*Ilustrasi simbolis penciptaan kosmis*
Manikmaya bukanlah sekadar nama; ia adalah arketipe suci yang melambangkan sumber segala keberadaan, inti terdalam dari penciptaan, dan puncak hirarki keilahian dalam tradisi kosmologi Jawa dan Sunda, terutama dalam wiracarita Wayang Purwa. Diidentikkan dengan Batara Guru, Manikmaya mewakili manifestasi Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) yang menyatu, menguasai Kahyangan (Suralaya), dan menjadi pemegang kunci atas takdir alam semesta, dari kehampaan primordial hingga akhir zaman.
Pemahaman mengenai Manikmaya menuntut penyelaman mendalam ke dalam falsafah Kejawen, di mana dualitas dan kesatuan bertemu. Ia adalah konsep yang mengatasi batas-batas dewa personal, merangkul makna filosofis tentang asal-usul (*sangkan*) dan tujuan akhir (*paran*) dari kehidupan. Artikel ini akan mengupas tuntas keagungan Manikmaya, perannya dalam kosmogoni, silsilah dewa-dewa, hingga resonansinya dalam budaya, seni, dan spiritualitas Nusantara.
Untuk memahami peran Manikmaya, penting untuk menguraikan definisinya dan menempatkannya dalam konteks sistem kepercayaan yang berlaku di Jawa, yang telah menyerap dan memodifikasi ajaran Hindu-Buddha kuno menjadi kearifan lokal yang unik.
Nama Manikmaya sendiri membawa muatan filosofis yang sangat padat. Nama ini adalah gabungan dari dua kata Sansekerta yang, ketika disatukan, menciptakan makna yang jauh lebih besar dari sekadar penjumlahan mereka:
Kata "Manik" secara harfiah berarti permata, intan, atau mutiara. Dalam konteks spiritual, Manik melambangkan inti sari, benih kehidupan, esensi murni, atau zat primordial yang belum ternodai. Ia adalah titik pusat, sumber cahaya, atau 'titik nol' dari mana segala sesuatu memancar. Ini adalah simbolisasi dari keilahian yang tak terjangkau, sifat abadi, dan energi penciptaan yang tersembunyi (*the unmanifest*).
Dalam narasi Jawa, Manik seringkali dikaitkan dengan *Manikem*, yaitu inti cahaya ilahi yang menjadi cikal bakal dewa-dewa. Ini menekankan bahwa Manikmaya bukan hanya sekadar dewa, tetapi inti dewa-dewa itu sendiri.
Kata "Maya" dalam falsafah Hindu berarti ilusi, fatamorgana, atau realitas relatif yang terlihat. Namun, dalam konteks Manikmaya, "Maya" dapat diartikan sebagai kekuatan kreatif yang memungkinkan manifestasi. Jika Manik adalah esensi abadi, Maya adalah proses yang mengubah esensi tak berwujud menjadi bentuk yang dapat dirasakan, yaitu alam semesta yang kita tempati.
Manikmaya, oleh karena itu, dapat diinterpretasikan sebagai "Inti Sari yang Berwujud" atau "Esensi Ilahi yang Memanifestasikan Realitas." Ia adalah titik temu antara yang absolut (*Nirvana/Sunyata*) dan yang relatif (*Samsara/Dunia*). Ia adalah dewa yang duduk di atas takhta, memimpin dunia yang secara esensial adalah manifestasi dari dirinya sendiri.
Dalam pewayangan Jawa, Manikmaya hampir selalu diidentikkan dengan Batara Guru, sang penguasa tertinggi Kahyangan (Surga). Meskipun Manikmaya adalah nama yang merujuk pada aspek kosmisnya sebagai pencipta, Batara Guru adalah nama yang merujuk pada perannya sebagai pengatur, guru, dan pengadil di antara para dewa dan makhluk hidup.
Batara Guru adalah adaptasi lokal dari dewa Siwa (atau gabungan Trimurti). Meskipun ia menjalankan fungsi Siwa (pelebur dan pemersatu), ia juga mengemban fungsi Brahma (pencipta) dan Wisnu (pemelihara) secara simultan. Ini menjadikannya sosok monolitik di puncak piramida dewa-dewa, yang berbeda dari pembagian tugas yang lebih ketat dalam mitologi Hindu India murni.
Manikmaya/Batara Guru bersemayam di Kahyangan Suralaya, yang merupakan pusat alam semesta spiritual. Dari sinilah segala titah dan wahyu diturunkan. Kekuasaannya bersifat mutlak. Ia yang menentukan nasib, memberikan wahyu kepada raja-raja yang adil, dan menjatuhkan kutukan bagi yang melanggar hukum kosmis.
Kisah penciptaan (kosmogoni) yang melibatkan Manikmaya adalah pilar utama falsafah Jawa. Kisah ini tidak hanya menceritakan bagaimana dunia diciptakan, tetapi juga memberikan peta jalan spiritual bagi manusia mengenai asal usul eksistensi mereka.
Sebelum adanya Manikmaya, terdapat kondisi Suwung atau Kekosongan Absolut. Ini adalah keadaan non-eksistensi, di mana belum ada waktu, ruang, atau bentuk. Dari Suwung inilah muncul tiga kekuatan utama (kembar tiga) yang menjadi dewa-dewa awal. Meskipun versi cerita berbeda-beda (ada yang menyebutnya manifestasi dari Sang Hyang Wening atau Sang Hyang Tunggal), Manikmaya adalah figur yang paling dekat dengan momen penciptaan terwujud.
Dalam beberapa versi, Manikmaya dilahirkan dari sebuah cahaya atau telur kosmis (*Tigan*), atau bahkan dari setetes keringat yang jatuh dari Sang Hyang Tunggal, dewa yang Maha Esa dan tak terdefinisikan. Proses kelahirannya seringkali penuh dengan drama metafisik, menandakan transisi dari ketidakberwujudan menuju wujud yang dapat dikenali.
Setelah Manikmaya hadir sebagai entitas berwujud, tugas pertamanya adalah menciptakan orde dan membagi kekuasaan. Manikmaya kemudian dikenal memiliki dua saudara yang setara dalam kekuatan primordial, menciptakan Tri Murti (Tiga Kekuatan Utama) dalam konteks Jawa:
Pembagian peran ini penting: Togog dan Semar adalah pelayan yang mewakili sisi-sisi fundamental alam semesta (dualitas baik-buruk), sementara Manikmaya adalah penguasa yang mengendalikan keseluruhan sistem dari atas.
Dengan hadirnya Tri Murti Kosmis, Manikmaya mulai mengatur alam semesta. Proses penciptaan alam semesta (makrokosmos) oleh Manikmaya diuraikan melalui berbagai tahapan mitologis, yang semuanya menekankan bahwa penciptaan adalah proses emanasi dari zat ilahi:
Manikmaya menciptakan tiga alam utama: Kahyangan (dunia dewa), Madyapada (dunia antara/roh), dan Marcapada (dunia manusia dan makhluk hidup). Pembagian ini menunjukkan hirarki spiritual yang ketat, di mana Manikmaya berada di tingkatan tertinggi.
Menurut beberapa kidung kuno, manusia diciptakan dari unsur-unsur yang berasal dari tubuh Manikmaya sendiri atau dari unsur kosmis yang ia tetapkan. Hal ini menegaskan doktrin bahwa manusia (*mikrokosmos*) adalah cerminan kecil dari jagat raya (*makrokosmos*), dan di dalam diri manusia terdapat percikan ilahi (*Manik*) yang berasal dari Batara Guru.
Sebagai penguasa Kahyangan, Manikmaya memiliki silsilah yang rumit dan dinasti dewa-dewi yang bertugas menjaga tata kelola alam semesta. Keluarga Manikmaya adalah inti dari panggung pewayangan, menciptakan konflik, dilema moral, dan pembelajaran spiritual.
Sakti (istri dan kekuatan pendamping) utama dari Manikmaya adalah Dewi Uma. Dewi Uma melambangkan energi kreatif dan feminis yang seimbang dengan kekuasaan maskulin Batara Guru. Kisah mereka adalah pusat dari banyak drama moralitas pewayangan, seringkali menampilkan Dewi Uma sebagai sosok yang penuh kasih namun juga tegas.
Salah satu narasi paling terkenal adalah pengutukan Dewi Uma menjadi Batari Durga. Kisah ini mengajarkan tentang konsekuensi hawa nafsu dan pelanggaran sumpah. Karena suatu pelanggaran (umumnya karena Batara Guru melampiaskan nafsunya di tempat yang tidak semestinya), Dewi Uma dikutuk turun ke bumi dan bersemayam di Setra Gandamayit (kuburan angker), menjadi dewi kejahatan, penyakit, dan penyihir.
Transformasi ini sangat filosofis: ia menunjukkan bahwa bahkan di dalam keilahian tertinggi terdapat dualitas—kekuatan pencipta yang sama juga mengandung potensi kehancuran jika tidak dikendalikan oleh dharma (hukum kosmis). Batari Durga adalah wujud Maya yang menakutkan, sementara Dewi Uma adalah Manik yang murni.
Manikmaya memiliki banyak putra, masing-masing memegang peran penting dalam tata kelola alam dan representasi sifat-sifat manusia:
Dalam beberapa versi Jawa, Wisnu dan Brahma dianggap sebagai putra-putra utama Manikmaya, atau setidaknya di bawah otoritasnya, meskipun dalam versi India mereka setara. Mereka memegang tanggung jawab spesifik:
Dua putra lain yang sangat terkenal, yang juga lahir dari kejadian-kejadian yang menunjukkan sifat tidak sempurna dewa, adalah:
Kompleksitas keluarga Manikmaya, yang penuh dengan konflik, nafsu, dan kesalahan, menunjukkan bahwa dewa-dewa Jawa adalah entitas yang bersifat antropomorfis sekaligus kosmis. Mereka adalah model moralitas yang tidak sempurna, namun melalui ketidaksempurnaan itulah hukum alam semesta diwujudkan.
Kekuatan dan kekuasaan Manikmaya tidak hanya diungkapkan melalui perannya, tetapi juga melalui atribut fisik, pusaka, dan gelar yang melekat padanya. Simbolisme ini adalah kunci untuk memahami pesan filosofis di balik perwujudan Sang Hyang.
Manikmaya/Batara Guru digambarkan dengan ciri-ciri fisik yang unik, yang membedakannya dari dewa-dewa lain:
Meskipun sering dikaitkan dengan Trisula (senjata Siwa), pusaka utama Manikmaya dalam beberapa versi Jawa adalah Pustaka Jamus Kalimasada. Pustaka ini adalah kitab suci yang berisi seluruh pengetahuan, hukum kosmis (*Dharma*), dan takdir alam semesta. Kepemilikan Kalimasada menunjukkan peran Manikmaya sebagai pembuat hukum dan penentu takdir.
Kendaraan (wahana) Manikmaya adalah Lembu Andini, sapi putih suci. Lembu adalah simbol dharma, kesucian, dan kekuatan yang tenang. Mengendarai lembu menunjukkan bahwa kekuasaan Manikmaya didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan etika yang kuat.
Manikmaya memiliki banyak nama (gelar) yang mencerminkan fungsi dan level manifestasi yang berbeda. Beberapa yang terpenting meliputi:
Jauh di balik kisah-kisah mitologis, Manikmaya adalah konsep sentral dalam spiritualitas Jawa, terutama dalam ajaran Kejawen. Ia adalah kunci untuk memahami konsep Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Kehidupan).
Doktrin Sangkan Paraning Dumadi mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber (Manikmaya/Sang Hyang Tunggal) dan tujuan akhir dari perjalanan spiritual manusia adalah kembali menyatu dengan sumber tersebut. Manikmaya berfungsi sebagai titik awal (Sangkan) dan representasi dari kondisi sempurna yang harus dicapai (Paran).
Falsafah ini menegaskan kesamaan antara jagat raya (makrokosmos) dan diri manusia (mikrokosmos). Jika Manikmaya adalah inti jagat raya (Manik), maka jiwa (*Sukma*) manusia adalah percikan Manik yang terperangkap dalam Maya (tubuh dan dunia materi).
Tujuan meditasi dan laku spiritual Kejawen adalah membersihkan diri dari ilusi Maya sehingga percikan Manik dalam diri dapat bersinar, menghubungkan kembali jiwa dengan Manikmaya di Kahyangan. Hal ini menekankan bahwa hubungan dengan Tuhan tidak harus melalui ritual luar, tetapi melalui pengenalan diri yang mendalam.
Manikmaya adalah sumber Wahyu (ilham atau mandat ilahi). Dalam tradisi Jawa, para raja yang sah dan pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang telah menerima wahyu langsung dari Kahyangan. Wahyu ini tidak sekadar restu politik, tetapi transfer energi spiritual yang menjadikan pemimpin tersebut sebagai representasi Manikmaya di bumi.
Wahyu Keprabon adalah legitimasi kekuasaan yang diberikan oleh Manikmaya kepada calon raja. Hilangnya Wahyu Keprabon dari seorang raja, biasanya digambarkan melalui pusaka yang terbang kembali ke Kahyangan, menandakan bahwa sang raja telah melanggar dharma dan tidak lagi pantas memimpin. Ini adalah mekanisme moral yang kuat, menempatkan dewa di atas kekuasaan politik.
Kisah-kisah Manikmaya sering mengajarkan bahwa karma bekerja pada setiap level eksistensi. Meskipun ia adalah dewa tertinggi, ia tidak kebal terhadap konsekuensi dari tindakannya sendiri, seperti yang terlihat dalam pengutukan Dewi Uma menjadi Durga atau kelahiran Batara Kala yang bersifat merusak.
Hal ini mengajarkan bahwa Dharma (hukum kosmis) adalah prinsip yang lebih tinggi daripada dewa personal itu sendiri. Manikmaya adalah pelaksana dharma, tetapi ia juga harus tunduk pada hukum yang ia ciptakan, menjadikannya model bagi umat manusia untuk menjalani hidup dengan tanggung jawab penuh.
Pengaruh Manikmaya tidak terbatas pada teologi kuno. Ia tetap hidup dan relevan dalam berbagai bentuk budaya, dari pertunjukan wayang hingga sastra modern dan etika sosial.
Manikmaya/Batara Guru adalah figur yang hampir selalu ada dalam setiap pertunjukan Wayang Purwa, meskipun ia jarang turun langsung ke medan perang. Perannya adalah sebagai:
Penggambaran Manikmaya sangat variatif tergantung pada gagrak. Di Jawa Tengah (Solo/Yogyakarta), ia digambarkan lebih anggun dan tenang (sebagai Guru). Di Jawa Timur, terutama dalam lakon-lakon tertentu, ia mungkin digambarkan lebih dramatis dan otoritatif (sebagai Manikmaya).
Banyak kidung, babad, dan serat kuno Jawa yang memuat pujian atau narasi tentang Manikmaya. Serat Centhini, misalnya, seringkali merujuk pada tata kelola kosmis yang dipimpin oleh Manikmaya sebagai kerangka untuk memahami spiritualitas dan etika sosial. Kidung-kidung ini berfungsi sebagai media transmisi pengetahuan filosofis dan teologis dari generasi ke generasi.
Dalam gerakan spiritual Kejawen kontemporer, Manikmaya sering digunakan sebagai fokus meditasi dan upaya pencarian jati diri. Konsepnya tentang ‘Manik’ di dalam diri dipahami sebagai kesadaran murni atau *atman* yang harus digali. Praktisi berusaha mencapai tingkat kesadaran di mana mereka dapat berinteraksi langsung dengan ‘Guru Sejati’ (guru sejati dalam diri) yang merupakan refleksi dari Batara Guru.
Untuk mencapai kedalaman konten yang maksimal, kita harus menganalisis Manikmaya bukan hanya sebagai figur mitologis, tetapi sebagai konsep metafisika yang mendefinisikan batas-batas kekuasaan dan alam semesta.
Dalam hierarki kosmologi Jawa yang paling tinggi, terdapat perbedaan antara Sang Hyang Tunggal (Yang Maha Esa, Tak Berwujud, Absolut) dan Sang Hyang Manikmaya. Manikmaya adalah manifestasi pertama yang berwujud, yang memungkinkan penciptaan. Ia adalah ‘jembatan’ antara ketiadaan (Suwung) dan keberadaan (Jagat Raya).
Ini adalah pemisahan yang krusial. Manikmaya adalah dewa yang dapat didoakan, memiliki sifat dan emosi (meski pada skala kosmis), dan terikat pada dharma. Sang Hyang Tunggal berada di luar pemahaman, di luar batas nama dan bentuk. Oleh karena itu, Manikmaya adalah perwujudan yang paling dapat diakses oleh makhluk hidup yang mencoba memahami Tuhannya.
Manikmaya sering dihadapkan pada dilema moral yang sulit. Meskipun ia adalah sumber keadilan, ia juga harus menjaga keseimbangan kosmis yang terkadang menuntut pengorbanan atau tindakan yang tampak kejam di mata manusia (misalnya, mengizinkan perang atau bencana).
Batara Kala, putra Manikmaya yang menakutkan, melambangkan kekuatan pemangsa yang tak terhindarkan. Namun, Manikmaya juga memberikan ritual Ruwatan (penyucian) sebagai mekanisme untuk membatalkan nasib buruk atau melepaskan diri dari tuntutan Batara Kala. Ini menunjukkan bahwa meskipun hukum kosmis itu keras, selalu ada jalan spiritual yang diberikan oleh Sang Pencipta bagi mereka yang berupaya membersihkan diri.
Ruwatan, yang sering melibatkan pertunjukan wayang lakon Murwakala, adalah contoh nyata bagaimana Manikmaya berfungsi sebagai pembuat hukum dan pada saat yang sama, pembuat pengecualian yang penuh rahmat, asalkan manusia memenuhi syarat spiritual tertentu.
Aspek yang paling kaya dari Manikmaya adalah dualitasnya. Ia adalah Guru (Guru) yang memberikan pencerahan, tetapi ia juga terjerat dalam Maya (Ilusi) yang ia ciptakan. Analisis sifat dualistik ini sangat penting untuk memahami kedalaman falsafah Jawa.
Penggambaran Manikmaya sebagai sosok yang kadang melakukan kesalahan (cemburu, marah, melanggar batas) merupakan kritik filosofis dan sosiologis terhadap kekuasaan. Ini mengajarkan bahwa bahkan kekuasaan tertinggi pun tidak imun terhadap godaan. Kegagalan-kegagalan dewa ini berfungsi sebagai narasi pengingat:
Manikmaya adalah sumber segala kesaktian dan pusaka luar biasa yang dimiliki oleh para pahlawan (Pandawa) dan bahkan para raksasa (Kurawa). Namun, ia juga dapat menarik kembali anugerah tersebut kapan saja.
Kesaktian yang dianugerahkan bukanlah hak milik abadi; itu adalah pinjaman yang harus dijaga dengan dharma. Jika seseorang menyalahgunakan pusaka pemberian Manikmaya, energi ilahi itu akan meninggalkannya, menyebabkan kehancuran diri sendiri. Ini adalah mekanisme teologis yang menjelaskan mengapa kekuasaan duniawi bersifat sementara.
Meskipun paling dominan dalam tradisi Jawa dan Sunda, konsep dewa tertinggi yang mirip dengan Manikmaya dapat ditemukan dalam berbagai mitologi Nusantara lainnya, seringkali mencerminkan pengaruh Hindu Siwaisme yang diserap dan diinkulturasikan.
Di Bali, konsep Dewa Siwa sebagai Mahadewa dan Guru Agung juga sangat kuat. Meskipun namanya berbeda, peran Siwa sebagai pemersatu, pelebur, dan guru spiritual memiliki resonansi yang kuat dengan Manikmaya. Konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang bermanifestasi melalui Trimurti juga mencerminkan peran Manikmaya sebagai manifestasi pertama yang mengatur alam.
Manikmaya juga mempengaruhi bagaimana tokoh-tokoh pewayangan lain digambarkan. Contohnya, sifat-sifat bijaksana dan berwibawa yang dimanifestasikan oleh ksatria utama (seperti Arjuna atau Yudhistira) seringkali digambarkan sebagai perwujudan dari *Manik* dalam diri mereka yang telah mencapai kesucian spiritual, menjadikan mereka layak menerima perlindungan ilahi.
Dalam lakon-lakon tertentu, ketika seorang ksatria mencapai puncak pencerahan, mereka digambarkan mampu ‘melihat’ Kahyangan dan berdialog langsung dengan Batara Guru/Manikmaya, menandakan penyatuan spiritual antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Manikmaya tidak mengatur Kahyangan sendirian; ia memimpin sebuah birokrasi dewa-dewi yang sangat terstruktur, yang masing-masing mengurus aspek alam semesta yang spesifik.
Di bawah komando Manikmaya, terdapat dewa-dewa yang bertanggung jawab atas delapan penjuru mata angin (Astagina), yang menjamin stabilitas kosmis. Setiap dewa mengontrol elemen alam atau kekuatan tertentu, memastikan bahwa alam semesta beroperasi sesuai Dharma:
Semua dewa ini tunduk pada titah Manikmaya. Ini menunjukkan bahwa konsep tatanan Jawa sangat terorganisir, di mana setiap aspek kehidupan memiliki pengendali spiritualnya, yang semuanya bermuara pada satu sumber kekuasaan tertinggi.
Sosok yang sangat dekat dengan Manikmaya dan sering menjadi utusan di antara Kahyangan dan Marcapada adalah Batara Narada. Narada berfungsi sebagai penasihat, penyampai pesan, dan kadang-kadang, pengkritik Manikmaya. Peran Narada adalah vital, karena ia mewakili mata dan telinga Manikmaya di dunia, memastikan bahwa hukum dijalankan dan kesalahan-kesalahan para dewa diperbaiki.
Narada sering digambarkan sebagai sosok yang bijaksana namun cerewet, melambangkan pentingnya komunikasi dan kritik konstruktif bahkan di tingkat keilahian tertinggi.
Sebagai penguasa Kahyangan, Manikmaya mengawasi siklus waktu kosmis (Yuga), yaitu periode panjang penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta.
Dalam pandangan Jawa, Manikmaya adalah Siwa yang abadi. Artinya, ia eksis sebelum, selama, dan setelah siklus Yuga. Tugas utamanya adalah memastikan bahwa setiap yuga—dari zaman keemasan (*Kritayuga*) hingga zaman kegelapan (*Kali Yuga*)—berjalan sesuai ketentuan. Ketika alam semesta mencapai akhir siklusnya (Pralaya), Manikmaya, dalam aspeknya sebagai pelebur, akan menarik kembali semua materi dan energi ke dalam dirinya sendiri (Manik), mengembalikan segalanya ke kondisi Suwung sebelum penciptaan baru dimulai.
Konsep ini memberikan pandangan yang sangat tenang dan fatalistik terhadap perubahan: segala kehancuran adalah bagian alami dari siklus abadi yang dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlukiskan.
Eskatologi (ilmu akhir zaman) Jawa dipengaruhi kuat oleh peran Manikmaya. Akhir zaman sering digambarkan sebagai masa di mana Batara Kala dilepaskan secara penuh, dan Manikmaya harus turun tangan langsung. Namun, akhir zaman juga dilihat sebagai kesempatan bagi jiwa yang murni untuk melepaskan diri dari siklus kelahiran kembali, menyatu kembali dengan Manikmaya di Kahyangan. Ini adalah janji moksha (pembebasan) yang ditawarkan oleh kepatuhan terhadap dharma.
Manikmaya, atau Batara Guru, adalah lebih dari sekadar tokoh dalam wayang; ia adalah pilar sentral dari pemikiran metafisika Nusantara. Ia mewakili puncak kekuasaan, sumber segala ilmu, dan hakim agung atas takdir.
Melalui Manikmaya, tradisi Jawa mengajarkan bahwa keberadaan adalah sebuah proses yang kompleks, penuh dualitas, dan diatur oleh hukum yang abadi. Dari inti sari yang murni (*Manik*) hingga ilusi duniawi (*Maya*), segala sesuatu adalah emanasi dari kekuasaan ilahi yang bersemayam di puncak Suralaya. Kisah-kisah tentang dewa ini—yang penuh keagungan sekaligus kelemahan—menawarkan peta jalan yang kaya bagi manusia yang mencari makna sejati di antara ilusi dunia. Pemahaman akan Manikmaya adalah kunci untuk membuka pintu menuju pemahaman jati diri dan kembali ke asal usul yang suci.
Falsafah Manikmaya terus hidup, tidak hanya dalam pertunjukan wayang yang memukau, tetapi dalam setiap upaya manusia Jawa untuk mencapai keselarasan, keadilan, dan pencerahan spiritual—mengingatkan bahwa percikan ilahi (*Manik*) yang berasal dari Sang Hyang Manikmaya selalu ada dan bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup.
Keagungan Manikmaya adalah cermin dari alam semesta yang luas, misterius, dan penuh makna, yang menanti untuk dijelajahi oleh setiap jiwa yang berani mencari kebenaran hakiki di balik tabir Maya.
***