoh paling jelas adalah Majlis al-Ummah (Dewan Nasional) atau Majlis al-Shura (Dewan Syura). Ketika Majilis bertransformasi menjadi parlemen, ia membawa serta warisan konsultasi (syura) dan perwakilan, tetapi menggantikan protokol adab tradisional dengan aturan prosedural yang kaku (seperti voting dan perdebatan resmi).
Meskipun Majilis modern beroperasi berdasarkan konstitusi dan bukan hanya adat, prinsip inti tentang perlunya ruang formal untuk dialog dan pengambilan keputusan kolektif tetap dipertahankan. Namun, kritik sering dilontarkan bahwa Majilis politik modern telah kehilangan elemen personal dan spiritual yang melekat pada Majilis tradisional, di mana hubungan antar individu dan rasa hormat terhadap tuan rumah berperan lebih besar daripada afiliasi partai.
Di era digital, konsep Majilis telah meluas ke platform komunikasi online. Forum diskusi, grup media sosial yang berfokus pada topik keagamaan atau intelektual, dapat dianggap sebagai bentuk Majilis virtual. Meskipun Majilis digital kehilangan kehadiran fisik, ia tetap mempertahankan fungsi intinya: menyediakan ruang terstruktur untuk pertukaran ide, pewarisan ilmu (melalui webinar atau kuliah online), dan pembangunan konsensus dalam komunitas virtual.
Tantangannya adalah bagaimana menerapkan Adab al-Majilis yang ketat dalam lingkungan digital. Anonimitas dan kecepatan interaksi seringkali mengikis kerendahan hati dan kesabaran yang sangat ditekankan dalam Majilis fisik. Oleh karena itu, komunitas virtual yang sukses dalam meniru Majilis tradisional harus menetapkan etika digital yang sangat ketat untuk mengendalikan emosi dan memastikan diskusi tetap fokus dan menghormati.
Di luar ranah politik formal, Majilis tetap hidup sebagai inti kehidupan sosial, terutama di kawasan Teluk dan Levant. Di sini, Majilis merujuk pada ruang tamu khusus yang dirancang untuk menerima tamu, memelihara hubungan kekerabatan, dan merayakan acara sosial. Majilis rumah tangga ini berfungsi sebagai barometer status sosial dan kedermawanan tuan rumah.
Majilis sosial modern adalah tempat di mana sejarah lisan diwariskan, cerita rakyat diceritakan, dan generasi tua meneruskan kearifan hidup kepada generasi muda. Ini adalah tempat di mana identitas komunal diperkuat melalui ritual sosial yang berulang, seperti berkumpul setelah salat Maghrib atau Isya, atau selama bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri.
Kehadiran Majilis ini dalam kehidupan sehari-hari memastikan bahwa nilai-nilai dasar seperti kedermawanan, kesopanan, dan seni percakapan (fashahah) tidak hilang di tengah hiruk pikuk modernitas. Majilis pribadi ini adalah benteng terakhir dari tradisi Adab al-Majilis, yang menjamin bahwa interaksi sosial tetap hangat, bermakna, dan terikat oleh rasa saling menghormati yang mendalam.
Majilis, pada dasarnya, adalah sebuah model pemerintahan mini dan sebuah sekolah etika publik. Keberhasilannya terletak pada filosofi inklusivitas yang terstruktur. Meskipun hierarki diakui melalui posisi duduk, Majilis secara fundamental adalah institusi egaliter dalam hal akses—siapa pun, asalkan mematuhi adab, memiliki hak untuk didengar.
Majilis berfungsi sebagai kontrak sosial yang dinamis. Dalam masyarakat tradisional di mana institusi negara mungkin lemah atau jauh, Majilis adalah tempat di mana norma-norma ditegakkan dan kontrak interpersonal diperkuat. Tuan rumah, sebagai kepala Majilis, mengambil peran sebagai penjamin kehormatan dan keadilan. Kepatuhan terhadap aturan Majilis adalah kepatuhan terhadap tatanan sosial yang lebih besar.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Majilis, kebenaran (hak) lebih dihargai daripada formalitas hukum. Tujuan utama adalah untuk menyelesaikan masalah di tingkat akar rumput dengan persetujuan moral, yang seringkali lebih efektif daripada penegakan hukum yang dipaksakan. Ini adalah pendekatan yang mengutamakan hati nurani komunal (dhammah ijtima'iyyah) di atas kekuasaan yudisial semata.
Dalam Majilis, kemampuan berbicara dengan fasih (fashahah) dan meyakinkan (balaghah) adalah keterampilan yang sangat dihargai. Namun, keterampilan ini harus diimbangi dengan hikmah (kearifan). Pembicara yang paling efektif bukanlah yang paling keras suaranya, melainkan yang paling bijak kata-katanya. Majilis menciptakan kebutuhan akan retorika yang bertanggung jawab, di mana argumen harus didasarkan pada bukti, logika, dan, yang paling penting, rasa hormat terhadap audiens.
Kualitas diskusi di Majilis berbanding lurus dengan kualitas retorika para pesertanya. Tradisi ini telah melahirkan generasi intelektual dan orator ulung, yang mampu menyampaikan ide-ide yang kompleks dengan kejelasan dan keindahan bahasa yang luar biasa. Oleh karena itu, Majilis tidak hanya melestarikan pengetahuan, tetapi juga melestarikan seni komunikasi yang unggul, menjadikannya pusat pelestarian linguistik dan sosiologis.
Di tengah gelombang globalisasi dan homogenisasi budaya, Majilis menghadapi tantangan besar. Kecepatan hidup modern seringkali tidak menyisakan waktu untuk diskusi panjang dan meditatif yang menjadi ciri khas Majilis. Lebih lanjut, institusi formal modern cenderung menggantikan Majilis tradisional dalam fungsi yudisial dan politik, meskipun seringkali tanpa efektivitas moral Majilis.
Meskipun demikian, ada upaya berkelanjutan untuk mempertahankan dan merevitalisasi Majilis. Beberapa negara telah secara sadar mengintegrasikan konsep Majilis dalam arsitektur publik mereka dan dalam protokol diplomatik mereka, mengakui bahwa Majilis adalah warisan budaya tak benda yang penting. Pelestarian Majilis adalah pelestarian sistem nilai yang mengutamakan dialog, etika, dan komunitas di atas individualisme ekstrem.
Kesimpulannya, Majilis adalah lebih dari sekadar ruangan; ia adalah cerminan dari filosofi peradaban yang meyakini bahwa kebenaran dan keadilan hanya dapat dicapai melalui proses konsultasi yang menghormati setiap suara, diatur oleh adab yang ketat, dan dilandasi oleh niat murni untuk mencari kebaikan bersama. Majilis adalah jantung yang terus berdetak dalam sejarah sosial dan politik banyak bangsa, mengalirkan darah kearifan dan etika dari generasi ke generasi.
Warisan Majilis mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada kekuatan fisik atau otoritas formal, melainkan pada kapasitas untuk mengelola perbedaan melalui dialog yang damai dan beradab. Selama masyarakat masih menghargai musyawarah, kerendahan hati, dan kehormatan, Majilis, dalam segala bentuknya—baik fisik maupun virtual—akan terus menjadi institusi yang relevan dan esensial.
Tradisi kuno ini terus menawarkan pelajaran berharga bagi dunia modern yang sering terpecah belah: bahwa solusi terbaik selalu ditemukan, bukan dalam isolasi, tetapi di tengah-tengah kumpulan orang yang saling menghormati, duduk bersama dalam Majilis, siap mendengarkan dan berbicara dengan penuh kearifan. Inilah makna terdalam dari Majilis, sebuah institusi yang melampaui waktu dan tempat, menjadikannya warisan abadi dari kebijaksanaan komunal.