Manortor adalah lebih dari sekadar tarian; ia adalah manifestasi spiritual, komunikasi sosial, dan perwujudan filosofi hidup masyarakat Batak di Sumatera Utara. Sebagai inti dari setiap upacara adat, baik suka maupun duka, manortor berfungsi sebagai jembatan antara manusia, roh leluhur (Sombaon), dan Tuhan Yang Maha Esa (Mula Jadi Nabolon). Keindahan manortor terletak pada kesederhanaan gerakannya yang berulang, namun kaya akan makna mendalam yang diiringi oleh alunan musik magis dari Gondang Sabangunan. Artikel ini akan menyelami setiap lapisan budaya, etika, dan sejarah yang membentuk tarian agung ini.
Visualisasi gestur tangan dalam manortor yang selalu diiringi oleh penggunaan Ulos.
Secara etimologi, kata manortor berasal dari kata kerja 'tortor'. Dalam bahasa Batak, 'tortor' merujuk pada gerakan kaki yang menghentak di lantai atau tanah, yang menghasilkan bunyi 'tor... tor... tor...'. Namun, makna yang dikenal saat ini jauh melampaui hentakan fisik. Manortor adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada proses menarikan tortor secara seremonial dan beretika. Dahulu kala, manortor memiliki fungsi yang sangat sakral, seringkali dilakukan sebagai ritual pemanggil roh atau interaksi dengan alam supernatural.
Pada masa sebelum masuknya agama modern, manortor adalah bagian integral dari sistem kepercayaan animisme Batak. Tarian ini menjadi alat komunikasi utama antara datu (dukun atau pemimpin spiritual) dengan roh-roh. Hanya datu atau orang-orang tertentu yang diperbolehkan untuk melakukan manortor, dan musik yang mengiringinya, Gondang Sabangunan, dimainkan dengan ritus khusus. Penggunaan Ulos, yang wajib dalam setiap pelaksanaan manortor, bukan hanya pakaian adat, melainkan media penghubung yang membawa kekuatan spiritual dan perlindungan.
Seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh luar, fungsi manortor mengalami pergeseran, meskipun tidak menghilangkan kesakralannya. Kini, manortor dibagi menjadi tiga fungsi utama:
Salah satu karakteristik paling mencolok dari manortor adalah gerakannya yang sangat minimalis. Penari tidak diperbolehkan mengangkat tangan melebihi bahu, apalagi melompat atau berlari. Gerakan kaki cenderung monoton, mengikuti irama musik. Namun, di balik kesederhanaan tersebut, tersimpan hierarki filosofis yang ketat dan kompleks.
Dalam manortor, posisi tangan adalah kunci. Batasan tertinggi gerakan tangan, yaitu tidak boleh melewati batas bahu atau kepala, memiliki makna filosofis yang sangat penting:
1. Batasan Ketinggian: Mengangkat tangan melebihi kepala dalam tradisi Batak dianggap sebagai tanda kesombongan atau ketidakpatuhan terhadap hierarki. Gerakan tangan yang rendah melambangkan kepatuhan, kerendahan hati, dan penghormatan kepada yang lebih tua (Hula-hula) dan kepada Tuhan. Jika seseorang secara tidak sengaja mengangkat tangan terlalu tinggi saat manortor, ia harus segera meminta maaf dan menurunkannya.
2. Gerakan Jemari: Setiap lambaian lembut jemari memiliki arti. Gerakan ini bukan hanya estetika, tetapi visualisasi dari doa dan harapan. Tangan yang terbuka ke atas (menghadap langit) adalah simbol menerima berkat atau memohon izin dari Mula Jadi Nabolon. Tangan yang terbuka ke bawah adalah simbol berkat yang disalurkan ke bumi dan kepada hadirin.
3. Simbol Ulos dalam Gerakan: Saat manortor, Ulos (selendang) yang disampirkan di bahu menjadi perpanjangan tangan penari. Gerakan tangan yang perlahan mengayunkan Ulos melambangkan aliran berkat, kehangatan, dan perlindungan yang diberikan kepada komunitas. Ayunan Ulos adalah inti visual dari setiap gerakan manortor.
Gerakan kaki (Tor) dalam manortor sangat teratur dan cenderung berputar di satu titik. Ini melambangkan stabilitas, kedisiplinan, dan fokus. Penari diharapkan tetap berada di dalam ruang lingkup lingkaran tari, mewakili kesatuan dan keharmonisan komunitas (Dalihan Na Tolu).
Tidak ada manortor tanpa Gondang Sabangunan. Musik tradisional ini bukan sekadar iringan; ia adalah nyawa tarian tersebut. Gondang Sabangunan memiliki kekuatan magis yang dapat membangkitkan suasana spiritual dan emosional yang diperlukan dalam upacara adat.
Gondang Sabangunan terdiri dari beberapa instrumen utama yang dimainkan oleh Parhobas (pemain musik) yang biasanya adalah ahli ritual:
Irama yang dimainkan dalam Gondang memiliki nomenklatur spesifik, seperti Gondang Somba (musik penghormatan), Gondang Hasuhutan (musik untuk tuan rumah), atau Gondang Pangurason (musik pembersihan). Setiap irama ini menginstruksikan penari untuk melakukan jenis manortor yang sesuai dengan tujuan upacara.
Hubungan antara penari dan Parhobas adalah simbiosis mutualisme yang sakral. Penari manortor harus benar-benar mendengarkan irama Gondang. Jika Gondang berhenti, tarian pun harus berhenti. Gondang Sabangunan berfungsi sebagai 'komando' yang menentukan kapan penari boleh masuk ke arena, kapan mereka harus mengubah gerakan, dan kapan mereka harus memberi hormat (manomba). Pemimpin adat (Raja Adat) akan berkomunikasi dengan Parhobas untuk meminta jenis Gondang yang diinginkan, yang kemudian diterjemahkan oleh Gondang menjadi instruksi tarian kepada peserta manortor.
Gondang Sabangunan, iringan wajib yang mengarahkan setiap gerakan manortor.
Manortor adalah cerminan dari struktur sosial Batak yang kaku dan terstruktur, yang diatur oleh filosofi Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Sejarangan). Tata krama saat manortor tidak boleh dilanggar, karena ini menyangkut penghormatan kepada marga dan kedudukan.
Ketika manortor dilakukan dalam sebuah upacara adat, urutan menari sangat ketat:
Setiap kali kelompok baru memasuki arena, mereka harus terlebih dahulu Manomba (menyembah atau memberi hormat) kepada Raja Adat yang memimpin upacara, sebagai tanda izin dan respek untuk memulai manortor.
Ini adalah jenis manortor yang paling fundamental. Gerakan utamanya adalah tangan diangkat di depan dada, jari-jari sedikit terbuka, seolah-olah menampung berkat. Tortor Somba dilakukan sebagai pembukaan, permohonan maaf, atau ungkapan rasa syukur. Makna dari manortor jenis ini adalah pengakuan atas kekuasaan yang lebih tinggi—baik leluhur, Raja Adat, atau Tuhan. Tidak ada upacara adat Batak yang sah tanpa diawali dengan Tortor Somba.
Ulos adalah kain tenun tradisional Batak yang memiliki makna simbolis yang luar biasa. Saat melakukan manortor, penggunaan Ulos adalah wajib dan memiliki aturan yang sangat rinci, tergantung pada status sosial penari dan jenis upacara yang sedang berlangsung. Ulos dianggap sebagai lambang kehangatan, perlindungan, dan saluran berkat.
Dalam konteks manortor, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai selendang, tetapi sebagai properti spiritual yang menguatkan gerakan.
Cara Ulos disampirkan saat manortor pun penting. Biasanya disampirkan di bahu, menutupi punggung dan jatuh hingga siku. Ini memberikan ‘volume’ pada gerakan tangan yang minimalis, sehingga setiap ayunan Ulos menjadi fokus visual yang mendefinisikan estetika manortor.
Selain Ulos, penutup kepala juga wajib bagi pria (peci, atau ikat kepala khas Batak) dan wanita (saat ini sering menggunakan sortali atau mahkota kecil). Pakaian kepala ini melambangkan kehormatan dan martabat. Dalam tradisi manortor, kepala adalah tempat bersemayamnya tondi (jiwa), sehingga harus ditutupi dan dihormati. Hal ini menegaskan bahwa manortor adalah tindakan yang melibatkan tubuh, jiwa, dan roh.
Keberadaan manortor mencakup seluruh daur hidup masyarakat Batak. Tarian ini bukan hanya pengisi acara, tetapi cara untuk menandai transisi penting dan menegaskan kembali identitas marga.
Dalam pernikahan adat, manortor menjadi puncak acara di mana seluruh kerabat Dalihan Na Tolu berinteraksi dan bertukar berkat. Raja Parhata (juru bicara adat) akan memanggil setiap kelompok (misalnya, hula-hula dari pihak pengantin pria) untuk maju. Saat kelompok tersebut manortor, Gondang akan mengiringi. Tujuan tarian ini adalah meminta berkat agar kedua mempelai memiliki keturunan yang banyak (gabur na maranak, godang na marboru) dan hidup sejahtera.
Yang menarik adalah ritual Manortor Sombah Hula-hula. Pasangan baru akan manortor di hadapan Hula-hula mereka. Gerakan mereka harus menunjukkan rasa hormat maksimal, seringkali dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, melambangkan penyerahan diri dan kepatuhan terhadap nasihat yang diberikan Hula-hula.
Jika seseorang meninggal dalam usia Saur Matua (meninggal setelah melihat cucu menikah), upacara kedukaan bisa berlangsung sangat besar. Manortor di sini berfungsi sebagai penghormatan terakhir dan pelepasan roh. Gerakan manortor lebih lambat, kontemplatif, dan penuh penghayatan. Jenis Gondang yang dimainkan adalah Gondang Sibolang atau Gondang Habot ni Roha. Ini adalah momen krusial untuk menegaskan kembali ikatan kekeluargaan dan silsilah, yang diwujudkan melalui setiap langkah dan ayunan Ulos. Manortor dalam kedukaan membantu komunitas memproses kesedihan secara kolektif.
Tortor Pangurason adalah tarian ritual pembersihan yang biasanya dilakukan sebelum dimulainya upacara besar lainnya, atau setelah terjadi kejadian buruk. Tujuannya adalah membersihkan tempat upacara dari roh-roh jahat atau energi negatif. Penari, yang seringkali merupakan Datu, akan melakukan manortor sambil membawa wadah berisi air yang dicampur dedaunan wangi (air pangurason), menyimbolkan pemurnian spiritual. Gerakan tarian ini sangat fokus pada repetisi dan mantra, menekankan aspek magis dari manortor.
Tarian manortor adalah media visualisasi terbaik dari konsep filosofis Batak, Dalihan Na Tolu (DNT). DNT adalah sistem kekerabatan yang mendefinisikan peran setiap individu dalam masyarakat: Hula-hula (sumber berkat), Boru (penerus berkat), dan Dongan Sabutuha (kerabat semarga).
Setiap kali kelompok Dalihan Na Tolu maju untuk manortor, mereka menegaskan peran mereka. Hula-hula manortor dengan wibawa dan gerakan yang memberkati; Boru manortor dengan rasa hormat dan terima kasih. Keseimbangan ini harus tercapai agar upacara adat berhasil. Jika salah satu pihak gagal memenuhi etika manortor yang ditetapkan, keseimbangan spiritual komunitas dianggap terganggu. Oleh karena itu, mempelajari manortor adalah sama dengan mempelajari seluruh hukum adat Batak.
Gerakan manortor yang diulang-ulang secara ritmis melambangkan komitmen abadi terhadap adat dan leluhur. Repetisi ini bukan kebosanan, melainkan meditasi bergerak. Semakin lama dan khidmat seseorang manortor, semakin dalam koneksi spiritual yang ia dapatkan. Ini menekankan pentingnya kesinambungan tradisi, di mana setiap generasi wajib melestarikan cara manortor yang benar.
Di tengah arus modernisasi dan urbanisasi, manortor menghadapi tantangan unik. Generasi muda Batak yang tumbuh di luar Tapanuli seringkali kesulitan memahami kedalaman filosofis dan etika ketat yang mengiringi tarian ini.
Dalam konteks panggung hiburan, manortor seringkali disederhanakan, bahkan dimodifikasi. Gerakan yang tadinya terbatas di bawah bahu kini kadang diangkat lebih tinggi demi tujuan artistik atau dramatis. Meskipun hal ini meningkatkan daya tarik visual, para tetua adat khawatir bahwa simplifikasi ini menghilangkan esensi sakral dari manortor. Tarian yang dulunya merupakan media komunikasi spiritual kini berisiko direduksi menjadi sekadar pertunjukan.
Upaya pelestarian manortor dilakukan melalui sanggar-sanggar tari dan lembaga adat. Anak-anak Batak diajarkan tidak hanya cara menari, tetapi juga filosofi di balik setiap ayunan tangan dan irama Gondang. Pentingnya etika manortor, termasuk larangan mengangkat tangan melebihi kepala, selalu ditekankan sebagai kunci menjaga kehormatan adat.
Lembaga adat sering menyelenggarakan festival budaya yang memamerkan bentuk-bentuk manortor paling otentik. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kembali komunitas, khususnya yang berada di perantauan, bahwa keindahan manortor terletak pada kepatuhan terhadap aturan leluhur, bukan pada inovasi gerakan yang radikal.
Untuk benar-benar memahami keagungan manortor, kita harus menelaah setiap aspek kecil yang sering terlewatkan. Manortor adalah bahasa tubuh yang menggantikan kata-kata ketika doa yang diucapkan dianggap tidak cukup untuk mengekspresikan kedalaman rasa hormat atau permohonan.
Saat manortor, wajah penari seringkali harus menunjukkan ketenangan dan fokus yang mendalam. Penari tidak boleh tertawa terbahak-bahak atau terlihat teralihkan. Pandangan mata harus tertuju ke depan atau sedikit ke bawah, melambangkan kerendahan hati. Keheningan dalam ekspresi ini kontras dengan riuhnya irama Gondang, menciptakan ketegangan spiritual yang kuat.
Beberapa bentuk manortor melibatkan gerakan berputar perlahan. Berputar di sekitar titik sentral melambangkan jagad raya dan alam semesta yang berputar pada porosnya, serta keinginan agar kehidupan terus berlanjut tanpa henti. Gerakan ini juga menegaskan kembali bahwa segala sesuatu berpusat pada adat dan Dalihan Na Tolu. Penari yang manortor harus memastikan putaran dilakukan dengan anggun dan terkendali.
Selama proses manortor, seringkali dilakukan Tumpak, yaitu pemberian uang yang diletakkan di piring yang dipegang oleh Raja Adat, atau kadang dilemparkan ke arena tari. Tumpak ini merupakan bagian dari doa yang menyertai gerakan. Ketika seseorang memberikan Tumpak, mereka melakukannya sambil menari, menyelaraskan niat finansial (harapan rezeki) dengan gerakan spiritual manortor. Uang ini bukan sekadar sumbangan, tetapi perwujudan fisik dari berkat yang diharapkan.
Meskipun Indonesia kaya akan seni tari, manortor menonjol karena kekakuan gerakannya yang berbanding terbalik dengan kekayaan filosofinya. Tarian lain mungkin menonjolkan akrobatik, kecepatan, atau formasi kompleks, tetapi manortor menekankan pada:
Setiap kali seseorang melangkah ke arena untuk manortor, mereka tidak hanya menari untuk diri mereka sendiri, tetapi mereka membawa nama marga, menghormati seluruh garis keturunan, dan menegakkan tatanan kosmos Batak. Ini menjadikan manortor bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan suatu praktik hidup yang berkelanjutan.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman manortor, penting untuk membedah variasi gerakan tangan yang, meskipun halus, memiliki perbedaan fungsi yang signifikan. Keseluruhan gerakan tangan ini disebut Manjagar, yaitu proses mengolah gerak tangan agar terlihat anggun dan bermakna.
Gerakan ini dilakukan di awal, di tengah (saat menerima ulos atau berkat), dan di akhir tarian. Posisi: Kedua telapak tangan dirapatkan di depan dada, sedikit di bawah dagu. Siku ditekuk santai, tidak menempel pada badan. Filosofi: Menghormati Tuhan, Mula Jadi Nabolon, dan seluruh leluhur yang hadir secara spiritual. Ini adalah gestur penyerahan diri dan kerendahan hati. Gerakan ini harus dilakukan dengan pelan, menyesuaikan dengan irama Gondang Somba.
Gerakan ini adalah inti dari sebagian besar manortor ritmis. Posisi: Telapak tangan terbuka, menghadap ke depan atau sedikit ke atas, jari-jari rileks. Tangan diayunkan perlahan dari kiri ke kanan (atau sebaliknya) secara bergantian di depan perut atau pinggang. Filosofi: Mangondol melambangkan aliran berkat, rezeki yang mengalir, dan kehidupan yang harmonis. Ini adalah perwujudan doa agar segala sesuatu berjalan lancar dan penuh kemakmuran. Kecepatan ayunan sangat bergantung pada jenis Gondang yang dimainkan.
Dilakukan terutama saat Boru manortor di hadapan Hula-hula. Posisi: Telapak tangan menghadap ke bawah, ditarik perlahan mendekati tubuh, seolah-olah mengumpulkan sesuatu dari udara. Filosofi: Melambangkan upaya menarik, menerima, atau menyimpan berkat, nasihat, dan hikmah yang diberikan oleh pihak yang lebih dihormati (Hula-hula). Gerakan ini harus dilakukan dengan penghayatan yang menunjukkan ketulusan dan kepatuhan.
Gerakan khas dari Hula-hula saat mereka manortor untuk memberkati Boru. Posisi: Telapak tangan menghadap ke bawah, didorong pelan ke arah hadirin atau pihak yang diberkati, dengan ayunan yang sedikit lebih tegas daripada Mangondol. Filosofi: Menyebarkan berkat, memberikan nasihat, dan menyampaikan harapan baik (pasu-pasu) kepada pihak yang dituju. Ini adalah manifestasi visual dari otoritas spiritual Hula-hula.
Gerakan saat tangan berada dalam posisi istirahat atau transisi. Posisi: Tangan diletakkan di pinggang atau sedikit di depan tubuh, dengan pergelangan tangan sedikit ditekuk. Filosofi: Kata 'Manat' berarti hati-hati atau waspada. Gerakan ini mengingatkan penari bahwa meskipun mereka sedang bergembira atau berduka, mereka harus selalu menjaga diri dan tetap fokus pada ritual adat. Ini adalah jeda visual untuk menegaskan kontrol diri.
Pentingnya Manjagar dalam manortor adalah bahwa setiap transisi antar gerakan harus mulus dan teratur, tidak boleh tergesa-gesa. Ini membutuhkan latihan dan pemahaman mendalam tentang irama Gondang yang sedang dimainkan. Setiap sentuhan ujung jari, setiap lekukan pergelangan tangan, adalah bagian dari narasi spiritual yang sedang disampaikan oleh penari manortor.
Meskipun prinsip dasar manortor bersifat universal di seluruh sub-etnis Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak), terdapat variasi regional yang unik, terutama dalam hal kecepatan, iringan musik, dan aksesoris.
Ciri khas: Inilah bentuk manortor yang paling dikenal. Gerakannya sangat lambat, penuh khidmat, dan penekanan mutlak pada etika. Penggunaan Ulos dan Gondang Sabangunan sangat dominan. Tujuannya hampir selalu ritual adat yang terikat pada Dalihan Na Tolu. Kecepatan: Sangat teratur, tidak boleh ada gerakan yang mengejutkan. Transisi gerak seolah-olah melayang.
Ciri khas: Kadang-kadang disebut 'Tari Tor-Tor' yang lebih cepat atau lebih dinamis, dipengaruhi oleh alat musik Gordang Sambilan (yang memiliki sembilan drum). Meskipun masih sakral, ritmenya bisa lebih cepat daripada Toba. Etika menari tetap dijaga, terutama batasan mengangkat tangan. Perbedaan Alat Musik: Penggunaan Gondang Sambilan memberikan nuansa irama yang lebih kompleks dan berlapis.
Ciri khas: Seringkali lebih bebas dalam formasi, meskipun tetap menghormati hierarki. Pakaian adat (hiou) dan instrumen musik (Gondang Bolon) memiliki ciri khas Simalungun. Fungsi: Sering digunakan dalam ritual penyambutan atau perayaan besar yang melibatkan Raja-raja setempat, menunjukkan kekayaan dan keagungan.
Meskipun ada perbedaan gaya, semua variasi ini bersatu dalam filosofi inti: manortor adalah tindakan spiritual yang membutuhkan ketenangan, kerendahan hati, dan pengakuan terhadap otoritas leluhur dan Raja Adat. Perbedaan regional hanyalah dialek dalam bahasa tubuh yang sama, menegaskan identitas Batak yang beragam namun bersatu.
Konsep spiritual Batak mengenai Tondi (jiwa/roh) dan Sahala (kharisma/kekuatan spiritual) memiliki peran fundamental dalam ritual manortor. Tarian ini adalah upaya kolektif untuk menjaga agar Tondi tetap kuat dan Sahala seseorang atau komunitas tetap utuh.
Dalam kepercayaan Batak kuno, Tondi dapat melemah karena sakit, kesedihan, atau serangan roh jahat. Manortor dalam upacara adat berfungsi sebagai ritual penguatan Tondi. Gerakan yang ritmis dan berulang, ditambah dengan irama magis Gondang, dipercaya dapat memanggil Tondi yang hilang untuk kembali ke tubuh penari, sehingga memulihkan kekuatan dan kesehatan spiritual.
Sahala adalah wibawa atau karisma spiritual yang dimiliki seseorang, khususnya Raja atau pemimpin adat. Ketika Raja Adat manortor, mereka melakukannya dengan penuh wibawa, dan Gondang yang mengiringi adalah Gondang yang khusus untuk meningkatkan Sahala mereka. Seluruh komunitas yang menyaksikan manortor dari Raja Adat secara tidak langsung menerima pancaran Sahala tersebut, memperkuat ikatan antara pemimpin dan rakyatnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berpartisipasi dalam manortor, ia tidak hanya melakukan gerakan fisik, tetapi ia sedang berinteraksi secara aktif dengan dimensi spiritualitas Batak, menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia roh. Inilah sebabnya mengapa etika gerakan dalam manortor begitu ketat; kesalahan kecil dapat diinterpretasikan sebagai gangguan terhadap keseimbangan Tondi dan Sahala.
Manortor telah bertahan melewati berbagai era—dari ritual pemujaan roh, transisi ke agama modern, hingga gelombang globalisasi. Kekuatan manortor terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa mengorbankan inti filosofisnya. Ia tetap menjadi penanda identitas yang paling jelas bagi masyarakat Batak di manapun mereka berada.
Di setiap perantauan, di setiap kumpul keluarga besar, suara Gondang dan gerakan manortor adalah panggilan pulang. Mereka mengingatkan setiap orang Batak tentang kewajiban terhadap Hula-hula, kasih sayang terhadap Boru, dan solidaritas dengan Dongan Sabutuha. Manortor adalah pengikat yang tak terlihat namun kuat, menjaga tegaknya pilar-pilar Dalihan Na Tolu.
Melalui artikel yang sangat mendalam ini, kita telah melihat bahwa manortor adalah disiplin spiritual dan adat yang memerlukan rasa hormat, penguasaan etika, dan pemahaman akan sejarah. Tarian ini adalah buku hidup yang menceritakan ribuan tahun sejarah, kepercayaan, dan harapan masyarakat Batak. Misi untuk melestarikan manortor adalah misi untuk melestarikan jiwa Batak itu sendiri, memastikan bahwa irama Gondang dan ayunan Ulos akan terus bergema dalam upacara adat di masa depan.
Kepelatihan manortor harus terus didorong, bukan sebagai hobi, tetapi sebagai pendidikan karakter dan adat. Generasi muda harus menyadari bahwa dalam setiap langkah tarian ini, terdapat kebijaksanaan leluhur. Ketika mereka manortor, mereka tidak hanya menggerakkan tubuh; mereka sedang menjalankan Amanat Nenek Moyang, memastikan rantai budaya tetap kuat dan tidak terputus. Manortor adalah cermin peradaban, dan cermin itu harus terus dijaga kebersihannya dari debu modernitas yang melupakan akar.
Gerakan pelan, tangan yang rendah, dan pandangan yang khidmat saat manortor adalah pengingat konstan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari kosmos besar yang diatur oleh Mula Jadi Nabolon dan diawasi oleh Sombaon. Dengan memahami kedalaman ini, setiap Batak dapat manortor dengan rasa bangga dan tanggung jawab, membawa warisan ini ke panggung dunia. Kekuatan manortor adalah kekuatan keabadian budaya Batak.
Manortor: Gerakan yang Menyatukan, Filosofi yang Menguatkan.