Mahkota yang terpecah melambangkan konsep makzul: pelucutan kekuasaan seorang penguasa dari singgasananya.
Makzul (atau Ma'zūl) merujuk pada proses formal dan sering kali traumatis di mana seorang penguasa monarki—seperti raja, sultan, atau kaisar—dilucuti dari jabatan dan otoritas kedaulatannya. Ini adalah kebalikan dari penobatan, menandai akhir kekuasaan yang bisa jadi mutlak, sering kali melalui tekanan politik, keputusan parlemen, atau revolusi rakyat.
Konsep makzul adalah salah satu drama politik tertua dalam peradaban manusia, melibatkan pergeseran kekuasaan yang sering kali diwarnai darah dan intrik. Makzul berbeda dengan abdikasimen—penyerahan kekuasaan secara sukarela—meskipun batas antara keduanya sering kali kabur, terutama ketika abdikasimen terjadi di bawah ancaman atau paksaan mutlak.
Dalam bahasa Arab, akar kata 'azala (عزل) berarti "memisahkan" atau "menyingkirkan". Dalam konteks politik, makzul secara spesifik berarti pemberhentian penguasa monarki yang menjabat oleh otoritas yang lebih tinggi atau oleh badan politik yang mengklaim legitimasi untuk melakukannya. Proses ini menantang legitimasi ilahi atau warisan yang mendasari kekuasaan monarki, memaksanya tunduk pada realitas politik atau hukum buatan manusia. Ini adalah momen krusial di mana kedaulatan, yang dianggap absolut, terbukti dapat ditarik kembali.
Secara sosiopolitik, makzul selalu merupakan cerminan dari kegagalan kontrak sosial antara penguasa dan yang diperintah, atau antara penguasa dan elit politiknya. Kegagalan ini dapat berupa tirani, ketidakmampuan militer, skandal moral yang tidak tertahankan, atau kegagalan total dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik negara. Oleh karena itu, makzul bukan sekadar pergantian pemimpin, tetapi sering kali merupakan krisis legitimasi yang mendalam, memaksa seluruh sistem politik untuk merestrukturisasi dirinya.
Dalam banyak kasus sejarah, makzul menjadi prekursor bagi perubahan konstitusional yang radikal, bahkan pembentukan republik. Jika makzul terjadi, ini menandakan bahwa institusi (parlemen, dewan ulama, atau militer) telah mengakuisisi kekuasaan yang cukup untuk menandingi dan bahkan membatalkan otoritas simbolis mahkota. Diskusi mengenai makzul selalu membawa kita kepada pertanyaan fundamental: di mana letak kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara?
Meskipun sering digunakan secara bergantian dalam bahasa sehari-hari, perbedaan antara makzul dan abdikasi sangat penting dalam analisis hukum dan sejarah:
Namun, kompleksitas muncul dalam kasus "abdikasi yang dipaksakan." Ketika seorang penguasa diberi ultimatum—melepaskan takhta secara "sukarela" atau menghadapi penahanan dan hukuman—peristiwa tersebut secara substantif lebih dekat kepada makzul, meskipun dokumen resminya berbentuk abdikasi. Contoh paling nyata adalah Kaisar Napoleon Bonaparte setelah kekalahannya; ia menandatangani abdikasi, tetapi kekuasaannya telah dicabut oleh realitas militer dan politik.
Jauh sebelum konsep konstitusi modern muncul, masyarakat kuno telah bergulat dengan mekanisme untuk menyingkirkan pemimpin yang gagal. Landasan pemakzulan berakar pada konsep keseimbangan kosmik atau mandat ilahi yang bersyarat.
Dalam sistem kekaisaran Tiongkok, legitimasi seorang kaisar didasarkan pada Tian Ming (Mandat Surga). Mandat ini bukanlah hak abadi; Surga akan mencabut mandat tersebut jika kaisar (Putra Surga) memerintah dengan tidak adil, lalai terhadap rakyat, atau membawa bencana alam. Konsep ini menyediakan kerangka kerja filosofis untuk makzul:
Prinsip inilah yang melegitimasi pergantian dinasti selama ribuan tahun, dari Dinasti Shang hingga Dinasti Qing. Makzul di sini adalah hasil dari penafsiran teologis atas realitas politik yang keras.
Di Republik Romawi, meskipun tidak ada raja, terdapat jabatan konsul dan diktator yang kekuasaannya dapat dibatasi atau dicabut. Konsep pertanggungjawaban publik sudah mengakar. Senat memiliki kekuatan politik (walaupun bukan hukum absolut) untuk menekan pejabat yang terlalu ambisius.
Dalam Kekaisaran Romawi, makzul sering kali terjadi dalam bentuk damnatio memoriae—penghapusan total ingatan dan catatan publik tentang seorang kaisar yang dianggap tiran atau gagal. Sementara kaisar yang hidup jarang dimakzulkan secara damai; mereka biasanya dibunuh oleh Pengawal Praetorian atau digulingkan oleh jenderal yang bersaing. Makzul di Roma adalah sinonim untuk kekerasan dan ketidakstabilan politik militer.
Contoh klasik kaisar yang kehilangan kendali dan akhirnya dilengserkan adalah Kaisar Didius Julianus, yang membeli takhta dalam lelang. Kekuasaannya dengan cepat dicabut oleh Senat ketika ia gagal mendapatkan dukungan militer menghadapi Septimius Severus. Kasus Julianus menunjukkan bahwa kekuasaan, bahkan dalam monarki yang absolut, bergantung pada dukungan elite dan militer.
Dalam tradisi politik Islam, yang mengatur jabatan Khalifah atau Sultan, terdapat kerangka hukum yang sangat rinci mengenai kondisi di mana seorang pemimpin kehilangan legitimasi dan harus dimakzulkan. Konsep ini disebut al-’Azl (pemecatan).
Kekuasaan Khalifah atau Imamah dalam Islam didasarkan pada Ba'iah (sumpah setia) dari rakyat dan ulama. Sumpah setia ini bersyarat. Jika pemimpin melanggar prinsip-prinsip syariat atau gagal memenuhi kewajiban fundamentalnya, Ba'iah dianggap batal, membuka jalan bagi makzul.
Imam Al-Mawardi (w. 1058 M) dalam karyanya Al-Ahkam as-Sulthaniyyah mengidentifikasi dua kategori utama alasan pemakzulan:
Proses makzul dalam kekhalifahan idealnya dilakukan oleh Ahl al-Hall wa al-'Aqd (Dewan Konsultatif yang terdiri dari ulama terkemuka dan pemimpin masyarakat). Namun, dalam sejarah praktisnya, makzul sering kali dicapai melalui kudeta yang kemudian disahkan oleh fatwa ulama, memberikan legitimasi retrospektif terhadap perubahan kekuasaan yang kejam.
Kekaisaran Ottoman memiliki sejarah makzul yang sangat terstruktur, terutama melalui campur tangan para Ulama Agung (Şeyhülislam) dan Janissary (Pasukan Elite). Makzul di Ottoman sering kali terjadi karena kegagalan militer atau dianggapnya Sultan sebagai individu yang "tidak stabil" atau "tidak kompeten" oleh elite istana.
Contoh signifikan adalah pelucutan Sultan Ibrahim I (Ibrahim Sang Gila) pada 1648. Sultan Ibrahim, karena perilaku eksentriknya dan keborosan yang merusak negara, dimakzulkan melalui fatwa dari Şeyhülislam. Ia ditangkap, dipenjara, dan kemudian dicekik. Kasus ini menegaskan bahwa bahkan Sultan yang dianggap memiliki otoritas Ilahi harus tunduk pada interpretasi Syariah yang dipegang oleh lembaga Ulama jika elite pendukungnya telah kehilangan kepercayaan.
Dengan munculnya monarki konstitusional pada abad ke-17 hingga ke-19, makzul bertransformasi dari kudeta istana menjadi proses yang lebih terinstitusionalisasi, meskipun masih jarang terjadi. Kekuatan untuk memakzulkan kini berpindah dari praetorian guard atau dewan agama ke lembaga legislatif.
Peristiwa Makzul paling penting dalam sejarah Barat yang membentuk monarki konstitusional modern adalah "Revolusi Gemilang" di Inggris pada 1688. Raja James II secara efektif dimakzulkan oleh Parlemen.
Parlemen tidak secara eksplisit menyatakan James II dimakzulkan. Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa James II telah "mengabaikan pemerintahan" dan "memutus kontrak asli antara Raja dan rakyat," sehingga takhta dianggap kosong (vacant). Tindakan ini, yang didukung oleh kekuatan militer William dari Orange, merupakan makzul terselubung yang bertujuan untuk menghindari preseden hukum yang terlalu radikal. Hasilnya adalah Bill of Rights 1689, yang secara permanen membatasi kekuasaan mahkota dan menjadikannya tunduk pada kehendak Parlemen. Sejak saat itu, makzul monarki di negara-negara konstitusional menjadi mustahil selama monarki tetap berada di dalam batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi.
Di abad ke-20, makzul sering kali menjadi hasil akhir dari revolusi populer atau referendum nasional, bukan lagi sekadar keputusan istana. Dalam kasus ini, legitimasi penguasa dicabut langsung oleh rakyat melalui gerakan massa, seringkali didukung oleh militer yang berpihak kepada rakyat.
Mekanisme plebisit ini menunjukkan evolusi makzul dari alat intrik internal monarki menjadi instrumen kedaulatan rakyat yang sah, mengubah total sifat negara dari monarki menjadi republik.
Proses modern ini membutuhkan dasar hukum yang sangat kuat, sering kali melibatkan interpretasi ulang konstitusi. Di negara-negara yang menganut sistem republik, pelucutan kekuasaan terhadap presiden atau kepala negara non-monarki dikenal sebagai impeachment, sebuah proses yang secara etimologi berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama: mengakhiri mandat sebelum waktunya karena penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakmampuan.
Meskipun secara resmi diklasifikasikan sebagai abdikasi, kasus Raja Edward VIII dari Britania Raya pada tahun 1936 menyediakan contoh dramatis bagaimana tekanan moral dan politik dari institusi (Pemerintah dan Gereja) dapat memaksa seorang raja untuk melepaskan takhta, menjadikannya makzul yang hampir sempurna.
Krisis muncul karena keinginan Edward untuk menikahi Wallis Simpson, seorang sosialita Amerika yang telah bercerai dua kali. Kabinet Inggris yang dipimpin oleh Perdana Menteri Stanley Baldwin, serta Gereja Inggris, menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak dapat diterima. Ada beberapa alasan di balik penolakan keras ini:
Edward VIII dihadapkan pada tiga pilihan oleh Baldwin: (1) Mengakhiri hubungan dengan Simpson, (2) Menikahi Simpson melawan saran kabinet (yang akan memaksa kabinet Baldwin untuk mengundurkan diri dan menyebabkan krisis konstitusional masif), atau (3) Mengundurkan diri.
Meskipun Edward memilih jalur abdikasi, prosesnya sepenuhnya dipaksakan oleh lembaga-lembaga yang menopang kedaulatannya. Jika ia menolak abdikasi, Parlemen dipastikan akan mengeluarkan undang-undang untuk memakzulkannya. Dengan demikian, Edward adalah contoh modern penguasa yang dilucuti kekuasaannya, bukan melalui kudeta militer, tetapi melalui penerapan kekuatan moral dan konstitusional yang tak terhindarkan. Ia menandatangani instrumen abdikasi, menjadi Pangeran yang dimakzulkan (Duke of Windsor), dan menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan semi-paksa, sebuah hukuman yang sering diterima oleh penguasa yang digulingkan.
Peristiwa makzul jarang berakhir dengan cepat. Dampaknya bergema melalui dekade, memengaruhi suksesi, stabilitas negara, dan memori kolektif bangsa tersebut.
Makzul hampir selalu memicu krisis suksesi. Jika penguasa yang dimakzulkan memiliki pewaris yang jelas dan didukung, transisi mungkin relatif mulus, seperti naiknya George VI setelah Edward VIII. Namun, sering kali, makzul terjadi karena dinasti dianggap gagal secara keseluruhan, yang berujung pada perubahan dinasti atau, lebih dramatis lagi, perubahan sistem politik.
Di Prancis, setelah penggulingan Kaisar Napoleon III pada 1870 menyusul kekalahan di Perang Franco-Prusia, kegagalan ini tidak hanya memangkas Napoleon tetapi juga mengakhiri sistem kekaisaran kedua secara permanen. Penggulingannya membuka jalan bagi Republik Ketiga, karena rakyat dan elite politik menolak untuk mengembalikan bentuk monarki apa pun, merasa bahwa monarki secara fundamental tidak mampu menjamin stabilitas nasional.
Nasib penguasa yang dimakzulkan sangat bervariasi, dari pengasingan yang nyaman hingga eksekusi yang brutal:
Dalam konteks modern, sejarah makzul berfungsi sebagai pencegah bagi para pemimpin, menunjukkan bahwa bahkan kekuasaan yang dianggap sakral memiliki batas. Undang-undang konstitusi sering kali secara eksplisit mencakup mekanisme pemakzulan (meskipun tidak menggunakan istilah 'makzul' untuk presiden) sebagai cara untuk menginstitusionalisasi perubahan kepemimpinan yang gagal, sehingga mengurangi risiko kudeta berdarah.
Makzul, dalam bentuknya yang paling terstruktur, mengajarkan bahwa kekuasaan absolut harus tunduk pada hukum dan kehendak kedaulatan yang lebih besar, entah itu Parlemen, rakyat, atau Dewan Ulama. Ketika proses ini berhasil, ia memperkuat institusi dan membatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan di masa depan.
Di balik analisis politik dan hukum, terdapat dimensi kemanusiaan yang mendalam dari makzul—perpindahan identitas dan trauma yang dialami oleh penguasa yang tiba-tiba kehilangan segalanya.
Seorang raja dilatih sejak lahir untuk memegang kekuasaan dan identitasnya sepenuhnya terikat pada tahta. Makzul bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi penghancuran total identitas diri. Mereka yang dimakzulkan harus menghadapi kenyataan bahwa mereka, yang selama ini dianggap sebagai perwujudan negara, kini hanyalah warga sipil, atau lebih buruk, musuh negara.
Studi psikologis menunjukkan bahwa penguasa yang dimakzulkan sering kali melalui fase penyangkalan, kemarahan, dan depresi yang parah. Mereka kehilangan tidak hanya kekayaan dan status, tetapi juga lingkungan sosial, tujuan hidup, dan sistem kepercayaan yang mendefinisikan realitas mereka. Transisi ini sangat kontras dengan abdikasimen sukarela yang sering kali disertai dengan rencana pensiun yang terstruktur.
Dalam banyak kasus, trauma ini diperparah oleh pengkhianatan dari orang-orang terdekat—menteri, jenderal, atau bahkan anggota keluarga yang meninggalkan mereka demi rezim baru. Penguasa yang digulingkan sering kali merasa terisolasi secara mendalam, dipandang sebagai relik masa lalu yang berbahaya.
Keluarga kerajaan secara keseluruhan menanggung beban makzul. Anak-anak dan pewaris tiba-tiba kehilangan masa depan yang telah ditentukan oleh hak waris mereka. Mereka dipaksa untuk hidup dalam pengasingan, sering kali tanpa sumber daya yang memadai, dan harus menavigasi dunia modern tanpa gelar atau hak istimewa yang mereka kenal.
Ini menciptakan generasi pewaris yang "terlantar" yang mungkin terus memegang klaim atas takhta yang telah lama hilang. Kehadiran mereka sering menjadi sumber ketegangan politik di negara-negara yang baru bertransisi ke republik, karena mereka mewakili potensi restorasi monarki. Misalnya, para pewaris Bourbon, Habsburg, dan Savoy menghabiskan beberapa generasi mencoba mempertahankan relevansi politik mereka dari balik layar pengasingan.
Setelah makzul terjadi, narasi sejarah yang dominan akan segera ditulis ulang oleh pemenang. Penguasa yang dimakzulkan hampir selalu digambarkan sebagai tiran yang tidak kompeten, lalai, atau korup—pembenaran yang diperlukan bagi rezim baru untuk melegitimasi tindakannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, narasi ini dapat bergeser. Generasi berikutnya mungkin melihat penguasa yang digulingkan dengan simpati, terutama jika rezim pengganti terbukti lebih represif atau tidak stabil. Makzul, oleh karena itu, tetap menjadi titik didih emosional dalam sejarah nasional, mewakili perdebatan abadi tentang siapa yang seharusnya memegang kekuasaan dan dengan batasan apa.
Makzul adalah sebuah ironi dalam sejarah kekuasaan: ketika seorang individu mencapai puncak tertinggi otoritas manusia, ia juga mencapai titik kerentanan yang paling ekstrem. Kehilangan legitimasi adalah kehilangan segalanya, sebuah drama yang telah dimainkan berulang kali sejak awal peradaban, dan setiap kali, ia menegaskan kembali bahwa kekuasaan, bahkan kedaulatan yang diakui secara ilahi, pada akhirnya tunduk pada kehendak politik dan hukum alamiah perubahan.
Diskusi panjang mengenai makzul, mencakup sejarah Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, menegaskan universalitas prinsip bahwa kepemimpinan yang gagal tidak dapat bertahan tanpa batas. Dari hukum syariah hingga konstitusi parlemen modern, ada konsensus bahwa kedaulatan harus dipertanggungjawabkan, dan kegagalan pertanggungjawaban akan selalu membawa konsekuensi politik yang dramatis dan seringkali kejam. Makzul adalah penarikan persetujuan yang paling mendasar, dan selalu menjadi peringatan keras bagi semua penguasa yang berkuasa di bawah mahkota, mahar, atau bendera apa pun.
Meskipun sebagian besar negara di Asia Tenggara beralih dari monarki ke republik melalui revolusi kolonial atau kemerdekaan, konsep makzul secara internal tetap relevan, meskipun mungkin tidak menggunakan istilah formal 'makzul' yang spesifik. Di Indonesia, misalnya, meskipun kepemimpinan adalah presidensial, mekanisme pelucutan kekuasaan (impeachment) terhadap presiden menunjukkan evolusi konsep makzul dari kerangka monarki ke kerangka republik. Pelucutan pemimpin di Indonesia, terutama pada masa reformasi, mencerminkan adanya pengembalian kedaulatan kepada lembaga legislatif dan Mahkamah Konstitusi, yang secara esensial adalah bentuk modern dari pencabutan mandat politik. Proses ini menunjukkan bahwa kekebalan penguasa, yang dulunya dijamin oleh doktrin suci monarki, kini telah dihilangkan sepenuhnya oleh kedaulatan hukum, memastikan tidak ada lagi figur yang benar-benar 'di atas' hukum.
Di Thailand, meskipun monarki tetap dihormati, perubahan perdana menteri dan perebutan kekuasaan militer secara berkala mengilustrasikan ketegangan abadi antara institusi simbolis dan kekuatan politik praktis. Setiap kudeta, meskipun menargetkan perdana menteri, secara tidak langsung menguji batas-batas toleransi terhadap penguasa yang dianggap menyimpang dari norma atau gagal mengamankan stabilitas negara, sebuah prinsip dasar yang sama dengan justifikasi makzul historis.
Makzul yang terjadi di era modern hampir selalu menjadi urusan internasional. Ketika seorang penguasa digulingkan, negara-negara tetangga dan kekuatan besar harus memutuskan apakah mereka akan mengakui rezim baru atau menampung penguasa yang diasingkan. Pengakuan internasional menjadi sumber legitimasi yang krusial bagi pemerintah baru, sementara penolakan dapat memicu perang saudara atau intervensi asing.
Pada kasus Kaisar Haile Selassie dari Ethiopia, yang dimakzulkan oleh junta militer Derg pada 1974, reaksi global awalnya lambat. Namun, ketika junta mulai menunjukkan kekejaman dan mengadopsi ideologi radikal, legitimasi mereka dipertanyakan, meskipun Haile Selassie sendiri akhirnya meninggal dalam penahanan. Kasus ini menunjukkan bahwa makzul tidak hanya memengaruhi struktur domestik, tetapi juga posisi geopolitik negara, sering kali memicu perubahan aliansi dan pengaruh kekuatan regional.
Meskipun makzul selalu terlihat sebagai tindakan radikal dan destruktif, para sejarawan politik berpendapat bahwa dalam konteks tertentu, ia berfungsi sebagai "katup pengaman" yang diperlukan. Jika tidak ada mekanisme untuk menghilangkan pemimpin yang tirani atau tidak kompeten, satu-satunya alternatif yang tersisa adalah perang saudara yang berkepanjangan atau keruntuhan total negara.
Makzul, ketika dijalankan melalui kerangka hukum (seperti yang dituntut oleh Al-Mawardi atau diterapkan oleh Parlemen Inggris pada 1688), adalah upaya untuk mengalirkan energi revolusioner yang destruktif ke dalam saluran kelembagaan yang terkontrol. Tujuannya bukan untuk menghancurkan negara, melainkan untuk menyelamatkan sistem dari kegagalan pemimpin tunggal. Di sinilah letak paradoks makzul: ia adalah tindakan kekerasan politik yang ekstrem, namun ditujukan untuk mencapai stabilitas jangka panjang yang lebih besar.
Secara ringkas, makzul adalah studi kasus abadi tentang batas-batas kekuasaan. Selama manusia membentuk tatanan politik yang dipimpin oleh individu, potensi untuk disalahgunakan dan kegagalan akan selalu ada. Dan selama potensi itu ada, peradaban akan terus menciptakan, baik secara formal maupun informal, mekanisme untuk mencabut mandat kedaulatan, memastikan bahwa tahta manapun, seberapa megah pun ia dihiasi, tetaplah tempat yang rapuh.