Masama: Menggali Kedalaman Sinergi dan Kekuatan Kebersamaan

Dalam dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan sering kali terfragmentasi, pencarian akan makna dan efektivitas tidak lagi terletak pada kekuatan individu semata. Justru, terdapat suatu filosofi yang menawarkan jalan keluar dari isolasi menuju produktivitas kolektif yang tak tertandingi. Filosofi ini, yang dapat kita sebut sebagai semangat Masama, adalah inti dari sinergi, kebersamaan, dan kolaborasi yang autentik.

Kata Masama, dalam konteks yang lebih luas, merangkum esensi dari tindakan yang dilakukan bersama-sama, dengan kesadaran penuh akan kontribusi setiap pihak. Ini bukan sekadar bekerja berdampingan, melainkan meleburkan visi, upaya, dan sumber daya sehingga hasil akhirnya jauh melampaui total penjumlahan bagian-bagiannya. Dalam artikel yang mendalam ini, kita akan menjelajahi setiap aspek dari Masama, mulai dari fondasi psikologisnya hingga manifestasi praktisnya di berbagai bidang kehidupan—memahami mengapa filosofi ini adalah kunci menuju inovasi yang berkelanjutan dan masyarakat yang berketahanan.

I. Fondasi Inti dari Semangat Masama

Agar kolaborasi sejati dapat terjadi, ia harus dibangun di atas pilar-pilar yang kokoh, melampaui sekadar pembagian tugas. Tiga fondasi utama inilah yang membedakan kerja kelompok biasa dengan semangat Masama yang menghasilkan sinergi transformatif.

1. Keterbukaan dan Komunikasi Transparan

Komunikasi dalam semangat Masama harus melampaui pertukaran informasi formal. Ia harus bersifat transparan, jujur, dan multidireksional. Transparansi menciptakan kepercayaan, yang merupakan mata uang terpenting dalam kolaborasi. Ketika anggota tim atau komunitas merasa bahwa mereka mengetahui gambaran besar, bahkan ketika menghadapi tantangan, mereka lebih cenderung untuk memberikan kontribusi penuh tanpa rasa curiga atau ketidakpastian. Ini mencakup kesediaan untuk berbagi data, proses pengambilan keputusan, dan, yang paling penting, mengakui kesalahan atau keterbatasan individu.

Komunikasi yang efektif juga berarti mendengarkan secara aktif. Dalam konteks Masama, setiap suara memiliki nilai yang sama. Mendengarkan aktif bukan hanya menunggu giliran untuk berbicara, tetapi memproses dan menginternalisasi perspektif pihak lain. Ini menciptakan ruang bagi ide-ide minoritas untuk didengar dan diintegrasikan, sering kali menjadi sumber inovasi yang tidak terduga. Ketika komunikasi terhambat atau terdistorsi, sinergi Masama akan langsung terputus, mengubah upaya bersama menjadi sekumpulan tindakan terpisah yang saling bertabrakan.

2. Empati dan Pengakuan Nilai Individu

Masama tidak menuntut homogenitas, justru merayakan keragaman. Agar Masama berfungsi, empati harus menjadi praktik sehari-hari. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain, terutama dalam konteks tekanan atau perbedaan pendapat. Pengakuan nilai individu berarti memahami bahwa setiap orang membawa keahlian, pengalaman, dan latar belakang unik ke meja. Sinergi Masama bergantung pada integrasi keunikan ini, bukan pada upaya untuk menyamaratakannya.

Ketika seseorang merasa diakui dan dihargai, terlepas dari peran atau jabatannya, motivasinya untuk berkontribusi secara maksimal akan meningkat drastis. Ini adalah landasan psikologis dari kolaborasi yang sukses. Dalam lingkungan Masama, kritik diarahkan pada proses, bukan pada pribadi. Penghargaan diberikan secara kolektif, tetapi juga mengakui kontribusi spesifik, memastikan bahwa tidak ada individu yang merasa upaya mereka terabaikan.

3. Tujuan Bersama yang Lebih Besar (Visi Kolektif)

Tanpa tujuan yang jelas dan meyakinkan, Masama hanya akan menjadi pertemuan sosial. Tujuan bersama harus cukup besar untuk menyatukan berbagai kepentingan individu dan mampu memberikan dampak yang signifikan. Visi kolektif ini berfungsi sebagai kompas, memastikan bahwa meskipun ada perselisihan taktis, semua pihak tetap bergerak menuju arah strategis yang sama. Tujuan ini harus terartikulasikan dengan jelas, dapat diukur, dan menginspirasi.

Sering kali, tujuan kolektif dalam semangat Masama berfokus pada penyelesaian masalah yang kompleks, yang tidak mungkin diatasi oleh satu entitas saja (wicked problems). Misalnya, membangun ketahanan komunitas pasca-bencana, menciptakan produk teknologi yang mengubah pasar, atau mencapai target keberlanjutan. Kepemilikan (ownership) terhadap tujuan ini harus dibagikan secara merata. Ketika setiap anggota merasa bahwa keberhasilan misi adalah kesuksesan pribadinya, dedikasi terhadap upaya Masama menjadi tak terbatas.

II. Implementasi Masama dalam Berbagai Spektrum Kehidupan

Semangat Masama bukanlah teori yang terbatas di ruang rapat; ia adalah praktik yang dapat diterapkan dan harus dibudayakan di setiap lapisan interaksi manusia. Dari skala mikro (keluarga) hingga skala makro (global), Masama menawarkan kerangka kerja untuk efektivitas.

A. Masama di Lingkungan Profesional (Kolaborasi Tim yang Radikal)

Di dunia korporat yang kompetitif, Masama mengubah lingkungan kerja dari arena persaingan internal menjadi laboratorium inovasi. Ini adalah pergeseran paradigma dari model kepahlawanan individu (hero model) menjadi model matriks kolaboratif.

A.1. Menciptakan Keamanan Psikologis

Fondasi Masama di tempat kerja adalah keamanan psikologis, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh penelitian di Google. Ini adalah keyakinan bahwa seseorang dapat mengambil risiko interpersonal tanpa takut dihakimi atau dihukum. Tanpa keamanan psikologis, individu tidak akan berani menyuarakan ide-ide yang belum matang, mengakui kesalahan, atau menantang status quo—semua elemen penting untuk inovasi Masama. Pemimpin harus secara konsisten memodelkan kerentanan dan menghargai "kegagalan cerdas" (intelligent failures).

A.2. Pembagian Peran yang Fleksibel dan Jelas

Meskipun Masama menekankan sinergi, kejelasan peran adalah kunci. Dalam tim yang beroperasi dengan Masama, peran harus ditetapkan dengan jelas, tetapi batas-batasnya harus fleksibel. Anggota tim harus bersedia melangkah maju dan mengisi kekosongan keterampilan atau beban kerja ketika dibutuhkan. Fleksibilitas ini hanya mungkin jika ada kepercayaan penuh bahwa kontribusi ekstra akan diakui, dan bahwa bantuan tersebut akan dibalas di masa depan (resiprositas kolaboratif). Ini menuntut penghapusan mentalitas "Itu bukan pekerjaanku."

A.3. Manajemen Konflik sebagai Peluang Masama

Konflik adalah hal yang tak terhindarkan dalam upaya Masama. Namun, alih-alih menghindari konflik, tim Masama melihatnya sebagai titik gesekan yang menghasilkan panas—dan dari panas tersebut lahirlah solusi yang lebih baik. Proses Masama menuntut konflik yang konstruktif (constructive conflict), di mana perbedaan pendapat dibahas secara terbuka dengan fokus pada data dan tujuan, bukan pada kepentingan pribadi. Penggunaan moderator atau fasilitator netral sering kali diperlukan untuk memastikan bahwa konflik tetap produktif dan tidak merusak hubungan jangka panjang.

B. Masama dalam Konteks Komunitas (Gotong Royong Modern)

Di Indonesia, konsep Masama memiliki akar budaya yang kuat melalui Gotong Royong. Namun, di era digital, Gotong Royong modern harus beradaptasi untuk mengatasi masalah perkotaan, lingkungan, dan sosial yang lebih kompleks.

B.1. Kolaborasi Lintas Sektor (Multi-Stakeholder)

Masalah sosial saat ini (kemiskinan, perubahan iklim, pendidikan) tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah, bisnis, atau organisasi nirlaba saja. Semangat Masama menuntut kolaborasi lintas sektor. Ini berarti mempertemukan akademisi, sektor swasta, regulator, dan masyarakat sipil untuk merancang solusi yang holistik. Tantangannya adalah menyelaraskan metrik keberhasilan yang berbeda: laba bagi bisnis, pelayanan publik bagi pemerintah, dan dampak sosial bagi LSM. Masama menyediakan kerangka kerja di mana setiap kepentingan dapat diintegrasikan demi tujuan bersama yang lebih tinggi.

B.2. Crowdsourcing dan Kecerdasan Kolektif

Internet telah menjadi medium Masama yang paling kuat. Crowdsourcing (pengambilan ide atau pekerjaan dari sejumlah besar orang) adalah Masama digital. Contoh paling nyata adalah pengembangan perangkat lunak sumber terbuka (open source) atau proyek seperti Wikipedia, di mana ribuan individu, tanpa bayaran langsung, berkontribusi pada pengetahuan kolektif. Masama digital ini berhasil karena memanfaatkan tiga prinsip: modularitas (memecah tugas besar menjadi bagian kecil), insentif intrinsik (keinginan untuk berkontribusi), dan mekanisme umpan balik yang cepat.

C. Masama dalam Keluarga dan Hubungan Intim

Pada tingkat yang paling dasar, Masama adalah praktik sehari-hari dalam keluarga. Ini adalah kemitraan sejati di mana beban dan keberhasilan dibagi secara adil. Dalam Masama keluarga, tidak ada pembagian tugas yang kaku berdasarkan gender atau peran tradisional, melainkan pembagian berdasarkan kebutuhan, kemampuan, dan siklus hidup.

• Keputusan Bersama: Masama menuntut bahwa keputusan-keputusan penting dibuat melalui konsultasi yang tulus, bukan hanya persetujuan pasif.
• Dukungan Emosional: Saling mendukung secara emosional adalah bentuk Masama yang krusial. Dalam masa sulit, energi emosional satu pihak menopang pihak lainnya, menciptakan ketahanan hubungan yang tinggi.
• Pengelolaan Sumber Daya Kolektif: Sumber daya (waktu, uang, energi) dianggap milik bersama yang harus dialokasikan untuk memaksimalkan kesejahteraan kolektif keluarga.

III. Ancaman Terhadap Semangat Masama

Meskipun ideal, semangat Masama selalu terancam oleh kekuatan-kekuatan yang menarik individu kembali ke isolasi dan kepentingan diri sendiri. Mengenali ancaman ini adalah langkah pertama untuk memperkuat kolaborasi.

1. Keangkuhan Individualisme (Ego Kolektif yang Rusak)

Individualisme yang ekstrem, yang memuja pencapaian pribadi di atas segalanya, adalah musuh utama Masama. Ketika individu lebih peduli tentang siapa yang mendapat pujian daripada apa yang dicapai, sinergi Masama runtuh. Ini sering termanifestasi sebagai keengganan untuk berbagi pengetahuan (hoarding information), sabotase halus terhadap ide rekan kerja, atau mengambil kredit atas hasil kerja kolektif. Remedinya adalah budaya yang secara eksplisit menghargai kontribusi kolektif dan membatasi sorotan pada "bintang" tunggal.

2. Silo Struktural dan Organisasi

Dalam organisasi besar, "silo" (pemisahan departemen atau unit yang tidak berkomunikasi) secara struktural menghambat Masama. Setiap silo memiliki tujuan, anggaran, dan metrik keberhasilan sendiri yang terpisah dari unit lain. Ketika dua unit yang seharusnya bekerja Masama (misalnya, pemasaran dan teknik) memiliki metrik yang bertentaraan, kolaborasi menjadi mustahil. Solusi Masama struktural melibatkan perancangan ulang insentif dan pelaporan untuk memastikan bahwa keberhasilan satu departemen bergantung pada keberhasilan departemen lain.

3. Krisis Kepercayaan dan Siklus Negatif

Kepercayaan adalah fondasi Masama. Krisis kepercayaan dapat terjadi karena janji yang tidak dipenuhi, inkonsistensi, atau kegagalan yang tidak ditindaklanjuti. Sekali kepercayaan terkikis, anggota tim akan mulai mengambil tindakan defensif, membatasi berbagi informasi, dan meningkatkan pengawasan. Ini adalah siklus negatif: kurangnya kepercayaan menghasilkan kontrol yang berlebihan, yang kemudian semakin mengurangi motivasi dan otonomi, mematikan semangat Masama.

IV. Membangun dan Memelihara Ekosistem Masama (Panduan Praktis)

Menciptakan lingkungan yang mendukung Masama adalah investasi jangka panjang. Ini memerlukan perubahan mendasar dalam budaya, praktik kepemimpinan, dan infrastruktur operasional. Bagian ini merinci strategi praktis untuk menginkubasi dan mempertahankan semangat Masama di skala apa pun.

1. Praktik Kepemimpinan Sinergis (Leadership by Influence)

Kepemimpinan Masama berbeda dari kepemimpinan tradisional. Ini bukan tentang perintah dan kontrol, tetapi tentang fasilitasi dan pengaruh. Pemimpin Masama harus menjadi arsitek kepercayaan. Mereka tidak hanya menetapkan tujuan, tetapi juga membangun jembatan antarindividu dan kelompok yang beragam.

• Memodelkan Kerentanan: Pemimpin harus menjadi yang pertama mengakui ketidaksempurnaan atau kesalahan mereka, menunjukkan bahwa tidak apa-apa untuk tidak mengetahui segalanya.
• Menjadi Penafsir: Pemimpin Masama harus pandai menerjemahkan bahasa dan kepentingan satu pihak ke pihak lain, menghilangkan jargon dan kesalahpahaman yang dapat merusak kolaborasi.
• Mendistribusikan Otoritas: Sinergi tertinggi terjadi ketika keputusan didorong ke tingkat terendah yang mungkin. Pemimpin harus mendelegasikan otoritas, memberdayakan individu untuk mengambil tindakan Masama tanpa menunggu izin dari atas.

2. Desain Pertemuan yang Berorientasi pada Kolaborasi

Pertemuan sering kali menjadi tempat matinya Masama—berubah menjadi pembaruan status yang membosankan. Pertemuan Masama harus difokuskan pada pemecahan masalah bersama dan pengambilan keputusan yang partisipatif.

• Prinsip "Semua Ada di Meja": Pastikan semua pemangku kepentingan yang relevan hadir. Jika ada keputusan yang memengaruhi suatu tim, tim tersebut harus ada dalam diskusi.
• Struktur Agenda yang Jelas: Agenda harus membedakan antara item informasi, item diskusi, dan item keputusan. Waktu terbesar dialokasikan untuk diskusi Masama dan pengambilan keputusan.
• Menggunakan Alat Kolaborasi Visual: Menggunakan papan tulis digital atau fisik untuk memetakan ide secara visual mendorong partisipasi yang lebih setara dan memastikan bahwa semua kontribusi terlihat dan dipertimbangkan (co-creation).

3. Mekanisme Umpan Balik Masama (Feedforward)

Umpan balik tradisional sering berfokus pada apa yang salah di masa lalu (kritik). Umpan balik Masama, atau feedforward, berfokus pada bagaimana kita bisa bekerja lebih baik *bersama-sama* di masa depan. Ini adalah dialog non-judgemental tentang bagaimana proses kolaborasi dapat ditingkatkan.

Praktek rutin retrospektif (seperti dalam metodologi Agile) sangat penting. Tim Masama harus meluangkan waktu secara teratur untuk bertanya: Apa yang berjalan dengan baik? Apa yang bisa kita tingkatkan? Bagaimana kita bisa mendukung satu sama lain dengan lebih baik? Proses ini harus bersifat anonim atau difasilitasi untuk memastikan kejujuran penuh.

4. Investasi dalam Kecakapan Interpersonal (Soft Skills)

Masama adalah tentang interaksi manusia, sehingga investasi dalam kecakapan lunak adalah wajib. Pelatihan dalam negosiasi, mendengarkan empatik, dan kecerdasan emosional (EQ) secara kolektif meningkatkan kapasitas tim untuk bersinergi. Ketika individu tahu bagaimana mengelola emosi mereka sendiri dan membaca emosi orang lain, gesekan interpersonal yang merusak Masama dapat diminimalisir.

V. Masama dan Masa Depan Ketahanan Sosial

Dalam menghadapi tantangan global yang semakin meningkat—mulai dari krisis kesehatan hingga perubahan geopolitik—kemampuan untuk beroperasi dalam semangat Masama menjadi penentu utama ketahanan (resiliensi) suatu masyarakat atau organisasi.

A. Masama dalam Inovasi Cepat dan Respon Krisis

Ketika krisis melanda, birokrasi dan silo menghilang. Hanya kolaborasi cepat dan ad-hoc (Masama yang terpaksa) yang dapat menyelamatkan situasi. Organisasi yang sudah membudayakan Masama dalam rutinitasnya jauh lebih cepat merespons, karena rantai kepercayaan sudah terbentuk. Dalam masa pandemi, misalnya, Masama terlihat dari kolaborasi tak terduga antara perusahaan teknologi, farmasi, dan lembaga pemerintah yang biasanya saling bersaing, bersatu demi tujuan mitigasi risiko kolektif. Inovasi yang dihasilkan dalam kondisi Masama darurat sering kali lebih cepat dan lebih transformatif daripada inovasi yang dihasilkan dalam kondisi normal.

B. Masama dan Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB sangat bergantung pada implementasi Masama. Tak satu pun dari 17 tujuan tersebut dapat dicapai tanpa kemitraan global yang kuat. Mengatasi kemiskinan (SDG 1), memerangi kelaparan (SDG 2), atau memastikan energi bersih (SDG 7) memerlukan penyatuan sumber daya finansial, pengetahuan ilmiah, dan kehendak politik. Prinsip Masama menuntut bahwa negara-negara maju dan berkembang bekerja dalam hubungan yang setara, bukan transaksional, demi menjaga kesejahteraan planet secara keseluruhan.

C. Pendidikan Masama: Mempersiapkan Generasi Kolaboratif

Sistem pendidikan harus bergeser dari model yang terlalu fokus pada tes individu dan kompetisi, menuju model yang mengajarkan dan menghargai kolaborasi. Pendidikan Masama mencakup proyek berbasis tim yang meniru tantangan dunia nyata, di mana keberhasilan individu terikat erat dengan keberhasilan kelompok. Keterampilan seperti mediasi, negosiasi, dan kepemimpinan yang dibagikan harus menjadi kurikulum inti, mempersiapkan lulusan untuk secara alami mencari solusi melalui sinergi.

VI. Mengukur Keberhasilan Masama

Bagaimana kita tahu bahwa kita benar-benar telah mencapai semangat Masama, dan bukan hanya sekadar mengelola sebuah tim? Keberhasilan Masama diukur bukan hanya dari hasil akhir, tetapi dari kualitas prosesnya. Ini memerlukan metrik yang melampaui produktivitas kuantitatif.

1. Metrik Kualitas Hubungan

Indikator Masama yang kuat adalah Indeks Kepercayaan Tim. Ini diukur melalui survei internal yang menilai seberapa yakin anggota tim bahwa rekan mereka akan menindaklanjuti janji, bahwa mereka akan menyuarakan masalah sebelum terlambat, dan bahwa mereka bersedia membantu di luar deskripsi pekerjaan mereka. Skor tinggi dalam kepercayaan berkorelasi langsung dengan kemampuan sinergi Masama.

2. Efisiensi Pengambilan Keputusan

Dalam tim Masama yang matang, pengambilan keputusan harus cepat, inklusif, dan menghasilkan komitmen yang kuat. Jika keputusan selalu tertunda karena kurangnya konsensus, atau jika keputusan dibuat cepat tetapi sering dibatalkan karena penolakan pasif dari anggota yang tidak didengar, maka Masama gagal. Keberhasilan diukur dari kecepatan dan durabilitas keputusan yang diambil secara kolektif.

3. Tingkat Inovasi Kolektif

Masama yang efektif menghasilkan ide-ide baru. Metrik yang relevan di sini adalah rate of contribution diversity—seberapa sering ide-ide terbaik datang dari anggota tim yang beragam, termasuk mereka yang berada di posisi junior atau dari departemen lain. Ketika inovasi didominasi oleh segelintir suara senior, Masama belum sepenuhnya terwujud.

VII. Studi Kasus Mendalam: Transformasi melalui Masama

Untuk mengapresiasi potensi Masama, kita perlu melihat contoh di mana semangat ini diterapkan secara ekstrem, mengubah struktur dan hasil yang ada.

A. Studi Kasus 1: Transformasi Organisasi Kesehatan Global

Sebuah organisasi kesehatan global menghadapi masalah kritis dalam distribusi vaksin ke daerah terpencil. Tim logistik, tim medis, dan tim keuangan bekerja dalam silo. Tim medis ingin kecepatan; tim keuangan ingin efisiensi biaya; tim logistik ingin rute yang paling aman. Hasilnya, vaksin sering tiba terlambat atau biayanya terlalu mahal, mengakibatkan kegagalan misi. Solusi Masama diterapkan dengan membentuk Triad Leadership—tiga kepala departemen ini dipaksa untuk berbagi satu metrik keberhasilan tunggal: 'jumlah anak yang tervaksinasi dengan biaya X.' Dengan hilangnya metrik individual, mereka harus bekerja sama. Tim keuangan mulai membantu mencari sumber pendanaan lokal, tim medis membantu logistik merancang rantai dingin yang lebih murah, dan tim logistik memberikan data real-time kepada tim medis. Sinergi Masama ini menghasilkan peningkatan cakupan vaksin sebesar 40% dalam 18 bulan, sebuah capaian yang mustahil jika mereka bekerja secara terpisah.

B. Studi Kasus 2: Pengembangan Perangkat Lunak Sumber Terbuka Skala Besar

Proyek-proyek open source besar adalah contoh Masama yang paling murni, terutama karena kontributor tidak memiliki ikatan kontrak. Bagaimana Masama dipertahankan di sini? Jawabannya terletak pada sistem meritokrasi yang transparan dan budaya penghargaan. Kontribusi dinilai berdasarkan kualitas, bukan identitas. Pengembang yang belum pernah bertemu dapat bekerja Masama pada jutaan baris kode karena ada kepercayaan terhadap proses (trust in the process). Ketika terjadi kesalahan (bug), proses Masama didesain untuk menemukan akar masalah, bukan menyalahkan individu. Keberhasilan proyek-proyek ini membuktikan bahwa dedikasi terhadap tujuan yang disepakati (membuat perangkat lunak terbaik) dapat mengatasi hambatan jarak dan budaya.

C. Studi Kasus 3: Masama dalam Lingkungan Multikultural

Bekerja Masama dalam konteks global memerlukan kepekaan budaya yang tinggi. Perbedaan dalam gaya komunikasi (langsung vs. tidak langsung), hirarki, dan persepsi waktu dapat merusak sinergi. Masama di sini memerlukan pelatihan intensif dalam komunikasi antarbudaya, di mana anggota tim secara eksplisit mendiskusikan norma-norma mereka di awal kolaborasi. Ini bukan tentang mengadopsi satu budaya dominan, tetapi menciptakan "budaya Masama" baru yang merupakan gabungan yang disepakati bersama dari praktik terbaik setiap individu. Misalnya, menyepakati bahwa umpan balik kritis akan selalu disampaikan secara tertulis terlebih dahulu, atau bahwa semua keputusan akan didokumentasikan dalam tiga bahasa utama yang digunakan tim.

VIII. Memperluas Cakrawala: Filosofi Masama sebagai Jalan Hidup

Masama, pada akhirnya, adalah panggilan untuk meninggalkan narsisisme kolektif dan individu yang menghambat potensi manusia. Ini adalah pengakuan bahwa kompleksitas dunia membutuhkan kecerdasan kolektif, dan bahwa pencapaian terbesar manusia selalu merupakan produk dari kemitraan yang mendalam.

Membudayakan Masama berarti menerima kerentanan, merayakan perbedaan, dan berinvestasi pada kualitas hubungan di atas kuantitas output individu. Ketika kita benar-benar menginternalisasi semangat Masama, pekerjaan menjadi lebih bermakna, komunitas menjadi lebih kuat, dan inovasi tidak lagi menjadi kebetulan, melainkan hasil yang sistematis dan berkelanjutan dari kolaborasi yang autentik. Ini adalah jalan menuju masa depan yang lebih tangguh, di mana setiap individu, melalui kontribusi uniknya, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan kolektif.