Visualisasi Kitab Fiqh dan Tradisi Ilmiah Madzhab Maliki.
Madzhab Maliki adalah salah satu dari empat madzhab fiqh (hukum Islam) Sunni terbesar yang diakui secara luas di dunia, bersama dengan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Madzhab ini didirikan dan dinamakan berdasarkan nama seorang imam besar, yaitu Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, yang dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka pada masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Kekhasan Madzhab Maliki terletak pada pondasi metodologisnya yang kuat, khususnya dalam penghargaan terhadap praktik penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah) dan penggunaan prinsip kemaslahatan umum (Masalih Mursalah) sebagai sumber hukum yang independen.
Madzhab Maliki memiliki peran krusial dalam membentuk tradisi hukum di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan Abbasiyah timur, terutama menyebar luas di Afrika Utara (Maghreb), Afrika Barat, Mesir Hulu, Sudan, dan bahkan mencapai Andalusia (Spanyol Islam) di Eropa. Studi mendalam terhadap madzhab ini memerlukan pemahaman tidak hanya mengenai biografinya, tetapi juga mengenai usul fiqh (prinsip-prinsip hukum) yang unik yang membedakannya secara signifikan dari madzhab-madzhab lainnya.
Imam Malik lahir di Madinah al-Munawwarah sekitar tahun 93 H (712 M) dan wafat pada tahun 179 H (795 M). Kehidupan beliau sepenuhnya dihabiskan di Madinah, kota Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan sumber utama tradisi dan praktik Islam yang otentik. Lingkungan Madinah memberinya akses langsung kepada sumber ilmu dari para Tabi’in dan keturunan Sahabat Nabi.
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits bin Ghayman. Keluarga beliau dikenal memiliki hubungan dekat dengan ilmu. Kakeknya, Abu ‘Amir, adalah salah satu Tabi’in terkemuka. Sejak muda, Imam Malik fokus pada studi hadits dan fiqh, berguru kepada ulama-ulama besar Madinah, termasuk Rabi’ah ar-Ra’yi (seorang fuqaha Madinah yang terkenal dengan penggunaan akal dan qiyas).
Keunggulan Imam Malik adalah kehati-hatiannya yang ekstrem dalam meriwayatkan hadits. Beliau dikenal dengan gelar “Imam Dar al-Hijrah” (Imam Negeri Hijrah), sebuah gelar kehormatan yang menunjukkan posisinya sebagai otoritas tertinggi dalam hadits dan fiqh di Madinah pada zamannya. Diriwayatkan bahwa beliau baru mulai mengajar setelah mendapatkan persetujuan dari 70 ulama Madinah, menunjukkan standar keilmuan yang sangat tinggi.
Karya paling monumental Imam Malik adalah kitab Al-Muwatta’ (Jalan yang Dilalui atau yang Disepakati). Kitab ini bukan sekadar koleksi hadits murni seperti Sahih Bukhari, tetapi merupakan kompendium yang menggabungkan hadits Nabi, fatwa Sahabat, dan pandangan Imam Malik sendiri mengenai fiqh. Struktur Al-Muwatta’ berorientasi pada bab-bab fiqh, yang menjadikannya fondasi utama madzhab Maliki.
Proses penyusunan Al-Muwatta’ memakan waktu puluhan tahun. Dikatakan bahwa awalnya kitab ini berisi ribuan riwayat, namun Imam Malik secara cermat menghilangkan yang lemah dan hanya menyisakan riwayat yang menurutnya paling kuat dan relevan dengan praktik Madinah. Kitab ini menjadi bukti nyata komitmen beliau terhadap tradisi Madinah dan sumber-sumber hukum primer.
"Al-Muwatta’ bukan hanya kitab hadits; ia adalah kitab fiqh yang dibangun di atas tradisi Madinah. Ia mencerminkan pandangan hukum (ra’y) Imam Malik yang terintegrasi dengan transmisi naratif (naql)."
Madzhab Maliki dikenal memiliki daftar sumber hukum (Usul al-Fiqh) yang paling luas di antara madzhab Sunni lainnya. Selain Al-Qur'an dan As-Sunnah (yang merupakan sumber universal), Madzhab Maliki memberikan bobot yang sangat besar kepada sumber-sumber sekunder yang bersifat kontekstual dan rasional, terutama yang berakar dari Madinah.
Ini adalah ciri khas yang paling membedakan Madzhab Maliki. Imam Malik berpendapat bahwa praktik yang secara konsisten dan turun-temurun dilakukan oleh penduduk Madinah, terutama praktik generasi awal (Sahabat dan Tabi’in), memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadits *Ahad* (hadits yang diriwayatkan oleh perorangan) yang mungkin bertentangan. Logika di baliknya adalah bahwa Madinah adalah tempat Nabi ﷺ berhijrah, hidup, dan wafat; oleh karena itu, praktik yang berlaku di sana diyakini merupakan cerminan Sunnah yang otentik dan hidup.
Penggunaan Amal Ahl al-Madinah menunjukkan bahwa bagi Imam Malik, Sunnah bukan hanya teks yang dibukukan, tetapi juga praktik yang diwariskan secara kolektif. Konsep ini adalah manifestasi dari otoritas tradisi sosial-hukum Madinah itu sendiri.
Madzhab Maliki adalah madzhab yang paling gencar menggunakan prinsip Masalih Mursalah (Kepentingan Umum yang Bebas). Ini adalah maslahat (kebaikan atau kemanfaatan) yang tidak secara eksplisit diperintahkan atau dilarang oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi jelas diperlukan untuk menjaga lima tujuan dasar syariat (Maqasid asy-Syari’ah).
Dalam konteks Madzhab Maliki, jika suatu masalah baru muncul dan penerapan teks (Nash) tidak memberikan solusi yang memadai, maka ulama Maliki dapat menggunakan Masalih Mursalah untuk menetapkan hukum, selama solusi tersebut:
Contoh klasik dari penerapan Masalih Mursalah adalah penetapan standar mata uang atau tindakan-tindakan administratif oleh pemerintah yang diperlukan untuk ketertiban masyarakat, seperti pembukuan Al-Qur'an, yang dilakukan oleh Khalifah yang disetujui oleh Imam Malik.
Meskipun Istihsan sering diasosiasikan dengan Madzhab Hanafi, Imam Malik juga menggunakannya, meskipun dengan definisi yang sedikit berbeda. Istihsan dalam Maliki sering didefinisikan sebagai "meninggalkan hasil dari Qiyas (analogi) yang jelas menuju solusi yang lebih lembut, lebih adil, atau lebih sesuai dengan tujuan Syari'ah." Ini sering kali diartikulasikan sebagai bentuk khusus dari Masalih Mursalah.
Terdapat tiga bentuk utama Istihsan dalam Madzhab Maliki:
Madzhab Maliki sangat menekankan prinsip Sadd adz-Dzara’i, yaitu pencegahan hal-hal yang secara formal diperbolehkan (mubah) tetapi berpotensi besar menyebabkan perbuatan haram. Prinsip ini digunakan untuk membatasi atau melarang suatu tindakan yang sah di permukaan, tetapi tujuannya adalah melanggar hukum.
Penerapan prinsip ini sangat ketat dalam Madzhab Maliki. Contohnya, meskipun menjual anggur secara teknis diperbolehkan, jika penjual tahu bahwa anggur itu akan digunakan untuk membuat minuman keras, maka penjualannya dilarang berdasarkan Sadd adz-Dzara’i. Hal ini menunjukkan fokus madzhab ini pada niat dan konsekuensi akhir suatu perbuatan.
Sebagaimana madzhab-madzhab lain, Madzhab Maliki mengakui ‘Urf (adat istiadat atau kebiasaan lokal) sebagai sumber hukum, selama adat tersebut tidak bertentangan dengan teks-teks syariat yang eksplisit. Karena penyebaran madzhab ini di berbagai wilayah budaya (Afrika Utara, Afrika Barat), penyesuaian hukum dengan ‘Urf lokal menjadi sangat penting, memungkinkan fiqh Maliki beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang berbeda.
Setelah wafatnya Imam Malik, para muridnya menyebarkan ajaran beliau ke berbagai penjuru kekhalifahan. Murid-murid utama yang bertanggung jawab atas kodifikasi dan penyebaran madzhab ini antara lain:
Meskipun Al-Muwatta’ adalah fondasi, kitab yang benar-benar menjadi rujukan utama fiqh Maliki adalah Al-Mudawwanah al-Kubra. Kitab ini disusun oleh Sahnun (Abdus Salam bin Sa’id, w. 240 H) berdasarkan jawaban-jawaban fiqh Imam Malik yang diriwayatkan oleh Ibn al-Qasim. Al-Mudawwanah mencakup ribuan isu fiqh yang tidak dibahas secara detail dalam Al-Muwatta’, menjadikannya sumber hukum Maliki yang paling komprehensif.
Afrika Utara (termasuk Tunisia, Aljazair, dan Maroko) menjadi benteng utama Madzhab Maliki. Madzhab ini diterima secara luas karena tradisinya yang berbasis pada Madinah, yang dianggap lebih dekat dengan Sunnah asli dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang dipengaruhi oleh budaya Irak (seperti Hanafi). Di Maroko, Madzhab Maliki adalah madzhab resmi negara dan merupakan identitas spiritual yang kuat.
Penyebaran di Andalusia sangat pesat berkat dukungan dari Dinasti Umayyah di sana. Madzhab Maliki menjadi madzhab resmi di seluruh wilayah Andalusia, menciptakan tradisi intelektual yang kaya, melahirkan ulama besar seperti Ibn Rusyd (Averroes) dan Al-Qurtubi. Dominasi Maliki di Andalusia berlangsung hingga jatuhnya kekuasaan Islam.
Melalui jalur perdagangan Sahara dan migrasi, Madzhab Maliki menancapkan akarnya di Afrika Barat (Nigeria, Mali, Senegal, Mauritania). Kawasan ini, khususnya Timbuktu (Mali), menjadi pusat keilmuan Maliki yang penting di Abad Pertengahan. Fiqh Maliki di sini seringkali berinteraksi erat dengan tradisi sufi Qadiriyyah dan Tijaniyyah.
Meskipun Mesir kemudian didominasi oleh Madzhab Syafi’i, Maliki awalnya sangat kuat, terutama di Mesir Hulu. Para ulama Mesir, seperti Ibn al-Qasim, adalah penafsir utama pandangan Imam Malik, memastikan kelangsungan tradisi ini.
Penggunaan Amal Ahl al-Madinah dan Masalih Mursalah sering menghasilkan perbedaan praktis dalam ritual ibadah (Ibadah) antara Maliki dan madzhab lainnya. Berikut adalah beberapa contoh penting:
Maliki memiliki pandangan yang ketat mengenai niat (Niyyah). Niat dalam wudu atau ghusl harus dilakukan di awal. Selain itu, mereka menekankan pentingnya menggosok anggota badan (*Dalk*) secara menyeluruh saat wudu dan ghusl. Jika air hanya mengalir tanpa digosok, kesuciannya dipertanyakan.
Maliki memiliki konsep yang khas tentang air: jika najis jatuh ke dalam air yang jumlahnya banyak dan najis tersebut tidak mengubah sifat (warna, rasa, bau) air, maka air itu tetap suci dan menyucikan. Ini lebih fleksibel dibandingkan madzhab Syafi’i yang menetapkan batasan dua qullah (sekitar 270 liter).
Dalam Madzhab Maliki, menyentuh wanita non-mahram umumnya tidak membatalkan wudu, kecuali jika sentuhan tersebut disertai niat syahwat atau terjadi secara tidak sengaja dalam kondisi yang memicu syahwat. Hal ini berbeda dengan Syafi’i yang menganggap sentuhan kulit non-mahram selalu membatalkan wudu.
Menurut Maliki, membaca Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) di awal Al-Fatihah saat shalat fardhu tidak disunnahkan, dan tidak boleh dianggap sebagai bagian dari Al-Fatihah itu sendiri, kecuali dalam shalat-shalat sunnah. Mereka berpegangan pada praktik penduduk Madinah yang tidak mengeraskan Basmalah. Basmalah dibaca dalam hati sebagai bentuk *Tabarruk* (mencari berkah) sebelum memulai Fatihah.
Sebagian besar ulama Maliki berpendapat bahwa saat berdiri (Qiyam) dalam shalat fardhu, tangan sebaiknya dibiarkan lurus ke bawah (Sadl), dan tidak disedekapkan di dada atau di atas pusar. Namun, mereka memperbolehkan sedekap dalam shalat sunnah atau jika seseorang ingin menghindari bermain-main dengan pakaiannya. Pendapat ini sangat menonjol di Maghreb dan Afrika Barat.
Qunut (doa khusus setelah ruku’) dalam shalat Subuh tidak dilakukan secara rutin. Qunut hanya dilakukan pada saat-saat tertentu yang genting (*Qunut Nazilah*) untuk mendoakan umat Islam yang sedang tertimpa musibah.
Imam Maliki berpandangan bahwa mengangkat tangan (*Raf’ul Yadayn*) saat ruku’ dan bangkit darinya tidak disunnahkan, kecuali saat Takbiratul Ihram. Ini juga merupakan penekanan pada praktik umum di Madinah yang mereka anggap lebih otentik.
Dalam bidang muamalah (transaksi sipil, ekonomi, dan publik), keunikan Madzhab Maliki lebih menonjol karena penggunaan ekstensif Masalih Mursalah dan Sadd adz-Dzara’i. Hal ini memberikan Maliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi sosial-ekonomi yang berubah.
Maliki menekankan bahwa kontrak dapat terbentuk melalui al-Mu'atah, yaitu persetujuan yang ditunjukkan melalui perbuatan, meskipun tidak ada ucapan ijab qabul yang eksplisit. Contohnya, seseorang mengambil barang di toko, membayar, dan pergi. Ini dianggap sah sebagai akad jual beli, menunjukkan fleksibilitas dalam bentuk formalitas kontrak.
Madzhab Maliki memperbolehkan pengenaan pajak oleh penguasa kepada rakyat jika hal itu dianggap sebagai Masalih Mursalah yang esensial untuk kepentingan umum, meskipun pajak tersebut tidak diatur secara eksplisit dalam teks. Ini mencerminkan pandangan pro-aktif Maliki terhadap fungsi negara dalam mengatur ekonomi dan sosial.
Dalam Maliki, seorang wanita dewasa dan berakal sehat memiliki hak yang lebih besar untuk menentukan pasangannya. Namun, wali (perwalian) tetap diperlukan, terutama untuk memastikan kesamaan status (Kafa'ah) dan menghindari pernikahan yang merugikan. Maliki membagi perwalian menjadi dua: wali mujbir (wali yang bisa memaksa, hanya ayah atas gadis perawan) dan wali non-mujbir.
Dalam isu talak, Maliki relatif ketat dalam mengakui talak tiga yang diucapkan sekaligus (Talak Bid’ah). Meskipun talak tiga yang diucapkan dalam satu majelis adalah makruh atau haram (bid’ah), Maliki cenderung menganggapnya jatuh sebagai tiga talak, yang berarti pasutri tersebut tidak bisa rujuk kecuali wanita itu menikah dan bercerai lagi dengan pria lain (Halalah), sejalan dengan prinsip Sadd adz-Dzara’i untuk mencegah kemudahan dalam mengucapkan talak.
Dalam penerapan hukum pidana, Maliki seringkali memperlihatkan keketatan yang sejalan dengan penekanan pada keadilan kolektif dan pencegahan kejahatan (Sadd adz-Dzara’i).
Maliki menetapkan batasan yang jelas mengenai jumlah minimum (Nishab) barang curian yang mengakibatkan hukuman potong tangan. Mereka juga menekankan bahwa barang curian harus berada di tempat penyimpanan yang aman (*Hırz*) agar hukuman potong tangan bisa diterapkan, tetapi definisi Hırz lebih luas, mencakup tempat yang dianggap aman berdasarkan ‘Urf.
Maliki adalah salah satu madzhab yang paling ketat dalam menghukum peminum khamar. Hukuman cambuknya lebih berat dibandingkan Hanafi. Mereka juga sering menggunakan Masalih Mursalah untuk membenarkan hukuman tambahan bagi pelanggaran publik yang merusak moral masyarakat.
Setelah periode pendirian dan kodifikasi (generasi Al-Mudawwanah), Madzhab Maliki terus berkembang, melahirkan sejumlah besar ulama yang menyusun syarah (penjelasan), mukhtasar (ringkasan), dan fatwa-fatwa penting.
Dikenal sebagai "Malik Kecil" (*Malik as-Shaghir*), ia adalah ulama Maghreb yang menyusun kitab Ar-Risalah. Kitab ini merupakan ringkasan fiqh Maliki yang ringkas dan mudah dipelajari, menjadikannya teks pengantar standar di Afrika Utara selama berabad-abad dan berperan besar dalam mempertahankan Maliki di wilayah tersebut.
Ulama besar Andalusia yang terkenal dengan karya biografis tentang Nabi ﷺ, Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mustafa. Kontribusinya dalam fiqh juga signifikan, terutama dalam bidang Usul Fiqh dan hukum peradilan.
Salah satu filsuf dan ahli fiqh terbesar dari Andalusia. Karyanya yang paling terkenal dalam fiqh komparatif adalah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, di mana ia membahas perbedaan pendapat antara madzhab-madzhab, termasuk Maliki, dan alasan di balik perbedaan tersebut.
Beliau menyusun Mukhtasar Khalil, yang menjadi teks rujukan hukum Maliki paling otoritatif di Afrika Utara. Kehadiran Mukhtasar Khalil sangat dominan sehingga hampir setiap karya Maliki selanjutnya merupakan syarah atau komentar atasnya. Gaya penulisannya yang ringkas dan padat menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama untuk menjelaskannya.
Dua ulama Mesir yang terkenal karena syarah mereka atas teks-teks Maliki yang lebih awal. Syarah Ad-Dasuqi atas syarah Ad-Dardir menjadi salah satu referensi utama Maliki di Mesir dan Timur Tengah, memastikan bahwa tradisi keilmuan Maliki tetap hidup dan terstruktur.
Untuk memahami sepenuhnya Madzhab Maliki, penting untuk menempatkannya dalam konteks perbandingan dengan madzhab-madzhab Sunni lainnya, terutama dalam hal metodologi hukum.
Meskipun Hanafi dan Maliki sering dikategorikan sebagai Ahlu Ra’yi (Pengguna Akal), sumber utama Ra’yi mereka berbeda. Hanafi sangat mengandalkan Istihsan (preferensi hukum rasional) dan Qiyas (analogi) yang sistematis karena kurangnya riwayat Hadits yang kuat di Kufah. Maliki, sebaliknya, memiliki akses ke banyak hadits di Madinah, tetapi mereka menggunakan Ra’yi dalam bentuk yang unik, yaitu Masalih Mursalah dan Amal Ahl al-Madinah.
Perbedaan kunci: Hanafi cenderung fokus pada *hukum yang logis secara abstrak* (Qiyas), sementara Maliki fokus pada *hukum yang praktis dan menjaga kemaslahatan masyarakat yang hidup* (Masalih).
Syafi’i, yang merupakan murid dari murid Imam Malik (Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan Ibn al-Qasim), berusaha mendamaikan antara Ahlu Hadits dan Ahlu Ra’yi. Imam Syafi’i sangat tegas menolak konsep Amal Ahl al-Madinah sebagai sumber hukum independen. Bagi Syafi’i, Sunnah harus didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan, bukan pada praktik kolektif suatu kota, betapapun mulianya kota itu. Ini adalah perbedaan metodologis fundamental yang memisahkan dua madzhab tersebut.
Selain itu, Syafi’i membatasi penggunaan Masalih Mursalah, hanya menerima kemaslahatan yang didukung oleh teks Syari’ah (*Masalih Muqayyadah*), sedangkan Maliki mengizinkan Masalih yang bebas (*Masalih Mursalah*).
Tradisi Maliki, terutama di Maghreb dan Afrika Barat, terkenal dengan sistem pembelajaran yang sangat mengutamakan hafalan, transmisi riwayat, dan syarah mendalam terhadap teks-teks ringkas seperti Ar-Risalah dan Mukhtasar Khalil. Pusat-pusat studi seperti Fez (Maroko) dan Kairouan (Tunisia) memastikan transmisi keilmuan yang berkelanjutan hingga kini.
Madzhab Maliki, dengan landasan metodologisnya yang unik, menunjukkan relevansi yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan hukum di dunia modern, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik dan administrasi negara.
Prinsip Masalih Mursalah menjadikan Maliki sangat adaptif dalam merumuskan hukum publik modern. Dalam yurisprudensi Maliki, negara memiliki ruang gerak yang besar untuk membuat undang-undang administratif, ekonomi, dan kesehatan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban umum (Maslahah), selama undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan Nash yang eksplisit.
Sebagai contoh, banyak negara dengan warisan Maliki (seperti Maroko) menggunakan dasar kemaslahatan untuk mengatur lalu lintas, menetapkan standar sanitasi, atau mengelola sumber daya alam—tindakan yang sulit dicakup secara langsung oleh teks-teks fiqh klasik lainnya.
Fokus Maliki pada Sadd adz-Dzara’i memiliki implikasi penting dalam fiqh lingkungan dan etika bisnis. Prinsip ini dapat digunakan untuk melarang kegiatan ekonomi yang, meskipun sah, secara bertahap merusak lingkungan atau stabilitas sosial. Misalnya, suatu investasi dapat dilarang jika diketahui bahwa ia secara bertahap mengarah pada monopoli pasar yang merugikan masyarakat luas, meskipun tidak ada teks yang melarang investasi tersebut secara langsung.
Kecenderungan Maliki untuk mempertimbangkan konteks lokal (‘Urf) dan kemaslahatan umum memungkinkan dialog yang lebih terbuka dengan sistem hukum internasional. Karena hukum Maliki telah terbiasa berinteraksi dengan berbagai budaya (terutama di Afrika Barat dan Andalusia), ia memiliki kerangka kerja untuk mengakomodasi perjanjian dan norma internasional yang bertujuan untuk maslahat global.
Meskipun memiliki fleksibilitas, Madzhab Maliki menghadapi tantangan dalam interpretasi teks klasik. Salah satunya adalah dominasi Mukhtasar Khalil yang sangat ringkas, seringkali membutuhkan pengetahuan mendalam tentang syarah-syarahnya untuk memahami makna yang tepat. Selain itu, praktik ‘Sadl’ (tangan lurus) dalam shalat sering menjadi subjek perdebatan di antara komunitas Muslim yang berbeda, meskipun ia merupakan manifestasi otentik dari tradisi Madinah yang dipegang teguh Maliki.
Madzhab Maliki adalah madzhab yang unik, menjembatani antara penghormatan mutlak terhadap tradisi Nabi ﷺ di Madinah dan kebutuhan akan penalaran hukum yang cerdas untuk menjaga kemaslahatan umum. Imam Malik bin Anas berhasil membangun sebuah sistem yurisprudensi yang kokoh, di mana Sunnah tidak hanya diukur dari riwayat hadits individu, tetapi juga dari praktik kolektif sebuah komunitas yang hidup di bawah naungan Nabi.
Kekuatan Madzhab Maliki terletak pada prinsip Masalih Mursalah, yang memberikan kemampuan adaptasi yang luar biasa dalam menjawab isu-isu baru; dan Amal Ahl al-Madinah, yang berfungsi sebagai penguat autentisitas tradisi. Penyebaran madzhab ini di seluruh Afrika, dari Maroko hingga Nigeria, membuktikan bahwa fondasi hukumnya resonansi dengan kebutuhan masyarakat yang beragam dan membutuhkan kerangka hukum yang praktis, adil, dan berakar kuat pada tradisi Islam klasik.
Dengan demikian, studi tentang Maliki bukan hanya studi sejarah hukum Islam, tetapi juga pelajaran tentang bagaimana tradisi dapat berinteraksi secara dinamis dengan akal dan realitas sosial, menjadikannya warisan abadi dari "Imam Dar al-Hijrah."
Penyebaran Madzhab Maliki tidak terlepas dari konteks geopolitik dan dukungan politik yang diberikan kepadanya. Berbeda dengan Madzhab Hanafi yang didukung oleh Kekhalifahan Abbasiyah di timur, Maliki menemukan dukungan kuat di pusat-pusat kekuasaan yang cenderung otonom di barat.
Ketika Kekhalifahan Umayyah runtuh di Damaskus dan Bani Umayyah mendirikan kekuasaan baru di Cordoba, mereka mencari legitimasi spiritual yang berbeda dari Abbasiyah. Imam Malik, yang hubungannya dengan Abbasiyah kadang-kadang tegang (bahkan beliau pernah dicambuk di bawah Khalifah Al-Mansur karena berfatwa menentang sumpah bai’at paksa), menjadi figur ideal. Para penguasa Umayyah Cordoba secara resmi mengadopsi Madzhab Maliki, mengimpor ulama Maliki, dan mendirikan sistem peradilan berdasarkan Al-Muwatta’ dan Al-Mudawwanah. Ini memastikan Maliki menjadi identitas hukum di Andalusia dan, melalui hubungan budaya dan perdagangan, di seluruh Maghreb.
Di wilayah Maghreb, Madzhab Maliki diperkuat oleh dinasti-dinasti lokal. Dinasti Idrisiyah (Maroko) dan kemudian Almoravid (Murabitun) dan Almohad (Muwahhidun) secara konsisten mendukung Maliki. Khususnya di bawah Murabitun, Maliki mencapai puncak pengaruhnya. Para ulama Maliki yang ketat (seperti Ibn Tufayl dan Ibn Rushd) memiliki posisi tinggi dalam pemerintahan dan sistem pendidikan. Hal ini menciptakan masyarakat di mana fiqh Maliki tidak hanya dipraktikkan di pengadilan, tetapi juga di setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Di wilayah Sahel (Mali, Niger, Mauritania), Maliki menyebar melalui para pedagang dan ulama sufi. Maliki di Afrika Barat dikenal karena adaptasinya yang mendalam terhadap ‘Urf (adat) suku setempat, khususnya dalam hukum waris dan kontrak tanah, yang sering diintegrasikan dengan prinsip Masalih Mursalah. Sinkretisme ini memungkinkan Islam berakar kuat tanpa sepenuhnya menghancurkan struktur sosial tradisional, menciptakan tradisi Maliki yang khas, yang terlihat dari pentingnya peran ulama-ulama Timbuktu dan Jenne.
Untuk memahami kedalaman Madzhab Maliki, kita harus melihat perbedaan spesifik yang berasal dari Usul Fiqh mereka.
Meskipun Maliki mengikuti aturan dasar Al-Qur'an tentang waris, dalam hal ahli waris yang terhalang, Maliki terkadang memiliki pandangan yang berbeda. Contoh yang terkenal adalah konsep "Al-Mas’alah al-Minbariyyah" (Isu Mimbar), yang merupakan kasus kompleks dalam perhitungan waris yang ditangani secara berbeda oleh berbagai madzhab, menunjukkan nuansa dalam interpretasi tekstual.
Madzhab Maliki memiliki pandangan yang lebih fleksibel mengenai harta wakaf (Endowment). Maliki membolehkan wakaf yang bersifat temporal (*Waqf Mu’aqqat*), artinya wakaf tersebut bisa dibatalkan atau berakhir setelah jangka waktu tertentu atau ketika tujuannya tercapai. Madzhab lain (seperti Syafi’i dan Hanafi) cenderung melihat wakaf harus bersifat abadi (*Waqf Mu’abbad*). Fleksibilitas ini didasarkan pada Masalih Mursalah untuk mendorong lebih banyak orang melakukan wakaf, bahkan jika mereka hanya mampu melakukannya untuk waktu yang terbatas.
Hakim Maliki memiliki diskresi yang luas (*Taqdir al-Qadhi*) dalam memutuskan kasus, terutama dalam kasus pidana yang hukumannya tidak ditetapkan secara eksplisit (Ta’zir). Diskresi ini didukung oleh prinsip Masalih Mursalah. Hakim Maliki diperbolehkan menjatuhkan hukuman yang dianggap paling efektif untuk memperbaiki pelanggar dan mencegah kejahatan di masyarakat, yang mungkin melampaui batas-batas hukuman Ta’zir yang umum di madzhab lain.
Maliki adalah madzhab yang paling ketat dalam menerapkan prinsip Sadd adz-Dzara’i dalam transaksi riba. Mereka melarang tidak hanya riba yang jelas (Riba an-Nasi’ah, riba penundaan) tetapi juga berbagai bentuk penjualan yang mengarah pada riba atau ketidakadilan, yang dikenal sebagai Ba'i al-Gharar (penjualan spekulatif) dan praktik-praktik yang dikenal sebagai ‘Inah (menjual kembali barang yang sama untuk mendapatkan uang tunai dengan bunga terselubung).
Kekakuan ini memastikan bahwa setiap transaksi keuangan Maliki harus didasarkan pada nilai riil dan tidak boleh membuka "jalan" (dzari’ah) menuju penindasan ekonomi atau spekulasi yang berlebihan. Ini adalah warisan yang sangat relevan dalam pengembangan perbankan syariah kontemporer.
Pengembangan Madzhab Maliki tidak berhenti pada Imam Malik. Ribuan ulama telah memperkaya tradisi ini. Untuk memahami kedalaman keilmuan Maliki, perlu diulas beberapa figur kunci lainnya yang tidak hanya menyalin, tetapi juga mengembangkan dan mempertahankan madzhab ini dalam menghadapi berbagai tantangan teologis dan politik.
Ulama besar Andalusia yang dikenal sebagai salah satu ulama hadits terbesar pada masanya. Karyanya yang berjudul At-Tamhid li ma fi Al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid adalah syarah paling rinci dan paling otoritatif atas Al-Muwatta’. Dalam At-Tamhid, Ibn ‘Abdul Barr tidak hanya menjelaskan hadits, tetapi juga menelusuri sanad (rantai perawi) secara mendalam, membuktikan betapa Madzhab Maliki sangat mengutamakan hadits di samping Amal Ahl al-Madinah.
Seorang ulama Mesir yang merupakan ahli Usul Fiqh dan logika. Karya utamanya, Al-Furuq, membahas perbedaan-perbedaan metodologis (furuq) antara berbagai aturan fiqh. Al-Qarafi dikenal karena membawa pendekatan yang sangat sistematis dan filosofis ke dalam fiqh Maliki, memastikan bahwa prinsip-prinsip Maliki tetap koheren dan logis dalam menghadapi kritik dari madzhab lain.
Meskipun sering dikenal sebagai ahli Usul Fiqh secara umum, Syathibi adalah seorang ulama Maliki Andalusia yang karyanya, Al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, dianggap sebagai puncak pemikiran dalam teori Maqasid asy-Syari’ah (Tujuan Syari’ah). Syathibi merumuskan secara definitif bagaimana Masalih Mursalah harus digunakan, yaitu hanya jika ia benar-benar bertujuan untuk menjaga Dinar (Agama), Nafs (Jiwa), Aql (Akal), Nasl (Keturunan), dan Mal (Harta). Karyanya memberikan landasan teoritis yang kuat bagi penggunaan Maslahah dalam fiqh Maliki.
Madzhab Maliki memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana pemerintahan dijalankan di wilayahnya, terutama dalam mendefinisikan hubungan antara penguasa dan rakyat.
Meskipun Imam Malik sendiri berani menentang penguasa Abbasiyah dalam isu-isu tertentu, pandangan umum Madzhab Maliki menekankan pentingnya ketaatan kepada penguasa yang sah, bahkan jika penguasa tersebut zalim, selama ketaatan tersebut menjaga stabilitas (*Maslahah ad-Darurah*). Prinsip ini muncul dari pelajaran pahit Fitnah (perpecahan politik) di masa awal Islam. Kekuatan Madzhab Maliki di Afrika Utara dan Andalusia didasarkan pada hubungan yang erat antara ulama dan istana, di mana ulama berfungsi sebagai penasihat untuk memastikan keputusan didasarkan pada Syari’ah dan Maslahah.
Dalam Fiqh Maliki tentang Siyar (hukum perang), penggunaan Sadd adz-Dzara’i sangat kentara. Maliki lebih berhati-hati dalam menyatakan perang dan lebih menekankan pentingnya perjanjian dan gencatan senjata jika itu menjamin kemaslahatan umat Islam. Dalam beberapa kasus, Maliki memberikan ruang yang lebih besar bagi perlakuan terhadap tawanan perang yang sesuai dengan Maslahah yang ditetapkan oleh Imam (pemimpin negara).
Dalam hukum pembunuhan, Maliki mempertahankan praktik klasik Madinah yang dikenal sebagai Qasamah. Qasamah adalah sumpah kolektif yang dilakukan oleh kerabat korban di mana jika ada mayat ditemukan di lingkungan tertentu, dan mereka menuduh seseorang dari lingkungan tersebut sebagai pelaku, mereka harus bersumpah 50 kali. Jika mereka bersumpah, mereka berhak atas diyat (ganti rugi). Meskipun konsep ini jarang digunakan dalam yurisprudensi modern, keberadaannya dalam fiqh Maliki menunjukkan penghormatan mereka terhadap tradisi yudisial kuno Madinah.
Karena fokusnya pada tradisi Madinah, Maliki juga dikenal dengan sikap yang sangat berhati-hati terhadap inovasi agama (Bid'ah). Meskipun Masalih Mursalah memungkinkan inovasi dalam urusan duniawi, dalam urusan ibadah murni (*ta’abbudi*), ulama Maliki cenderung sangat konservatif.
Imam Malik terkenal dengan ungkapannya, "Tidak akan menjadi baik bagi umat akhir zaman kecuali dengan apa yang telah menjadi baik bagi umat yang awal." Ini menunjukkan komitmennya pada model perilaku Sahabat dan Tabi’in di Madinah. Oleh karena itu, Maliki seringkali menolak praktik-praktik ibadah baru yang tidak memiliki preseden jelas dalam Amal Ahl al-Madinah, meskipun praktik tersebut mungkin dianggap mustahab (dianjurkan) di madzhab lain.
Sikap ini, digabungkan dengan prinsip Sadd adz-Dzara’i, menghasilkan kecenderungan untuk memblokir jalan-jalan yang dapat mengarah pada Bid’ah yang lebih besar. Pendekatan ini adalah inti dari identitas Maliki, yang mendefinisikan dirinya sebagai penjaga tradisi murni (Ahlu Hadits) yang dihidupkan dalam praktik, bukan hanya dalam teks.