Kata "Manurung" membawa resonansi yang mendalam dalam narasi sejarah dan mitologi beberapa suku besar di Nusantara, terutama di Sulawesi Selatan dan Tanah Batak. Lebih dari sekadar nama atau marga, konsep Manurung merupakan jembatan antara dunia fana dan dunia dewa, sebuah arketipe legitimasi kekuasaan yang menjadi pondasi berdirinya banyak kerajaan pra-modern. Sosok yang ‘menuruni’ (atau Tomanurung, dalam bahasa Bugis/Makassar) diposisikan sebagai penyelamat, pendiri dinasti, dan pembuat kontrak sosial pertama yang mengakhiri kekacauan (masa pra-negeri) dan memulai tatanan politik (masa negeri).
Eksplorasi ini akan membedah secara komprehensif signifikansi Manurung dalam dua konteks budaya yang sangat berbeda—yakni sebagai sosok dewa pendiri di Sulawesi Selatan dan sebagai marga genealogis di Tanah Batak—sambil menelaah bagaimana narasi ini bertahan melintasi zaman, membentuk identitas, dan melanggengkan struktur sosial hingga hari ini.
Di Sulawesi Selatan, konsep ‘Manurung’ secara spesifik diwujudkan dalam istilah Tomanurung (sering juga disebut To Manurung atau Tumanurung). Tomanurung secara harfiah berarti "orang yang turun." Penurunan ini selalu dikaitkan dengan kedatangan dari langit (dunia atas, Tori Langi) atau dari air (dunia tengah). Kedatangan Tomanurung menandai masa transisi krusial dari era kekacauan (disebut juga zaman para Anarung atau masa sebelum adanya raja yang sah) menuju era tatanan kerajaan yang terstruktur.
Narasi Tomanurung bukan sekadar cerita rakyat; ia adalah piagam pendirian politik. Dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada khususnya, legitimasi kekuasaan seorang raja (atau Datu) di masa lalu sangat bergantung pada klaim keturunan dari Tomanurung. Fungsi utama dari mitos ini adalah:
Tomanurung adalah respons budaya terhadap kebutuhan mendesak akan struktur politik dan hukum. Ia memindahkan sumber kekuasaan dari kekuatan fisik ke otoritas ilahi yang diterima secara kolektif, sehingga menciptakan stabilitas yang berkelanjutan.
Kerajaan Gowa, yang kemudian menjadi inti dari Kesultanan Makassar, memiliki narasi Tomanurung yang sangat kuat. Tomanurung di Gowa dipercaya sebagai seorang perempuan, dikenal sebagai Tumanurung Bainea (Manurung Perempuan). Kisah ini diabadikan dalam Lontara Gowa.
Menurut kisah, masyarakat Gowa pada mulanya hidup dalam kekacauan di sekitar bukit Tamalate. Mereka bersepakat mencari pemimpin. Tiba-tiba, muncul seorang perempuan cantik dari puncak bukit, yang dikelilingi cahaya. Ia tidak membawa senjata, namun memiliki pusaka berupa alat tenun dan sebuah peti (Arajang). Rakyat yang melihat tanda-tanda keilahiannya langsung tunduk.
Kontrak sosial yang ditetapkan di Gowa sangat penting: Tumanurung Bainea akan memimpin dan melindungi, asalkan rakyat memegang janji untuk tidak mengkhianati perintahnya. Ia memerintah selama beberapa waktu, menikahi seorang pemuda lokal, dan melahirkan Raja Gowa I, Batara Gowa. Setelah memastikan tatanan established, ia menghilang, meninggalkan benda pusaka yang kemudian menjadi simbol kekuatan Gowa.
Kisah Gowa ini menekankan pentingnya peran perempuan dalam permulaan dinasti, sebuah hal yang unik dalam konteks kerajaan lain di Nusantara, dan memberikan legitimasi ilahi pada dinasti Gowa (sebelum beralih ke Islam).
Luwu dianggap sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, dan mitos Tomanurung-nya terkait erat dengan epos I La Galigo. Tomanurung di Luwu dikenal sebagai Raja Riu La Galigo atau dikenal sebagai PatotoqE, sosok awal dalam siklus epik.
Tomanurung Luwu sering diidentifikasi dengan Batara Guru atau keturunannya, yang turun ke bumi untuk mendirikan kerajaan. Dalam konteks Luwu, Tomanurung adalah raja pertama yang membawa pengetahuan tentang pertanian, tenun, dan sistem irigasi, yang menandakan transisi dari masyarakat nomaden/pengumpul menjadi masyarakat agraria yang terstruktur.
Signifikansi Luwu terletak pada klaim mereka sebagai "pusat" dari segala Tomanurung, dengan Luwu memegang otoritas ritual tertinggi (Pajung Luwu) yang dihormati bahkan oleh raja-raja Gowa dan Bone.
Di Bone, Tomanurung dikenal sebagai Mata Silompoe. Cerita Bone memiliki kesamaan dengan Gowa, di mana Mata Silompoe muncul di daerah Ujung Tanah. Ia ditemukan oleh enam pemimpin komunitas lokal (Matoa), yang kemudian bersepakat untuk mengangkatnya menjadi Raja Bone pertama, yang dikenal sebagai ManurungngE Ri Matajang (Manurung yang berada di Matajang).
Tomanurung Bone memberikan pelajaran tentang musyawarah dan mufakat. Enam Matoa ini tidak hanya menyerahkan kekuasaan, tetapi menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh raja. Ini menunjukkan bahwa legitimasi di Bone tidak hanya bersumber dari atas (ilahi) tetapi juga dari bawah (persetujuan rakyat/pemimpin adat), sebuah konsep yang menguatkan sistem monarki terbatas di Bugis.
Peninggalan Tomanurung, atau Arajang, adalah benda pusaka suci yang ditinggalkan oleh sosok pendiri dinasti tersebut. Benda-benda ini bisa berupa keris, tombak, payung kebesaran, atau alat tenun, dan dianggap memiliki kekuatan spiritual yang menjaga keberlangsungan kerajaan.
Tomanurung bukanlah sekadar mitos lisan; kehadirannya terukir rapi dan sistematis dalam catatan historis tradisional Bugis dan Makassar yang dikenal sebagai Lontara. Lontara berfungsi sebagai arsip kerajaan, mencatat silsilah (silsilah raja-raja), hukum, dan kejadian penting.
Setiap Lontara (misalnya Lontara Sukku’na Wajo atau Lontara Patturioloang di Gowa) dimulai dengan kisah Tomanurung. Tomanurung adalah titik nol genealogis. Semua raja yang memerintah setelahnya harus mampu menelusuri garis darah mereka kembali ke Tomanurung melalui keturunan yang sah.
Pencatatan ini vital karena menegaskan legitimasi: seseorang baru bisa diakui sebagai raja jika darahnya terhubung langsung dengan Manurung pertama. Jika garis keturunan terputus atau diragukan, legitimasi kekuasaan juga akan goyah. Ini menjelaskan mengapa konflik politik seringkali berpusat pada klaim silsilah.
Para sejarawan dan antropolog membagi sejarah kerajaan Sulawesi Selatan berdasarkan Lontara menjadi tiga fase utama:
Dengan demikian, Manurung adalah penanda epistemologis dalam sejarah lokal, sebuah titik balik yang membedakan sejarah yang dicatat (beradab) dari pra-sejarah yang kacau.
Salah satu ciri khas Tomanurung adalah penghilangannya (Nalili atau Malili) setelah menyelesaikan tugasnya. Ia tidak meninggal dalam arti biologis biasa. Penghilangan ini memiliki makna yang mendalam:
Fenomena Tomanurung ini sejajar dengan mitos pendiri di banyak kebudayaan lain, seperti pendiri yang naik ke nirwana atau berubah menjadi dewa setelah tugasnya selesai, menjamin bahwa tatanan yang ia ciptakan bersifat abadi dan sakral.
Sementara di Sulawesi Selatan "Manurung" adalah gelar atau arketipe mitologis, di Tanah Batak (terutama Suku Batak Toba), "Manurung" adalah salah satu marga (nama keluarga) yang memiliki akar genealogis yang sangat jelas dan terstruktur dalam sistem kekerabatan Batak.
Marga Manurung adalah bagian dari Tarombo (silsilah) besar Batak Toba. Secara umum, Marga Manurung berasal dari salah satu keturunan Raja Silahisabungan, salah satu leluhur besar Batak. Silsilahnya adalah sebagai berikut:
Raja Silahisabungan memiliki delapan anak laki-laki. Salah satu dari anak tersebut adalah Loho Raja. Keturunan dari Loho Raja memiliki beberapa marga, termasuk Marga Manurung. Dalam tradisi Toba, Loho Raja dan Datu Pejel memiliki peran penting dalam mendirikan tatanan kekerabatan di daerah Silalahi Nabolak dan sekitarnya.
Manurung seringkali diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok marga Silalahi, meskipun seiring perkembangan zaman, Marga Manurung telah berdiri sendiri dan memiliki identitas serta penyebaran geografisnya sendiri.
Marga Manurung menyebar luas di sekitar Samosir, Toba, dan daerah Humbang. Seperti marga Batak lainnya, Marga Manurung memiliki cabang-cabang (sub-marga) yang kompleks, yang mencerminkan generasi yang berbeda dan penyebaran geografis:
Dalam adat Batak, Marga Manurung memiliki ikatan yang kuat dengan marga-marga lain yang berasal dari Raja Silahisabungan, dihormati sebagai bona pasogit (tanah asal) dan diatur oleh sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Utama).
Dalam sistem kekerabatan Batak, marga menentukan peran seseorang dalam setiap upacara adat. Bagi Marga Manurung, posisi mereka dalam Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Boru, Dongan Tubu) sangat krusial:
Keberadaan marga, termasuk Manurung, adalah pilar utama identitas Batak. Berbeda dengan konteks Sulawesi yang bersifat mitologis pendirian negara, Manurung Batak adalah silsilah yang hidup, digunakan sehari-hari untuk menentukan interaksi sosial, pernikahan, dan ritual kematian.
Meskipun memiliki nama dasar yang sama, konsep Manurung di Sulawesi dan Batak memiliki fungsi yang berbeda:
| Aspek | Manurung (Sulawesi Selatan) | Manurung (Batak Toba) |
|---|---|---|
| Konsep Dasar | Tomanurung: Sosok ilahi/dewa yang turun dari langit. | Marga Manurung: Keturunan biologis leluhur (Raja Silahisabungan). |
| Fungsi Utama | Legitimasi pendirian negara (kerajaan) dan hukum. | Identitas kekerabatan (sistem marga) dan regulasi adat. |
| Sifat | Mitos, bersifat transenden, menghilang. | Genealogis, bersifat immanen, terus berlanjut. |
Persamaan yang mungkin ada terletak pada fungsi Manurung sebagai ‘titik awal’. Di Sulawesi, ia adalah awal dari tatanan politik. Di Batak, ia adalah awal dari garis silsilah yang terstruktur, yang sama-sama bertujuan menciptakan keteraturan dari kekacauan (dalam hal ini, kekacauan hubungan antar individu).
Mitos Manurung di Sulawesi Selatan tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari pola mitos pendiri yang universal, di mana sosok luar biasa datang untuk mengisi kekosongan kepemimpinan. Membandingkannya dengan konsep serupa di Nusantara membantu kita memahami kedalaman sosio-politik narasi ini.
Di Jawa, mitos pendiri seringkali melibatkan dewa atau keturunan dewa (misalnya, dinasti Mataram yang mengklaim keturunan dari Panembahan Senopati yang terkait dengan Ratu Pantai Selatan). Konsep Sanghyang (Yang Mulia) atau Batara (Tuan) juga menunjukkan sosok ilahi yang menjadi sumber kekuasaan.
Perbedaan kunci: Sosok Tomanurung di Sulawesi cenderung lebih pragmatis dan terikat oleh kontrak sosial eksplisit dengan rakyat, yang dicatat dalam Lontara. Sementara di Jawa, legitimasi seringkali lebih bersifat mistis, inheren dalam keistimewaan raja (wahyu atau pulung) daripada perjanjian lisan atau tertulis dengan rakyat.
Kemiripan yang mendalam: Keduanya sama-sama menggunakan narasi ilahi untuk membenarkan hak memerintah, sebuah strategi yang sangat efektif untuk mempersatukan suku-suku yang berbeda di bawah satu payung otoritas tunggal.
Antropolog sering melihat mitos Tomanurung sebagai refleksi historis dari momen-momen krisis sosial. Ketika masyarakat pra-negara mencapai tingkat kompleksitas tertentu (misalnya, peningkatan populasi, persaingan sumber daya, atau konflik antar suku), struktur kepemimpinan lama (yang berbasis senioritas klan atau kekuatan fisik) tidak lagi memadai.
Tomanurung hadir sebagai solusi fantastis untuk masalah nyata. Karena ia ‘bukan dari sini’ dan ‘bukan dari kita’, ia dapat bertindak sebagai mediator yang netral dan berkuasa mutlak. Ia membawa hukum yang tidak dapat dipertanyakan karena berasal dari dunia atas.
"Sosok Tomanurung merepresentasikan kebutuhan mendesak masyarakat untuk transisi dari kondisi liar ke kondisi beradab. Mereka perlu meyakinkan diri bahwa kedaulatan yang mereka terima berasal dari sumber yang lebih tinggi daripada manusia biasa."
Oleh karena itu, setiap kali terjadi kekacauan di Sulawesi Selatan, sering muncul gerakan spiritual atau politik yang mengklaim kemunculan kembali Manurung (atau keturunan murni Manurung) sebagai upaya untuk memulihkan tatanan yang runtuh.
Meskipun era kerajaan telah berlalu, dan sistem marga Batak kini berhadapan dengan modernitas dan urbanisasi, konsep Manurung tetap relevan dalam konteks pelestarian identitas budaya dan nilai-nilai lokal.
Di Sulawesi Selatan, Tomanurung telah berubah fungsi dari sumber legitimasi politik menjadi sumber identitas kultural dan kebanggaan historis. Pemerintah daerah sering menggunakan narasi Tomanurung sebagai dasar untuk festival budaya, wisata sejarah, dan penamaan lokasi penting.
Peran keturunan Manurung (kaum bangsawan) masih dihormati, meskipun mereka tidak lagi memegang kekuasaan politik formal. Mereka sering menjadi penjaga tradisi (pemangku adat) yang memastikan ritual Arajang terus dilaksanakan, menjaga hubungan spiritual dengan para leluhur pendiri.
Dalam debat identitas kontemporer, Tomanurung digunakan untuk menekankan keunikan peradaban Bugis-Makassar yang telah memiliki sistem negara berdaulat jauh sebelum kolonisasi, menanamkan rasa hormat terhadap hukum dan tata krama yang berasal dari perjanjian suci pertama.
Bagi Marga Manurung Batak, silsilah adalah tali pengikat yang vital, terutama bagi mereka yang hidup di perantauan (diaspora). Sistem Tarombo, yang di dalamnya Marga Manurung berada, memungkinkan orang Batak yang bertemu di mana pun di dunia untuk segera menentukan hubungan kekerabatan (misalnya, apakah mereka Dongan Tubu atau Boru) dan bagaimana mereka harus saling bersikap.
Marga Manurung berperan aktif dalam organisasi marga (punguan) di kota-kota besar. Kegiatan ini tidak hanya melestarikan bahasa dan adat, tetapi juga memberikan jaring pengaman sosial dan ekonomi bagi anggotanya. Manurung di sini adalah identitas komunal, sebuah warisan yang dipertahankan melalui pernikahan eksogami (di luar marga) dan penamaan anak yang merujuk pada silsilah.
Secara keseluruhan, baik sebagai mitos pendiri maupun sebagai identitas marga, ‘Manurung’ adalah kata yang menggambarkan keteraturan, legitimasi, dan keturunan yang terstruktur. Ia adalah inti dari pemahaman diri bagi dua komunitas besar di kepulauan Indonesia, menunjukkan bagaimana sejarah lisan dan catatan tradisional memainkan peran abadi dalam membentuk peradaban.
Untuk mencapai pemahaman mendalam tentang cakupan pengaruh Manurung, penting untuk melihat bagaimana narasi ini dimainkan di kerajaan-kerajaan kecil lain di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa pola "sosok dari atas datang untuk mengatur" adalah pola yang diulang di seluruh wilayah Wajo, Soppeng, dan daerah pesisir lainnya.
Kerajaan Wajo memiliki salah satu kisah Manurung yang paling kompleks, yang dihubungkan dengan konsep Lipu’E (Negara) dan persetujuan rakyat. Tomanurung di Wajo, dikenal sebagai La Tiringeng To Taba di Cinnotabie, muncul sebagai seorang pangeran yang dibuang dari Luwu. Meskipun bukan ‘turun’ dari langit secara harfiah, ia dipandang memiliki legitimasi yang lebih tinggi karena keturunannya yang ilahi.
Di Wajo, kedatangan Tomanurung sangat terkait dengan pembentukan sistem pemerintahan yang dikenal sebagai Patola (dewan musyawarah), yang mencerminkan kontrak sosial yang kuat. Tiga kontrak utama yang menjadi dasar pemerintahan Wajo adalah:
Kisah Tomanurung Wajo menunjukkan adaptasi. Legitimasi ilahi digunakan bukan untuk monarki absolut, tetapi untuk membenarkan sistem yang membatasi kekuasaan raja. Ini adalah bukti bahwa narasi Manurung sangat fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan politik lokal.
Di wilayah selatan Makassar, seperti Bantaeng dan Jeneponto, mitos Manurung tidak hanya berbicara tentang pendirian, tetapi juga tentang penyatuan. Di Bantaeng, Tomanurung Ri Bantaeng adalah sosok yang datang untuk mendamaikan dua komunitas yang berselisih. Kedatangannya membawa ilmu pengetahuan baru dan mampu menyatukan hukum adat yang berbeda.
Dalam narasi ini, Tomanurung berfungsi sebagai simbol rekonsiliasi. Ia bukan hanya pahlawan pendiri, tetapi juga tokoh perdamaian. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Manurung muncul sebagai katalisator perubahan sosial yang diperlukan.
Mitos Manurung di Sulawesi Selatan tidak bisa dilepaskan dari epos besar Bugis, Sureq Galigo, yang menceritakan asal-usul manusia dan dewa-dewa. Dalam Galigo, dunia dibagi menjadi Dunia Atas (Botting Langiq), Dunia Tengah (Lino), dan Dunia Bawah (Peretiwi).
Tomanurung adalah keturunan langsung dari dewa-dewa Botting Langiq, yang diutus ke Lino karena kekacauan manusia. Keturunan ini adalah Sawerigading dan Batara Guru. Dengan demikian, setiap Tomanurung yang muncul kemudian adalah reinkarnasi atau perwujudan kembali dari legitimasi Galigo. Hal ini memberikan kedalaman kosmologis yang luar biasa pada konsep Manurung, menjadikannya bagian dari narasi penciptaan semesta yang lebih besar.
Untuk menghormati kedalaman silsilah Batak, pembahasan mengenai Marga Manurung harus diperluas, melampaui sekadar penamaan dan masuk ke detail hubungan kekerabatan, peran sosial, dan struktur internal marga tersebut.
Secara tradisional, silsilah Marga Manurung dimulai dari Raja Silahisabungan. Dalam pembagian silsilah Batak Toba, keturunan Silahisabungan terbagi menjadi delapan marga utama. Manurung berada di kelompok kedua, yaitu keturunan dari Loho Raja. Keturunan Loho Raja ini dikenal dengan sebutan Silalahi Raja (termasuk Marga Silalahi, Lumbantoruan, dan Manurung).
Kisah Manurung sebagai leluhur marga fokus pada lokasi fisik dan peran sosialnya di komunitas asalnya. Manurung sering dikaitkan dengan tradisi bertani dan memelihara adat istiadat di sekitar Samosir. Pentingnya silsilah ini adalah dalam menentukan siapa yang berhak atas tanah adat (hak ulayat) di bona pasogit.
Dalam tradisi Batak, setiap anggota marga menghormati leluhur pendiri mereka (Opung). Bagi Marga Manurung, penghormatan ini berarti memahami secara persis garis keturunan (tarombo) hingga kepada leluhur pertama yang menyandang nama Manurung.
Proses ini memunculkan struktur adat yang ketat. Jika terjadi pernikahan antar-Manurung, pernikahan itu dianggap ‘sumbang’ atau melanggar adat (mangaraja), karena mereka adalah Dongan Tubu. Keharusan menikah di luar marga (eksogami) adalah kekuatan pendorong utama penyebaran dan pelestarian identitas marga itu sendiri.
Saat Marga Manurung menyebar ke seluruh Indonesia dan dunia, mereka membentuk punguan (perkumpulan marga). Punguan ini berfungsi sebagai:
Sistem ini memastikan bahwa meskipun ‘Manurung’ di Batak adalah konsep yang sangat manusiawi dan genealogis, ia membawa tanggung jawab komunal yang sama kuatnya dengan tanggung jawab politik yang dibawa oleh keturunan Tomanurung di Sulawesi.
Kata dasar *'turun'* (Manurung) sendiri memberikan petunjuk penting tentang bagaimana masyarakat Nusantara memandang asal-usul dan sumber otoritas.
Dalam bahasa-bahasa Austronesia (termasuk Bugis, Makassar, dan Batak), kata kerja yang berarti 'turun' (seperti turun, nuru’, manurung) selalu memiliki konotasi perpindahan dari posisi tinggi ke posisi rendah. Ketika digunakan dalam konteks spiritual atau politik, ia berarti perpindahan dari status sakral (langit/dunia atas) ke status duniawi (bumi/dunia fana).
Di Sulawesi Selatan, Tomanurung adalah 'The One Who Descended'—ia datang membawa solusi. Ini kontras dengan narasi leluhur yang 'naik' ke status dewa setelah mati. Manurung adalah sosok yang membawa kedaulatan dari atas. Hal ini menegaskan bahwa legitimasi tertinggi harus datang dari sumber yang lebih tinggi daripada manusia, yaitu kosmos.
Mitos Tomanurung secara sempurna mencerminkan kosmologi dualistis yang umum di Nusantara: pemisahan antara Dunia Atas (tempat asal usul ilahi) dan Dunia Bawah (tempat kehidupan manusia). Tomanurung berfungsi sebagai medium atau penghubung yang menjembatani kedua dunia ini.
Kemunculan Tomanurung seringkali disertai tanda-tanda alam: kilat, cahaya, atau badai—manifestasi fisik dari Dunia Atas yang menyentuh Dunia Bawah. Ketika ia menghilang, ia mengembalikan kekuasaan simbolisnya ke Dunia Atas, namun meninggalkan benih kekuasaan (keturunan dan Arajang) di bumi.
Inilah yang membuat Manurung menjadi begitu sentral dalam pemahaman budaya. Ia bukan hanya cerita tentang masa lalu, tetapi merupakan peta jalan untuk memahami hubungan antara langit dan bumi, antara raja dan rakyat, dan antara tradisi dan modernitas.
Melalui lensa Sulawesi Selatan dan Tanah Batak, kita melihat bahwa Manurung, dalam segala manifestasinya, adalah konsep yang bertujuan menciptakan keteraturan dari kekacauan. Baik sebagai Tomanurung—sosok ilahi yang menetapkan hukum dan kerajaan—atau sebagai Marga Manurung—akar silsilah yang mengatur interaksi sosial Batak—kata ini menandai transisi penting: dari tanpa aturan menjadi terstruktur, dari tanpa identitas menjadi terikat dalam kekerabatan.
Warisan Manurung terus hidup. Di Sulawesi, ia adalah pengingat akan sejarah kemandirian politik dan dasar-dasar hukum adat yang mendahului pengaruh luar. Di Batak, ia adalah matriks identitas yang memastikan kohesi sosial tetap kuat di tengah tantangan zaman modern. Manurung adalah pilar abadi yang menopang struktur identitas dan peradaban di Nusantara, sebuah kisah tentang asal-usul yang akan terus diceritakan dan dihormati oleh generasi mendatang.