Institusi Mantari, atau dalam ragam ejaan lain disebut Mantri, merupakan salah satu fondasi terpenting dalam struktur kekuasaan dan administrasi kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, jauh sebelum kedatangan pengaruh kolonial Barat. Kata Mantari merujuk pada kelas pejabat tinggi yang memegang peran vital, mulai dari penasihat raja, pengelola wilayah, komandan militer, hingga eksekutor hukum. Tanpa kehadiran jaringan Mantari yang terorganisir dengan baik, mustahil bagi sebuah kerajaan untuk mempertahankan kedaulatan, memungut pajak secara efektif, dan mengelola wilayah yang luas serta beragam populasinya.
Kajian mendalam mengenai Mantari membuka tirai pada kompleksitas birokrasi tradisional Jawa, Sumatera, dan wilayah lain yang mengadopsi sistem pemerintahan Hindu-Buddha dan Islam. Peran mereka tidak statis; ia berevolusi seiring pergantian dinasti, dari era Mataram Kuno yang menitikberatkan pada urusan keagamaan dan irigasi, hingga Majapahit dengan sistem teritorial yang masif, dan puncaknya pada Kesultanan Mataram yang menyusun birokrasi internal keraton yang sangat rumit.
Artikel ini akan menelusuri akar etimologis istilah Mantari, menguraikan pergeseran fungsi dan hierarki mereka di berbagai periode sejarah, serta menganalisis bagaimana pejabat-pejabat ini menjadi poros kekuasaan, seringkali menyeimbangkan wewenang Raja dengan kepentingan lokal. Pemahaman akan Mantari adalah kunci untuk memahami bagaimana kerajaan-kerajaan Nusantara mengelola imperium mereka dengan efisien dan berkelanjutan selama berabad-abad.
Istilah Mantari berakar kuat dari bahasa Sanskerta, yaitu kata ‘Mantrin’ atau ‘Mantri’, yang secara harfiah berarti ‘penasihat’, ‘pemikir’, atau ‘orang yang pandai merumuskan mantra (nasihat)’. Dalam tradisi India kuno, Mantri merujuk pada anggota dewan penasihat utama raja, yang memiliki kewenangan besar dalam urusan kenegaraan, militer, dan keuangan. Adaptasi istilah ini ke dalam lingkungan Nusantara tidak hanya mempertahankan makna dasar tersebut, tetapi juga diperluas untuk mencakup peran manajerial dan eksekutif di tingkat regional.
Meskipun ejaan Mantri lebih umum dalam literatur sejarah Jawa Kuno dan Klasik, istilah Mantari sering muncul dalam konteks bahasa Melayu dan beberapa dialek Jawa yang lebih kontemporer, namun merujuk pada fungsi yang sama. Di sebagian besar sumber prasasti, terutama dari era Medang (Mataram Kuno), pejabat tinggi disebut Rai atau Rakryan, namun struktur di bawah mereka sudah mulai diklasifikasikan sebagai Mantri berdasarkan tugas spesifik mereka, seperti Mantri Hino atau Mantri Sirikan.
Dalam konteks Majapahit dan pasca-Majapahit, Mantari/Mantri adalah istilah umum yang mencakup seluruh korps pejabat, mulai dari tingkat pusat (Keraton) hingga tingkat desa (Perdikan). Mereka adalah tulang punggung operasional kerajaan, memastikan bahwa keputusan Raja (Sri Paduka) diterjemahkan menjadi tindakan nyata di lapangan, mulai dari membangun bendungan irigasi, mengawasi pasar, hingga memimpin pasukan dalam kampanye militer.
Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15) dikenal sebagai kerajaan maritim dan agraris yang memiliki jangkauan terluas di Nusantara, menuntut sistem administrasi yang sangat canggih dan berlapis. Di sini, Mantari tidak hanya bertindak sebagai penasihat, tetapi menjadi komponen kunci dalam rantai komando teritorial dan fungsional. Struktur Mantari di Majapahit terbagi menjadi dua kelompok besar yang saling terkait: Mantari di Dewan Pusat (Birokrasi Keraton) dan Mantari di Pemerintahan Wilayah (Birokrasi Nāgara).
Di puncak birokrasi pusat adalah lembaga penasihat tertinggi yang disebut Bhattāra Saptaprabhu, yang terdiri dari kerabat dekat raja. Di bawah mereka, administrasi sehari-hari dijalankan oleh kelompok Mantari utama:
Jabatan Mantari tertinggi, setara dengan Perdana Menteri atau wazir agung. Patih Amangkubhumi (seperti Gajah Mada) bertanggung jawab atas koordinasi seluruh birokrasi, baik sipil maupun militer, dan bertindak sebagai wakil raja dalam banyak urusan eksekutif. Kekuasaannya hampir setara dengan raja sendiri, terutama dalam implementasi kebijakan domestik dan luar negeri. Pengaturan Patih memerlukan kontrol penuh atas semua Mantari regional dan pusat.
Ini adalah dewan menteri yang bertugas dalam perumusan kebijakan dan menjalankan fungsi yudisial, setara dengan kabinet menteri modern. Kelompok ini terdiri dari lima pejabat utama, yang masing-masing bertanggung jawab atas domain spesifik:
Untuk mengelola wilayahnya yang luas, Majapahit membagi kerajaannya menjadi tiga lapisan: Bhumi (pusat), Nāgara (provinsi), dan Watek/Wanua (distrik/desa). Di tingkat Nāgara, Mantari regional memegang kendali penuh:
Di era Majapahit, istilah Bupati merujuk pada penguasa regional, yang biasanya adalah kerabat raja atau pejabat senior yang diangkat. Mereka memiliki wewenang untuk memungut pajak, mengatur militer lokal, dan menegakkan hukum di wilayahnya, meskipun semua Mantari Nāgara diwajibkan mengirimkan upeti dan melaporkan urusan mereka kepada Patih Amangkubhumi di pusat.
Sistem ini menciptakan keseimbangan antara otonomi lokal (agar administrasi berjalan cepat) dan sentralisasi (menjaga loyalitas kepada Raja). Mantari di wilayah ini harus sangat mahir dalam negosiasi dan diplomasi lokal, karena mereka berurusan langsung dengan para kepala desa (Rama) dan menjaga agar produksi pertanian berjalan lancar, yang merupakan sumber utama kekayaan Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh dan Islamisasi berkembang, Kesultanan Mataram (abad ke-16 hingga ke-18) mewarisi dan memodifikasi struktur birokrasi Jawa Kuno. Di Mataram, institusi Mantari mencapai puncak kompleksitasnya. Sultan Agung menyusun sebuah sistem yang membagi Mantari menjadi dua kategori besar: Mantari Jero dan Mantari Lebet (atau Mantari Nāgara).
Mantari Jero adalah pejabat yang bertugas langsung di lingkungan Keraton (dalam tembok istana) dan bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, keamanan pribadi raja, dan komunikasi internal. Hierarki ini sangat penting karena kontrol atas Mantari Jero sama dengan kontrol atas akses ke Sultan.
Fungsi utama mereka meliputi:
Mantari Lebet bertanggung jawab atas seluruh wilayah di luar keraton. Mereka adalah Gubernur, Bupati, dan kepala distrik. Mataram membagi wilayahnya menjadi empat 'Sayap' atau Kuthanegara yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantari senior, biasanya bergelar Wadana atau Tumenggung.
Sistem ini merupakan ciri khas Mataram yang paling terorganisir, di mana setiap Mantari Wadana memimpin sebuah departemen militer dan administrasi yang besar, mengawasi wilayah yang luas dan mengumpulkan logistik untuk Keraton.
Mekanisme Kontrol Mataram: Untuk memastikan Mantari Lebet tidak memberontak, Mataram menerapkan sistem di mana para pejabat regional diwajibkan tinggal di Keraton (disebut Lurah Kapatihan) untuk periode tertentu, sementara anak atau kerabat mereka dijadikan sandera kehormatan. Ini adalah cara cerdas untuk memastikan loyalitas ganda: menjalankan tugas di wilayah sambil menjaga hubungan dekat dengan pusat kekuasaan.
Untuk memahami kompleksitas institusi Mantari, penting untuk menguraikan tanggung jawab mereka yang sangat luas, yang mencakup yudikatif, fiskal, dan militer, seringkali digabungkan dalam satu jabatan regional. Mantari adalah petugas serba bisa yang menjadi jembatan antara ideologi Keraton dan realitas lapangan.
Di banyak kerajaan, terutama Mataram, Mantari senior (seperti Tumenggung) berfungsi ganda sebagai hakim. Meskipun hukum tertinggi (Dharmasastra) dipegang oleh lembaga keagamaan atau rohaniawan (Dharmaraksaka), Mantari memiliki kewenangan untuk mengadili kasus-kasus sipil dan kriminal tingkat rendah hingga menengah. Mereka memastikan hukum raja ditegakkan, memimpin sidang di balai desa, dan mengatur sanksi. Peran ini sangat krusial dalam menjaga ketertiban sosial, yang merupakan prasyarat bagi stabilitas ekonomi dan politik.
Mantari yang berwenang di bidang ini harus menguasai adat lokal (yang bervariasi dari satu desa ke desa lain) dan hukum tertulis Keraton. Konflik antara adat dan hukum Keraton sering menjadi ujian bagi kebijaksanaan seorang Mantari, dan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa menimbulkan gejolak adalah tolok ukur sukses mereka.
Tugas utama Mantari di wilayah adalah mengelola sumber daya dan memungut pajak (upeti) dari desa-desa di bawah yurisdiksi mereka. Sistem fiskal Nusantara pra-kolonial sangat bergantung pada pertanian dan perdagangan. Mantari bertugas:
Kemampuan seorang Mantari untuk mengelola aspek fiskal ini secara langsung mencerminkan kesehatan kerajaan. Jika Mantari gagal, kas kerajaan akan kosong dan potensi pemberontakan petani meningkat.
Hampir setiap Mantari, terutama di Mataram, memiliki peran militer. Mereka adalah komandan pasukan lokal (Prajurit Punggawa). Ketika raja memanggil untuk perang (ekspedisi militer), Mantari harus menyediakan sejumlah pasukan (yang diambil dari petani atau rakyat jelata) dan memimpin mereka ke medan perang.
Mantari Punggawa di wilayah perbatasan (Mancanegara) memiliki tanggung jawab yang lebih berat dalam menjaga keamanan dari serangan luar atau pemberontakan internal. Mereka harus mahir dalam strategi militer defensif dan ofensif, serta memiliki kemampuan untuk menjaga moral dan loyalitas pasukan yang mereka pimpin, yang seringkali merupakan unit yang dikumpulkan secara tergesa-gesa.
Bahkan pada tingkat sub-regional, terdapat Mantari yang sangat terspesialisasi. Mantari Pasar bertanggung jawab penuh atas pengaturan harga, timbangan, dan ketertiban di pasar-pasar utama. Sementara itu, Mantari Bengawan (di wilayah sungai besar seperti Bengawan Solo) mengawasi lalu lintas air, irigasi skala besar, dan memastikan keamanan kapal-kapal dagang yang melintasi sungai. Spesialisasi ini menunjukkan betapa rinci birokrasi Mantari di Nusantara.
Meskipun Mantari adalah pejabat Keraton, kekuatan politik mereka sering kali bergantung pada akar lokal mereka. Di Jawa, sistem politik tradisional sering kali melibatkan perebutan kekuasaan antara pusat (Keraton) dan daerah (Para Mantari Lokal).
Jabatan Mantari sering kali bersifat patrimonial, diturunkan dari ayah ke anak, atau setidaknya dipegang oleh klan bangsawan tertentu (Priayi). Hal ini memberi Mantari basis kekuatan yang independen dari raja. Raja perlu menyeimbangkan kebutuhan untuk mempertahankan loyalitas para Mantari dengan kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi terlalu kuat dan memisahkan diri.
Kontrol Keraton atas Mantari sering dilakukan melalui gelar kehormatan, pemberian hadiah (seperti tanah atau hak pajak spesifik), dan pernikahan politik. Raja akan menikahkan putrinya dengan Mantari regional yang kuat untuk mengikat loyalitas mereka secara darah. Namun, jika raja lemah, Mantari dapat dengan mudah mengabaikan perintah pusat atau bahkan mendukung pemberontak.
Banyak gejolak besar dalam sejarah Mataram, seperti Perang Suksesi Jawa, dipicu oleh ketidakpuasan para Mantari regional. Ketika seorang Mantari merasa hak atau wilayahnya terancam oleh kebijakan pusat, atau jika mereka melihat celah dalam suksesi tahta, mereka akan memobilisasi kekuatan militer lokal mereka. Karena Mantari Lebet adalah panglima tertinggi di wilayah mereka, dukungan mereka adalah penentu utama keberhasilan atau kegagalan sebuah pemberontakan.
Mantari adalah esensi dari kelas sosial Priayi (bangsawan administrasi) di Jawa. Kehidupan seorang Mantari tidak hanya tentang tugas birokratis; itu adalah simbol status sosial, pendidikan, dan hak istimewa. Gaya hidup mereka, mulai dari pakaian, tata bahasa, hingga kepemilikan tanah dan jumlah abdi dalem, membedakan mereka dari rakyat biasa. Mereka adalah penjaga tradisi dan budaya tinggi Keraton, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi peran mereka di mata masyarakat.
Peranan Mantari sebagai mediator budaya sangat penting. Mereka menerjemahkan etika istana (seperti unggah-ungguh atau tata krama) kepada rakyat jelata, sekaligus membawa aspirasi dan keluhan rakyat kepada raja. Tanpa Mantari yang efektif, kesenjangan antara penguasa dan yang dikuasai akan membesar tak terkendali.
Meskipun peran Mantari paling detail di Jawa (Mataram, Majapahit), kerajaan-kerajaan maritim seperti Ternate, Tidore, dan Kesultanan Banten juga memiliki struktur pejabat tinggi yang berfungsi serupa, meskipun terminologi dan fokus tugasnya berbeda karena sifat kerajaan yang berorientasi pada perdagangan dan laut.
Di Banten, pejabat setingkat Mantari sering disebut Wazir atau Syahbandar. Syahbandar adalah Mantari paling penting karena mereka mengelola pelabuhan, yang merupakan urat nadi ekonomi Banten. Tugas mereka jauh lebih berorientasi pada diplomasi dagang, penetapan harga rempah-rempah, dan negosiasi dengan pedagang asing (Cina, Arab, Eropa), dibandingkan dengan Mantari Mataram yang fokus pada irigasi sawah dan masalah teritorial.
Meskipun demikian, Banten juga memiliki pejabat yang mengurus wilayah pedalaman (Mantari Punggawa) untuk memastikan pasokan komoditas dari pedalaman berjalan lancar ke pelabuhan. Di sini, keseimbangan antara kepentingan agraris dan maritim menjadi kunci.
Di Maluku, struktur kekuasaan dipimpin oleh empat Bobato (atau Mantari) utama yang disebut Dewan Adat. Peran Mantari di sini lebih bersifat klan dan adat, seringkali membagi tanggung jawab fungsional berdasarkan marga atau klan yang menguasai suatu pulau atau komoditas tertentu (cengkeh atau pala). Mantari Maluku bertugas memastikan monopoli rempah-rempah berjalan lancar dan menjaga hubungan dagang dengan pedagang Asia dan Eropa. Keunikan mereka adalah kekuatan mereka sering kali didasarkan pada tradisi adat yang kuat, bukan hanya dekrit Sultan.
Dalam konteks ini, Mantari adalah agen yang menjamin bahwa sistem perdagangan yang kompleks dan sangat menguntungkan ini tetap stabil, meskipun seringkali harus berhadapan dengan persaingan ketat antar pulau dan campur tangan kolonial Portugis dan Spanyol.
Kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke-17 menjadi titik balik tragis bagi institusi Mantari. Belanda tidak serta merta menghapuskan para Mantari; sebaliknya, mereka mengintegrasikan dan memanipulasi struktur tersebut demi keuntungan mereka. Ini dikenal sebagai sistem Indirect Rule.
Belanda menyadari bahwa mereka tidak dapat mengelola wilayah yang luas tanpa jaringan administratif lokal yang mapan. Maka, para Mantari (yang kini sering disebut Bupati atau Punggawa) dipertahankan jabatannya, tetapi kekuasaan mereka secara bertahap dialihkan dari Raja/Sultan ke Residen Belanda. Mantari yang sebelumnya adalah pelayan raja, kini menjadi perpanjangan tangan VOC, bertanggung jawab memungut pajak dan memaksa kerja rodi (tenaga kerja paksa) atas nama Belanda.
Legitimasi seorang Mantari sebelum kolonialisme berasal dari darah bangsawan, kesetiaan kepada raja, dan dukungan rakyat. Di bawah Belanda, legitimasi Mantari bergantung pada persetujuan dan gaji dari VOC. Ini menciptakan dualisme peran yang rumit: seorang Mantari harus mempertahankan wajah bangsawan tradisionalnya di hadapan rakyat, sambil menjalankan kebijakan eksploitatif Belanda.
Meskipun peran Mantari telah mengalami penyesuaian besar-besaran dan banyak dari kekuasaan asli mereka telah tererosi, struktur dan sistem administrasi yang mereka warisi (Bupati, Wedana, Mantri) tetap menjadi fondasi administrasi regional Indonesia hingga masa kemerdekaan. Warisan sistem Mantari adalah bukti akan kecanggihan birokrasi tradisional yang mampu bertahan—dan diadaptasi—melalui berbagai perubahan politik, sosial, dan ekonomi yang fundamental.
Institusi Mantari adalah cerminan dari kompleksitas dan kecanggihan peradaban politik di Nusantara. Sebagai administrator, hakim, penasihat, dan komandan militer, Mantari merupakan pilar yang menopang stabilitas kerajaan-kerajaan besar, mulai dari Mataram Kuno hingga Kesultanan Mataram yang megah. Mereka berhasil menciptakan jaringan birokrasi yang efektif, mampu mengelola pertanian irigasi, memobilisasi tenaga kerja, dan mengamankan rute perdagangan yang vital.
Dari struktur Majapahit yang sangat hierarkis hingga adaptasi fungsional di kerajaan maritim, peran Mantari menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan geografis dan ekonomi yang berbeda. Meskipun kolonialisme mengubah fungsi mereka dari pelayan raja menjadi agen kolonial, warisan struktural Mantari—sistem kepangkatan, tata kelola wilayah (Nāgara), dan hubungan pusat-daerah—tetap menjadi cetak biru administrasi modern di Indonesia. Memahami Mantari adalah memahami bagaimana kekuasaan diorganisir dan diterapkan di tanah air ini selama ribuan tahun.
Kisah Mantari adalah kisah tentang bagaimana administrasi, jauh sebelum modernitas tiba, telah menjadi seni politik dan penentu keberlangsungan sebuah imperium.
Untuk mencapai skala operasional yang diperlukan, Mataram—dan para Mantari-nya—mengembangkan sistem yang sangat terperinci dalam manajemen sumber daya manusia dan tanah. Ini adalah inti dari bagaimana Mantari mampu mempertahankan kekuasaan terpusat di wilayah yang luas dan belum sepenuhnya terintegrasi.
Para Mantari tidak selalu dibayar dengan gaji moneter; sebaliknya, mereka diberikan hak atas tanah tertentu yang disebut apanage atau lungguh (tanah jabatan). Tanah ini tidak dimiliki secara pribadi oleh Mantari, tetapi hak untuk memungut pajak dan hasil panen dari tanah tersebut diserahkan kepadanya selama ia memegang jabatan. Sistem ini secara efektif menjadikan Mantari sebagai tuan tanah sementara.
Pengaturan ini memiliki implikasi ganda. Di satu sisi, ia memotivasi Mantari untuk mengelola tanah dengan baik (karena kesejahteraan pribadi mereka terikat pada hasil panen). Di sisi lain, karena tanah itu dapat dicabut oleh Sultan kapan saja, hal itu menjadi alat kontrol yang sangat kuat. Pencabutan hak lungguh adalah hukuman terberat bagi Mantari yang tidak loyal. Siklus ini memaksa Mantari untuk terus-menerus menunjukkan kesetiaan kepada Keraton, memastikan bahwa kekuatan mereka selalu berasal dari mandat Raja, bukan dari warisan tanah mutlak.
Mantari yang memegang gelar Punggawa atau Tumenggung memiliki struktur militer yang berlapis. Mereka tidak hanya memimpin pertempuran, tetapi juga bertanggung jawab atas logistik, pelatihan, dan disiplin pasukan. Pasukan Mantari ini dikenal sebagai Prajurit Punggawa.
Organisasi Prajurit Punggawa sangat berbeda dari tentara profesional modern. Mereka terdiri dari petani yang dimobilisasi pada musim non-tanam. Mantari harus mampu:
Di dalam Keraton, birokrasi Mantari Jero berkembang menjadi sistem yang sangat rumit, seringkali berfokus pada status dan ritual daripada efisiensi modern. Mantari ini dibagi berdasarkan lokasi di Keraton, seperti:
Kerumitan birokrasi Jeroan ini berfungsi untuk dua tujuan: pertama, menyerap loyalitas para bangsawan muda (Priayi); kedua, mencegah satu Mantari mengumpulkan terlalu banyak kekuasaan, karena setiap aspek kehidupan raja diawasi oleh berbagai lapisan Mantari yang saling mengawasi satu sama lain. Sistem checks and balances ini, meskipun lambat, efektif dalam mencegah kudeta internal.
Selain fungsi administratif dan militer, Mantari memiliki peran sosiokultural yang mendalam. Mereka adalah penghubung utama antara tradisi agung (keraton) dan tradisi lokal (desa). Dalam kapasitas ini, Mantari di wilayah bertindak sebagai penjaga adat.
Meskipun Keraton mengeluarkan dekrit (hukum raja), penerapan hukum sehari-hari di desa sering didominasi oleh Adat. Mantari regional harus memahami dan menghormati Adat, menggunakan kebijaksanaan mereka untuk menengahi konflik yang muncul antara hukum tertulis Keraton dan kebiasaan lokal. Kegagalan Mantari dalam menghormati Adat dapat menyebabkan hilangnya rasa hormat dan, lebih buruk lagi, penolakan untuk membayar upeti.
Banyak Mantari, terutama yang kaya dan berkuasa, bertindak sebagai patron bagi seni dan budaya lokal. Mereka mensponsori pagelaran wayang, tarian, dan musik gamelan. Ini bukan sekadar kegiatan rekreasi; ini adalah cara bagi Mantari untuk menunjukkan kekayaan, pengaruh, dan legitimasinya di mata rakyat. Dengan mendukung seniman dan ulama, Mantari memastikan bahwa narasi kekuasaan Keraton disebarkan melalui media yang paling populer dan dihormati.
Mantari tidak hanya mengawasi pembangunan fisik (jembatan atau jalan), tetapi juga pembangunan sosial. Mereka seringkali terlibat dalam pendirian sekolah-sekolah tradisional (pesantren atau padepokan) dan memastikan ketersediaan tempat ibadah. Di era Islamisasi, Mantari memainkan peran penting dalam memastikan transisi agama berjalan damai dan terintegrasi dengan budaya Jawa (sinkretisme). Mantari adalah agen yang menjamin bahwa perubahan sosial yang besar pun dapat diakomodasi tanpa mengorbankan stabilitas politik. Kemampuan Mantari untuk beradaptasi terhadap Islam tanpa menghancurkan sepenuhnya tradisi Hindu-Buddha merupakan salah satu warisan terbesar mereka.
Kedalaman analisis ini menunjukkan bahwa fungsi Mantari melampaui sekadar eksekutor; mereka adalah pemelihara peradaban. Mereka memegang tanggung jawab atas stabilitas ekonomi (melalui irigasi), keamanan politik (melalui militer), dan kohesi sosial (melalui Adat dan seni). Kompleksitas peran ganda ini, yang berulang dalam berbagai tingkat dan gelar dari Sabang hingga Merauke, adalah alasan mengapa institusi Mantari/Mantri tetap menjadi model organisasi kenegaraan di Nusantara selama lebih dari seribu tahun. Mereka adalah arsitek birokrasi pra-modern yang berhasil, sebuah fakta yang terabadikan dalam setiap prasasti, naskah, dan catatan sejarah kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri tegak di kepulauan ini.