Ideologi adalah cetak biru sebuah peradaban, dan bagi Indonesia, salah satu cetak biru yang paling mendalam dan berakar kuat dalam sejarah perjuangan bangsa adalah Marhaenisme. Konsep ini, yang dicetuskan oleh Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno, bukan sekadar istilah politik, melainkan representasi filosofis dari penderitaan, harapan, dan cita-cita keadilan sosial bagi mayoritas penduduk Nusantara yang termarginalisasi oleh struktur kolonialisme dan feodalisme. Memahami akar Marhaenis adalah menyelami jiwa revolusi Indonesia itu sendiri.
Marhaenisme lahir dari kesadaran pahit Sukarno mengenai jurang pemisah yang masif antara segelintir kaum elit dan massa rakyat jelata. Istilah ini merujuk pada rakyat kecil, petani gurem, nelayan, buruh, dan pedagang asongan yang bekerja keras, namun tetap berada dalam kungkungan kemiskinan dan eksploitasi. Ideologi marhaenis berfungsi sebagai landasan pemikiran yang menyatukan perjuangan kemerdekaan dengan cita-cita penghapusan kemiskinan struktural. Ia adalah sosialisme khas Indonesia, yang mengakomodasi realitas unik agraria dan spiritualitas bangsa.
Figur Marhaen: Pekerja yang terpinggirkan namun memiliki martabat.
Untuk memahami kedalaman ideologi marhaenis, kita harus kembali ke era 1920-an, masa ketika Sukarno mulai merumuskan pemikirannya di tengah gemuruh pergerakan nasional. Istilah ‘Marhaen’ sendiri konon ditemukan Sukarno ketika ia bertemu dengan seorang petani di Priangan, Jawa Barat, yang bernama Marhaen. Petani ini bekerja di sawahnya sendiri, memiliki alat produksinya sendiri, namun tetap hidup dalam kemiskinan. Inilah yang membedakan konsep Marhaen dari konsep ‘proletar’ dalam Marxisme klasik.
Dalam teori Marxis, proletar adalah kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaga kerjanya. Sedangkan Marhaen, meskipun memiliki alat produksi (sawah kecil, cangkul, perahu kecil), ia tetap dieksploitasi oleh sistem kapitalis dan feodal. Kapitalisme telah menciptakan kemiskinan absolut, bukan hanya karena kepemilikan alat produksi, tetapi karena eksploitasi sistemik yang menekan harga jual hasil kerja mereka serendah-rendahnya.
Marhaenis menekankan bahwa perjuangan rakyat Indonesia harus mencakup tiga dimensi utama: perjuangan politik (kemerdekaan), perjuangan ekonomi (keadilan), dan perjuangan budaya (identitas). Ini menjadikannya ideologi yang holistik, tidak hanya berfokus pada masalah kelas, tetapi juga pada masalah bangsa dan negara. Marhaenisme adalah jembatan yang menghubungkan nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Perbedaan ini adalah fondasi mengapa Marhaenisme dianggap sebagai sosialisme yang relevan bagi Asia. Indonesia pada saat itu bukanlah negara industri maju seperti Eropa di era Marx. Sebagian besar penduduk adalah petani atau pekerja informal yang berada di luar struktur pabrik besar. Petani Marhaen tidak bekerja untuk tuan tanah kapitalis dalam arti murni, tetapi mereka terjerat dalam lilitan hutang, sistem ijon, dan pasar yang dikendalikan oleh kekuatan asing atau elit pribumi yang bersekutu dengan kolonial.
Oleh karena itu, mobilisasi massa marhaenis harus didasarkan pada kesamaan nasib, yaitu kemiskinan akibat sistem, bukan semata-mata karena tidak memiliki pabrik. Persatuan kaum Marhaen mencakup spektrum yang jauh lebih luas daripada sekadar buruh pabrik, melibatkan seluruh lapisan rakyat yang merasa tertekan secara ekonomi dan politik. Ini memungkinkan basis massa yang sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan.
Marhaenisme tidak berdiri tanpa kerangka filosofis yang kokoh. Bung Karno merumuskan tiga pilar utama yang harus dipegang teguh dalam pembangunan bangsa, yang dikenal sebagai Trisakti atau Manipol-USDEK dalam konteks aplikasinya:
Sosio-Nasionalisme bagi kaum marhaenis bukanlah nasionalisme chauvinistik yang mengagungkan bangsa di atas segalanya tanpa memperhatikan nasib rakyatnya. Sebaliknya, nasionalisme ini harus berakar pada penderitaan rakyat. Kehormatan bangsa tidak akan tercapai selama rakyatnya masih berada dalam kemiskinan. Kemerdekaan politik harus berjalan seiring dengan kemerdekaan ekonomi.
Implementasi Sosio-Nasionalisme menuntut bahwa sumber daya alam dan kekayaan negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, terutama kaum Marhaen. Ini adalah antitesis terhadap imperialisme dan neo-kolonialisme yang cenderung menguras kekayaan negara untuk kepentingan asing atau oligarki domestik.
Konsep ini juga menolak kosmopolitanisme buta yang menganggap remeh budaya dan identitas lokal. Sosio-Nasionalisme menghendaki penguatan identitas bangsa yang unik (Pancasila) sambil tetap terbuka terhadap kemajuan dunia, namun dengan filter yang kuat untuk melindungi kaum marhaenis dari gempuran budaya yang bersifat merusak moral dan ekonomi.
Bung Karno sangat kritis terhadap demokrasi liberal Barat yang dianggapnya hanya menguntungkan kaum borjuis dan tidak memberikan suara sejati kepada rakyat kecil. Sosio-Demokrasi adalah bentuk demokrasi yang menjamin bukan hanya hak politik (one man, one vote), tetapi juga hak ekonomi dan sosial.
Bagi kaum marhaenis, demokrasi sejati adalah musyawarah untuk mufakat (permufakatan), yang mencerminkan tradisi Indonesia, dan bukan sekadar sistem pemungutan suara mayoritas-minoritas yang rentan meminggirkan kepentingan rakyat. Ini adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh kekuatan modal. Penerapannya menuntut adanya struktur ekonomi yang adil, di mana distribusi kekayaan lebih merata.
Dalam praktik politik, Sosio-Demokrasi menuntut perwakilan yang kuat dari kelompok tani, buruh, dan pemuda di lembaga-lembaga negara, memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak pada kaum Marhaen. Ini adalah perjuangan melawan oligarki yang bersembunyi di balik tirai prosedur demokrasi formal, namun substansinya tetap menindas rakyat.
Pilar Ketuhanan memastikan bahwa perjuangan marhaenis memiliki landasan moral dan etika yang kuat. Ini bukan sekadar pengakuan formal terhadap agama, melainkan penegasan bahwa setiap tindakan politik dan ekonomi harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Keadilan sosial, dalam pandangan Marhaenisme, adalah implementasi praktis dari ajaran agama.
Kaum marhaenis menolak ateisme yang menjadi ciri khas beberapa varian sosialisme murni. Bagi Sukarno, spiritualitas adalah bagian inheren dari kebudayaan Indonesia, dan perjuangan melawan eksploitasi adalah tugas suci. Oleh karena itu, Ketuhanan berfungsi sebagai penjaga agar ideologi ini tidak jatuh menjadi sekularisme ekstrem atau, sebaliknya, teokrasi dogmatis.
Ketika Marhaenisme diangkat menjadi ideologi negara pada masa Orde Lama, ia mengalami proses institusionalisasi dan politisasi yang kompleks. Tujuannya adalah membangun masyarakat Sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Program-program seperti nasionalisasi aset asing, penguatan koperasi, dan pembangunan berbasis komunitas adalah upaya nyata untuk mewujudkan cita-cita marhaenis.
Salah satu langkah radikal yang diambil adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya. Tindakan ini merupakan manifestasi langsung dari Sosio-Nasionalisme, mengembalikan kontrol ekonomi ke tangan negara, yang secara ideal seharusnya mewakili kepentingan Marhaen. Konsep Berdikari (Berdiri di atas Kaki Sendiri) adalah penekanan ekonomi marhaenis yang menolak ketergantungan pada modal dan pasar internasional secara berlebihan.
Namun, penerapan Marhaenisme di era Orde Lama bukannya tanpa hambatan. Tantangan terbesar adalah bagaimana menerjemahkan filosofi ideologis yang mulia menjadi kebijakan ekonomi yang efisien dan berkelanjutan. Hiper-inflasi, konflik politik yang tajam antara berbagai faksi marhaenis dan non-marhaenis, serta blokade ekonomi dari negara-negara Barat, menciptakan kesulitan besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil.
Kritik yang sering muncul adalah bahwa meskipun niatnya baik untuk kaum Marhaen, kontrol negara yang terlalu besar sering kali menghasilkan birokrasi yang lamban dan inefisien, yang pada akhirnya justru merugikan rakyat kecil yang seharusnya dilindungi. Pergulatan internal antara konsep Marhaenisme yang autentik dengan kepentingan politik praktis menjadi dinamika utama era tersebut.
Keadilan sosial: Tujuan akhir perjuangan Marhaenis.
Marhaenisme sering kali ditempatkan dalam spektrum sosialisme, tetapi ia secara tegas menolak Marxisme-Leninisme dogmatis dan Komunisme. Sukarno berargumen bahwa Marhaenisme adalah "Sosialisme A La Indonesia" yang sesuai dengan konteks budaya dan ekonomi Asia.
Meskipun Komunisme dan Marhaenisme sama-sama berjuang untuk penghapusan eksploitasi, perbedaan mendasar terletak pada tiga hal: agama, kepemilikan alat produksi, dan metode revolusi. Kaum marhaenis mengakui peran agama dan spiritualitas (Ketuhanan). Secara ekonomi, Marhaenisme tidak menuntut penghapusan total kepemilikan individu atas alat produksi yang kecil (sawah milik Marhaen), melainkan menuntut penghapusan eksploitasi oleh kapitalisme besar.
Perbedaan paling signifikan adalah metode perjuangan. Marhaenisme lebih menekankan pada persatuan nasional (Nasionalisme) dan permusyawaratan (Demokrasi), meskipun mengakui perlunya revolusi struktural. Sementara itu, Komunisme klasik cenderung memprioritaskan perjuangan kelas (proletariat vs. borjuis) dan sering mengesampingkan identitas nasional demi solidaritas internasional.
Bagi Sukarno, Indonesia memerlukan jembatan ideologis yang bisa menyatukan petani santri, buruh abangan, dan intelektual nasionalis. Marhaenisme, dengan inklusivitasnya yang luas, berfungsi sebagai payung ideologi tersebut, memungkinkan persatuan politik yang kuat melawan kolonialisme, namun tetap menjaga jarak dari atheisme dogmatis yang dianggap asing bagi jiwa bangsa.
Di era kontemporer, Marhaenisme semakin relevan sebagai kritik terhadap neoliberalisme dan kapitalisme global yang menciptakan ketidaksetaraan yang ekstrem. Globalisasi, yang seharusnya membawa kemakmuran, sering kali hanya menguntungkan segelintir konglomerat dan menekan harga komoditas yang dijual oleh kaum Marhaen (petani, nelayan, UMKM).
Sikap marhaenis terhadap investasi asing adalah bahwa investasi harus bermanfaat bagi rakyat dan tidak boleh mengancam kedaulatan ekonomi atau merusak lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan Marhaen. Jika dahulu musuh utama adalah kolonialisme fisik, kini musuh utama adalah kolonialisme ekonomi dalam bentuk hutang luar negeri, liberalisasi pasar yang tidak terkendali, dan deregulasi yang melemahkan perlindungan terhadap pekerja kecil.
Oleh karena itu, panggilan untuk ‘Berdikari’ (mandiri secara ekonomi) menjadi seruan yang harus dimaknai ulang dalam konteks modern. Berdikari tidak berarti isolasi total, melainkan kemampuan untuk bernegosiasi di panggung global dengan kekuatan penuh, memastikan bahwa setiap kebijakan perdagangan dan investasi selalu berorientasi pada peningkatan kualitas hidup kaum Marhaen.
Setelah sekian lama mengalami pasang surut, terutama di era Orde Baru yang sangat menekankan stabilitas ekonomi yang cenderung kapitalistik, ideologi marhaenis terus menemukan relevansinya di tengah tantangan zaman.
Inti dari masalah Marhaen di Indonesia modern adalah masalah tanah. Konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah, di mana petani kecil (Marhaen) berhadapan dengan kepentingan korporasi besar untuk lahan, menunjukkan bahwa cita-cita keadilan agraria belum tercapai. Marhaenis menuntut reformasi agraria yang sejati, di mana hak atas tanah bagi penggarap dijamin oleh negara, sesuai dengan amanat UUD 1945.
Kepemilikan modal yang terpusat dan ekspansi perkebunan besar sering kali menggeser petani tradisional. Dalam kacamata marhaenis, ini adalah bentuk eksploitasi modern yang sama destruktifnya dengan sistem kolonial masa lalu. Perjuangan bukan lagi sekadar melawan Belanda, tetapi melawan struktur pasar dan hukum yang bias terhadap pemilik modal besar.
Sosio-Demokrasi modern juga menuntut adanya jaring pengaman sosial yang kuat dan berkualitas. Program kesehatan universal, pendidikan yang merata, dan subsidi yang tepat sasaran adalah implementasi praktis dari ideologi marhaenis. Negara, dalam pandangan ini, memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang kelaparan atau tidak mampu mengakses kebutuhan dasar.
Fokus harus diletakkan pada penguatan ekonomi rakyat melalui koperasi, UMKM, dan pemberdayaan komunitas, sehingga kaum Marhaen tidak hanya dijadikan objek penerima bantuan, tetapi subjek pembangunan yang aktif. Ini memerlukan pergeseran paradigma dari pertumbuhan ekonomi semata (GDP) menuju distribusi kesejahteraan yang adil.
Dalam konteks politik, menjadi seorang marhaenis berarti memilih pemimpin dan kebijakan yang secara eksplisit membela kepentingan mereka yang paling rentan. Ini memerlukan keberanian untuk menolak kompromi dengan kekuatan oligarki dan memastikan bahwa aspirasi rakyat kecil selalu menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan nasional.
Marhaenisme bukan hanya blueprint ekonomi atau politik, melainkan juga gerakan kebudayaan. Ia menuntut pengakuan dan penghargaan terhadap budaya rakyat jelata yang selama ini dipandang sebelah mata. Nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan kejujuran yang melekat pada kaum Marhaen harus diangkat sebagai fondasi moral bangsa.
Pendidikan marhaenis bertujuan untuk mencerdaskan rakyat, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap eksploitasi. Pendidikan harus membebaskan, bukan sekadar melatih tenaga kerja untuk pasar kapitalis. Kurikulum harus menanamkan rasa cinta tanah air (Sosio-Nasionalisme) dan tanggung jawab sosial (Sosio-Demokrasi), memastikan generasi muda memahami bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Bung Karno sangat meyakini bahwa pembangunan haruslah berbasis karakter (nation and character building). Karakter marhaenis adalah karakter yang anti-hedonisme, anti-korupsi, dan pro-rakyat. Ini adalah panggilan untuk kembali ke esensi bangsa, menjauh dari gaya hidup konsumtif yang dipaksakan oleh globalisasi, dan menghargai nilai-nilai lokal yang mendukung komunitas.
Jika Marhaenisme berhasil diimplementasikan secara kultural, maka akan tercipta masyarakat yang tidak hanya kaya secara materi, tetapi juga kaya secara moral dan spiritual, yang menjadikan Gotong Royong sebagai mekanisme utama untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Gotong Royong: Semangat kolektif Marhaenisme.
Aspek ekonomi Marhaenisme adalah yang paling sering disalahpahami. Ia bukanlah komunisme yang menghapus kepemilikan pribadi, melainkan sebuah sistem yang bertujuan menciptakan 'ekonomi yang dipimpin oleh rakyat' (people-led economy) yang berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945.
Bagi kaum marhaenis, koperasi adalah instrumen utama pembangunan ekonomi yang adil. Koperasi mewakili Sosio-Demokrasi di bidang ekonomi, di mana setiap anggota memiliki suara yang setara (bukan berdasarkan jumlah saham) dan keuntungan dibagi secara adil. Koperasi memastikan bahwa surplus ekonomi kembali ke tangan anggota, yaitu kaum Marhaen itu sendiri, bukan mengalir ke pemegang saham elit.
Ekonomi kerakyatan menuntut bahwa sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara atau koperasi. Ini termasuk air, listrik, telekomunikasi, dan pengelolaan sumber daya alam. Ideologi marhaenis menolak privatisasi besar-besaran sektor-sektor vital ini karena dianggap mencederai prinsip keadilan sosial dan potensial membiarkan kaum Marhaen tertekan oleh harga monopoli.
Namun, Marhaenisme juga memberikan ruang bagi usaha swasta yang tidak eksploitatif. Usaha swasta diperbolehkan selama mereka berfungsi sebagai mitra pembangunan dan memberikan manfaat nyata bagi pekerja dan masyarakat sekitar, bukan sekadar mencari keuntungan maksimal tanpa memperhatikan dampak sosial.
Perdebatan ekonomi sering berkutat pada pilihan antara pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity). Kaum marhaenis berpendapat bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan adalah sia-sia, karena hanya akan memperkaya yang sudah kaya. Prioritas harus diletakkan pada distribusi yang adil sejak awal perencanaan pembangunan, bukan sekadar menunggu kekayaan ‘menetes’ ke bawah (trickle-down effect) yang sering kali terbukti gagal.
Distribusi yang adil ini mencakup berbagai kebijakan, termasuk pajak progresif, subsidi yang diarahkan ke sektor pertanian dan nelayan, serta skema kredit mikro yang mudah diakses tanpa jaminan yang memberatkan kaum Marhaen. Tujuannya adalah menghilangkan ‘poverty trap’ atau jebakan kemiskinan struktural yang membuat kaum Marhaen tidak pernah bisa lepas dari jeratan rentenir dan tengkulak.
Setelah jatuhnya Orde Lama, Marhaenisme sempat dianggap sebagai ideologi masa lalu, digantikan oleh narasi pembangunan dan stabilitas ekonomi ala Orde Baru. Namun, dalam konteks politik pasca-reformasi, muncul kembali kesadaran bahwa masalah dasar yang dihadapi Bung Karno—yaitu kemiskinan struktural kaum Marhaen—masih belum terselesaikan.
Munculnya gerakan-gerakan politik dan sosial yang mengklaim diri sebagai Neo-Marhaenis menunjukkan adanya upaya untuk memperbaharui dan mengkontekstualisasikan ajaran ini. Neo-Marhaenisme mengakui perlunya adaptasi terhadap teknologi dan globalisasi, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan keadilan sosial.
Adaptasi ini menuntut pemahaman baru tentang siapa Marhaen di abad ke-21. Marhaen modern mungkin adalah buruh pabrik yang terikat kontrak kerja fleksibel, pekerja gig economy (seperti pengemudi ojek daring), atau bahkan para profesional muda yang terbebani hutang pendidikan tinggi dan upah yang stagnan. Fokus marhaenis bergeser dari petani gurem murni ke seluruh lapisan masyarakat yang tetap rentan di tengah gemerlap ekonomi makro.
Salah satu tantangan terbesar ideologi marhaenis adalah fragmentasi politik. Pada masa awal kemerdekaan, kekuatan Marhaen begitu besar sehingga mampu menjadi pilar penyangga negara. Saat ini, kekuatan rakyat kecil sering kali terpecah oleh isu-isu sektarian atau politik identitas yang justru mengalihkan perhatian dari masalah ekonomi fundamental mereka.
Tugas bagi para pewaris ideologi ini adalah kembali menyatukan berbagai lapisan kaum Marhaen di bawah payung perjuangan keadilan sosial dan persatuan nasional. Sosio-Nasionalisme harus mampu mengatasi perbedaan suku, agama, dan ras untuk fokus pada musuh bersama: eksploitasi dan ketidakadilan struktural.
Marhaenisme adalah warisan intelektual dan spiritual yang tak ternilai bagi Indonesia. Ia mengajarkan bahwa perjuangan bangsa tidak berhenti pada pengibaran bendera, tetapi harus berlanjut hingga setiap individu rakyat kecil, setiap petani gurem, setiap pedagang asongan, dan setiap buruh, merasakan kemakmuran dan keadilan yang dijanjikan oleh kemerdekaan. Ideologi marhaenis menolak kemerdekaan yang hanya dinikmati oleh segelintir elit, sementara mayoritas tetap hidup dalam keterbatasan.
Panggilan untuk menjadi marhaenis adalah panggilan untuk memiliki kesadaran kritis, keberpihakan yang jelas, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap cita-cita Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Selama kemiskinan masih menjadi bagian integral dari realitas Indonesia, selama ketidakadilan struktural masih menghimpit, maka semangat Marhaenisme akan terus hidup, menjadi mercusuar yang memandu langkah bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang sejati.
Tiga tuntutan pilar Marhaenisme—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—tetap menjadi tolok ukur fundamental untuk mengevaluasi sejauh mana Indonesia telah memenuhi janji kemerdekaannya kepada rakyatnya, kepada kaum Marhaen yang merupakan inti sari dari keberadaan bangsa ini. Ini adalah janji yang harus terus diperjuangkan dan direalisasikan tanpa henti. Keadilan bagi rakyat kecil bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan revolusi yang belum selesai.
Dalam setiap langkah pembangunan, setiap kebijakan fiskal, dan setiap perumusan undang-undang, pertanyaan kunci yang harus selalu diajukan adalah: Apakah ini menguntungkan kaum marhaenis? Apakah ini mengurangi beban hidup mereka? Jika jawabannya ya, maka langkah tersebut sejalan dengan cita-cita luhur pendirian negara. Jika tidak, maka itu adalah pengkhianatan terhadap semangat revolusi Indonesia, terhadap darah dan keringat para Marhaen yang berjuang demi kemerdekaan yang hakiki.
Perjuangan untuk keadilan sosial ini melintasi generasi. Ia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tugas kolektif seluruh elemen bangsa, dari akademisi, politisi, pengusaha, hingga aktivis sosial, untuk memastikan bahwa Indonesia benar-benar menjadi rumah yang adil bagi seluruh rakyatnya, sebuah rumah di mana Marhaen tidak lagi menjadi simbol kemiskinan, tetapi simbol martabat dan kedaulatan penuh.
Dengan demikian, Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang abadi, sebuah penunjuk jalan yang relevan melintasi berbagai dinamika zaman. Ia adalah suara hati nurani bangsa yang menuntut agar kekayaan Nusantara dinikmati oleh pemilik sahnya: rakyat kecil Indonesia.
***
Diskusi mengenai Marhaenisme tidak lengkap tanpa menelaah secara spesifik bagaimana berbagai sektor fundamental seperti pertanian dan infrastruktur seharusnya diperlakukan dalam kerangka ideologi ini. Karena mayoritas kaum Marhaen adalah petani, nasib sektor pertanian menjadi barometer utama keberhasilan implementasi Marhaenisme. Sosio-ekonomi marhaenis menuntut adanya kedaulatan pangan, yang berarti Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung pada impor yang merugikan petani lokal. Kebijakan harga dasar yang menguntungkan petani, penyediaan irigasi yang memadai, dan akses mudah terhadap pupuk dan benih berkualitas adalah manifestasi nyata dari keberpihakan marhaenis.
Selain pertanian, sektor kelautan dan perikanan juga menduduki posisi sentral. Nelayan tradisional adalah Marhaen di pesisir. Mereka sering kali terpinggirkan oleh kapal-kapal besar dan praktik penangkapan ikan ilegal. Kebijakan marhaenis di sektor ini harus fokus pada perlindungan wilayah tangkap nelayan kecil dan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan agar generasi Marhaen selanjutnya tetap dapat menggantungkan hidup dari laut. Ini adalah penerapan konkret dari prinsip Sosio-Nasionalisme dalam menjaga kedaulatan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat.
Lebih lanjut, dalam konteks pembangunan infrastruktur, Marhaenisme mengajarkan bahwa pembangunan jalan, pelabuhan, dan listrik tidak boleh semata-mata didorong oleh proyek mercusuar atau keuntungan korporasi. Infrastruktur harus berfungsi sebagai alat pemerataan, menghubungkan daerah terpencil tempat kaum Marhaen tinggal ke pusat-pusat ekonomi, sehingga mengurangi biaya logistik dan membuka akses pasar bagi produk-produk mereka. Pembangunan yang adil adalah pembangunan yang dimulai dari pinggiran, bukan hanya berpusat di kota besar.
Isu utang publik juga harus dilihat dari kacamata marhaenis. Meskipun utang diperlukan untuk pembangunan, utang yang tidak produktif dan berpotensi membebani generasi mendatang adalah beban bagi kaum Marhaen. Prinsip Berdikari menuntut kehati-hatian dalam manajemen fiskal dan penolakan terhadap skema utang yang mensyaratkan liberalisasi pasar yang merugikan kepentingan nasional.
Penguatan aparatur negara yang bersih dan berintegritas adalah prasyarat mutlak bagi keberhasilan ideologi marhaenis. Korupsi adalah musuh terbesar kaum Marhaen, sebab dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan fasilitas publik atau subsidi bagi rakyat kecil justru menguap ke kantong-kantong pribadi elit. Sosio-Demokrasi tidak dapat ditegakkan tanpa pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik patologi politik.
Dalam ranah geopolitik, Marhaenisme mendorong politik luar negeri bebas aktif yang tidak memihak blok manapun, yang bertujuan utama untuk membela kepentingan negara-negara berkembang dan menuntut terciptanya tata ekonomi dunia baru yang lebih adil. Solidaritas Asia-Afrika yang diinisiasi oleh Bung Karno adalah manifestasi luar negeri dari semangat marhaenis, yaitu persatuan kaum tertindas di seluruh dunia melawan imperialisme dan eksploitasi global.
Marhaenisme menuntut kita untuk berani melakukan introspeksi secara mendalam dan berkala terhadap arah pembangunan bangsa. Apakah kita telah semakin dekat atau justru semakin jauh dari cita-cita masyarakat adil dan makmur? Jawaban atas pertanyaan ini akan selalu bergantung pada kondisi kaum Marhaen: sejauh mana mereka telah terangkat dari kemiskinan dan sejauh mana martabat mereka telah dihormati dalam sistem politik dan ekonomi negara.
Kesadaran marhaenis adalah kesadaran historis, kesadaran struktural, dan kesadaran moral. Ia adalah janji yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945, bahwa negara ini didirikan bukan untuk sekelompok orang, melainkan untuk seluruh tumpah darah Indonesia, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan perlindungan dan keadilan.
Penerapan Marhaenisme di masa kini harus menghadapi realitas teknologi disruptif. Era digital menciptakan Marhaen baru: para pekerja digital yang rentan tanpa jaminan sosial, serta UMKM yang kesulitan bersaing dengan raksasa e-commerce global. Ideologi marhaenis harus menyediakan kerangka perlindungan dan regulasi yang memastikan teknologi dan globalisasi berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya, menjadi alat eksploitasi baru.
Perjuangan Marhaenis menuntut adanya reformasi total dalam sistem peradilan dan hukum. Hukum sering kali tumpul ke atas (kepada para elit) dan tajam ke bawah (kepada kaum Marhaen). Keadilan bagi rakyat kecil sering kali terhalang oleh biaya litigasi yang mahal, birokrasi yang rumit, dan kurangnya akses terhadap bantuan hukum yang kompeten. Sosio-Demokrasi menuntut reformasi peradilan yang memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi panglima dan pelindung bagi yang lemah.
Marhaenisme, sebagai sebuah filosofi hidup, mengundang kita untuk menolak individualisme ekstrem dan kembali merangkul nilai-nilai kolektivisme dalam bentuk Gotong Royong. Dalam sebuah masyarakat marhaenis yang ideal, penderitaan satu individu adalah penderitaan bersama, dan kemakmuran haruslah menjadi milik bersama.
Pada akhirnya, cita-cita marhaenis adalah cita-cita untuk mengakhiri 'Revolusi yang Belum Selesai'. Revolusi politik telah usai dengan kemerdekaan; kini, revolusi sosial dan ekonomi harus diselesaikan, agar Indonesia benar-benar dapat berdiri tegak sebagai bangsa yang mandiri, adil, dan makmur, di mana tidak ada lagi kaum Marhaen yang menderita di atas kekayaan tanahnya sendiri.
***
Salah satu inti perdebatan internal dalam tubuh marhaenis adalah mengenai batas intervensi negara dalam perekonomian. Dalam pandangan Sosio-Demokrasi, intervensi negara mutlak diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencegah monopoli yang merugikan rakyat. Namun, intervensi ini harus dilakukan dengan profesionalisme dan transparansi tinggi agar tidak berubah menjadi birokratisme otoriter yang malah mencekik inisiatif rakyat kecil.
Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah litmus test bagi semangat marhaenis. BUMN seharusnya menjadi pilar ekonomi yang melayani publik, bukan sekadar entitas pencari laba layaknya perusahaan swasta. BUMN harus menjadi stabilisator harga komoditas penting, penyedia layanan dasar, dan motor penggerak pembangunan di daerah tertinggal, sesuai dengan fungsi sosial yang diamanatkan oleh ideologi marhaenis.
Kritik historis terhadap penerapan Marhaenisme di masa lalu sering menyoroti aspek 'kepemimpinan' yang cenderung sentralistik. Dalam konteks modern, semangat marhaenis menuntut desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah yang kuat, memastikan bahwa kebijakan yang pro-rakyat dibuat dan diimplementasikan di tingkat lokal, lebih dekat dengan Marhaen yang menjadi objek kebijakan tersebut.
Desentralisasi ini harus diiringi dengan pemerataan kapasitas fiskal, sehingga pemerintah daerah memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan program-program berbasis kerakyatan tanpa selalu bergantung pada Jakarta. Ini adalah perwujudan sejati dari Sosio-Demokrasi yang mendistribusikan kekuasaan dan tanggung jawab secara merata.
Di bidang lingkungan hidup, pandangan marhaenis sangat relevan. Kaum Marhaen (petani, nelayan, masyarakat adat) adalah kelompok yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran oleh industri. Marhaenisme menuntut pembangunan yang berwawasan lingkungan dan keberlanjutan. Merusak alam berarti merusak sumber kehidupan kaum Marhaen, yang berujung pada eksploitasi ganda: eksploitasi ekonomi dan eksploitasi ekologis.
Oleh karena itu, perlindungan hutan, sungai, dan pesisir adalah bagian integral dari perjuangan marhaenis. Ini sejalan dengan pilar Ketuhanan dan Kemanusiaan yang menuntut tanggung jawab etis terhadap alam dan generasi mendatang.
Transformasi masyarakat marhaenis dari masyarakat tradisional agraria menjadi masyarakat modern yang berbasis pengetahuan harus dilakukan tanpa mengorbankan identitas dan nilai-nilai lokal. Modernisasi harus menjadi alat untuk membebaskan Marhaen dari kemiskinan, bukan alat untuk menghancurkan kearifan lokal yang selama ini menjadi benteng pertahanan mereka.
Marhaenisme pada intinya adalah gerakan pembebasan. Pembebasan dari tekanan ekonomi, pembebasan dari kebodohan, dan pembebasan dari ketergantungan asing. Ia adalah janji yang terus bergema di setiap sudut Nusantara, menanti realisasi penuh yang akan membawa Indonesia pada puncak kemuliaan, di mana setiap anak bangsa dapat hidup dengan martabat dan keadilan yang utuh. Marhaenisme bukanlah sekadar sejarah masa lalu; ia adalah kompas moral untuk masa depan Indonesia.
***
Implementasi ideologi marhaenis juga menuntut sebuah revolusi mental yang berkesinambungan. Revolusi mental ini diarahkan pada perubahan cara pandang dari mentalitas terjajah yang pasif dan menerima nasib, menjadi mentalitas pejuang yang sadar akan hak-haknya dan berani menuntut keadilan. Pendidikan politik dan ideologi harus masif dilakukan agar kaum Marhaen tidak mudah dipecah belah atau diombang-ambingkan oleh kepentingan elit.
Penguatan organisasi massa, seperti serikat buruh yang independen dan organisasi petani yang kuat, sangat esensial. Organisasi-organisasi ini adalah saluran utama Sosio-Demokrasi, memastikan bahwa suara kolektif kaum Marhaen didengar dan dipertimbangkan dalam setiap kebijakan publik. Tanpa kekuatan organisasi yang terstruktur, Marhaen hanya akan menjadi massa yang mudah dimanipulasi.
Dalam sektor kesehatan, Marhaenisme menuntut bahwa akses terhadap layanan kesehatan berkualitas adalah hak, bukan komoditas yang diperdagangkan. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah manifestasi penting, namun harus dipastikan bahwa pelaksanaannya tidak diskriminatif dan birokrasinya tidak menyulitkan Marhaen yang paling membutuhkan. Prinsip marhaenis: sakit tidak boleh membuat rakyat kecil jatuh miskin.
Penghormatan terhadap martabat pekerja juga menjadi fokus utama. Dalam kacamata marhaenis, setiap pekerjaan, sekecil apa pun, memiliki martabat yang setara. Upah layak, lingkungan kerja yang aman, dan jaminan sosial adalah hak dasar yang harus dilindungi, bukan sekadar kebaikan dari pemilik modal. Eksploitasi jam kerja, upah di bawah standar, dan PHK semena-mena adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita Marhaenisme.
Marhaenisme adalah pemikiran yang terus hidup dan beradaptasi. Ia menantang kita untuk tidak pernah merasa puas selama masih ada satu pun rakyat Indonesia yang menderita. Tantangan bagi generasi penerus adalah bagaimana menerjemahkan semangat revolusioner ini ke dalam bahasa dan strategi yang relevan dengan kompleksitas abad ke-21. Ini memerlukan kejernihan ideologi, keberanian politik, dan komitmen moral yang tak lekang oleh waktu.