Kota Daeng, Gerbang Utama Nusantara Timur, tempat bertemunya sejarah, laut, dan filosofi hidup yang kuat.
Makassar, sebuah nama yang bergaung dengan kekuatan ombak dan deru mesin kapal, adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota ini bukan sekadar pusat administrasi, melainkan simpul perdagangan bersejarah yang menghubungkan dunia barat dan timur Nusantara. Identitas Makassar dibentuk oleh dua elemen dominan: warisan maritim yang tak tertandingi dan falsafah kebudayaan yang mengakar kuat.
Sejak berabad-abad, posisi geografis Makassar yang strategis di pesisir barat daya Sulawesi menjadikannya pelabuhan transit vital di Jalur Rempah. Sebelum era kolonial, kerajaan-kerajaan lokal telah membangun hegemoni laut yang menjangkau Filipina hingga Australia Utara. Kekuatan ini terekam jelas dalam jiwa warganya, yang dikenal sebagai pelaut ulung, pedagang gigih, dan penjaga kehormatan yang teguh.
Makassar adalah mozaik dari tiga etnis utama yang saling melengkapi namun juga mempertahankan kekhasannya: Suku Makassar, Suku Bugis, dan Suku Toraja (meskipun Toraja lebih dominan di pedalaman, pengaruhnya tetap terasa dalam dinamika regional). Falsafah hidup yang mempersatukan ketiga kelompok ini, terutama Bugis-Makassar, adalah Siri' Na Pacce. Konsep ini melampaui sekadar tata krama; ia adalah panduan moral, etika, dan landasan tindakan yang menentukan harkat dan martabat seseorang.
Memahami Makassar adalah menyelami kedalaman filosofi ini. Ini menjelaskan mengapa orang Makassar (dan Bugis) memiliki reputasi sebagai pribadi yang tegas, berani, dan memiliki loyalitas tinggi. Dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari perdagangan di pelabuhan hingga penyelesaian sengketa keluarga, Siri' Na Pacce adalah kompas moral yang tak pernah usang.
Sejarah Makassar adalah kisah tentang perebutan supremasi di perairan timur. Inti dari sejarah ini adalah Kerajaan Gowa, yang kemudian bersatu dengan Tallo membentuk Kesultanan Gowa-Tallo, yang puncaknya dikenal sebagai Kerajaan Makassar. Kerajaan ini mencapai masa keemasan pada abad ke-16 dan ke-17, menjadi pelabuhan internasional terbesar di Asia Tenggara sebelum dikuasai VOC.
Pusat kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo mulanya berpusat di Benteng Somba Opu. Benteng ini bukan hanya pertahanan militer, tetapi juga kota pelabuhan super sibuk yang terbuka bagi semua bangsa, termasuk Portugis, Spanyol, Inggris, Arab, dan Gujarat. Kebijakan perdagangan bebas yang diterapkan oleh raja-raja Gowa, seperti Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin, menarik pedagang dari seluruh dunia. Ini adalah antitesis dari sistem monopoli yang diterapkan oleh Belanda.
Kejayaan maritim Gowa-Tallo didukung oleh armada laut yang kuat. Mereka menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dari Maluku ke barat, memungut cukai, dan memastikan keamanan laut. Kerajaan ini dikenal gigih menolak dominasi asing, yang memuncak pada perang besar melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' (De Haantjes van het Oosten) oleh Belanda karena keberaniannya yang tak kenal menyerah.
Setelah kekalahan Gowa-Tallo pada tahun 1667, Belanda mengambil alih dan membangun kembali benteng utama mereka di lokasi yang kini dikenal sebagai Fort Rotterdam. Benteng yang aslinya bernama Benteng Ujung Pandang ini diubah namanya oleh Cornelis Speelman. Struktur benteng ini unik, menyerupai penyu yang merangkak menuju laut, melambangkan filosofi Bugis-Makassar tentang harapan hidup dan mobilitas maritim.
Visualisasi arsitektur Fort Rotterdam, Benteng bersejarah di Makassar.
Fort Rotterdam kini menjadi salah satu situs sejarah paling terawat di Indonesia, menyimpan peninggalan Museum La Galigo, yang mendokumentasikan kebudayaan Bugis-Makassar, termasuk salinan epik I La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia yang melukiskan kosmologi dan genealogi Bugis purba.
Setelah kemerdekaan, kota ini dikenal sebagai Makassar, kemudian diubah menjadi Ujung Pandang pada tahun 1971 sebagai bagian dari kebijakan untuk menghilangkan nama-nama yang terlalu erat kaitannya dengan kerajaan lama demi persatuan nasional. Namun, nama Makassar memiliki resonansi sejarah dan identitas yang terlalu kuat. Pada tahun 1999, nama bersejarah ‘Makassar’ dikembalikan, menandai pengakuan akan warisan maritim dan budaya yang tak terpisahkan dari identitas regional dan nasional.
Makassar adalah kota pelabuhan. Jantung ekonomi dan budayanya berdetak seiring pasang surutnya air laut. Pelabuhan Makassar, yang meliputi Pelabuhan Sukarno-Hatta (modern) dan Pelabuhan Paotere (tradisional), adalah gerbang logistik utama menuju kawasan timur Indonesia.
Tidak ada simbol kemaritiman yang lebih kuat di Makassar selain Kapal Phinisi. Kapal layar tradisional ini, yang berasal dari Suku Bugis dan Makassar, adalah mahakarya teknik pembuatan kapal tanpa cetak biru modern, diwariskan secara turun-temurun, terutama oleh para pembuat kapal di Tana Beru (Bulukumba), namun berlabuh dan beroperasi masif dari Makassar.
Phinisi memiliki dua tiang utama dan tujuh layar yang melambangkan tujuh harapan dan cita-cita pelaut Bugis. Filosofi yang terkandung dalam proses pembuatannya sangat spiritual. Setiap potongan kayu, setiap pemasangan papan, selalu disertai ritual dan doa, memastikan kapal tersebut memiliki ‘jiwa’ yang dapat melindungi nakhoda dan awaknya di tengah badai. Kapal ini membuktikan kemampuan navigasi dan konstruksi yang luar biasa, mampu mengarungi samudra tanpa bantuan teknologi modern yang canggih.
Phinisi, Kapal Legendaris Suku Bugis-Makassar, simbol kehebatan maritim.
Sementara Pelabuhan Sukarno-Hatta menangani kontainer dan kapal besar, Paotere adalah museum hidup kemaritiman tradisional. Di sini, ratusan Phinisi dan perahu layar kayu berlabuh, membongkar muatan hasil bumi dari pulau-pulau terpencil di Indonesia Timur. Aroma rempah, ikan asin, dan kayu basah berbaur di udara. Kunjungan ke Paotere menawarkan gambaran nyata tentang bagaimana perdagangan tradisional Makassar telah berlangsung selama berabad-abad, sebuah kesinambungan yang luar biasa antara masa lalu dan masa kini.
Kuliner Makassar adalah perpaduan unik antara rempah lokal yang kuat, teknik memasak kerajaan, dan hasil laut segar yang melimpah. Makanan di Makassar bukan hanya kebutuhan, tetapi manifestasi dari keramahtamahan dan kekayaan alam Sulawesi.
Coto Makassar, atau Coto Mangkasara, adalah hidangan utama yang tidak bisa dipisahkan dari kota ini. Sejarahnya kembali ke era kerajaan Gowa-Tallo, di mana ia disajikan sebagai hidangan istimewa untuk para bangsawan. Coto adalah sup kaya rempah yang berisi jeroan dan daging sapi. Namun, yang membuatnya legendaris adalah kuahnya.
Kuah Coto diracik menggunakan lebih dari 40 jenis bumbu (ampah patang pulo), termasuk kemiri, ketumbar, jintan, pala, dan lada hitam, yang dimasak dalam waktu lama. Sentuhan akhirnya adalah penggunaan air cucian beras (yang memberikan kekentalan alami) dan kacang tanah yang dihaluskan. Coto tradisional disajikan bersama ketupat yang disebut Katupa' dan sambal tauco pedas yang gurih.
Makassar juga terkenal dengan hidangan tulang iga sapi, Konro. Ada dua varian utama Konro: Konro Bakar dan Konro Kuah.
Selain Konro, ada Pallu Basa, hidangan yang mirip dengan Coto namun biasanya disajikan dengan tambahan kuning telur mentah yang diaduk dalam kuah panas, memberikan tekstur lembut dan rasa yang lebih kaya. Pallu Basa sering dianggap sebagai hidangan rakyat yang lebih merakyat, sementara Coto mempertahankan aura kemewahan sejarahnya.
Sebagai kota pesisir, Makassar menawarkan salah satu pengalaman makanan laut terbaik di Indonesia. Teknik memasak khas Makassar untuk ikan adalah "Pallu Ce'la" (dibakar dengan bumbu sederhana) atau "Pallu Mara" (dimasak dalam kuah kuning asam pedas). Ikan yang paling dicari adalah Kakap Merah, Kerapu, dan Baronang, yang selalu disajikan sangat segar, sering kali baru ditangkap beberapa jam sebelumnya.
Perjalanan kuliner belum lengkap tanpa mencicipi hidangan penutup yang menyegarkan:
Penghargaan terhadap rempah-rempah dalam Coto Makassar bukanlah tanpa alasan. Penggunaan 40 bumbu (sebuah hiperbola untuk kompleksitas bumbu) menunjukkan bagaimana Makassar, sebagai pelabuhan perdagangan, memiliki akses ke spektrum rempah yang luas dari seluruh Nusantara. Rempah-rempah ini tidak hanya berfungsi sebagai penyedap, tetapi juga sebagai agen pengawet dan obat tradisional. Teknik memasak yang panjang (membutuhkan perebusan jeroan hingga 8 jam) mencerminkan kesabaran dan penghormatan terhadap bahan baku, sebuah cerminan dari filosofi Pacce dalam konteks kuliner: usaha keras dan detail untuk menghasilkan yang terbaik bagi tamu atau keluarga.
Makassar bukan hanya masa lalu; ia adalah kota metropolitan yang bergerak cepat, menjadi pusat investasi dan teknologi di Kawasan Timur Indonesia. Infrastruktur modern berpadu dengan situs-situs sejarah, menciptakan dinamika kota yang unik.
Jika Bali punya Kuta, Makassar punya Losari. Pantai Losari bukanlah pantai berpasir yang biasa, melainkan anjungan beton yang ikonik, dikenal sebagai "pantai tanpa pasir." Losari adalah pusat aktivitas sosial, tempat warga lokal menikmati matahari terbenam (sunset) yang spektakuler di Selat Makassar.
Losari juga menjadi rumah bagi Masjid 99 Kubah (Masjid Amirul Mukminin), yang berdiri di atas air, serta berbagai patung dan monumen yang menggambarkan kebudayaan setempat, termasuk perahu Phinisi. Dahulu, Losari terkenal sebagai tempat di mana para pedagang menjual makanan laut bakar di malam hari, sebuah tradisi yang kini sebagian dipindahkan untuk menjaga kebersihan anjungan.
Sebagai kota modern, Makassar dilengkapi dengan fasilitas hiburan dan ritel kelas dunia. Trans Studio Makassar (TSM) adalah salah satu taman hiburan indoor terbesar di Indonesia, menunjukkan kapabilitas kota dalam menarik investasi besar dan memberikan hiburan bagi masyarakat regional. Keberadaan mall-mall besar dan hotel berbintang lima menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan gaya hidup urban yang berkembang.
Tepat di depan pesisir Makassar terbentang gugusan Kepulauan Spermonde, surga tersembunyi bagi pecinta selam dan snorkeling. Pulau-pulau seperti Pulau Samalona, Pulau Khayangan, dan Pulau Barrang Lompo menawarkan air jernih, terumbu karang yang sehat, dan ketenangan dari hiruk pikuk kota. Samalona, khususnya, menjadi destinasi populer untuk wisata sehari karena aksesnya yang mudah dan cepat menggunakan perahu motor dari dermaga.
Pertumbuhan pesat Makassar membawa tantangan infrastruktur klasik kota besar, terutama terkait transportasi dan penataan ruang. Pemerintah kota terus berupaya membangun sistem transportasi massal yang efektif, namun pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi masih menjadi isu utama. Selain itu, upaya konservasi lingkungan, terutama di kawasan pesisir yang rentak erosi dan perubahan iklim, menjadi agenda penting. Makassar juga berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi, menampung universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Hasanuddin (Unhas), yang perannya sangat vital dalam menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten bagi seluruh Kawasan Timur Indonesia.
Jika Makassar adalah tubuh, maka Siri' Na Pacce adalah jiwanya. Falsafah ini mengatur interaksi sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Dalam konteks sejarah, Siri' adalah pendorong utama perlawanan terhadap penjajahan. Rasa malu akibat diperlakukan tidak adil memicu Pacce (keberanian dan solidaritas) untuk mengangkat senjata.
Penerapan Siri' Na Pacce dalam kehidupan sehari-hari sangat ketat. Misalnya, ketika seorang anggota keluarga dihinakan (Siri' terancam), seluruh keluarga berkewajiban untuk memulihkan kehormatan tersebut (Pacce). Falsafah ini mengajarkan bahwa kekayaan materi tidak sebanding dengan kehormatan diri. Seorang pelaut Bugis-Makassar mungkin miskin harta, tetapi ia harus kaya akan Siri'.
Dalam sistem hukum adat (Lontara), pelanggaran terhadap Siri' sering kali memicu hukuman sosial yang berat, bahkan konflik berdarah. Meskipun sistem hukum modern telah berlaku, resonansi Siri' masih sangat kuat dalam penyelesaian sengketa di tingkat komunitas. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional tetap relevan dalam masyarakat modern Makassar.
Tidak ada pembahasan tentang budaya Sulawesi Selatan yang lengkap tanpa menyebut Sureq Galigo atau I La Galigo. Karya sastra epik ini adalah harta karun dunia, diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Ingatan Dunia. I La Galigo adalah epos mitologis yang bercerita tentang penciptaan, asal-usul manusia, dan dewa-dewi yang turun ke bumi (Tana Ugi).
Epik ini tidak hanya berisi cerita, tetapi juga panduan moral, silsilah kerajaan, dan deskripsi detail tentang ritual, adat istiadat, dan navigasi. Panjangnya yang luar biasa—diperkirakan mencapai 300.000 baris—menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang yang pernah ada. Meskipun berasal dari tradisi Bugis, pengaruhnya meresap ke dalam seluruh budaya Sulawesi Selatan, termasuk Makassar, mengingat interaksi erat antara kerajaan-kerajaan ini.
Seni pertunjukan Makassar kaya akan ekspresi kekuatan dan kelembutan.
Makassar saat ini menghadapi peran ganda: mempertahankan warisan sejarah yang mendalam sambil berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia Timur. Struktur ekonomi kota sangat bergantung pada jasa, perdagangan, dan logistik.
Pelabuhan Makassar menangani volume kargo yang sangat besar, melayani distribusi barang ke Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, perluasan bandara (Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin), dan modernisasi pelabuhan telah memperkuat posisi Makassar sebagai hub strategis. Keberadaan Makassar sebagai "Kota Transit" memastikan bahwa hampir semua barang yang masuk ke Indonesia Timur pasti melewati kota ini, menjadikannya barometer kesehatan ekonomi regional.
Karena perannya sebagai pusat pendidikan, bisnis, dan kesehatan, Makassar menarik migran dari seluruh Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya. Hal ini menciptakan masyarakat yang semakin heterogen. Meskipun etnis Bugis-Makassar tetap dominan, komunitas Tionghoa, Jawa, dan perantau lainnya telah memberikan warna baru pada lanskap sosial kota, terutama dalam sektor perdagangan dan jasa.
Pengaruh pendidikan di Makassar tidak bisa diremehkan. Universitas Hasanuddin (Unhas) adalah salah satu institusi tertua dan paling bergengsi di luar Jawa. Kehadiran Unhas dan kampus-kampus lainnya menjadikan Makassar pusat perkembangan intelektual dan penelitian, khususnya di bidang maritim, perikanan, dan pertanian tropis. Perguruan tinggi memainkan peran penting dalam mentransformasikannya menjadi kota berbasis pengetahuan, bukan hanya kota perdagangan. Hasilnya, Makassar mulai menghasilkan startup teknologi dan inovasi yang melayani kebutuhan kawasan timur, menjauh dari citra semata sebagai kota transit.
Namun, tantangan dalam sektor ini adalah menjaga keseimbangan antara modernisasi dan konservasi budaya. Ada kekhawatiran bahwa laju pembangunan fisik dan penetrasi budaya global dapat mengikis nilai-nilai lokal, khususnya Siri' Na Pacce, yang membutuhkan upaya sadar dari para pemimpin dan pendidik untuk dipertahankan dan diadaptasikan dalam konteks kontemporer.
Makassar memiliki ambisi besar untuk menjadi kota dunia yang berdaya saing global, berlandaskan budaya maritim yang kuat. Proyeksi pembangunan kota berfokus pada lima pilar utama: Konektivitas, Lingkungan Hijau, Inovasi Digital, Kehidupan Sosial, dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance).
Konsep pembangunan Makassar saat ini berfokus pada optimalisasi garis pantai. Selain revitalisasi Losari, proyek-proyek reklamasi telah dikembangkan untuk menciptakan ruang publik baru dan zona ekonomi terpadu. Meskipun proyek reklamasi sering kali menimbulkan kontroversi lingkungan, tujuannya adalah memperkuat citra Makassar sebagai kota maritim modern yang menghadap laut secara terbuka.
Peningkatan kapasitas Bandara Sultan Hasanuddin dan Pelabuhan Baru Makassar (New Port Makassar) sangat krusial. New Port Makassar dirancang untuk mengurangi kepadatan pelabuhan lama dan menangani kapal-kapal kontainer yang lebih besar, memperkuat peran Makassar sebagai hub transshipment utama. Ini adalah langkah fundamental untuk menjadikan Makassar bukan hanya gerbang timur, tetapi juga jembatan penghubung antara Australia, Pasifik, dan Asia Tenggara.
Sebagai kota pesisir yang rendah, Makassar sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan banjir rob. Program-program kota hijau, penanaman mangrove, dan pengelolaan sampah berbasis komunitas menjadi prioritas. Ada kesadaran yang semakin tinggi bahwa warisan maritim hanya dapat dipertahankan jika lingkungan laut dan pesisir dijaga dengan baik. Kesadaran ini kembali merujuk pada prinsip Pacce: empati tidak hanya untuk sesama manusia, tetapi juga untuk lingkungan yang memberikan kehidupan.
Selain sastra epik I La Galigo, budaya Bugis-Makassar memiliki sistem aksara dan dokumentasi sejarahnya sendiri yang disebut Lontara. Aksara ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga media pencatat sejarah, hukum adat, dan silsilah keluarga (tarombo).
Aksara Lontara (atau dikenal juga sebagai Aksara Bugis) adalah aksara abugida. Secara tradisional, dokumen Lontara ditulis pada daun lontar kering, dari mana namanya berasal. Catatan-catatan ini sering mencakup hukum dagang maritim, perjanjian antar kerajaan, dan instruksi tentang pembangunan kapal Phinisi. Ini menunjukkan betapa terorganisirnya masyarakat Bugis-Makassar dalam mendokumentasikan pengetahuan mereka.
Ritual sosial di Makassar sangat detail dan mencerminkan hierarki sosial lama. Adat perkawinan, misalnya, melibatkan prosesi panjang yang menekankan status keluarga dan mas kawin (uang panai') yang jumlahnya dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta, mencerminkan komitmen dan harga diri keluarga (Siri'). Meskipun terjadi modernisasi, ritual-ritual ini tetap dipertahankan sebagai cara untuk menghormati leluhur dan menjaga tradisi.
Dalam upacara kematian, sistem adat mengatur bagaimana jenazah harus diperlakukan dan bagaimana keluarga yang berduka harus didukung. Solidaritas sosial yang kuat, didorong oleh Pacce, memastikan bahwa tidak ada anggota komunitas yang menghadapi kesulitan sendirian. Seluruh rangkaian upacara ini adalah ekspresi kolektif dari filosofi hidup masyarakatnya.
Makassar, melalui pengaruh Bugis, adalah pusat produksi tekstil sutra yang terkenal. Tenun sutra Sengkang dan Mandar, meskipun dibuat di luar pusat kota Makassar, diperdagangkan dan dipamerkan secara masif di ibu kota ini.
Sutra Bugis memiliki ciri khas pada warna-warna cerah dan motif kotak-kotak (corak sarung Lipaq Sabbe) atau motif geometris yang rumit. Kain ini tidak hanya digunakan sebagai pakaian adat, tetapi juga sebagai alat tukar dan penanda status sosial. Proses penenunan masih dilakukan secara tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), mempertahankan kualitas dan nilai seni yang tinggi.
Makassar juga memiliki tradisi pandai besi yang kuat. Badik, senjata tradisional khas Bugis-Makassar, adalah simbol keberanian dan kehormatan. Sama seperti keris di Jawa, Badik memiliki kekuatan spiritual dan harus diperlakukan dengan penuh hormat. Kepemilikan Badik erat kaitannya dengan tanggung jawab menjaga Siri'.
Seni ukir kayu juga berkembang pesat, terutama dalam pembuatan perabotan dan dekorasi yang menampilkan motif-motif Lontara atau flora dan fauna lokal. Pusat-pusat kerajinan di sekitar Makassar terus berupaya memadukan desain tradisional dengan permintaan pasar modern tanpa menghilangkan esensi budaya asli.
Makassar adalah sebuah sintesis yang memukau: sebuah kota pelabuhan modern yang dibangun di atas fondasi kerajaan maritim yang tangguh. Dari gemuruh ombak di Pantai Losari hingga kesunyian historis di Fort Rotterdam, dari aroma Coto Makassar yang kaya rempah hingga keagungan Phinisi yang menantang lautan, kota ini menawarkan pelajaran abadi tentang ketahanan, kehormatan, dan solidaritas. Ia berdiri tegak sebagai Gerbang Timur yang tak pernah lelah menyambut masa depan sambil merayakan masa lalu yang perkasa, semuanya dipandu oleh prinsip hidup yang tak tergoyahkan: Siri' Na Pacce.