Dalam khazanah bahasa Indonesia yang diperkaya oleh tradisi keraton, terdapat hierarki leksikal yang membedakan tingkat sosial seseorang bahkan dalam peristiwa paling universal: kematian. Istilah umum seperti meninggal atau wafat merujuk pada kepergian manusia biasa, namun ketika membahas penguasa tertinggi—seorang raja, sultan, atau maharaja—bahasa beralih ke ranah yang lebih formal, sakral, dan bermuatan politik: mangkat.
Peristiwa mangkat bukanlah sekadar akhir dari kehidupan biologis seorang individu; ia adalah titik balik kosmik dan politik bagi seluruh kerajaan. Ia menandai perpindahan kekuasaan Ilahiah, kekosongan sementara dalam tatanan duniawi, dan dimulainya serangkaian protokol yang ketat, dirancang untuk memastikan kesinambungan kekuasaan dan mencegah anarki. Kajian ini akan menelusuri bagaimana peristiwa mangkat dipahami, dirayakan, dan diatasi di berbagai istana Nusantara, dari kemegahan Majapahit hingga kedaulatan Mataram dan kesultanan-kesultanan maritim.
Secara etimologi, kata mangkat dalam bahasa Jawa Kuno memiliki makna yang multidimensi, jauh melampaui arti harfiah 'meninggal'. Ia sering dikaitkan dengan makna ‘berangkat ke tempat yang lebih tinggi’ atau ‘naik takhta’. Dalam konteks kematian raja, mangkat secara implisit mengandung makna bahwa sang raja tidak benar-benar lenyap, melainkan beralih status dari penguasa dunia fana menjadi dewa leluhur (dewa pitara) atau arwah suci yang akan terus menjaga dan memberi berkah kepada keturunannya dan kerajaan. Pilihan kata ini adalah deklarasi teologis bahwa raja adalah entitas yang berbeda, kekuasaannya tidak dapat punah, hanya berubah bentuk.
Perbedaan terminologi ini sangat penting dalam sistem monarki yang mengklaim legitimasi ilahi. Ketika seorang raja mangkat, ia menapaki jenjang spiritual baru, menjadi bagian dari rantai spiritual yang mengikat pendiri dinasti dengan penguasa saat ini. Konsep ini, yang berakar kuat pada tradisi Hindu-Buddha kuno Nusantara (terutama Dewaraja di Jawa dan Khmer), kemudian diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam tradisi Islam di mana sultan diyakini sebagai Khalifatullah atau perwakilan Tuhan di muka bumi. Maka, mangkat adalah sebuah transisi suci.
Saat-saat menjelang dan sesudah mangkat merupakan periode yang paling sensitif. Protokol yang dijalankan tidak hanya bersifat administratif tetapi juga ritualistik, bertujuan untuk menenangkan kekuatan kosmik yang berpotensi bergejolak akibat hilangnya Cakra (pusat energi) dari raja yang berkuasa. Segala keputusan harus diambil oleh dewan penasihat yang terdiri dari Patih atau Mangkubumi, ulama tertinggi (jika kerajaan Islam), dan anggota senior keluarga kerajaan.
Simbol Mahkota yang menandakan kedaulatan dan transisi kekuasaan setelah mangkat.
Bila seorang raja mangkat tanpa pewaris yang jelas atau tanpa mandat dewan yang kuat, periode transisi sering berubah menjadi Perang Suksesi yang destruktif. Sejarah Nusantara dipenuhi dengan catatan konflik berdarah yang dipicu oleh kekosongan takhta. Legitimasi suksesi tidak hanya diukur dari garis keturunan, tetapi juga dari kepemilikan pusaka dan, yang terpenting, dukungan dari para ulama (bagi kesultanan Islam) atau bangsawan regional (para adipati).
Salah satu contoh paling dramatis dari kompleksitas suksesi pasca mangkat adalah serangkaian peristiwa yang terjadi di Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-17. Ketika seorang sultan besar mangkat, faksi-faksi internal yang dipimpin oleh pangeran-pangeran yang iri atau didukung oleh kekuatan luar (misalnya, VOC) segera memperebutkan hak untuk duduk di Sitinggil (takhta). Konflik ini seringkali bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan naratif dan spiritual, di mana setiap calon mengklaim memiliki tanda-tanda supranatural sebagai pewaris yang sah, termasuk klaim mimpi atau wangsit (wahyu) dari almarhum raja.
Ketika Sri Rajasanagara, atau Hayam Wuruk, mangkat, Majapahit berada di puncak kejayaannya. Namun, bahkan di bawah struktur pemerintahan yang kuat, peristiwa mangkat menciptakan kegelisahan. Menurut sumber-sumber seperti Nagarakretagama, kematian raja digambarkan bukan sebagai kesedihan semata, melainkan sebagai kembalinya dewa Wisnu ke kahyangan. Ritual pasca-mangkat Hayam Wuruk adalah proyek arsitektural dan spiritual masif, di mana raja secara anumerta didharmakan di candi yang dirancang khusus. Prosesi ini menegaskan kembali konsep bahwa raja mangkat adalah Dewaraja yang berpindah dimensi, bukan yang hilang. Fokus Majapahit adalah pada deifikasi raja untuk memperkuat legitimasi pewarisnya, yakni menantu raja yang didukung oleh Ratu Suhita.
Peran Dharma Pura atau kompleks candi pemakaman menjadi sangat sentral. Ini bukan hanya makam; ini adalah portal di mana raja yang telah mangkat terus menerima persembahan dan dapat dimintai perlindungan. Kompleksitas ini membutuhkan mobilisasi sumber daya dan tenaga kerja yang luar biasa, memastikan bahwa peristiwa mangkat seorang raja adalah peristiwa nasional yang mengukuhkan ideologi kerajaan, bahkan di tengah ketegangan internal yang mulai muncul. Kesalahan dalam menjalankan ritual ini dapat dianggap sebagai pertanda buruk, yang berpotensi melemahkan klaim pewaris baru. Dengan demikian, upacara penguburan dan pendharmaan menjadi ujian kekompakan elite kerajaan.
Di Mataram Islam, terutama setelah era Sultan Agung, konsep mangkat diwarnai oleh sinkretisme yang mendalam. Sultan yang mangkat tidak hanya menjadi arwah leluhur tetapi juga menjadi waliyullah (kekasih Allah). Pemakaman di Imogiri, yang dibangun di atas bukit yang sakral, mencerminkan pemahaman ini. Ketika Sultan Agung mangkat, transisi ke Amangkurat I (Sunan Tegalwangi) diwarnai oleh kekejaman politik yang ekstrem, menunjukkan betapa berbahayanya kekosongan kekuasaan.
Setiap calon raja harus membuktikan bahwa dirinya telah menerima Wahyu Keprabon (wahyu kekuasaan) melalui tapa, meditasi, atau melalui penampakan spiritual. Kematian raja yang mangkat sering digunakan sebagai alat retorika oleh para pangeran yang bersaing. Mereka akan menuduh saingannya telah gagal menghormati mendiang raja atau melanggar kesucian istana, sehingga kehilangan restu spiritual untuk memimpin. Oleh karena itu, periode setelah mangkat adalah masa di mana kekuatan magis dan politis berjalan beriringan, menghasilkan ketegangan kronis yang sering berujung pada pecahnya dinasti.
Peristiwa mangkat Amangkurat I di Tegalwangi adalah contoh klasik krisis suksesi yang diperparah oleh intervensi asing. Kematiannya yang mendadak memaksa Sunan Amangkurat II untuk membangun basis kekuasaan baru dan memindahkan pusat pemerintahan, menandai era perpecahan Mataram yang panjang. Keadaan yang kacau balau ini membuktikan bahwa meskipun seorang raja telah mangkat, bayangan spiritual dan politiknya tetap menjadi faktor penentu dalam stabilitas negara.
Pusaka Keris, simbol spiritual yang harus diamankan segera setelah raja mangkat.
Prosesi pemakaman raja yang mangkat merupakan puncak dari rangkaian upacara kebesaran. Ritual ini dirancang untuk menunjukkan kepada rakyat dan dunia bahwa meskipun sang raja telah pergi, institusi keraton tetap kokoh, dan bahwa sang raja telah mencapai kesempurnaan. Setiap langkah prosesi—dari saat jenazah dipersiapkan hingga dimakamkan di kompleks Makam Keramat—adalah simbol kekuasaan dan keyakinan spiritual.
Dalam tradisi Jawa, jenazah raja yang mangkat diarak tidak hanya oleh para bangsawan dan abdi dalem, tetapi juga oleh benda-benda pusaka paling keramat. Kereta atau joli yang digunakan untuk mengangkut jenazah sering kali adalah benda pusaka itu sendiri, yang hanya dikeluarkan untuk peristiwa-peristiwa penting, seperti penobatan dan pemakaman raja. Kehadiran ribuan abdi dalem yang mengenakan pakaian berkabung khusus, membawa payung kebesaran (songsong), dan tombak pusaka, menciptakan pemandangan yang tak tertandingi, memperkuat narasi kekuasaan yang tak tergoyahkan.
Tergantung pada tradisi lokal, terdapat perbedaan signifikan dalam cara tubuh raja yang mangkat diperlakukan:
Yang paling penting dari semua ritual ini adalah pengakuan publik terhadap suksesi yang telah ditetapkan. Di akhir pemakaman, pewaris baru secara simbolis mengambil alih posisi almarhum, seringkali dengan menyentuh atau mengenakan salah satu pusaka yang baru saja digunakan dalam prosesi mangkat tersebut. Ini adalah momen transisi visual dan spiritual, penegasan bahwa kekuasaan telah berpindah secara sah.
***
Setelah penguburan, status raja yang mangkat mengalami transformasi total. Ia berhenti menjadi subjek politik yang fana dan menjadi kekuatan spiritual abadi—seorang Leluhur Agung. Kompleks makamnya (disebut juga Sarean Dalem atau Pasareyan) menjadi pusat ziarah spiritual, yang bukan hanya dikunjungi oleh keluarga kerajaan tetapi juga oleh rakyat biasa yang mencari berkah (ngalap berkah).
Keyakinan ini menghasilkan praktik budaya yang kompleks. Misalnya, hari-hari tertentu dalam kalender Jawa (seperti Malam Jumat Kliwon) dikhususkan untuk membersihkan dan merawat makam. Kegiatan ini melibatkan abdi dalem khusus yang tugasnya diwariskan, memastikan bahwa perhatian terhadap raja yang mangkat tidak pernah berkurang, karena kesejahteraan kerajaan diyakini sangat bergantung pada kedamaian arwah leluhur.
Arsitektur makam raja yang mangkat adalah cerminan ideologi kosmologis yang mendalam. Mereka umumnya dibangun berjenjang, meniru struktur gunung suci (Meru) atau Candi Hindu-Buddha. Setiap tingkatan memiliki makna: tingkatan terbawah untuk bangsawan junior, dan tingkatan tertinggi, yang paling sakral, adalah tempat peristirahatan raja dan permaisuri utama.
Pintu gerbang makam (gapura) sering kali menjadi penanda penting. Gerbang ini dirancang tidak hanya sebagai akses fisik, tetapi sebagai pemisah antara dunia fana (jabang) dan dunia suci (alam arwah). Melewati gerbang ini membutuhkan tata krama dan pakaian khusus. Di dalam kompleks, terdapat pula arsitektur pendukung seperti masjid kecil atau pendopo yang digunakan untuk ritual tahlilan dan meditasi, menunjukkan bahwa ibadah kepada Tuhan dan penghormatan kepada raja yang telah mangkat saling terjalin.
Batu nisan (kijing) para raja, terutama di Jawa dan Aceh, seringkali diukir dengan kaligrafi indah yang memuat silsilah, gelar-gelar panjang, dan tanggal mangkat, berfungsi sebagai prasasti sejarah. Di sinilah narasi kekuasaan raja tersebut diabadikan dalam bentuk fisik, menjamin bahwa kekuasaannya berlanjut bahkan setelah ia berpindah dimensi.
***
Meskipun memiliki akar yang sama dalam tradisi Nusantara, prosesi mangkat di kesultanan maritim memiliki nuansa yang berbeda, terutama karena pengaruh Islam yang lebih awal dan kuat, serta ketergantungan pada jaringan perdagangan internasional.
Di Kesultanan Aceh, yang dikenal sebagai ‘Serambi Mekah’, seorang Sultan yang mangkat harus melalui proses yang sangat ketat yang diawasi oleh Majelis Ulama (Balai Fiqah) dan panglima-panglima besar (Ulee Balang). Meskipun kekuasaan sultan bersifat mutlak, legitimasi spiritual pasca mangkat sangat bergantung pada penerimaan komunitas ulama. Kematian sultan adalah ujian bagi sistem hukum syariah yang diterapkan di kerajaan tersebut.
Ketika seorang Sultanah (Ratu) mangkat—seperti yang terjadi pada masa empat Sultanah Aceh—kompleksitasnya berlipat ganda karena isu gender dalam kepemimpinan Islam. Namun, prosesi mangkat tetap dilaksanakan dengan segala kehormatan kerajaan, menegaskan bahwa kedaulatan yang mereka miliki adalah sah dan tidak terputus. Pemakaman dilakukan sesuai rukun Islam, namun ditambah dengan kebesaran militer, mencerminkan sifat Aceh sebagai kekuatan maritim yang defensif.
Di Sulawesi Selatan, tradisi Kerajaan Bugis dan Makassar mencerminkan paduan antara kepercayaan pra-Islam (seperti konsep dewata dan tomanurung—orang yang turun dari langit) dengan Islam. Ketika seorang Raja Gowa atau Bone mangkat, transisi tersebut tidak hanya dilihat sebagai kematian, tetapi sebagai kembalinya roh kepada asal usulnya. Meskipun prosesi pemakaman dilakukan secara Islam (dikuburkan), makam-makam raja Bugis sering kali dijaga oleh para penjaga khusus yang melafalkan mantra-mantra kuno, menunjukkan penghormatan yang berkelanjutan terhadap aspek mistis kedaulatan.
Di Bugis, masa pasca mangkat sangat krusial karena adanya Dewan Adat (Pabbicara) yang memiliki kekuasaan besar dalam menentukan pengganti. Jika raja mangkat tanpa meninggalkan wasiat yang jelas, Dewan Adat akan menentukan pewaris yang paling ‘mewarisi kesaktian’ atau paling pantas secara spiritual dan politis, yang seringkali memicu ketegangan antara berbagai klan bangsawan.
***
Fokus utama dari setiap protokol mangkat adalah rekonsiliasi. Kekosongan kekuasaan menciptakan lubang spiritual yang perlu ditutup secepat mungkin. Kegagalan dalam rekonsiliasi tidak hanya berarti perang saudara, tetapi juga keretakan dalam tatanan kosmik yang diyakini menaungi kerajaan.
Untuk menstabilkan situasi, kerajaan-kerajaan Nusantara sangat mengandalkan simbolisme. Segera setelah jenazah raja yang mangkat dibawa keluar dari keraton, pusaka-pusaka utama diletakkan di Sitinggil atau tempat penobatan. Pusaka ini berfungsi sebagai simbol kedaulatan interim, seolah-olah pusaka tersebut sendiri yang memerintah selama pewaris baru belum dinobatkan. Ini adalah cara cerdik untuk memastikan bahwa meskipun manusia rajanya telah tiada, kedaulatan (kekuatan spiritual di balik pemerintahan) tetap ada dan tak tersentuh.
Upacara penobatan pewaris baru, yang sering dilakukan dalam waktu relatif singkat setelah pemakaman, selalu diselenggarakan dengan upacara yang lebih megah daripada penobatan biasa, menekankan bahwa raja baru adalah penyambung api kedaulatan yang telah diwariskan oleh pendahulunya yang telah mangkat. Raja baru wajib melakukan ziarah ke makam pendahulunya, memohon restu (nyekar), dan bersumpah di hadapan pusaka, sebuah tindakan yang mengikatnya secara spiritual kepada roh Leluhur Agung.
Peristiwa mangkat juga memiliki dampak ekonomi yang besar. Masa berkabung resmi, yang dapat berlangsung 40 hari (seperti tradisi Islam) atau lebih lama, menghentikan banyak aktivitas ekonomi, terutama pasar dan kegiatan perdagangan besar. Pajak-pajak tertentu mungkin ditangguhkan sebagai tanda duka cita. Mobilisasi sumber daya untuk pemakaman yang megah dan pembangunan makam yang monumental juga menyedot kas kerajaan, yang menjadi beban tambahan bagi pewaris yang baru naik takhta.
Namun, pengorbanan ini dianggap perlu. Kemegahan ritual mangkat adalah investasi politik. Ia mengirimkan pesan yang kuat kepada rakyat: bahwa kerajaan memiliki sumber daya dan organisasi yang memadai untuk mengatasi krisis terbesar, dan bahwa penguasa yang baru memiliki legitimasi penuh untuk menuntut kepatuhan.
***
Meskipun sebagian besar monarki di Indonesia telah beralih status menjadi lembaga kebudayaan atau bagian dari Pemerintah Daerah, peristiwa mangkat seorang sultan atau raja tetap menjadi peristiwa yang disorot secara nasional dan regional. Protokol telah diadaptasi agar sesuai dengan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun inti ritualnya tetap dipertahankan dengan penuh khidmat.
Di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, misalnya, ketika seorang Sultan/Sunan mangkat, upacara Jumenengan (penobatan) pewaris dilakukan sesuai adat istiadat kuno, meskipun pengakuan resmi kini juga memerlukan persetujuan konstitusional atau administratif. Pewaris yang ditunjuk tetap harus melalui prosesi spiritual dan ziarah ke makam leluhur di Imogiri atau Astana Giribangun, menunjukkan bahwa mandat spiritual yang didapat dari raja yang mangkat masih menjadi prasyarat utama kedaulatan.
Dalam konteks modern, berita mangkat seorang raja biasanya disampaikan melalui media massa, bukan lagi gong keraton. Namun, masa berkabung yang diumumkan di wilayah keraton (seperti penggunaan bendera setengah tiang di lingkungan keraton dan larangan membunyikan gamelan keras) masih diterapkan. Adaptasi ini menunjukkan bahwa meskipun fungsi politik absolut telah berubah, fungsi sosiokultural dan spiritual dari peristiwa mangkat tetap vital bagi identitas budaya daerah tersebut.
***
Peristiwa mangkat, dalam analisis mendalam, adalah sebuah lensa yang kuat untuk memahami struktur politik, kosmologi, dan stratifikasi sosial di Nusantara. Ia bukan hanya sebuah kematian, melainkan prosesi kelahiran kembali spiritual, perpindahan kekuatan dari tubuh fana ke alam leluhur, yang menegaskan bahwa seorang raja tidak pernah hilang, hanya berpindah tugas.
Sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan besar, protokol yang mengiringi mangkat telah teruji dan disempurnakan. Protokol ini berfungsi sebagai katup pengaman politik, mekanisme spiritual untuk menenangkan roh penguasa, dan deklarasi publik atas kesinambungan dinasti. Tanpa ritual yang khidmat dan pelaksanaan yang ketat, peristiwa mangkat akan selalu menjadi titik paling rawan dalam kehidupan kerajaan, mengancam untuk memicu badai konflik yang dapat meruntuhkan tatanan yang telah dibangun selama berabad-abad.
Oleh karena itu, setiap detail—dari air suci untuk membersihkan jenazah, pemilihan peti mati (joli) pusaka, rute arak-arakan menuju Sarean Dalem, hingga peletakan batu nisan—adalah bagian integral dari upaya monumental untuk mengikat dunia yang hidup dengan kekuatan spiritual yang ditinggalkan oleh raja yang telah mangkat. Upaya kolektif ini adalah warisan abadi dari budaya keraton Nusantara, yang memahami bahwa kekuasaan sejati tidak berakhir saat nafas terakhir dihembuskan, melainkan bertransformasi menjadi legitimasi abadi yang mengalir melalui garis keturunan kerajaan.
***
Untuk memahami sepenuhnya bobot kata mangkat, kita perlu menelaah lapisan-lapisan filosofis yang tersembunyi di balik ritual-ritual yang sangat panjang. Raja yang mangkat dipandang sebagai miniatur alam semesta yang telah mencapai kesempurnaan (moksa dalam tradisi Hindu, atau insan kamil dalam sufi Jawa). Kematiannya menandakan bahwa ia telah menyelesaikan siklus tugasnya di dunia fana dan siap memasuki alam sejati.
Banyak raja dan sultan di Nusantara, jauh sebelum mereka mangkat, telah mempersiapkan diri melalui laku spiritual (tirakat) yang intensif. Persiapan ini meliputi meditasi di tempat-tempat keramat, puasa, dan pembangunan makam pribadi atau tempat peristirahatan terakhir. Pembangunan makam saat raja masih hidup (seperti yang dilakukan oleh beberapa raja Mataram) adalah tindakan pencegahan spiritual dan jaminan bahwa transisinya akan mulus. Ini adalah pernyataan bahwa sang raja tidak takut akan mangkat, melainkan menyambutnya sebagai bagian dari perjalanan ilahi.
Ketika raja akhirnya mangkat, para penasihat spiritual (seringkali seorang Kyai atau Bhiksu tertentu) memainkan peran penting dalam memastikan bahwa roh raja meninggalkan tubuh dengan cara yang benar. Ada kepercayaan bahwa jika roh raja tidak dilepaskan dengan benar, ia bisa menjadi arwah penasaran yang mengganggu stabilitas keraton. Oleh karena itu, mantra, doa, dan ritual yang dilakukan di samping jenazah adalah upaya untuk memandu roh raja agar segera menempati tempatnya sebagai leluhur yang diberkati.
Meskipun kekuasaan seringkali dipegang oleh laki-laki, permaisuri utama (Ratu) memainkan peran yang sangat vital setelah raja mangkat. Mereka adalah pemegang kunci tradisi dan seringkali menjadi jembatan antara roh raja yang mangkat dan pewaris yang baru. Permaisuri sering memimpin ritual ratapan resmi, yang harus dilakukan dengan kesabaran dan martabat tertinggi untuk mencerminkan stabilitas emosional keraton di masa genting. Di beberapa tradisi, Ratu Kuno juga memiliki hak untuk menyaring calon pewaris berdasarkan pengetahuan mereka tentang watak dan spiritualitas pangeran yang bersaing.
Di beberapa kesultanan, jika raja mangkat dalam usia muda dan pewaris masih di bawah umur, Ratu Ibu akan bertindak sebagai wali (regent), menggunakan otoritas spiritual dan darah biru yang dimilikinya untuk menjaga takhta hingga pewaris sah mencapai usia dewasa. Kehadiran Ratu yang stabil memastikan bahwa peristiwa mangkat tidak serta merta menghancurkan struktur pemerintahan.
Kabar mangkat seorang Raja Agung memiliki efek domino di seluruh wilayah kekuasaannya. Para Adipati (gubernur regional) dan Raja Kecil (vassal) segera diwajibkan untuk datang ke ibukota keraton untuk memberi penghormatan (sowan) dan memperbaharui sumpah setia mereka kepada pewaris baru. Kegagalan Adipati untuk hadir tepat waktu seringkali diinterpretasikan sebagai tanda pembangkangan atau bahkan niat untuk memisahkan diri.
Protokol mangkat secara efektif menjadi instrumen survei loyalitas. Pewaris yang baru dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengukur kekuatan musuh-musuhnya dan mengukuhkan aliansinya. Hadiah (upeti) yang dibawa oleh Adipati kepada keraton selama masa berkabung juga berfungsi sebagai pengakuan finansial dan politik terhadap legitimasi raja yang baru, menggantikan kedaulatan raja yang telah mangkat.
***
Seorang raja yang mangkat meninggalkan warisan yang harus dijaga melalui pelestarian memori kolektif. Ini dilakukan melalui dua cara utama: penulisan sejarah resmi dan pembangunan monumen abadi.
Segera setelah raja mangkat, para pujangga keraton (pengarang resmi) bertugas menyusun atau memperbarui Babad atau Hikayat. Kisah-kisah ini bukan hanya catatan sejarah; mereka adalah karya sastra yang diisi dengan interpretasi teologis dan propaganda politik. Raja yang mangkat selalu digambarkan sebagai sosok yang mencapai kesempurnaan, adil, dan berwibawa, meminimalkan setiap kesalahan atau kegagalan politik yang mungkin ia alami selama hidupnya.
Tujuan dari Babad ini adalah untuk memastikan bahwa generasi mendatang akan melihat raja yang mangkat sebagai standar moral dan politik yang harus ditiru oleh pewaris takhta. Babad menjadi bagian integral dari pengukuhan kedaulatan, di mana peristiwa mangkat dirangkai sedemikian rupa sehingga sejalan dengan narasi ilahi dari seluruh dinasti.
Kompleks Makam Keramat adalah monumen abadi dari peristiwa mangkat. Struktur ini membutuhkan perawatan yang konstan dan menjadi simbol fisik dari janji kesinambungan kerajaan. Ziarah tahunan yang dipimpin oleh raja yang sedang berkuasa ke makam leluhurnya adalah salah satu ritual terpenting. Ritual nyekar (menabur bunga) dan pemanjatan doa di makam raja yang mangkat adalah cara raja yang hidup untuk mengisi ulang legitimasi spiritualnya. Ini menegaskan bahwa raja yang hidup tidak memerintah atas kekuatan sendiri, tetapi sebagai penerus spiritual dari arwah-arwah suci di makam tersebut.
Bagi rakyat jelata, ziarah ke makam raja yang mangkat adalah praktik mendapatkan berkah spiritual dan keberuntungan. Mereka percaya bahwa karena raja yang mangkat telah mencapai kedudukan tertinggi di alam baka, ia memiliki kekuatan untuk memediasi permohonan mereka kepada Tuhan. Hal ini mengukuhkan peran raja, bahkan setelah kematian, sebagai penghubung antara rakyat dan alam ilahi.
Gapura, gerbang suci yang memisahkan dunia fana dan peristirahatan abadi raja yang telah mangkat.
Pada akhirnya, peristiwa mangkat adalah peringatan paling keras bagi raja yang hidup tentang siklus kekuasaan dan keniscayaan fana. Setiap ritual yang dilakukan selama masa berkabung berfungsi untuk mengingatkan raja baru bahwa kekuasaan yang ia terima adalah titipan suci yang harus dijaga dengan adil dan bijaksana, karena ia pun pada akhirnya akan bergabung dengan para leluhur di kompleks pemakaman keramat.
Raja yang mangkat adalah guru terakhir bagi penggantinya. Melalui kesunyian di keraton, melalui asap kemenyan yang mengepul di makam, dan melalui ratapan para abdi dalem, pesan itu disampaikan: memerintah adalah mempersiapkan diri untuk transisi agung. Dalam konteks budaya Nusantara, mangkat bukanlah akhir, melainkan puncak dari sebuah kehidupan yang diabdikan pada takhta dan langit.
Kekuatan narasi tentang mangkat telah melestarikan monarki-monarki di Indonesia melalui masa-masa kolonial, revolusi, dan modernisasi. Karena mereka berhasil meyakinkan diri mereka sendiri, dan rakyat mereka, bahwa raja yang mangkat hanya berpindah wujud, kedaulatan sejati yang bersifat spiritual tidak pernah hilang, hanya berpindah tangan. Keindahan dan kerumitan istilah mangkat terletak pada kemampuannya merangkum seluruh filosofi kekuasaan, spiritualitas, dan sejarah Nusantara dalam satu kata yang sarat makna dan keagungan. Ritual ini adalah penjaga abadi kedaulatan kerajaan, memastikan bahwa takhta yang kosong hanya bersifat sementara, sedangkan roh kekuasaan adalah abadi dan tak terputus.
Peristiwa ini, yang selalu diselimuti misteri, aura mistis, dan ketegasan politik, memastikan bahwa monarki-monarki di Indonesia mempertahankan resonansi historis yang kuat, bahkan di tengah gelombang modernisasi yang paling kencang. Mereka yang mangkat meninggalkan warisan yang jauh lebih besar daripada sekadar garis keturunan; mereka meninggalkan cetak biru kosmik bagi kekuasaan yang berkelanjutan.
***
Periode berkabung setelah seorang raja mangkat, seringkali berlangsung selama 40 hari atau bahkan 100 hari, adalah masa yang sakral dan penuh larangan. Dalam istilah Jawa, ini disebut masa Pati Jenang. Dalam periode ini, perilaku di keraton dan di seluruh wilayah kekuasaan dikendalikan secara ketat oleh adat. Musik gamelan yang keras dihentikan, pertunjukan wayang dihentikan, dan para bangsawan dilarang mengenakan pakaian berwarna cerah.
Namun, meskipun pertunjukan wayang (yang bersifat hiburan) dihentikan, filosofi pewayangan justru menjadi semakin relevan. Raja yang mangkat sering dibandingkan dengan pahlawan dalam epos Mahabarata atau Ramayana, yang menyelesaikan tugas duniawinya dan mencapai svarga (surga) atau kembali ke kayangan. Para dalang, meskipun tidak tampil di depan umum, mungkin dipanggil ke keraton secara pribadi untuk menafsirkan mimpi atau memberikan nasihat spiritual berdasarkan narasi epik, membantu keluarga yang ditinggalkan memahami transisi agung ini.
Ratapan resmi yang diucapkan oleh para bangsawan dan abdi dalem bukan hanya ekspresi kesedihan, melainkan juga pengakuan akan kebesaran raja yang mangkat. Ratapan ini penuh dengan gelar kehormatan yang panjang dan metafora kosmik, menyebut raja yang pergi sebagai ‘bintang yang kembali ke gugusnya’ atau ‘samudra yang mengering’. Bahasa yang digunakan adalah bahasa tinggi (Basa Krama Inggil), menekankan perbedaan status yang tidak pernah terhapus, bahkan dalam kematian.
Ritual ratapan ini penting untuk keseimbangan psikologis istana. Dengan memberikan ruang bagi kesedihan yang terstruktur dan bermartabat, keraton mencegah kepanikan dan memungkinkan elite politik untuk fokus pada tugas suksesi. Ratapan yang terkontrol adalah bagian dari pertunjukan kekuatan, menunjukkan bahwa keraton mampu mengelola emosi kolektif dan krisis spiritual.
Dalam sistem kalender Jawa, terutama yang terkait dengan Pancawara dan Saptawara, tanggal dan hari mangkat seorang raja dicatat dengan cermat. Hari ini akan diperingati setiap tahun sebagai Haul Dalem. Peringatan ini seringkali lebih penting daripada hari ulang tahun raja yang bersangkutan, karena ia menandai momen ketika raja tersebut mencapai keilahian leluhur.
Ritual Haul ini melibatkan pembacaan doa yang intensif, pemberian sedekah besar-besaran, dan jamuan makan. Tujuannya adalah untuk menghormati dan memberi makan roh raja yang mangkat, memastikan bahwa ia tetap bersemangat dan bersedia memberikan restu kepada keturunannya. Kegagalan untuk memperingati Haul Dalem dapat dianggap sebagai malapetaka yang mengundang kemarahan roh leluhur dan menyebabkan musibah di kerajaan.
***
Tidak hanya raja-raja besar di Jawa yang memiliki protokol megah; dinasti-dinasti yang lebih kecil di luar Jawa pun menjalankan ritual mangkat dengan keunikan lokal yang mencerminkan lingkungan dan sejarah mereka.
Meskipun catatan sejarahnya sering terfragmentasi, di wilayah Sunda, konsep mangkat di era kerajaan Pajajaran dan Galuh sangat terkait dengan pemujaan alam dan gunung. Raja yang mangkat diperkirakan bersemayam di puncak gunung suci (misalnya Gunung Padang atau Gunung Salak), dan menjadi karuhun (leluhur) yang menjaga kesuburan tanah. Pemakaman raja sering berada di kabuyutan atau tempat suci yang jauh dari keramaian, menekankan sifat kesucian dan jarak mereka dari politik sehari-hari.
Di Maluku, Sultan Ternate dan Tidore yang mangkat harus melalui ritual yang melibatkan elemen laut dan rempah-rempah. Karena kekuasaan mereka berbasis pada jalur perdagangan rempah, jenazah sultan sering diproses dengan rempah-rempah langka. Prosesi pemakamannya disaksikan oleh para bangsawan yang datang menggunakan perahu kora-kora, simbol kekuatan maritim. Kematian sultan adalah pengingat bahwa keseimbangan antara darat dan laut, serta antara manusia dan alam, harus dipertahankan.
Krisis suksesi pasca mangkat di Ternate sangat dipengaruhi oleh persaingan antara faksi adat (Bobato) dan faksi ulama. Sultan yang mangkat hanya dapat digantikan jika kandidat baru disepakati oleh kedua kubu, memastikan bahwa setiap transisi kekuasaan adalah hasil dari kompromi politik dan adat yang mendalam.
***
Keseluruhan kerumitan dan keagungan yang menyertai peristiwa mangkat di Nusantara menunjukkan bahwa kekuasaan monarki tradisional adalah sistem yang terintegrasi secara holistik, di mana spiritualitas, politik, dan adat istiadat saling terkait erat. Kata mangkat sendiri adalah kapsul linguistik yang menyimpan ribuan tahun kepercayaan tentang bagaimana manusia super (raja) berinteraksi dengan dunia fana dan dunia arwah.
Dari persiapan jenazah di Keraton hingga penempatan batu nisan di Pasareyan Dalem yang dingin, setiap langkah dalam protokol pasca mangkat adalah upaya kolektif untuk menolak kekacauan dan mengklaim kembali tatanan. Ini adalah manifestasi dari keyakinan bahwa meskipun seorang raja telah kembali ke asal-usulnya yang ilahi, kekuatannya tetap berada di antara kita, membimbing dan menghakimi mereka yang meneruskan warisannya.
Oleh karena itu, mangkat akan selamanya menjadi istilah yang mengandung getaran hormat dan kecemasan, keagungan dan kerentanan. Ia adalah pengingat bahwa puncak kekuasaan di Nusantara selalu beriringan dengan puncak pengabdian spiritual, yang berakhir dengan transisi keabadian.
— Selesai —