Konsep *Mare Liberum* sebagai hukum universal yang menjamin kebebasan navigasi di lautan.
Konsep Mare Liberum, atau "Laut Bebas," adalah salah satu pilar filosofis paling signifikan dalam perkembangan hukum internasional. Digaungkan oleh cendekiawan Belanda, Hugo Grotius, pada tahun 1609, ide ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk menantang klaim eksklusif atas jalur laut vital yang pada masa itu didominasi oleh kekuatan maritim besar seperti Spanyol dan Portugal. Lebih dari sekadar polemik politik abad ke-17, *Mare Liberum* meletakkan dasar bagi pemahaman kontemporer kita mengenai Laut Lepas (High Seas) sebagai warisan bersama umat manusia, sebuah wilayah yang terbuka bagi penggunaan damai oleh semua bangsa tanpa diskriminasi atau kepemilikan eksklusif.
Artikel ini akan menelusuri perjalanan filosofis dan historis *Mare Liberum*, mulai dari argumen fundamental Grotius yang berbasis pada hukum alam, pertarungannya melawan doktrin *Mare Clausum* (Laut Tertutup), hingga bagaimana prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) abad ke-20. Selain itu, kita akan mengupas kompleksitas dan tantangan kontemporer yang terus menguji batas-batas kebebasan laut di era modern.
Abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah era eksplorasi besar dan persaingan dagang yang brutal. Setelah penemuan jalur laut baru oleh Vasco da Gama dan Christopher Columbus, samudra menjadi jalur transportasi utama dan arena konflik geopolitik. Portugal dan Spanyol, melalui serangkaian perjanjian, yang paling terkenal adalah Perjanjian Tordesillas (1494), secara efektif membagi dunia maritim di luar Eropa menjadi zona eksklusif mereka. Pembagian ini, yang didukung oleh otoritas kepausan, memberikan kedua kerajaan tersebut kendali mutlak atas navigasi, perdagangan, dan sumber daya di wilayah lautan yang sangat luas.
Republik Belanda, sebuah kekuatan dagang yang sedang naik daun pada akhir abad ke-16, merasa tercekik oleh klaim eksklusif ini. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sangat bergantung pada akses ke Asia Tenggara, tetapi jalur tersebut diklaim sebagai milik Portugal. Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 1603 ketika kapal VOC menyita kapal dagang Portugis, Santa Catarina, di Selat Singapura. Perebutan kapal ini memicu perdebatan hukum yang sengit: Apakah penyitaan ini sah? Apakah Portugis benar-benar memiliki hak eksklusif atas perairan tersebut?
VOC meminta Hugo Grotius, seorang pengacara muda berbakat yang baru berusia 25 tahun, untuk menyusun argumen yang kuat untuk membenarkan tindakan tersebut. Jawaban Grotius adalah naskah panjang, yang sebagian darinya diterbitkan pada tahun 1609 sebagai *Mare Liberum* (Bab XII dari karya besarnya, *De Jure Praedae* - Tentang Hukum Perampasan). Karya ini bukan hanya pembelaan atas satu tindakan penyitaan, tetapi sebuah proklamasi universal mengenai sifat intrinsik lautan.
"Setiap bangsa bebas untuk melakukan perjalanan ke bangsa mana pun, dan untuk berdagang dengannya. Laut, oleh karena itu, harus tetap bebas bagi semua." - Hugo Grotius (diadaptasi dari *Mare Liberum*).
Grotius tidak mendasarkan argumennya pada hukum positif (hukum yang dibuat oleh manusia atau perjanjian), melainkan pada konsep filosofis yang lebih tinggi: Hukum Alam (Jus Naturale). Menurut Grotius, lautan adalah salah satu dari sedikit hal yang secara alamiah tunduk pada kepemilikan bersama (res communis) atau bahkan tidak dapat dimiliki sama sekali (res nullius).
Argumen utamanya berkisar pada dua poin fundamental:
Grotius secara tegas menyatakan bahwa laut adalah properti yang tidak dapat diokupasi. Berbeda dengan tanah yang dapat dipagari dan diolah, lautan tidak bisa ditutup. Klaim kepemilikan yang dibuat oleh Spanyol dan Portugal hanyalah arogansi manusia yang bertentangan dengan kehendak ilahi dan hukum alam.
Keberanian Grotius yang menantang hegemoni maritim global tentu saja memicu reaksi keras. Kekuatan-kekuatan yang memiliki klaim historis, terutama Inggris, yang juga mulai membangun kerajaan maritimnya sendiri, menolak tesis Laut Bebas. Mereka khawatir prinsip ini akan merusak kendali mereka atas perairan dekat dan sumber daya ikan.
Penentang paling vokal Grotius adalah cendekiawan Inggris, John Selden. Pada tahun 1635, Selden menerbitkan karyanya yang berjudul Mare Clausum, atau "Laut Tertutup." Karya ini didedikasikan untuk Raja Charles I, yang saat itu sedang berjuang untuk mempertahankan kendali Inggris atas Laut Utara dan perairan penangkapan ikan vital di sekitarnya.
Selden membantah Grotius dengan argumen yang berakar pada hukum kebiasaan dan preseden sejarah. Selden berpendapat:
Pertarungan antara *Mare Liberum* dan *Mare Clausum* menjadi pertarungan ideologis yang mencerminkan realitas geopolitik. Belanda, sebagai negara dagang tanpa banyak sumber daya pesisir, membutuhkan laut terbuka. Inggris, yang memiliki pulau dan garis pantai yang luas, membutuhkan laut tertutup (atau setidaknya laut yang dikendalikan) untuk mempertahankan kedaulatan dan ekonominya.
Seiring waktu, tidak ada satu doktrin pun yang sepenuhnya menang, tetapi terjadi pergeseran praktis. Pada abad ke-18, muncul kompromi pragmatis yang dikenal sebagai "Aturan Jangkauan Meriam" (Cannon Shot Rule). Diplomat Belanda Cornelis van Bynkershoek mempopulerkan ide bahwa kedaulatan maritim suatu negara harus meluas sejauh jangkauan tembakan meriam yang ditembakkan dari pantai, karena ini adalah batas efektif kemampuan negara tersebut untuk menegakkan kontrol fisiknya.
Jangkauan meriam pada saat itu secara umum diperkirakan sekitar tiga mil laut. Tiga mil ini menjadi standar internasional yang tidak tertulis untuk batas laut teritorial selama hampir dua abad. Di luar batas tiga mil ini, prinsip *Mare Liberum* berlaku sepenuhnya, mengizinkan navigasi dan perikanan bebas.
Pada abad ke-20, tekanan terhadap sistem tiga mil laut meningkat drastis. Kemajuan teknologi, terutama dalam penangkapan ikan (trawling) dan eksplorasi minyak lepas pantai, membuat negara-negara pesisir semakin cemas akan eksploitasi sumber daya di luar batas kendali mereka. Timbul kekhawatiran tentang keamanan nasional dan perlindungan lingkungan. Batas tiga mil laut yang diciptakan oleh jangkauan meriam kuno menjadi usang.
Titik balik besar terjadi pada tahun 1945 ketika Presiden AS Harry S. Truman mengeluarkan dua proklamasi. Salah satunya mengklaim kendali eksklusif AS atas sumber daya alam di landas kontinennya (dasar laut dan tanah di bawahnya) di luar perairan teritorial. Tindakan ini, yang didorong oleh potensi sumber daya minyak, memicu gelombang klaim serupa dari negara-negara lain, terutama di Amerika Latin, yang mulai mengklaim zona kedaulatan hingga 200 mil laut.
Tindakan unilateral ini menyebabkan kekacauan hukum di lautan. Dibutuhkan sebuah kerangka kerja global yang komprehensif untuk mendamaikan tuntutan kedaulatan negara pesisir dengan prinsip dasar Grotius mengenai kebebasan laut.
Upaya untuk mengkodifikasi hukum laut internasional dilakukan melalui serangkaian Konferensi Hukum Laut PBB (UNCLOS):
UNCLOS berhasil menciptakan kompromi brilian antara doktrin *Mare Liberum* dan tuntutan kedaulatan negara. Konvensi ini tidak menghapus kebebasan laut, tetapi mendefinisikan batas-batas di mana kebebasan itu dapat diterapkan dan di mana kedaulatan negara mulai berlaku. Ini adalah puncak dari evolusi ide Grotius yang disesuaikan dengan kebutuhan teknologi dan ekologi modern.
UNCLOS membagi perairan menjadi beberapa zona hukum, yang masing-masing memiliki tingkat kebebasan dan kedaulatan yang berbeda. Prinsip *Mare Liberum* tetap hidup, tetapi kini diterapkan secara eksklusif pada wilayah Laut Lepas, sementara zona pesisir tunduk pada hak-hak negara yang lebih besar.
Laut Teritorial adalah zona di mana kedaulatan penuh negara pesisir berlaku, mencakup ruang udara di atasnya dan dasar laut di bawahnya. UNCLOS menetapkan batas maksimum Laut Teritorial pada 12 mil laut (sekitar 22,2 km) dari garis pangkal. Meskipun kedaulatan negara berlaku di sini, UNCLOS mempertahankan hak penting dari *Mare Liberum*: Hak Lintas Damai (Right of Innocent Passage). Kapal asing diizinkan melintasi laut teritorial, selama lintasan tersebut tidak mengancam perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pesisir.
Zona Tambahan membentang hingga 24 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini, negara pesisir memiliki hak terbatas untuk mencegah dan menghukum pelanggaran hukum adat, fiskal, imigrasi, dan sanitasi yang dilakukan di wilayah teritorial atau Laut Teritorialnya. Ini bukan zona kedaulatan penuh, melainkan zona penegakan hukum.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah inovasi terbesar UNCLOS dan merupakan kompromi historis yang mendamaikan *Mare Clausum* dan *Mare Liberum*. ZEE membentang hingga 200 mil laut dari garis pangkal.
Di dalam ZEE, negara pesisir memiliki hak berdaulat eksklusif untuk:
Meskipun negara pesisir memiliki hak ekonomi eksklusif, perairan ZEE bukanlah perairan teritorial. Di sini, Grotius's *Mare Liberum* bertahan dalam bentuk kebebasan navigasi dan penerbangan. Semua negara (pesisir maupun pedalaman) memiliki kebebasan untuk navigasi, penerbangan, dan penempatan kabel/pipa bawah laut, sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan laut. Ini menjamin bahwa perdagangan global tidak terhambat oleh klaim ekonomi lokal.
Keseimbangan antara hak berdaulat atas sumber daya (sebuah konsesi besar kepada *Mare Clausum*) dan kebebasan navigasi (*Mare Liberum* yang dipertahankan) adalah inti dari hukum laut modern. Tanpa kompromi ini, UNCLOS mustahil disepakati.
Di luar ZEE (yaitu, di luar 200 mil laut), Laut Lepas adalah manifestasi paling murni dari prinsip Mare Liberum. Laut Lepas adalah wilayah yang secara eksplisit tidak berada di bawah yurisdiksi negara mana pun. Prinsip fundamental yang mengatur Laut Lepas adalah Res Communis Omnium (Properti Umum Semua Orang).
UNCLOS menjamin enam kebebasan utama di Laut Lepas:
Di Laut Lepas, setiap kapal tunduk pada yurisdiksi negara bendera (flag state) tempat kapal itu terdaftar. Prinsip yurisdiksi negara bendera ini penting untuk memastikan bahwa, meskipun tidak ada kedaulatan teritorial, tetap ada tanggung jawab dan penegakan hukum.
Selain Laut Lepas, UNCLOS juga mendefinisikan wilayah yang sangat unik, yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi nasional. Wilayah ini disebut Area. Konsep Area adalah evolusi modern dari *Mare Liberum* yang membawa prinsip kebebasan lautan selangkah lebih maju, menjadikannya warisan bersama yang harus dikelola untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Ide bahwa Area dan sumber daya mineralnya (terutama nodul polimetalik, kerak kobalt ferromangan, dan deposit sulfida) adalah Warisan Bersama Umat Manusia (Common Heritage of Mankind) diperkenalkan oleh diplomat Malta, Arvid Pardo, pada tahun 1967. Pardo khawatir bahwa teknologi penambangan laut dalam akan memungkinkan beberapa negara kaya untuk menjarah kekayaan dasar laut, yang seharusnya menjadi milik semua orang.
Prinsip ini termaktub dalam Bagian XI UNCLOS dan memerlukan pembentukan Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority - ISA). ISA bertugas mengatur eksplorasi dan eksploitasi mineral di Area, memastikan bahwa kegiatan tersebut dilakukan demi manfaat seluruh umat manusia, termasuk negara-negara berkembang dan negara-negara pedalaman yang tidak memiliki akses langsung ke laut.
Pendekatan ini jauh melampaui konsep kebebasan Grotius (yang fokus pada navigasi) menuju konsep pengelolaan sumber daya yang adil. Ini mengakui bahwa di dunia modern, kebebasan tanpa aturan pengelolaan dapat berujung pada kehancuran dan ketidakadilan, terutama dalam konteks sumber daya yang terbatas dan non-terbarukan.
Meskipun prinsip Warisan Bersama telah ditetapkan, implementasinya sangat kompleks. Teknologi untuk penambangan laut dalam kini ada di ujung tanduk, dan tekanan ekonomi untuk mengakses mineral berharga (seperti tembaga, nikel, dan mangan) sangat tinggi. ISA terus berjuang untuk menyusun "Kode Penambangan" yang akan memastikan perlindungan lingkungan laut dalam yang rapuh sambil memungkinkan eksploitasi sumber daya yang adil. Perdebatan sengit tentang siapa yang mendapat manfaat, dan bagaimana kerusakan ekologis dapat diminimalkan, menunjukkan bahwa prinsip kebebasan yang dikelola ini masih merupakan medan pertempuran hukum dan etika.
Meskipun UNCLOS telah menetapkan kerangka kerja hukum, prinsip *Mare Liberum* terus menghadapi tantangan signifikan di abad ke-21. Tantangan-tantangan ini sering kali muncul dari ketegangan antara kedaulatan negara (yang menafsirkan UNCLOS secara maksimalis) dan kepentingan global (yang menjunjung tinggi kebebasan).
Beberapa negara, terutama di wilayah yang disengketakan seperti Laut Cina Selatan, secara rutin mengeluarkan klaim maritim yang melampaui batas yang diizinkan oleh UNCLOS. Klaim ini sering kali disertai dengan militerisasi pulau buatan atau peningkatan kehadiran kapal perang, yang dapat mengancam kebebasan navigasi (FON) bagi negara-negara lain.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, yang belum meratifikasi UNCLOS tetapi menghormati sebagian besar ketentuan hukum kebiasaannya, secara teratur melakukan operasi FON untuk menantang klaim-klaim berlebihan tersebut. Konflik ini adalah manifestasi langsung dari pertempuran Grotius vs. Selden yang dihidupkan kembali: apakah negara pesisir dapat secara sepihak membatasi pergerakan di perairan yang secara hukum dianggap sebagai Laut Lepas atau ZEE?
Ancaman terbesar terhadap kebebasan laut saat ini mungkin bukan berasal dari klaim kedaulatan, melainkan dari kerusakan lingkungan. Laut Lepas yang luas, yang tunduk pada kebebasan penangkapan ikan, telah menjadi sasaran penangkapan ikan yang berlebihan dan polusi plastik yang masif. Prinsip *Mare Liberum* telah dikritik karena memfasilitasi "Tragedi Commons," di mana tidak adanya pemilik membuat semua orang memiliki insentif untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa batas.
Menyadari kelemahan ini, komunitas internasional baru-baru ini menyusun Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ Treaty). Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati Laut Lepas melalui penetapan Kawasan Perlindungan Laut (MPA) di luar ZEE. BBNJ adalah upaya untuk menyeimbangkan kebebasan penggunaan laut dengan kewajiban untuk melindungi lingkungan, memberikan dimensi ekologis baru pada prinsip Grotius.
Meskipun kebebasan navigasi harus dihormati, ada pengecualian yang diizinkan dalam hukum internasional, yang paling signifikan adalah perompakan (piracy). Perompakan adalah kejahatan universal (jus cogens) di Laut Lepas, yang memungkinkan kapal perang dari negara mana pun untuk menangkap perompak. Selain perompakan, penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan penangkapan ikan ilegal yang tidak diatur (IUU fishing) juga menjadi masalah yang memerlukan kerja sama internasional. Penegakan hukum yang efektif di Laut Lepas memerlukan komitmen kolektif, menegaskan bahwa kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab kolektif.
Nilai riil dari prinsip *Mare Liberum* terletak pada dampaknya terhadap ekonomi dan stabilitas global. Lautan membawa lebih dari 80% volume perdagangan global. Jika setiap negara pesisir memiliki hak untuk membebankan pajak, menolak akses, atau mengontrol setiap kapal yang melewati 200 mil pertamanya, sistem perdagangan internasional akan runtuh.
Kebebasan navigasi menjadi sangat krusial di Selat Internasional, jalur sempit yang menghubungkan dua bagian Laut Lepas atau ZEE. Contoh klasik termasuk Selat Hormuz, Selat Malaka, dan Selat Gibraltar. Meskipun selat-selat ini mungkin berada dalam Laut Teritorial dua negara pesisir atau lebih (batas 12 mil), UNCLOS menjamin hak yang lebih kuat daripada sekadar Lintas Damai, yaitu Transit Passage.
Transit Passage memungkinkan kapal dan pesawat militer (termasuk kapal selam di bawah air) untuk melintas secara cepat dan berkelanjutan tanpa hambatan, asalkan mereka tidak mengancam negara pesisir. Jaminan ini sangat penting bagi kekuatan militer dan perdagangan, memastikan bahwa jalur strategis tidak dapat diblokir secara sepihak oleh negara-negara pesisir yang berada di tepi selat tersebut.
Prinsip kebebasan laut tidak hanya mengenai kapal dagang; ia merupakan fondasi proyeksi kekuatan militer global. Negara-negara dengan angkatan laut biru (seperti AS, Tiongkok, Rusia) sangat bergantung pada *Mare Liberum* untuk memindahkan kapal perang, kapal selam, dan kapal pengintai ke seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, konflik mengenai penafsiran UNCLOS sering kali berpusat pada hak-hak militer di ZEE negara lain—apakah kegiatan pengintaian militer di ZEE asing termasuk dalam 'kebebasan navigasi' yang diizinkan.
Keberhasilan UNCLOS dalam menciptakan kerangka kerja yang stabil telah mencegah konflik yang jauh lebih besar. Tanpa aturan yang jelas mengenai batas-batas maritim, dunia akan kembali ke era *Mare Clausum* yang dicirikan oleh klaim sepihak dan potensi konflik terus-menerus atas jalur pelayaran vital.
Meskipun Grotius dipuji sebagai bapak hukum laut, prinsip *Mare Liberum* juga menghadapi kritik modern. Kritik utama berfokus pada asumsi Grotius bahwa sumber daya laut adalah "tidak terbatas" dan bahwa "penggunaan oleh satu pihak tidak mengurangi penggunaan oleh pihak lain."
Grotius hidup di masa ketika lautan tampak tak terbatas. Populasi global kecil, dan teknologi penangkapan ikan sangat primitif. Kritik modern menyoroti bahwa di era penangkapan ikan industri yang masif, penangkapan ikan oleh satu pihak mutlak mengurangi sumber daya ikan yang tersedia bagi pihak lain. Lautan, dalam banyak hal, telah menjadi ruang yang terbatas dan rapuh.
Hal ini membenarkan pembatasan dalam UNCLOS, seperti kewajiban negara bendera untuk memastikan kapal mereka tidak merusak sumber daya di Laut Lepas dan ZEE. UNCLOS mencoba memperbaiki kelemahan ekologis dari ide Grotius yang murni berfokus pada navigasi dan hak, bukan pada konservasi.
Kritik lain muncul dari negara-negara berkembang. Mereka berpendapat bahwa kebebasan di Laut Lepas secara historis hanya menguntungkan negara-negara dengan kekuatan maritim yang mampu memanfaatkan kebebasan tersebut (negara maju yang memiliki armada penangkap ikan besar atau teknologi penambangan laut dalam). Bagi negara-negara pedalaman atau negara pesisir miskin, *Mare Liberum* hanya menjamin bahwa negara-negara kaya dapat mengeksploitasi sumber daya di dekat mereka sebelum mereka sendiri mampu melakukannya.
Inilah sebabnya mengapa konsep Warisan Bersama (ISA) menjadi begitu penting. Konsep tersebut mencoba memasukkan dimensi keadilan distributif ke dalam hukum laut, mengakui bahwa kebebasan navigasi harus diimbangi dengan keadilan ekonomi dalam penggunaan sumber daya non-terbarukan.
Perjalanan *Mare Liberum* adalah perjalanan dari polemik politik abad ke-17 menjadi prinsip hukum kebiasaan universal, dan akhirnya menjadi inti dari sebuah kerangka kerja internasional yang kompleks. Namun, hukum laut terus berkembang, dan tantangan baru menuntut penafsiran yang lebih fleksibel dan kolaboratif dari prinsip kebebasan.
Jika UNCLOS 1982 mendefinisikan batas-batas yurisdiksi, Perjanjian BBNJ (yang disepakati tahun 2023) mendefinisikan batas-batas ekologis. Keberhasilan BBNJ akan menentukan apakah kebebasan laut dapat dipertahankan tanpa menghancurkan ekosistem yang menopangnya. Penetapan Kawasan Lindung Laut di Laut Lepas merupakan pembatasan terhadap kebebasan tradisional (seperti kebebasan penangkapan ikan), tetapi pembatasan yang diterima secara kolektif untuk memastikan kelangsungan hidup sumber daya laut itu sendiri.
Perkembangan teknologi otonom, seperti kapal tak berawak dan kendaraan bawah laut tanpa awak (UUVs), menimbulkan pertanyaan baru mengenai status mereka di bawah *Mare Liberum*. Apakah UUVs yang melakukan pengawasan militer di ZEE negara lain melanggar kebebasan navigasi? Hukum laut, yang sebagian besar dirancang untuk kapal berawak, perlu menyesuaikan diri dengan realitas teknologi baru yang mengaburkan batas antara penelitian ilmiah, navigasi damai, dan kegiatan militer.
Selain itu, eksploitasi mineral di dasar laut dalam melalui ISA, jika berhasil dimulai, akan menjadi ujian terbesar bagi prinsip Warisan Bersama. Penerimaan dividen kepada negara-negara berkembang dan kepatuhan terhadap standar lingkungan yang ketat akan menjadi kunci untuk menjaga legitimasi ISA dan mencegah munculnya konflik baru atas sumber daya global yang terakhir belum dieksploitasi.
Prinsip *Mare Liberum* abad ke-21 tidak lagi dapat diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Sebaliknya, ia harus dipahami sebagai kebebasan yang diiringi tanggung jawab. Kebebasan navigasi, penangkapan ikan, dan penelitian tetap dijamin, tetapi kebebasan ini tunduk pada kewajiban hukum internasional, termasuk kewajiban untuk tidak merusak lingkungan laut, untuk menghormati hak-hak negara lain, dan untuk bekerja sama dalam memerangi kejahatan maritim.
Filsafat Grotius, yang lahir dari dorongan ekonomi dan persaingan dagang, telah bermetamorfosis menjadi sebuah filosofi hukum global yang mengintegrasikan aspek ekonomi, keamanan, dan ekologi. Lautan tetap bebas, bukan karena tidak dapat dikuasai, tetapi karena komunitas internasional telah memilih untuk menjadikannya bebas melalui perjanjian kolektif, menghormati warisan pemikiran Grotius yang berusia lebih dari empat abad. Tanpa prinsip dasar *Mare Liberum*, tatanan laut kita akan kembali menjadi lautan klaim sepihak dan konflik yang tak berkesudahan.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana *Mare Liberum* berfungsi dalam praktik kontemporer, penting untuk memeriksa secara rinci hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara bendera di Laut Lepas, sesuai dengan Bagian VII UNCLOS. Konsep kebebasan di Laut Lepas, meskipun tampak sederhana, diisi dengan kewajiban kompleks yang memastikan bahwa kebebasan satu negara tidak merugikan negara lain.
Prinsip fundamental di Laut Lepas adalah yurisdiksi eksklusif negara bendera. Setiap kapal yang berlayar di Laut Lepas harus memiliki bendera negara tertentu, dan kapal tersebut dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah negara tersebut. Negara bendera bertanggung jawab untuk mendaftarkan kapal, menginspeksinya, dan menerapkan undang-undang administratif, teknis, dan sosialnya. Dalam konteks *Mare Liberum*, ini adalah mekanisme penegakan hukum yang memastikan bahwa kebebasan navigasi tidak berubah menjadi anarki.
Kewajiban negara bendera mencakup penetapan standar keselamatan maritim, pencegahan polusi, dan memastikan kondisi kerja yang memadai bagi kru. Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban ini, yang dikenal sebagai 'bendera kemudahan' (flags of convenience), adalah salah satu tantangan terbesar terhadap ketertiban di Laut Lepas. Kapal-kapal ini sering beroperasi di bawah peraturan yang longgar, memungkinkan praktik penangkapan ikan IUU dan pelanggaran hak asasi manusia di laut.
Meskipun yurisdiksi negara bendera bersifat eksklusif, *Mare Liberum* modern mengakui beberapa pengecualian penting yang memungkinkan intervensi kapal perang negara lain di Laut Lepas. Pengecualian ini mencerminkan kebutuhan global akan keamanan:
Pengecualian-pengecualian ini menunjukkan bahwa kebebasan laut bukanlah hak mutlak tanpa tanggung jawab, melainkan sebuah rejim hukum yang berupaya menyeimbangkan kebebasan individu (kapal) dengan kepentingan kolektif umat manusia (keamanan dan ketertiban).
Sementara Grotius fokus pada air di permukaan, hukum laut modern harus berurusan dengan apa yang ada di bawahnya: Landas Kontinen dan dasar laut yang lebih dalam (Area). Landas Kontinen adalah perpanjangan geologis alami dari wilayah darat negara pesisir di bawah laut.
Deklarasi Truman tahun 1945 mengklaim hak atas sumber daya Landas Kontinen, dan UNCLOS mengkodifikasi klaim ini. Negara pesisir memiliki hak berdaulat eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (mineral dan organisme non-sesil) di Landas Kontinen. Hak ini berlaku secara inheren, tanpa perlu klaim eksplisit.
UNCLOS menetapkan bahwa Landas Kontinen membentang hingga 200 mil laut, tetapi dapat diperluas hingga 350 mil laut jika negara pesisir dapat membuktikan bahwa Landas Kontinen secara geologis melampaui batas 200 mil. Klaim ekstensi ini harus diserahkan kepada Komisi Batas Landas Kontinen (CLCS), sebuah badan PBB. Perluasan ini merupakan konsesi besar terhadap kedaulatan negara, mengakui hubungan fisik antara daratan dan dasar lautnya.
Penting untuk dicatat bahwa hak berdaulat atas Landas Kontinen (dasar laut dan bawah tanah) tidak mempengaruhi status air di atasnya. Jika Landas Kontinen meluas hingga 350 mil, air di atas Landas Kontinen antara 200 dan 350 mil tetap berstatus Laut Lepas atau ZEE. Dengan kata lain, Grotius’s *Mare Liberum* (kebebasan navigasi) tetap berlaku di permukaan, bahkan ketika negara pesisir memiliki hak eksklusif atas minyak dan gas di bawahnya. Ini adalah contoh konkret bagaimana UNCLOS memisahkan dimensi vertikal laut untuk mencapai kompromi yang seimbang.
Salah satu kebebasan yang dijamin oleh *Mare Liberum* dan ditegaskan dalam UNCLOS adalah kebebasan Penelitian Ilmiah Kelautan (Marine Scientific Research - MSR). Grotius melihat perolehan pengetahuan sebagai bagian integral dari penggunaan laut yang damai dan bermanfaat bagi semua.
Namun, seperti semua kebebasan lain, MSR tunduk pada aturan yang berbeda di zona maritim yang berbeda:
Tantangan muncul ketika penelitian militer atau pengumpulan data hidro-oseanografi (yang memiliki aplikasi militer) dilakukan di ZEE. Negara pesisir sering menafsirkan UNCLOS secara luas untuk membatasi kegiatan tersebut, mengklaim bahwa kebebasan MSR tidak termasuk kegiatan militer, sementara negara-negara kuat berpendapat bahwa kebebasan navigasi memungkinkan pengumpulan data di ZEE, asalkan tidak melanggar hak eksklusif ekonomi negara pesisir.
Debat ini, mengenai apakah kebebasan di Laut Lepas juga mencakup aktivitas militer di ZEE negara lain, adalah salah satu area paling tegang dalam implementasi *Mare Liberum* hari ini. Konflik penafsiran ini secara fundamental menguji batas antara kedaulatan (diperkuat oleh tuntutan *Mare Clausum*) dan kebebasan universal (yang diwarisi dari Grotius).
Dari polemik di abad ke-17 yang dipicu oleh penyitaan kapal Santa Catarina, hingga ratifikasi UNCLOS yang menyeimbangkan antara hak ekonomi eksklusif dan kebutuhan navigasi universal, *Mare Liberum* telah membuktikan dirinya sebagai salah satu prinsip hukum internasional yang paling tangguh dan adaptif. Keberhasilannya terletak pada pengakuan intuitif Grotius bahwa lautan, karena sifatnya, adalah ruang yang menuntut kerja sama, bukan dominasi eksklusif.
Meskipun dunia telah jauh berubah—sumber daya laut kini terbukti terbatas, dan teknologi militer dan eksplorasi telah melampaui imajinasi Grotius—fondasi yang dia letakkan tetap relevan. Hari ini, kebebasan laut adalah cerminan dari kebutuhan pragmatis global: memastikan perdagangan dapat mengalir, militer dapat beroperasi, dan pada saat yang sama, sumber daya dapat dikelola secara berkelanjutan.
Tantangan masa depan, baik itu perubahan iklim yang mengubah batas pantai, penambangan laut dalam yang mengancam ekosistem, atau klaim kedaulatan yang agresif, semuanya menuntut kembali pada semangat *Mare Liberum*: semangat keterbukaan, penggunaan yang damai, dan pengakuan bahwa lautan adalah Warisan Bersama Umat Manusia, yang harus dijaga oleh semua orang demi manfaat semua orang. Hukum laut modern adalah komitmen global untuk menolak isolasi *Mare Clausum* dan merangkul visi Grotius tentang lautan yang bebas, teratur, dan bertanggung jawab.
Prinsip-prinsip yang digariskan Grotius—bahwa air haruslah terbuka bagi setiap individu, bahwa hak kepemilikan tidak dapat diterapkan pada elemen yang tidak terbatas, dan bahwa kepentingan umum harus mendahului klaim eksklusif—terus menjadi kompas moral bagi para pembuat hukum maritim. Seiring waktu, kita telah menambahkan lapisan aturan kompleks, terutama melalui UNCLOS, untuk mengatasi realitas ekologis dan ekonomi. Namun, inti dari kebebasan navigasi, yang memungkinkan pergerakan bebas kapal-kapal dunia di lautan luas, tetap menjadi penghormatan tertinggi terhadap pemikiran revolusioner yang pertama kali dikemukakan lebih dari empat abad yang lalu. Lautan tetap, dan harus tetap, bebas.