Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) merupakan segmen krusial dalam struktur sosial-ekonomi suatu negara yang definisinya melampaui sekadar angka pendapatan. Mereka adalah kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan formal atau berada pada ambang batas rentan, yang membuat mereka sangat sensitif terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, maupun perubahan kebijakan. Di Indonesia, isu MBR adalah isu fundamental yang menantang capaian pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Pendekatan terhadap MBR tidak lagi dapat dibatasi pada intervensi tunggal seperti bantuan tunai semata. Isu ini menuntut pemahaman mendalam mengenai sifat kemiskinan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan bukan hanya kekurangan uang, melainkan juga kekurangan akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, sanitasi layak, perumahan yang aman, serta kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sipil dan ekonomi. Studi komprehensif ini bertujuan untuk menganalisis secara rinci akar struktural masalah MBR, meninjau efektivitas kebijakan yang telah diimplementasikan, serta merumuskan rekomendasi transformatif menuju peningkatan harkat hidup yang berkelanjutan.
Kompleksitas MBR diperparah oleh dinamika populasi, urbanisasi yang cepat, dan ketidakpastian pasar kerja global. Mayoritas MBR seringkali bekerja di sektor informal, tanpa jaminan sosial, dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja atau penurunan permintaan pasar. Oleh karena itu, setiap solusi yang dirancang harus mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk menciptakan ketahanan (resilience) jangka panjang, bukan hanya bantuan sementara.
Untuk mencapai solusi yang efektif, kita harus terlebih dahulu mengidentifikasi dan membongkar akar penyebab struktural yang melanggengkan status MBR dari generasi ke generasi—suatu fenomena yang sering disebut jebakan kemiskinan (poverty trap). Jebakan ini merupakan lingkaran setan di mana kurangnya modal fisik dan manusia pada saat ini membatasi kemampuan untuk berinvestasi di masa depan, sehingga potensi pendapatan selalu terhambat.
Salah satu hambatan terbesar bagi MBR adalah akses yang terbatas terhadap modal manusia, terutama pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Meskipun negara telah menyediakan program pendidikan gratis, biaya tersembunyi (transportasi, seragam, buku, dan waktu yang hilang karena anak harus bekerja) seringkali menjadi penghalang nyata. Akibatnya, kualitas pendidikan yang diterima MBR cenderung lebih rendah, yang pada gilirannya membatasi kesempatan mereka untuk mengakses pekerjaan bergaji tinggi di masa depan. Kesehatan yang buruk, termasuk masalah gizi seperti stunting, secara permanen mengurangi potensi kognitif anak, menjebak mereka dalam siklus produktivitas rendah saat dewasa. Masalah ini diperparah dengan literasi finansial yang rendah, membuat MBR rentan terhadap pinjaman berisiko tinggi.
Sebagian besar MBR, terutama di perkotaan, mengandalkan sektor informal—pedagang kaki lima, pekerja serabutan, buruh harian. Sektor ini dicirikan oleh upah yang tidak stabil, minimnya perlindungan hukum, dan ketidakmampuan untuk membangun aset atau tabungan. Struktur ekonomi yang didominasi oleh segelintir korporasi besar tanpa adanya penyerapan tenaga kerja yang inklusif di sektor formal menciptakan redundansi tenaga kerja yang berujung pada persaingan ketat untuk pekerjaan marginal. Krisis ekonomi global atau perubahan teknologi (otomatisasi) seringkali memukul kelompok informal ini paling keras, tanpa adanya jaring pengaman sosial yang memadai untuk menahan guncangan tersebut.
Kemiskinan di Indonesia memiliki dimensi geografis yang sangat kentara. MBR di daerah pedesaan, terpencil, atau kepulauan menghadapi tantangan unik: infrastruktur yang buruk (jalan, listrik, komunikasi), yang melambatkan akses ke pasar dan layanan publik. Isolasi geografis ini meningkatkan biaya logistik dan menurunkan daya saing produk lokal, sementara kesempatan kerja formal hanya terkonsentrasi di pusat-pusat metropolitan. Ketidaksetaraan spasial ini membutuhkan intervensi yang sangat terlokalisasi dan berbasis sumber daya alam regional.
Dampak dari rendahnya pendapatan meluas ke setiap aspek kehidupan MBR, menciptakan ketidakmampuan struktural untuk keluar dari kondisi tersebut. Analisis dampak harus meliputi tiga pilar utama: kesehatan, pendidikan, dan perumahan/lingkungan.
Kondisi ekonomi yang rentan secara langsung berhubungan dengan status gizi buruk. Stunting (kekerdilan) pada anak-anak MBR adalah manifestasi paling nyata dari kemiskinan gizi yang menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan otak. Stunting tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mengurangi potensi ekonomi nasional di masa depan. Selain itu, MBR seringkali tinggal di lingkungan padat dan kurang sanitasi, yang meningkatkan risiko penyakit menular (TBC, diare) dan penyakit tidak menular (akibat stres dan pola hidup yang tidak sehat). Meskipun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencakup sebagian besar populasi, MBR seringkali kesulitan mengakses layanan preventif dan kuratif karena biaya transportasi dan hilangnya upah harian akibat berobat.
Pendidikan seharusnya menjadi tangga utama mobilitas sosial. Namun, di kalangan MBR, tangga tersebut seringkali rapuh. Tingkat putus sekolah (drop-out rate) cenderung lebih tinggi karena tekanan ekonomi memaksa anak-anak usia sekolah untuk berkontribusi pada pendapatan keluarga. Bahkan bagi mereka yang berhasil menyelesaikan pendidikan formal, kualitas sekolah di area MBR seringkali jauh di bawah standar, dengan kurangnya fasilitas laboratorium, guru berkualitas, dan sumber daya digital. Dampaknya, lulusan MBR seringkali tidak memiliki keterampilan yang relevan (misalnya, keterampilan digital atau bahasa) yang dibutuhkan pasar kerja modern, sehingga membatasi mereka pada pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik dengan upah minimum.
Perumahan adalah indikator kemiskinan yang sangat terlihat. MBR seringkali tinggal di pemukiman kumuh (slum areas) yang rawan bencana, tidak memiliki kepastian hukum atas tanah, dan minim akses air bersih serta sanitasi yang layak. Kurangnya sanitasi yang aman, seperti toilet yang memadai dan pengelolaan limbah, menciptakan ekosistem penyakit. Program perbaikan rumah swadaya (bedah rumah) dan pembangunan rumah susun perlu diperluas, namun harus diiringi dengan jaminan mata pencaharian dan keterjangkauan biaya sewa atau cicilan, agar intervensi perumahan tidak justru membebani finansial MBR.
Pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengatasi isu MBR. Intervensi ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar: jaring pengaman sosial (bantuan langsung) dan program pemberdayaan ekonomi (kapasitas dan akses modal).
PKH adalah program bantuan tunai bersyarat yang menargetkan rumah tangga termiskin. Syarat utama program ini adalah kepatuhan dalam memastikan anak-anak bersekolah dan ibu hamil/balita rutin memeriksakan kesehatan. PKH merupakan intervensi penting karena mengatasi jebakan kemiskinan dengan cara mendorong investasi pada modal manusia generasi mendatang. Analisis menunjukkan bahwa PKH efektif mengurangi tingkat kemiskinan absolut dan meningkatkan tingkat partisipasi sekolah di daerah sasaran. Namun, tantangannya terletak pada akurasi data penerima (Targeting Error); masih banyak keluarga rentan yang terlewat (Exclusion Error) dan keluarga yang tidak lagi miskin namun masih menerima (Inclusion Error).
BPNT, yang kini sering disalurkan melalui kartu sembako elektronik, bertujuan menjaga ketahanan pangan MBR. Skema non-tunai ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan dana dan memastikan dana digunakan untuk pembelian bahan pangan bergizi. Meskipun demikian, isu implementasi sering muncul terkait ketersediaan warung (e-warong) di daerah terpencil dan fluktuasi harga komoditas. Subsidi energi (listrik dan BBM) juga vital, tetapi seringkali kurang tepat sasaran, di mana sebagian besar manfaat subsidi dinikmati oleh kelompok menengah yang lebih mampu, sehingga mengurangi efektivitas anggaran untuk MBR.
Untuk MBR yang memiliki potensi usaha, akses modal adalah kunci. Program KUR menyediakan kredit berbunga rendah. Namun, MBR sering kesulitan memenuhi persyaratan agunan atau menyusun rencana bisnis yang bankable. Selain itu, tingkat literasi finansial yang rendah membuat mereka ragu atau takut mengambil pinjaman, atau sebaliknya, menggunakan pinjaman untuk keperluan konsumtif yang tidak produktif. Solusi harus melibatkan pendampingan intensif pasca-pencairan kredit, bukan sekadar penyediaan modal.
Program balai latihan kerja (BLK) harus disesuaikan dengan permintaan pasar lokal dan global yang cepat berubah, terutama yang terkait dengan ekonomi digital dan sektor hijau. Pelatihan tidak boleh berhenti pada keterampilan teknis dasar, melainkan harus mencakup soft skills, kewirausahaan, dan kemampuan beradaptasi. Koneksi yang kuat antara BLK dan industri sangat penting untuk memastikan penyerapan lulusan pelatihan secara langsung ke dunia kerja.
Meskipun Indonesia memiliki kerangka kebijakan sosial yang kuat, jurang antara perumusan kebijakan di tingkat pusat dan implementasi di lapangan masih lebar. Tantangan ini bersumber dari masalah data, kapasitas institusional, dan resistensi struktural.
Dasar data terpadu (BDT) yang digunakan untuk menargetkan MBR harus terus diperbarui dan diverifikasi. Ketidakakuratan data, terutama di daerah pedesaan yang sulit dijangkau, seringkali menyebabkan ketidakadilan dalam penyaluran bantuan. Penerapan mekanisme 'Proxy Means Test' (PMT) untuk mengukur tingkat kekayaan berdasarkan indikator non-pendapatan perlu disempurnakan. Lebih jauh, transisi dari bantuan yang bersifat statis ke sistem yang dinamis, yang dapat merespons cepat terhadap kondisi rumah tangga yang memburuk (misalnya, kehilangan pekerjaan mendadak), sangat diperlukan.
Keberhasilan program MBR sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dan desa. Seringkali, sumber daya manusia di tingkat desa kekurangan pelatihan memadai untuk melakukan verifikasi data yang akurat, menyalurkan bantuan, atau memberikan pendampingan kewirausahaan. Desentralisasi program bantuan harus diiringi dengan penguatan alokasi anggaran dan pelatihan teknis bagi aparat desa, menjadikan mereka garda terdepan dalam pengentasan kemiskinan yang efektif.
Seringkali terjadi perdebatan antara upaya mencapai efisiensi anggaran melalui penargetan yang sangat ketat, melawan prinsip keadilan yang menuntut cakupan yang lebih luas bagi semua yang membutuhkan. Penargetan yang terlalu ketat (misalnya, hanya fokus pada 10% termiskin) berisiko mengabaikan kelompok rentan (near poor) yang hanya berjarak satu krisis dari kemiskinan absolut. Kebijakan publik harus menyeimbangkan antara bantuan untuk MBR dan investasi pada layanan publik universal (pendidikan, sanitasi) yang secara tidak langsung juga mengangkat kelompok rentan.
Keberhasilan mengatasi MBR memerlukan inovasi yang melampaui birokrasi tradisional, memanfaatkan teknologi, dan memberdayakan komunitas lokal.
Program MBR yang paling berhasil seringkali didorong dari bawah ke atas. Misalnya, program pembangunan infrastruktur berbasis komunitas seperti Pamsimas (air minum dan sanitasi) atau PNPM Mandiri yang terdahulu, menunjukkan bahwa ketika MBR dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek, rasa kepemilikan dan keberlanjutan proyek meningkat drastis. Ini menegaskan bahwa MBR harus dilihat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek bantuan.
Teknologi finansial (FinTech) menawarkan peluang besar untuk mengatasi keterbatasan akses MBR terhadap layanan perbankan formal. Dompet digital, pinjaman mikro online, dan sistem pembayaran non-tunai memungkinkan MBR, terutama yang berada di daerah terpencil, untuk membangun rekam jejak keuangan dan mengakses modal lebih mudah. Pemerintah dan regulator harus memastikan bahwa inovasi FinTech ini aman, terjangkau, dan tidak menjebak MBR dalam utang konsumtif yang berlebihan (predatory lending).
Tren global menuju ekonomi sirkular dan energi terbarukan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pekerjaan baru bagi MBR. Pelatihan keterampilan dalam pengelolaan sampah daur ulang, pemasangan panel surya, atau pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menawarkan jalur transisi dari pekerjaan informal yang tidak stabil ke sektor formal yang menjanjikan upah lebih baik dan dampak lingkungan yang positif. Ini memerlukan investasi besar dalam pelatihan vokasi yang spesifik pada 'keterampilan hijau'.
Upaya pengentasan MBR tidak akan optimal tanpa sinergi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil (OMS).
CSR harus bertransformasi dari sekadar donasi filantropi menjadi investasi sosial yang strategis, terintegrasi dengan inti bisnis perusahaan. Perusahaan dapat berkontribusi dengan cara: (1) Skema 'Buy Local' yang menjamin MBR sebagai pemasok bahan baku, (2) Program magang dan penyerapan tenaga kerja MBR, dan (3) Pengembangan inkubator bisnis khusus untuk UMKM yang dikelola oleh MBR. Keterlibatan sektor swasta membawa keahlian manajerial dan koneksi pasar yang seringkali kurang dimiliki oleh program pemerintah.
Lembaga keagamaan dan filantropi memainkan peran vital dalam mengisi celah-celah yang tidak terjangkau oleh program negara. Dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) seringkali disalurkan secara cepat dan fleksibel untuk mengatasi krisis mendesak yang dihadapi MBR. Kunci keberhasilan di sini adalah koordinasi data yang lebih baik antara lembaga filantropi dan basis data pemerintah agar bantuan tidak tumpang tindih dan benar-benar menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk melakukan penelitian aksi (action research) yang menghasilkan bukti empiris tentang intervensi mana yang paling efektif di konteks lokal. Pendekatan uji coba acak terkontrol (Randomized Control Trials/RCT) dapat membantu menguji hipotesis kebijakan sosial sebelum diimplementasikan dalam skala besar, memastikan bahwa sumber daya publik digunakan secara optimal berdasarkan bukti yang kuat.
Melihat tantangan struktural yang dihadapi, intervensi masa depan harus bersifat radikal dan adaptif, mengantisipasi perubahan iklim, disrupsi digital, dan dinamika demografi.
Di tengah perdebatan global mengenai Automasi dan kecerdasan buatan yang berpotensi menghilangkan pekerjaan di sektor padat karya, gagasan Jaminan Pendapatan Dasar Universal (UBI) atau setidaknya Jaminan Pendapatan Dasar Bersyarat (UBI-C) mulai relevan bagi Indonesia. UBI dapat menjadi jaring pengaman akhir yang menjamin MBR memiliki daya beli minimum yang stabil, mengurangi birokrasi penargetan yang kompleks, dan memberikan martabat. Meskipun membutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar, uji coba UBI di beberapa wilayah kecil dapat memberikan wawasan mengenai dampak terhadap produktivitas kerja dan kewirausahaan MBR.
Keberlanjutan kebijakan MBR bergantung pada seberapa inklusif institusi negara. Ini mencakup reformasi birokrasi untuk mempermudah MBR mengakses layanan publik (misalnya, pembuatan KTP, akta lahir, izin usaha mikro), yang seringkali diperumit oleh prosedur dan biaya tidak terduga. Reformasi agraria dan pengakuan hak atas tanah bagi MBR, terutama di perkotaan dan daerah adat, juga vital sebagai modal dasar ekonomi.
MBR adalah kelompok yang paling rentan terhadap krisis iklim (kekeringan, banjir, kenaikan permukaan air laut), yang dapat memusnahkan aset dan mata pencaharian mereka dalam semalam. Kebijakan sosial ke depan harus mengintegrasikan dimensi adaptasi iklim. Ini termasuk pembangunan infrastruktur tahan bencana di pemukiman MBR, asuransi mikro yang disubsidi untuk melindungi aset pertanian, dan pelatihan keterampilan yang mendukung relokasi ke sektor yang kurang terpengaruh oleh kondisi iklim ekstrem.
Indonesia menghadapi laju urbanisasi yang masif, memindahkan fokus kemiskinan dari desa ke kota. Meskipun kota menawarkan peluang kerja yang lebih besar, kompetisi dan biaya hidup yang tinggi menciptakan bentuk kemiskinan yang lebih tersembunyi namun sama parahnya—kemiskinan kota.
Di wilayah perkotaan, MBR sering menghabiskan persentase pendapatan yang sangat besar hanya untuk sewa rumah dan transportasi, meninggalkan sedikit sisa untuk gizi dan pendidikan. Pemerintah harus secara agresif memperluas skema perumahan publik yang terjangkau (Rusunawa) yang terintegrasi dengan jaringan transportasi massal dan dekat dengan pusat pekerjaan. Tanpa intervensi perumahan, kenaikan upah minimum seringkali hanya diimbangi oleh kenaikan harga sewa.
Pekerja informal kota (ojek online, asisten rumah tangga, penjaga toko kecil) seringkali menghadapi risiko eksploitasi jam kerja panjang tanpa perlindungan minimum. Kebijakan harus mencari cara untuk memberikan perlindungan sosial (BPJS Ketenagakerjaan) yang dapat diakses dan dibayar secara fleksibel oleh pekerja informal. Pengorganisasian kolektif para pekerja informal menjadi serikat atau koperasi juga penting untuk meningkatkan daya tawar mereka dalam negosiasi upah dan kondisi kerja.
Akses terhadap air bersih berpipa (PDAM) seringkali mahal atau tidak tersedia di pemukiman kumuh perkotaan, memaksa MBR membeli air dari penjual eceran dengan harga berkali lipat lebih mahal. Investasi pada jaringan sanitasi dan air bersih yang inklusif harus diprioritaskan di daerah padat penduduk MBR, tidak hanya sebagai isu kesehatan, tetapi sebagai alat pengentasan kemiskinan ekonomi.
Mewujudkan transformasi struktural MBR membutuhkan sumber daya finansial yang berkelanjutan dan substansial. Anggaran negara perlu didukung oleh mekanisme pembiayaan inovatif.
Pemerintah dapat menerbitkan obligasi sosial (Social Bonds) yang dananya secara spesifik dialokasikan untuk program-program MBR, seperti pembangunan perumahan sosial atau program pelatihan vokasi. Lebih lanjut, mekanisme Pembiayaan Berbasis Dampak (Impact Investing), di mana investor swasta mendanai program sosial dengan janji pengembalian jika target dampak sosial tercapai, dapat menjadi cara untuk membawa efisiensi sektor swasta ke dalam implementasi program sosial.
Untuk membiayai jaring pengaman sosial yang kokoh dan berkelanjutan, diperlukan reformasi fiskal yang progresif. Ini berarti memastikan bahwa perusahaan besar dan individu berpenghasilan tinggi membayar bagian pajak yang adil, dan menutup celah penghindaran pajak (tax loopholes). Peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak yang adil akan memberikan ruang fiskal yang diperlukan untuk investasi jangka panjang pada modal manusia MBR.
Setiap Rupiah yang dialokasikan untuk MBR harus transparan dan akuntabel. Sistem pelaporan anggaran yang terbuka, mudah diakses oleh publik, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan penggunaan dana bantuan akan meminimalkan kebocoran dan penyalahgunaan dana, memastikan bahwa manfaat program benar-benar sampai kepada yang berhak.
Mengangkat harkat Masyarakat Berpenghasilan Rendah adalah inti dari visi pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar tugas sosial, melainkan keharusan ekonomi. Kemiskinan membatasi potensi pasar domestik, menghambat inovasi, dan menciptakan ketidakstabilan sosial-politik.
Solusi yang dibutuhkan adalah pergeseran paradigma dari 'bantuan reaktif' menjadi 'investasi struktural'. Intervensi tidak boleh berhenti pada pemberian makanan atau uang, tetapi harus berfokus pada pembangunan modal manusia yang tidak dapat dicabut: pendidikan berkualitas, kesehatan optimal, kepastian hukum atas aset, dan koneksi ke pasar kerja formal yang stabil dan progresif. Integrasi data yang canggih, desentralisasi implementasi dengan penguatan kapasitas lokal, dan sinergi multi-pihak antara pemerintah, swasta, dan komunitas adalah fondasi untuk mencapai inklusi ekonomi total.
Dengan komitmen politik yang kuat untuk mengatasi kemiskinan multidimensi—melalui investasi pada pendidikan dan kesehatan sejak dini, penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau, serta pembukaan akses modal dan pelatihan keterampilan digital—Indonesia dapat memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Upaya ini akan mengubah MBR dari kelompok yang membutuhkan dukungan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan merata. Peningkatan harkat MBR adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa yang lebih berkeadilan.