Pangkat Marsekal tidak sekadar melambangkan hierarki militer; ia mewakili esensi dari strategi udara, otoritas komando tertinggi, dan tanggung jawab atas kedaulatan palagan angkasa suatu negara. Pangkat ini, yang secara spesifik dikaitkan dengan angkatan udara di banyak yurisdiksi modern, membawa serta sejarah panjang yang berakar dari peran-peran sipil dan militer di masa lampau. Di Indonesia, Marsekal adalah gelar tertinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), sebuah posisi yang menuntut visi strategis jauh ke depan, kemampuan adaptasi terhadap teknologi disruptif, serta integritas moral yang tidak tergoyahkan dalam menghadapi dinamika geopolitik global. Kajian mengenai Marsekal adalah kajian tentang bagaimana sebuah negara mengelola kekuatan udara sebagai instrumen pencegah dan pelaksana kehendak strategis nasional di era modern.
Etimologi kata "Marsekal" (Marshal) sangat menarik, menunjukkan pergeseran makna dari fungsi domestik menjadi otoritas militer tertinggi. Kata ini berasal dari bahasa Jerman kuno, gabungan dari marah (kuda) dan scalh (pelayan atau penjaga). Pada awalnya, seorang marsekal adalah penjaga kuda (Master of the Horse) di istana-istana kerajaan Eropa Abad Pertengahan. Tugas mereka adalah mengawasi kandang kuda, logistik transportasi, dan menjaga persenjataan kavaleri. Namun, seiring waktu, karena kavaleri adalah elemen kunci dalam peperangan, peran ini berkembang menjadi tanggung jawab komando militer yang lebih besar, terutama dalam mengatur barisan perang.
Pada periode feodal, gelar Marsekal mulai diberikan kepada pejabat tinggi istana yang bertanggung jawab atas hukum, ketertiban, dan komando militer. Di Prancis, Maréchal de France menjadi pangkat kehormatan tertinggi bagi komandan militer yang berprestasi luar biasa. Pangkat ini, yang sering kali bersifat non-operasional dan lebih kepada pengakuan atas jasa seumur hidup, membawa prestise yang luar biasa. Evolusi serupa terjadi di Inggris, di mana gelar Field Marshal menjadi simbol komando tertinggi angkatan darat.
Pangkat Marsekal, dalam konteks modern, mengalami perubahan besar setelah Perang Dunia I dengan munculnya kekuatan udara sebagai matra independen. Ketika Angkatan Udara Britania Raya (RAF) dibentuk, mereka sengaja menciptakan hierarki pangkat yang berbeda dari Angkatan Darat dan Laut untuk menekankan identitas matra baru ini. Mereka mengadopsi struktur yang menggunakan nama-nama berbasis "Marshal" untuk pangkat jenderal: Air Vice-Marshal, Air Marshal, Air Chief Marshal, dan Marshal of the Royal Air Force.
Penggunaan pangkat Marsekal oleh angkatan udara ini menyebar ke banyak negara Persemakmuran dan negara-negara lain yang terinspirasi oleh model RAF, termasuk Indonesia. Di sinilah pangkat Marsekal menjadi identik dengan kepemimpinan strategis di udara, mengawasi perencanaan operasi, akuisisi teknologi, dan pemeliharaan supremasi udara. Penggunaan nomenklatur yang konsisten ini menegaskan bahwa komandan tertinggi angkatan udara memiliki status dan tanggung jawab yang setara dengan Jenderal di Angkatan Darat dan Laksamana di Angkatan Laut, namun disesuaikan dengan lingkungan operasional yang unik: dimensi ketiga.
Di Indonesia, hierarki pangkat perwira tinggi (jenderal) di TNI Angkatan Udara menggunakan istilah Marsekal. Struktur ini mencerminkan kebutuhan komando atas armada udara, sistem pertahanan udara, dan proyeksi kekuatan melalui dimensi angkasa. Pemegang pangkat ini bukan hanya manajer administratif, tetapi arsitek doktrin dan kebijakan pertahanan udara nasional.
Pangkat Marsekal di Indonesia terdiri dari empat tingkatan utama, yang serupa dengan struktur bintang di matra lain:
Jabatan KSAU, yang diemban oleh seorang Marsekal penuh, adalah puncak dari piramida komando TNI AU. KSAU bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI dan Presiden melalui Menteri Pertahanan. Tugas dan tanggung jawab KSAU sangatlah luas, meliputi:
Kepemimpinan Marsekal dalam konteks modern jauh melampaui koordinasi pesawat tempur. Mereka adalah pengambil keputusan di tengah ketidakpastian tinggi, menghadapi spektrum ancaman yang sangat luas—mulai dari pelanggaran wilayah udara tradisional hingga serangan siber terhadap sistem kendali dan komunikasi. Peran strategis Marsekal berpusat pada tiga pilar utama: superioritas udara, kemampuan proyeksi kekuatan, dan integrasi multidimensi.
Mencapai dan mempertahankan superioritas udara (atau setidaknya keunggulan udara) adalah tugas mendasar yang diemban oleh Marsekal. Tanpa kendali atas ruang udara, operasi darat dan laut menjadi sangat rentan. Marsekal harus memastikan bahwa TNI AU memiliki aset yang cukup, pilot yang terlatih unggul, dan sistem sensor yang mumpuni (ISR – Intelligence, Surveillance, Reconnaissance) untuk mengidentifikasi, melacak, dan menetralisir ancaman sebelum mencapai wilayah vital negara. Ini membutuhkan investasi besar dalam pesawat tempur generasi terbaru, sistem radar jarak jauh, dan pelatihan perang elektronik yang intensif.
Namun, superioritas udara tidak hanya diukur dari jumlah jet tempur. Kualitas komando, kontrol, komunikasi, komputer, dan intelijen (C4I) adalah kunci. Marsekal bertugas mengintegrasikan semua elemen ini menjadi satu jaringan tempur yang responsif dan tahan banting. Keputusan akuisisi sistem pertahanan rudal dan pengembangan kemampuan serangan presisi jarak jauh merupakan bagian integral dari strategi superioritas yang disusun oleh kepemimpinan Marsekal.
Dalam lingkungan operasi gabungan (joint operations), peran Marsekal adalah memastikan bahwa kekuatan udara tidak beroperasi secara terpisah (siloed) tetapi terintegrasi mulus dengan operasi Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Marsekal harus menjadi advokat utama bagi peran udara dalam setiap kampanye militer. Misalnya, dalam operasi maritim, pesawat tempur atau patroli maritim AU menyediakan perlindungan dan intelijen kritis bagi kapal-kapal AL. Dalam operasi darat, dukungan udara dekat (CAS) yang efektif sangat bergantung pada koordinasi yang direncanakan di tingkat Marsekal.
Integrasi ini menuntut pemahaman mendalam tentang doktrin matra lain. Di tingkat Mabes TNI, Marsekal (sebagai KSAU) berkolaborasi erat dengan Kepala Staf matra lain untuk menyusun rencana kontinjensi nasional. Keputusan mengenai penempatan aset, penentuan zona larangan terbang, dan alokasi sumber daya udara dalam skenario krisis, semuanya melewati meja komando tertinggi TNI AU.
Lebih jauh lagi, Marsekal kini harus merangkul doktrin perang multidomain. Medan pertempuran tidak lagi terbatas pada darat, laut, dan udara, tetapi meluas ke ruang siber dan angkasa luar (kosmik). Kekuatan udara adalah pengguna utama spektrum elektromagnetik dan aset satelit. Oleh karena itu, Marsekal harus memimpin transisi TNI AU menjadi kekuatan yang mampu beroperasi di kelima domain tersebut secara simultan, menjadikan kemampuan Marsekal dalam beradaptasi terhadap perubahan teknologi sebagai kriteria utama kepemimpinannya.
Gelombang inovasi teknologi, terutama dalam kecerdasan buatan (AI) dan sistem tanpa awak (UAS/drone), telah mengubah fundamental perang udara. Marsekal harus memimpin transformasi organisasi agar tetap relevan. Ini mencakup:
Pangkat Marsekal adalah cerminan dari akumulasi pengalaman, kecakapan taktis, dan, yang paling penting, karakter kepemimpinan yang telah teruji. Posisi ini menuntut lebih dari sekadar keahlian dalam menerbangkan pesawat atau memahami aerodinamika; dibutuhkan kemampuan untuk memimpin ribuan prajurit, mengelola anggaran triliunan, dan membuat keputusan yang berdampak pada keamanan nasional.
Seorang Marsekal harus memiliki visi strategis yang melampaui masa jabatannya. Kekuatan udara membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dibangun—dari perencanaan akuisisi pesawat, pembangunan infrastruktur pangkalan, hingga melatih pilot tempur yang mencapai kematangan. Oleh karena itu, Marsekal bertindak sebagai arsitek yang meletakkan fondasi kapabilitas yang baru akan matang di masa depan. Mereka harus mampu mengidentifikasi tren ancaman global dan teknologi yang akan relevan dalam 10 hingga 20 tahun mendatang, dan memandu investasi yang sesuai dengan visi tersebut.
Krisis di udara seringkali berkembang sangat cepat. Dalam insiden intersepsi, pelanggaran wilayah, atau kegagalan teknis, waktu untuk mengambil keputusan diukur dalam menit, bahkan detik. Marsekal harus mengembangkan sistem komando yang memungkinkan delegasi wewenang yang cepat namun terkontrol, sambil tetap mempertahankan pemahaman situasional yang akurat (Situational Awareness). Latihan simulasi krisis dan pengembangan prosedur operasi standar (SOP) yang ketat adalah bagian dari tugas Marsekal untuk meminimalkan risiko kesalahan manusia dalam situasi tekanan tinggi. Ketegasan, disertai dengan kemampuan untuk mendengarkan masukan dari staf teknis dan operasional, adalah kualitas vital.
Seorang Marsekal memegang amanah yang sangat besar terkait sumber daya negara dan nyawa prajurit. Integritas adalah fondasi yang tidak bisa ditawar. Keputusan mengenai kontrak pengadaan alutsista, penempatan personel, dan penggunaan kekuatan militer harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Tanggung jawab moral meluas hingga kesejahteraan prajurit dan keluarga mereka. Marsekal harus memastikan bahwa budaya profesionalisme, akuntabilitas, dan loyalitas terhadap bangsa tertanam kuat di seluruh jajaran TNI AU.
Kegagalan dalam integritas di tingkat komando tertinggi dapat merusak moral seluruh organisasi dan menghambat modernisasi. Oleh karena itu, perjalanan menuju pangkat Marsekal tidak hanya diisi dengan catatan prestasi operasional, tetapi juga rekam jejak yang bersih dari penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran etika. Kepemimpinan Marsekal adalah contoh nyata bagi setiap prajurit mengenai standar perilaku militer yang diharapkan oleh negara.
Pembinaan karakter ini dimulai sejak pendidikan militer awal, namun diuji paling berat di tingkat tinggi, di mana kompleksitas politik, ekonomi, dan militer bertemu. Marsekal harus mahir dalam seni manajemen risiko, menyeimbangkan antara agresi yang diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan dan kehati-hatian diplomatik untuk menghindari eskalasi konflik yang tidak perlu. Penggunaan kekuatan, yang merupakan keputusan paling serius yang dapat diambil, harus selalu dipertimbangkan melalui prisma hukum internasional dan etika kemanusiaan. Ini adalah beban kepemimpinan yang harus dipikul oleh seorang Marsekal.
TNI AU, di bawah kepemimpinan Marsekal, menghadapi serangkaian tantangan yang semakin kompleks, baik dari sisi geopolitik regional maupun kebutuhan modernisasi internal yang sangat mendesak. Kawasan Indo-Pasifik adalah salah satu area paling dinamis di dunia, dengan klaim teritorial yang tumpang tindih, persaingan kekuatan besar yang intensif, dan meningkatnya proliferasi teknologi militer canggih. Marsekal harus memosisikan TNI AU sebagai kekuatan yang relevan, kredibel, dan siap menghadapi ancaman non-tradisional maupun tradisional.
Konsep pertahanan udara di kepulauan seperti Indonesia memerlukan jangkauan (reach) dan kecepatan yang luar biasa. Marsekal bertanggung jawab atas doktrin pertahanan berlapis (layered defense) yang mencakup radar pengawasan, pesawat pencegat, dan sistem pertahanan rudal berbasis darat, terdistribusi melintasi ribuan pulau. Tantangan logistik dan pemeliharaan untuk menjaga kesiapan tempur alutsista yang tersebar luas ini sangat besar.
Salah satu fokus utama Marsekal adalah modernisasi armada. Usia rata-rata beberapa alutsista telah mencapai titik kritis, dan penggantian serta peningkatan kemampuan harus dilakukan secara berkelanjutan. Namun, proses ini terhambat oleh kendala anggaran, kompleksitas transfer teknologi, dan dinamika politik luar negeri yang memengaruhi akuisisi sistem senjata dari negara produsen. Marsekal harus menjadi negosiator ulung, memastikan bahwa setiap Rupiah yang diinvestasikan menghasilkan peningkatan kapabilitas yang maksimal (value for money) dan mendukung kemandirian industri pertahanan dalam negeri.
Pesawat tempur canggih tidak berarti apa-apa tanpa pilot, teknisi, dan operator radar yang ahli. Kepemimpinan Marsekal harus memberikan prioritas tinggi pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Ini mencakup reformasi sistem pendidikan dan pelatihan, memperkenalkan teknologi simulasi terbaru, dan memastikan bahwa kurikulum mencerminkan kebutuhan perang udara multidomain modern, termasuk pelatihan siber dan pemanfaatan AI.
Kualitas Marsekal yang ideal adalah seseorang yang mampu mengenali dan mempromosikan talenta terbaik, tidak hanya di lini depan (pilot tempur), tetapi juga di lini belakang yang krusial—para insinyur penerbangan, spesialis sistem informasi, dan analis intelijen. Mempertahankan SDM berkualitas tinggi sering kali menjadi tantangan dihadapkan pada daya tarik sektor swasta, sehingga Marsekal juga harus berfokus pada peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme prajurit.
Keputusan pengadaan alutsista yang diambil oleh Marsekal saat ini akan menentukan kekuatan TNI AU selama 30 tahun ke depan. Apakah negara akan berinvestasi pada jet tempur berawak generasi kelima, atau beralih sepenuhnya ke kombinasi jet generasi 4.5 dan drone otonom? Pertanyaan ini memerlukan analisis biaya-manfaat dan risiko yang mendalam. Pengadaan harus bersifat interoperable, artinya dapat berfungsi secara mulus dengan sistem negara-negara sahabat dan matra lain di TNI. Marsekal harus menavigasi lobi-lobi industri pertahanan global dan domestik, memastikan bahwa keputusan teknis dan strategis murni didasarkan pada kebutuhan operasional, bukan dorongan politis atau komersial.
Kompleksitas operasional yang dihadapi oleh seorang Marsekal adalah multidimensional. Ini mencakup tidak hanya aspek taktis, tetapi juga manajemen sumber daya yang masif, mulai dari infrastruktur pangkalan, pemeliharaan peralatan, hingga logistik bahan bakar dan suku cadang yang tersebar di wilayah kepulauan yang luas. Manajemen rantai pasok (supply chain management) dalam operasi udara militer adalah tugas raksasa yang membutuhkan kecermatan dan perencanaan yang teliti, terutama mengingat sensitivitas suku cadang alutsista impor.
Kesiapan tempur suatu angkatan udara diukur dari persentase pesawat yang siap terbang dalam waktu singkat (mission capable rate). Tanggung jawab Marsekal adalah memastikan bahwa laju kesiapan ini tetap tinggi melalui manajemen logistik yang efisien. Diperlukan perencanaan strategis untuk memastikan ketersediaan suku cadang kritis, pelatihan teknisi yang memadai, dan pembangunan fasilitas pemeliharaan yang mampu mendukung alutsista modern. Kegagalan logistik dapat membumikan seluruh armada, yang secara efektif meniadakan kemampuan pencegahan negara.
Selain itu, kebutuhan bahan bakar jet (Avtur) dalam jumlah besar dan distribusinya ke pangkalan-pangkalan terpencil memerlukan koordinasi yang kompleks dengan sektor energi nasional. Marsekal harus membangun sistem yang tangguh terhadap gangguan, baik karena bencana alam maupun sabotase, demi mempertahankan kemampuan operasi udara berkelanjutan.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah udara yang harus diawasi secara terus-menerus. Marsekal memimpin pengawasan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), yang merupakan garis pertahanan terdepan. Pengawasan ini melibatkan jaringan radar, sistem pengamatan pasif, dan patroli udara secara rutin. Keputusan operasional mengenai intersepsi pesawat asing yang melanggar batas wilayah seringkali harus diputuskan cepat dan memiliki konsekuensi diplomatik yang besar. Marsekal harus memastikan setiap tindakan intersepsi dilakukan sesuai dengan aturan pelibatan (Rules of Engagement) yang telah ditetapkan secara ketat.
Peran Marsekal di sini adalah memastikan keseimbangan antara penegakan hukum kedaulatan di udara dan penanganan insiden diplomatik yang potensial. Pelatihan dan simulasi skenario intersepsi dengan tingkat stres yang tinggi adalah alat penting untuk mempersiapkan personel operasional menghadapi momen-momen kritis ini. Kesalahan interpretasi atau pelaksanaan perintah di udara dapat memiliki dampak internasional yang signifikan.
Meskipun fokus utama Marsekal adalah pertahanan negara, TNI AU juga merupakan tulang punggung dalam respons bencana alam dan operasi kemanusiaan (MCO). Pesawat angkut, helikopter, dan kemampuan medis udara seringkali menjadi alat vital untuk mencapai daerah terpencil yang terkena dampak bencana. Marsekal memimpin pengerahan aset udara ini, menyeimbangkan antara kebutuhan sipil mendesak dan pemeliharaan kesiapan tempur. Manajemen krisis di tingkat Marsekal memerlukan empati, kecepatan respons, dan koordinasi lintas lembaga sipil dan militer.
Tanggung jawab ganda ini menekankan bahwa kepemimpinan Marsekal tidak hanya tentang perang, tetapi juga tentang pengabdian kepada masyarakat dan dukungan terhadap stabilitas nasional. Kesigapan logistik yang telah dikembangkan untuk kebutuhan tempur kemudian diadaptasi untuk membawa bantuan kemanusiaan, menunjukkan fleksibilitas doktrin dan penggunaan aset udara.
Secara keseluruhan, pangkat Marsekal mewakili integrasi kompleks antara sejarah militer, tuntutan teknologi modern, dan tanggung jawab etis. Ini adalah posisi yang menuntut totalitas pengabdian, di mana kegagalan dalam strategi atau manajemen dapat memiliki konsekuensi yang tak terbayangkan bagi kedaulatan dan keselamatan bangsa di udara. Keputusan yang diambil oleh seorang Marsekal di meja komando adalah hasil dari pengalaman panjang, studi mendalam, dan pemahaman yang tajam terhadap lingkungan geopolitik global, memastikan bahwa Indonesia tetap disegani di palagan angkasa.
Warisan kepemimpinan dalam TNI AU sangat penting. Marsekal saat ini tidak hanya menjalankan tugas, tetapi juga menjadi penjaga tradisi dan nilai-nilai yang telah dibangun oleh pendahulu. Pembinaan tradisi ini memastikan bahwa semangat juang dan profesionalisme tetap menjadi ciri khas matra udara. Hal ini melibatkan penghormatan terhadap pahlawan dan perintis angkatan udara, serta internalisasi filosofi ‘Swa Bhuwana Paksa’—sayap pelindung tanah air.
Marsekal memiliki peran krusial dalam menanamkan budaya keselamatan penerbangan (flight safety culture). Dalam operasi udara, risiko inheren selalu ada. Kepemimpinan puncak harus secara konsisten menekankan pentingnya prosedur yang ketat, pemeliharaan yang cermat, dan pelatihan yang realistis, demi meminimalkan kecelakaan. Setiap insiden penerbangan memerlukan evaluasi mendalam di tingkat Marsekal untuk mengidentifikasi akar masalah dan menerapkan koreksi sistemik yang efektif, memastikan bahwa setiap nyawa prajurit dan aset negara dihargai secara maksimal.
Kepemimpinan Marsekal juga harus mampu membangun kedekatan emosional (esprit de corps) di antara personel. Angkatan udara adalah matra yang sangat bergantung pada koordinasi tim yang presisi, dari pilot di kokpit hingga pengontrol lalu lintas udara dan teknisi di hanggar. Rasa saling percaya dan solidaritas ini dibina melalui contoh kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Marsekal dalam hal disiplin, keadilan, dan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan.
Dalam konteks modern, warisan ini juga mencakup adaptasi terhadap perubahan sosial. Marsekal harus memimpin inklusivitas dan keragaman di lingkungan militer, memastikan bahwa peluang karir terbuka bagi semua prajurit yang berprestasi, tanpa memandang latar belakang. TNI AU harus menjadi institusi yang mencerminkan keragaman bangsa, dan Marsekal adalah figur yang menjamin prinsip meritokrasi ditegakkan secara adil dan transparan.
Pendidikan militer yang menghasilkan calon-calon Marsekal masa depan haruslah komprehensif. Mereka tidak hanya dididik dalam taktik dan strategi, tetapi juga dalam hubungan internasional, hukum konflik bersenjata, dan manajemen organisasi besar. Marsekal saat ini berkewajiban untuk mendesain kurikulum yang relevan, memastikan bahwa generasi penerus memiliki alat intelektual yang memadai untuk menghadapi kompleksitas keamanan global yang terus berevolusi. Akademi Angkatan Udara dan Sekolah Staf dan Komando (Seskoau) adalah institusi vital yang berada di bawah pengawasan strategis Marsekal untuk menjamin kualitas lulusan.
Warisan lain yang dipertahankan adalah kemampuan untuk beroperasi secara independen (kemandirian). Meskipun kerja sama internasional penting, Marsekal harus memastikan bahwa TNI AU tidak pernah sepenuhnya bergantung pada teknologi atau pelatihan asing. Upaya untuk mengembangkan industri pertahanan udara nasional, memproduksi suku cadang vital, dan merancang sistem pertahanan dalam negeri adalah bagian dari visi strategis yang ditanamkan oleh kepemimpinan Marsekal, demi menjamin kesinambungan pertahanan negara dalam segala situasi geopolitik.
Pangkat Marsekal adalah simbol dari pencapaian tertinggi dalam karir militer di matra udara. Di balik bintang-bintang yang disematkan, terdapat sejarah panjang evolusi kepemimpinan, tanggung jawab yang tak terhingga terhadap keamanan nasional, dan komitmen total terhadap pengembangan kekuatan udara yang modern dan tangguh. Marsekal di Indonesia berdiri di garis terdepan pertahanan kedaulatan, menghadapi tantangan globalisasi, inovasi teknologi disruptif, dan dinamika geopolitik regional yang volatil.
Kepemimpinan seorang Marsekal harus mencakup spektrum yang luas: dari perencanaan jangka panjang untuk akuisisi alutsista hingga manajemen krisis di tingkat operasional, dari penegakan hukum di wilayah udara hingga diplomasi militer antarnegara. Marsekal adalah jenderal yang harus berpikir secara horizontal (integrasi matra), vertikal (dari taktik hingga strategi), dan temporal (dari ancaman saat ini hingga prediksi masa depan).
Pada akhirnya, efektivitas seorang Marsekal diukur bukan hanya dari keberhasilannya memenangkan simulasi perang atau mengamankan anggaran besar, tetapi dari kemampuannya untuk membangun dan memelihara TNI AU sebagai kekuatan pencegah yang kredibel, profesional, dan dicintai rakyat. Merekalah arsitek utama yang menjamin bahwa ‘Swa Bhuwana Paksa’—sayap pelindung ibu pertiwi—selalu tegak dan siap sedia, menjamin langit Indonesia tetap aman, damai, dan berdaulat penuh.
Pekerjaan Marsekal adalah pekerjaan yang tidak pernah usai. Setiap hari membawa tantangan baru dalam hal teknologi, ancaman, dan politik. Keputusan yang diambil hari ini mengenai pelatihan pilot, pengembangan drone, atau penempatan radar akan menentukan apakah TNI AU mampu menjalankan misinya untuk dekade-dekade mendatang. Oleh karena itu, sosok yang menduduki posisi Marsekal harus selalu menjadi perwira dengan integritas tak tercela, visi yang luas, dan keberanian moral untuk memimpin di dimensi terpenting dari pertahanan nasional: palagan angkasa.
Seluruh elemen strategis ini, mulai dari pengembangan doktrin perang siber, penguatan kemampuan logistik untuk mendukung operasi jarak jauh, hingga pembaruan sistem pertahanan rudal berbasis darat, merupakan bagian dari orkestrasi besar yang dikendalikan oleh Marsekal. Setiap bagian harus bergerak harmonis, menghasilkan efek sinergis yang memaksimalkan daya gentar (deterrence power) Indonesia di kawasan. Marsekal adalah komandan, manajer, diplomat, dan visioner—semua peran ini menyatu dalam satu posisi kepemimpinan puncak yang menentukan arah pertahanan udara nasional.