Marjinalisasi, sebagai sebuah proses struktural dan sistemik, merupakan inti dari ketidakadilan sosial yang berkelanjutan. Ia bukan sekadar hasil dari ketidakberuntungan individu, melainkan manifestasi dari cara masyarakat, ekonomi, dan politik diorganisasikan untuk mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu dari sumber daya, kekuasaan, dan pengakuan. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan keragaman luar biasa, proses marjinalisasi ini mengambil banyak wajah, menargetkan komunitas berdasarkan etnis, agama, gender, kelas, kemampuan fisik, hingga lokasi geografis.
Artikel ini akan mengupas tuntas marjinalisasi—mulai dari definisi konsepnya yang kompleks, berbagai bentuk manifestasinya di kancah nasional, faktor-faktor struktural yang melanggengkan siklus pengucilan, hingga dampak destruktif yang ditimbulkannya pada level individu dan kolektif. Pemahaman mendalam ini penting untuk merumuskan langkah-langkah de-marjinalisasi yang efektif dan inklusif, memastikan bahwa pembangunan nasional benar-benar mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Marjinalisasi, dalam konteks sosiologi dan studi pembangunan, merujuk pada proses di mana individu atau kelompok dipaksa ke pinggiran (margin) masyarakat. Ini adalah proses multidimensi yang menghilangkan akses mereka terhadap hak-hak dasar, peluang ekonomi, partisipasi politik, dan pengakuan budaya. Marjinalisasi berbeda dari kemiskinan; seseorang mungkin miskin tanpa dimarjinalisasi secara sosial (meskipun keduanya sering tumpang tindih), tetapi marjinalisasi selalu melibatkan penolakan sistemik terhadap partisipasi penuh.
Mekanisme utama yang mendorong marjinalisasi meliputi stereotip negatif yang dilembagakan, diskriminasi hukum atau kebijakan yang tampaknya netral namun berdampak eksklusif, serta penarikan sumber daya (ekonomi, pendidikan, kesehatan) dari kelompok tertentu. Proses ini seringkali dipertahankan melalui hegemoni ideologis—yakni, pandangan dunia yang dominan menjustifikasi ketidaksetaraan, membuat kondisi marginal terlihat ‘alami’ atau ‘sewajarnya.’
Marjinalisasi tidak pernah terjadi dalam satu ruang hampa, melainkan beroperasi dalam tiga dimensi utama yang saling menguatkan:
Dimensi ini mencakup pengecualian dari sistem produksi, pasar kerja formal, dan kepemilikan aset. Kelompok yang termarjinalisasi secara ekonomi seringkali hanya memiliki akses ke pekerjaan informal, upah rendah, dan tidak memiliki jaminan sosial atau keamanan kerja. Di Indonesia, ini sangat terlihat pada petani gurem yang kehilangan lahan akibat pembangunan infrastruktur, pekerja migran yang rentan eksploitasi, atau komunitas adat yang kehilangan hak atas hutan mereka.
Ini merujuk pada kurangnya representasi dan kekuatan dalam pengambilan keputusan. Kelompok marginal tidak memiliki suara yang setara, baik dalam pemilihan umum, perumusan kebijakan, maupun dalam lembaga-lembaga negara. Pengucilan politik dapat berupa diskriminasi formal (misalnya, pembatasan hak pilih) atau diskriminasi informal (misalnya, elit politik yang secara sistematis mengabaikan isu-isu kelompok minoritas atau miskin). Keterwakilan perempuan, minoritas agama, dan masyarakat adat dalam parlemen dan birokrasi sering menjadi barometer penting dari marjinalisasi politik.
Dimensi ini adalah yang paling halus namun paling merusak, melibatkan penolakan terhadap identitas, bahasa, tradisi, dan cara hidup kelompok tertentu. Budaya dominan sering meminggirkan, atau bahkan mencap, praktik kelompok minoritas sebagai ‘tertinggal’, ‘primitif’, atau ‘berbahaya’. Hal ini mengakibatkan hilangnya rasa harga diri kolektif, asimilasi paksa, dan kesulitan dalam mengakses layanan publik yang seringkali dirancang hanya untuk populasi mayoritas.
Gambar 1: Ilustrasi Konsep Marjinalisasi, di mana akses sumber daya dibatasi oleh struktur yang mendorong kelompok tertentu ke pinggiran.
Marjinalisasi di Indonesia bukanlah fenomena spontan; ia berakar pada sejarah panjang kolonialisme, pembangunan yang sentralistik, dan interaksi yang kompleks antara tradisi dan modernitas. Untuk memahami marjinalisasi secara holistik, kita harus mengidentifikasi pilar-pilar struktural yang menjadikannya laten dan persisten.
Periode kolonial meninggalkan warisan stratifikasi rasial dan geografis yang masih terasa. Kolonialisme menetapkan pembagian kerja berdasarkan identitas, yang menempatkan kelompok tertentu pada posisi ekonomi rendah. Setelah kemerdekaan, fokus pembangunan yang sentralistik pada masa Orde Baru, khususnya di Jawa dan beberapa pusat regional, menciptakan disparitas spasial yang besar.
Daerah-daerah yang kaya sumber daya alam namun terpencil (terutama di wilayah timur Indonesia) seringkali menjadi korban eksploitasi tanpa mendapatkan imbal balik yang memadai dalam bentuk infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Ini adalah bentuk marjinalisasi geografis, di mana jarak fisik dan kurangnya perhatian negara secara sistematis memutus peluang hidup penduduk di sana. Proses desentralisasi dan otonomi daerah, meskipun bertujuan baik, seringkali hanya menggeser arena konflik ke level lokal tanpa menghilangkan ketidaksetaraan struktural yang mendasar.
Seringkali, marjinalisasi dilembagakan melalui kerangka hukum dan kebijakan yang, meskipun tidak secara eksplisit diskriminatif, memiliki efek yang memarjinalkan. Contoh klasik adalah regulasi pertanahan yang tidak mengakui hak ulayat (hak masyarakat adat atas tanah mereka), atau kebijakan perizinan bisnis yang hanya dapat diakses oleh kelompok modal besar. Ketika hukum gagal mengakui pluralitas identitas dan hak komunal, ia secara otomatis mengucilkan kelompok yang hidup di luar norma-norma legal-formal negara.
Diskriminasi institusional terjadi ketika prosedur dan praktik standar dalam lembaga publik (sekolah, rumah sakit, kantor polisi) secara tidak adil memperlakukan kelompok tertentu. Misalnya, kurangnya fasilitas yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas di gedung publik, atau sikap bias aparat penegak hukum terhadap minoritas etnis atau agama tertentu. Ini menciptakan rintangan birokrasi yang hampir mustahil diatasi oleh kelompok yang sudah rentan.
Tren global menuju ekonomi pasar bebas atau neoliberalisme turut memperparah marjinalisasi. Dalam pengejaran efisiensi dan keuntungan, pasar cenderung mengabaikan kelompok yang dianggap tidak produktif secara ekonomi atau yang membutuhkan investasi sosial yang tinggi. Privatisasi layanan publik, deregulasi tenaga kerja, dan fokus pada pertumbuhan PDB sebagai satu-satunya tolok ukur kemajuan telah meningkatkan ketimpangan. Kelompok yang tidak memiliki modal, pendidikan tinggi, atau jaringan sosial yang kuat akan semakin terlempar dari persaingan, memperkuat jurang antara ‘yang memiliki’ dan ‘yang tidak memiliki’.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, proses marjinalisasi menimpa berbagai kelompok dengan cara yang berbeda-beda. Interseksionalitas—bagaimana berbagai bentuk opresi (misalnya, gender, kelas, dan etnis) saling bersilangan—menentukan kedalaman dan kekejaman pengalaman marginalisasi seseorang.
Perempuan dan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) adalah target utama marjinalisasi yang berbasis pada identitas dan norma sosial yang patriarkal. Meskipun ada kemajuan dalam representasi politik perempuan, diskriminasi masih mengakar kuat dalam ranah domestik, ekonomi, dan hukum.
Perempuan sering menghadapi marjinalisasi ekonomi melalui segregasi pekerjaan (terbatas pada sektor yang dibayar rendah), kesenjangan upah, dan beban ganda (pekerjaan produktif dan reproduktif). Dalam ranah hukum, peraturan daerah yang diskriminatif (misalnya, yang mengatur cara berpakaian atau jam malam) membatasi mobilitas dan kesempatan mereka. Selain itu, tingginya angka kekerasan berbasis gender mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin rasa aman, yang pada akhirnya memarjinalkan partisipasi penuh perempuan dalam ruang publik.
Kelompok minoritas seksual dan gender mengalami pengucilan yang parah, didorong oleh moralitas publik yang dipolitisasi dan interpretasi keagamaan yang sempit. Marjinalisasi mereka bersifat legal (kurangnya perlindungan hukum), sosial (stigmatisasi, penolakan keluarga), dan ekonomi (kesulitan mendapatkan pekerjaan formal karena identitas mereka). Pengucilan ini tidak hanya berujung pada kerentanan psikologis, tetapi juga eksklusi dari layanan kesehatan dan pendidikan, memaksa mereka hidup dalam bayang-bayang.
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap marjinalisasi karena konflik tak berujung atas pengakuan tanah dan hak-hak budaya. Di Indonesia, tanah dan sumber daya mereka sering diklaim oleh negara atas nama pembangunan, konsesi perusahaan perkebunan, atau pertambangan.
Konflik agraria adalah manifestasi paling jelas dari marjinalisasi ini. Ketika masyarakat adat kehilangan hutan atau tanah ulayat mereka, mereka tidak hanya kehilangan sumber mata pencaharian, tetapi juga kehilangan identitas kolektif dan kearifan lokal mereka. Meskipun Undang-Undang Dasar menjamin hak-hak mereka, implementasi di lapangan sering terhambat oleh kepentingan ekonomi dan birokrasi yang lambat atau tidak peduli. Hilangnya kedaulatan atas wilayah adat membuat mereka terdesak ke pinggiran, seringkali menjadi buruh murah di lahan yang dulunya milik mereka sendiri.
Meskipun terdapat Undang-Undang yang progresif, penyandang disabilitas (difabel) masih menghadapi hambatan fisik, komunikasi, dan sikap yang sangat besar. Marjinalisasi difabel beroperasi di banyak tingkat:
Marjinalisasi ini secara drastis mengurangi potensi sumber daya manusia, padahal inklusi difabel terbukti meningkatkan keragaman dan inovasi dalam masyarakat.
Di bawah tekanan konservatisme agama yang meningkat, kelompok minoritas agama tertentu (seperti Syiah, Ahmadiyah, atau komunitas penghayat kepercayaan) menghadapi marjinalisasi yang ekstrem. Pengucilan ini mencakup penghalang dalam mendirikan tempat ibadah, kesulitan mendapatkan layanan administrasi kependudukan (KTP), dan seringkali menjadi target intoleransi dan kekerasan. Ketika negara gagal melindungi hak-hak mereka, ia secara langsung memarjinalkan mereka dari jaminan konstitusional.
Demikian pula, minoritas etnis tertentu, terutama yang berada di daerah konflik atau yang secara historis terpinggirkan (misalnya, Papua atau etnis Tionghoa dalam konteks sejarah tertentu), menghadapi stereotip dan diskriminasi dalam akses kekuasaan dan kesempatan ekonomi.
Dampak dari marjinalisasi bersifat kumulatif dan intergenerasi. Ia tidak hanya merugikan individu yang termarjinalisasi saat ini, tetapi juga menciptakan siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan yang sulit diputus oleh generasi berikutnya. Dampak ini dapat dikategorikan secara ekonomi, sosial, dan psikologis.
Marjinalisasi ekonomi menghasilkan kemiskinan struktural. Akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas tinggi dan pelatihan keterampilan profesional membuat kelompok marginal terperangkap dalam pekerjaan sektor informal atau pekerjaan yang rentan. Kurangnya kepemilikan aset (tanah, modal, properti) berarti mereka tidak memiliki jaring pengaman saat terjadi krisis, seperti pandemi atau bencana alam.
Kondisi ini menciptakan kemiskinan intergenerasi: anak-anak dari kelompok marginal memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, sehingga mereka mewarisi keterbatasan ekonomi orang tua mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa marjinalisasi merusak mobilitas sosial dan memperlambat potensi pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan.
Marjinalisasi memiliki korelasi kuat dengan buruknya status kesehatan. Kelompok yang terpinggirkan, khususnya masyarakat adat di pedalaman atau penduduk miskin kota, seringkali jauh dari fasilitas kesehatan yang layak. Mereka mungkin kesulitan membayar layanan, atau menghadapi hambatan budaya dan bahasa saat berinteraksi dengan petugas kesehatan.
Ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan adalah mesin lain dari marjinalisasi. Sekolah-sekolah di daerah terpencil atau padat miskin seringkali kekurangan guru berkualitas, fasilitas yang memadai, dan kurikulum yang relevan. Ketika pendidikan gagal berfungsi sebagai pemutus rantai kemiskinan, marjinalisasi sosial diperkuat, menutup pintu bagi peluang peningkatan status sosial.
Salah satu dampak paling merusak dari marjinalisasi adalah kerusakan psikologis yang diakibatkannya. Terus-menerus dicap, distigmatisasi, dan dikeluarkan dapat menyebabkan rendah diri, depresi, dan trauma kronis. Anak-anak yang tumbuh dengan pengalaman diskriminasi internalisasi keyakinan bahwa mereka 'kurang layak' atau 'tidak berharga', yang kemudian membatasi ambisi dan partisipasi mereka.
Di tingkat kolektif, marjinalisasi menimbulkan erosi kepercayaan terhadap institusi publik. Ketika kelompok tertentu secara konsisten dikecewakan oleh polisi, birokrasi, atau sistem pengadilan, mereka menarik diri dari partisipasi sipil, memperburuk marjinalisasi politik dan menciptakan lingkaran setan ketidakpercayaan dan alienasi.
Gambar 2: Hambatan Struktural yang membatasi akses kelompok marjinal terhadap sumber daya kunci.
Untuk memahami kedalaman marjinalisasi, perlu adanya analisis kasus yang menunjukkan bagaimana berbagai faktor (kelas, etnis, lokasi) berinteraksi dan menciptakan lapisan opresi yang tumpang tindih.
Ambil contoh perempuan kepala rumah tangga (PKR) yang bekerja sebagai nelayan atau buruh ikan di daerah pesisir terpencil. Mereka menghadapi setidaknya tiga lapisan marjinalisasi:
Ketika marjinalisasi berinteraksi seperti ini, satu kebijakan afirmatif saja tidak cukup. Dibutuhkan intervensi yang komprehensif, mulai dari perlindungan hukum ketenagakerjaan, pengakuan atas peran ekonomi mereka, hingga investasi infrastruktur di wilayah pesisir.
Marjinalisasi di perkotaan seringkali berpusat pada hak atas hunian dan ruang hidup. Penduduk di pemukiman kumuh (urban poor) adalah kelompok yang secara permanen rentan terhadap penggusuran paksa atas nama ‘penataan kota’ atau ‘pembangunan’. Penggusuran adalah bentuk marjinalisasi brutal yang menghilangkan aset utama (rumah), memutus jaringan sosial, dan memaksa mereka pindah ke pinggiran kota yang jauh dari sumber mata pencaharian.
Proses ini menunjukkan bagaimana marjinalisasi politik (kurangnya kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemerintah kota dan pengembang) dan marjinalisasi ekonomi (tidak mampu membeli hunian formal) saling terkait. Narasi dominan seringkali menggambarkan penduduk miskin kota sebagai penghalang kemajuan, membenarkan pengucilan mereka dari pusat kota dan sumber daya yang ada di dalamnya.
Dalam era Revolusi Industri 4.0, marjinalisasi mengambil bentuk baru yang disebut kesenjangan digital. Kelompok yang tidak memiliki akses atau literasi teknologi (penduduk desa terpencil, lansia, kelompok ekonomi rendah) semakin terpinggirkan dari akses informasi, layanan pemerintah (e-government), dan peluang kerja yang memerlukan keterampilan digital.
Marjinalisasi digital memperburuk bentuk marjinalisasi lain. Misalnya, seorang petani di pedalaman yang tidak memiliki akses internet akan kesulitan mendapatkan informasi harga pasar terbaik atau program bantuan pemerintah, sehingga rentan dieksploitasi oleh tengkulak. Akses terhadap teknologi kini telah menjadi prasyarat untuk partisipasi penuh dalam masyarakat modern, dan pengecualian dari akses ini merupakan bentuk marjinalisasi yang semakin mendesak untuk ditangani.
Mengatasi marjinalisasi membutuhkan perubahan struktural, bukan hanya bantuan sosial sementara. Strategi de-marjinalisasi harus fokus pada pengakuan, redistribusi sumber daya, dan reformasi institusi.
Langkah pertama adalah pengakuan formal terhadap keberadaan dan hak-hak kelompok yang dimarjinalkan. Dalam kasus masyarakat adat, ini berarti mempercepat proses pengakuan hak ulayat dan menghentikan kriminalisasi terhadap pemimpin adat yang memperjuangkan tanah mereka. Pengakuan juga berarti melawan stigma sosial dan narasi negatif melalui pendidikan multikultural dan kampanye publik yang mempromosikan inklusivitas dan keragaman.
Keadilan restoratif diperlukan untuk memperbaiki kerugian historis yang diderita. Ini termasuk permintaan maaf publik dari negara atas pelanggaran masa lalu dan implementasi kebijakan yang secara aktif mengembalikan sumber daya atau hak yang telah diambil.
Kebijakan afirmatif adalah intervensi yang dirancang untuk mengimbangi kerugian struktural. Ini dapat berupa kuota khusus untuk kelompok marginal (misalnya, difabel, masyarakat adat, atau kelompok miskin) dalam akses pendidikan tinggi, pekerjaan sektor publik, atau dana pembangunan lokal. Redistribusi sumber daya harus mencakup reformasi agraria yang sejati, memastikan tanah kembali kepada petani dan masyarakat yang berhak, serta skema pajak progresif untuk mendanai layanan sosial di wilayah terpencil.
Pemerintah perlu menerapkan anggaran yang sensitif terhadap marjinalisasi. Ini berarti mengevaluasi bagaimana setiap rupiah yang dihabiskan negara mempengaruhi kelompok marginal—apakah anggaran kesehatan benar-benar menjangkau daerah terpencil? Apakah dana pendidikan diperuntukkan bagi penyediaan fasilitas yang dapat diakses oleh difabel? Pendekatan ini memastikan bahwa alokasi sumber daya tidak hanya netral, tetapi secara aktif anti-diskriminatif.
Lembaga-lembaga negara harus direformasi agar lebih responsif dan akuntabel terhadap kelompok marginal. Ini mencakup pelatihan sensitivitas bagi aparat negara (polisi, guru, petugas kesehatan), pembangunan mekanisme pengaduan yang mudah diakses, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku diskriminasi.
Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) sangat krusial. OMS, terutama yang berbasis komunitas, berada di garis depan perjuangan melawan marjinalisasi, menyediakan layanan yang gagal disediakan negara, mengorganisir kelompok marginal, dan melakukan advokasi kebijakan. Pemerintah harus memfasilitasi ruang sipil yang aman bagi OMS untuk bekerja tanpa intimidasi, mengakui mereka sebagai mitra kunci dalam pembangunan inklusif.
Upaya de-marjinalisasi tidak akan berhasil jika kelompok yang menjadi target hanya dianggap sebagai penerima manfaat pasif. Mereka harus menjadi agen perubahan aktif. Partisipasi penuh dan bermakna adalah kunci untuk memastikan solusi yang diterapkan relevan dan berkelanjutan.
Pemberdayaan harus melampaui pelatihan keterampilan teknis. Ini mencakup peningkatan kesadaran politik, literasi hukum, dan kemampuan berorganisasi. Kelompok marginal perlu didorong untuk membentuk organisasi mereka sendiri, yang memungkinkan mereka untuk menyuarakan tuntutan secara kolektif dan bernegosiasi secara setara dengan pemerintah atau perusahaan besar. Ketika mereka memiliki agensi, mereka dapat melawan narasi marjinalisasi dan menciptakan identitas yang memberdayakan.
Meskipun desentralisasi bertujuan untuk mengurangi sentralisme Jakarta, banyak kebijakan daerah masih menciptakan marjinalisasi baru. Desentralisasi yang inklusif berarti memastikan bahwa pengambilan keputusan di tingkat desa dan kabupaten tidak didominasi oleh elit lokal. Mekanisme musyawarah desa, misalnya, harus secara eksplisit mengalokasikan ruang bagi perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, memastikan kebutuhan mereka tidak diabaikan.
Sistem pendidikan harus menjadi fondasi untuk inklusi. Ini tidak hanya berarti menyediakan sekolah yang dapat diakses difabel, tetapi juga mengarusutamakan kurikulum yang menghargai keragaman (toleransi agama, hak asasi manusia, kesetaraan gender) sejak usia dini. Pendidikan harus berfungsi untuk membongkar prasangka dan stereotip yang menjadi bahan bakar utama proses marjinalisasi sosial.
Inklusi dalam pendidikan juga harus mencakup pendekatan yang menghormati bahasa dan pengetahuan lokal masyarakat adat, alih-alih memaksakan sistem pendidikan yang homogen dan tidak relevan dengan konteks mereka. Ketika pengetahuan tradisional dihormati, itu adalah tindakan de-marjinalisasi budaya yang kuat.
Perjuangan melawan marjinalisasi adalah perjuangan jangka panjang yang penuh tantangan, terutama di negara di mana kekuatan konservatif, kepentingan modal besar, dan birokrasi yang kaku seringkali menghalangi perubahan. Namun, pemahaman yang sistematis dan berkelanjutan mengenai akar permasalahan ini memberikan harapan.
Krisis global—seperti perubahan iklim, pandemi, dan gejolak ekonomi—selalu memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap kelompok marginal. Perubahan iklim, misalnya, memperparah kerentanan nelayan miskin dan masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Oleh karena itu, kebijakan adaptasi dan mitigasi krisis harus dirancang dengan lensa inklusif, memastikan bahwa upaya penyelamatan dan pemulihan tidak meninggalkan siapapun di belakang.
Salah satu hambatan terbesar dalam memerangi marjinalisasi adalah kurangnya data yang terpilah (disaggregated data) berdasarkan gender, disabilitas, etnis, dan status ekonomi. Tanpa data yang akurat tentang siapa yang termarjinalisasi dan bagaimana, sulit bagi pemerintah untuk merumuskan dan mengukur efektivitas intervensi. Pemerintah dan lembaga statistik harus memprioritaskan pengumpulan data yang dapat menangkap realitas kompleks dari ketidaksetaraan interseksional.
Media massa dan platform digital memegang peran kunci dalam melawan atau memperkuat marjinalisasi. Liputan media yang sensasionalis atau stereotip dapat memperburuk stigma terhadap kelompok tertentu. Sebaliknya, media yang bertanggung jawab dapat menjadi alat yang kuat untuk mengangkat suara kelompok marginal, menantang narasi dominan, dan mendidik publik tentang pentingnya keadilan sosial.
Kesimpulannya, marjinalisasi adalah sebuah penyakit struktural yang menghalangi Indonesia mencapai potensi kemanusiaannya secara penuh. Ia membutuhkan lebih dari sekadar belas kasihan; ia membutuhkan komitmen politik yang teguh, reformasi kebijakan yang berani, dan perubahan fundamental dalam cara masyarakat melihat dan memperlakukan kelompok yang berbeda. Hanya melalui pengakuan penuh, redistribusi sumber daya yang adil, dan partisipasi yang setara, kita dapat berharap untuk membangun masyarakat Indonesia yang benar-benar inklusif dan adil, di mana tidak ada satupun warga negara yang terpaksa hidup di pinggiran.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai tantangan marjinalisasi, perlu diuraikan bagaimana institusi formal dan informal di Indonesia beroperasi untuk mempertahankan sistem eksklusi. Institusi, baik itu birokrasi pemerintah, sistem pendidikan, maupun lembaga keagamaan, seringkali menjadi arena di mana diskriminasi dilembagakan dan diproduksi ulang secara siklus.
Birokrasi, yang seharusnya berfungsi melayani publik, seringkali menjadi barrier utama bagi kelompok marjinal. Prosedur yang rumit, persyaratan administratif yang berlebihan, dan kurangnya transparansi menciptakan lingkungan di mana hanya mereka yang memiliki modal sosial (jaringan, uang, pendidikan) yang dapat menavigasi sistem. Penduduk miskin, masyarakat adat yang tinggal jauh, atau penyandang disabilitas yang kesulitan mengakses kantor pelayanan fisik, secara otomatis terpinggirkan dari hak-hak sipil dasar seperti akta kelahiran, KTP, atau bantuan sosial.
Budaya elitisme dalam birokrasi juga memainkan peran. Ketika petugas pelayanan publik memandang rendah atau skeptis terhadap orang miskin atau minoritas tertentu, layanan yang diberikan menjadi buruk, lambat, atau bahkan diskriminatif. Ketidakresponsifan ini bukan kegagalan individu, tetapi kegagalan sistemik yang diperkuat oleh kurangnya pelatihan sensitivitas dan mekanisme akuntabilitas yang lemah.
Sistem pendidikan formal, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, justru dapat menjadi agen marjinalisasi budaya dan bahasa. Kurikulum yang terlalu sentralistik dan seragam cenderung mengabaikan sejarah, bahasa, dan kearifan lokal kelompok minoritas. Ketika anak-anak dari masyarakat adat dipaksa belajar dalam bahasa Indonesia baku dan konten yang asing bagi pengalaman mereka, hal itu menciptakan alienasi dan kegagalan akademis, memaksa mereka keluar dari sistem pendidikan lebih awal. Ini adalah bentuk marjinalisasi yang halus namun efektif, merusak identitas dan membatasi peluang masa depan.
Selain itu, sistem meritokrasi dalam pendidikan seringkali bias terhadap kelompok yang sudah memiliki keunggulan sosio-ekonomi. Sekolah unggulan terkonsentrasi di perkotaan dan membutuhkan biaya tambahan, sehingga secara efektif mengecualikan anak-anak dari keluarga miskin atau terpencil. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi pemutus siklus marjinalisasi, malah menjadi pewaris utama ketidaksetaraan.
Akses terhadap modal finansial adalah penentu utama kemajuan ekonomi, tetapi kelompok marjinal seringkali dikeluarkan dari sistem keuangan formal. Bank dan lembaga kredit cenderung memandang kelompok miskin, pekerja informal, atau perempuan sebagai risiko tinggi. Kurangnya agunan (seperti sertifikat tanah formal) atau jaminan pendapatan tetap membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk pinjaman yang diperlukan untuk memulai usaha atau berinvestasi dalam pendidikan.
Akibatnya, mereka terpaksa bergantung pada rentenir atau skema pinjaman informal berbiaya tinggi, yang semakin menenggelamkan mereka dalam utang dan kerentanan. Program keuangan mikro dan inklusi keuangan telah mencoba menjembatani kesenjangan ini, namun skala dan dampaknya seringkali masih terbatas untuk mengatasi kedalaman marjinalisasi ekonomi yang struktural.
Marjinalisasi juga menimpa kelompok yang sering terabaikan dalam diskursus pembangunan, seperti penduduk lanjut usia (lansia) dan pekerja migran.
Di Indonesia, di mana sistem jaminan pensiun universal masih belum kuat, lansia yang tidak memiliki tabungan atau aset seringkali termarjinalisasi secara ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat yang semakin fokus pada produktivitas kaum muda, lansia dianggap sebagai beban, dan kontribusi mereka diabaikan. Marjinalisasi ini diperparah oleh kesenjangan digital, di mana banyak layanan publik kini beralih ke platform online, meninggalkan lansia yang tidak memiliki akses atau literasi teknologi.
Selain itu, perubahan struktur keluarga dari komunal menjadi nuklir juga membuat banyak lansia mengalami isolasi sosial dan kerentanan terhadap kekerasan atau penelantaran. Kurangnya layanan perawatan jangka panjang yang terjangkau semakin memperkuat pengucilan ini.
Pekerja migran Indonesia (PMI), baik yang bekerja di luar negeri maupun yang bekerja di dalam negeri (internal migration), menghadapi marjinalisasi akut. Meskipun mereka adalah penyumbang devisa yang signifikan, mereka seringkali rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan manusia.
Marjinalisasi ini dimulai dari dalam negeri melalui praktik perekrutan yang tidak etis, dilanjutkan dengan minimnya perlindungan hukum di negara tujuan, dan diperburuk oleh stigma sosial yang mengaitkan mereka dengan kelas sosial rendah. Ketika mereka kembali ke tanah air, mereka sering kesulitan mengintegrasikan kembali tabungan dan pengalaman mereka ke dalam ekonomi lokal, memperpanjang siklus kerentanan mereka. Negara memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi marjinalisasi ini melalui diplomasi yang kuat, perlindungan hukum yang komprehensif, dan program reintegrasi yang efektif.
Sejarah menunjukkan bahwa perubahan struktural jarang datang dari atas; ia seringkali dipaksakan oleh gerakan sosial dan organisasi kolektif dari kelompok yang termarjinalisasi itu sendiri. Solidaritas dan pembentukan koalisi antar-kelompok marginal adalah kunci untuk melawan sistem eksklusi.
Perlawanan terhadap marjinalisasi menjadi lebih kuat ketika kelompok-kelompok yang berbeda bersatu. Misalnya, koalisi antara aktivis difabel, organisasi perempuan, dan kelompok masyarakat adat dapat bersama-sama menuntut reformasi perizinan lahan yang inklusif atau mendesak anggaran daerah yang responsif terhadap semua kebutuhan spesifik mereka. Jaringan interseksional memastikan bahwa solusi yang dirumuskan tidak hanya melayani satu kepentingan, tetapi mengatasi lapisan opresi yang tumpang tindih.
Bagi banyak kelompok marginal, khususnya masyarakat adat, perlawanan terhadap marjinalisasi juga berarti menegaskan kembali kedaulatan budaya mereka. Ini melibatkan revitalisasi bahasa ibu, praktik pengelolaan lingkungan tradisional, dan sistem pengetahuan lokal. Ketika kearifan lokal diakui sebagai solusi berkelanjutan terhadap tantangan modern (seperti perubahan iklim), hal itu membalikkan narasi bahwa kelompok marginal adalah ‘tertinggal’ dan memposisikan mereka sebagai pemegang pengetahuan yang vital.
Penggunaan mekanisme hak asasi manusia, baik di tingkat nasional maupun internasional, merupakan strategi penting. Litigasi strategis—mengajukan gugatan hukum yang bertujuan untuk menciptakan preseden yang mengubah kebijakan secara luas—dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menantang kebijakan pemerintah yang memarjinalkan, seperti penggusuran paksa atau penolakan hak atas tanah. Keberhasilan dalam kasus-kasus hukum ini mengirimkan pesan kuat kepada institusi bahwa tindakan diskriminatif memiliki konsekuensi hukum.
Mengatasi marjinalisasi adalah tugas yang berkelanjutan dan memerlukan komitmen lintas generasi. Ini membutuhkan upaya yang terkoordinasi antara negara, pasar, dan masyarakat sipil. Negara harus menjalankan perannya sebagai pelindung hak-hak minoritas dan pengadil yang adil dalam konflik sumber daya. Pasar harus didorong untuk mengadopsi praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial dan inklusif. Sementara masyarakat sipil harus terus berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan dan penyuara keadilan.
Ketika marjinalisasi berkurang, bukan hanya kelompok yang terpinggirkan yang mendapat manfaat, tetapi seluruh bangsa. Menginklusi kelompok marginal akan melepaskan potensi ekonomi, inovasi budaya, dan kekuatan kolektif yang selama ini terpendam. Sebuah negara yang adil dan makmur adalah negara yang memastikan bahwa semua warganya, tanpa memandang latar belakang, identitas, atau lokasi, memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dan berkembang.
Jalan menuju de-marjinalisasi adalah jalan menuju demokrasi yang lebih matang, pembangunan yang lebih berkelanjutan, dan pada akhirnya, realisasi penuh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Proses panjang mengatasi marjinalisasi ini juga menuntut refleksi kritis dari setiap warga negara. Kita harus mengakui bias dan prasangka pribadi yang mungkin tanpa sadar turut melanggengkan sistem eksklusi. Perubahan budaya, yang menuntut empati dan penghormatan terhadap pluralitas, harus berjalan seiring dengan perubahan kebijakan. Ini adalah prasyarat untuk menciptakan struktur sosial yang menolak pengucilan dan merayakan keberagaman sebagai kekuatan utama bangsa.
Kesinambungan upaya ini harus dipantau secara ketat, memastikan bahwa program-program inklusi tidak hanya berakhir sebagai proyek di atas kertas, tetapi benar-benar mengubah kehidupan di level komunitas. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat benar-benar mengklaim dirinya sebagai bangsa yang adil dan inklusif, tempat di mana setiap individu mendapatkan tempat yang layak, bukan di pinggiran, melainkan di jantung masyarakat.