Alt Text: Ilustrasi seorang individu yang berdiri dengan susah payah di atas tumpukan koin emas dan uang, menunjukkan beban keserakahan.
Istilah "mata duitan" adalah frasa yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Secara harfiah, ia menggambarkan seseorang yang orientasi hidupnya semata-mata didominasi oleh uang, menjadikannya tujuan akhir, bukan sekadar alat atau sarana. Label ini sering kali dilekatkan dengan konotasi negatif, menyiratkan keserakahan, materialisme yang berlebihan, dan kurangnya integritas emosional atau moral.
Dalam dunia yang semakin kapitalistik, di mana nilai diri sering kali diukur berdasarkan kekayaan dan kepemilikan materi, fenomena 'mata duitan' menjadi semakin relevan dan kompleks untuk dianalisis. Apakah ini sekadar ambisi yang salah arah, ataukah ia merupakan penyakit sosial yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan? Artikel ini akan mengupas tuntas akar psikologis, manifestasi sosial, serta dampak jangka panjang dari pola pikir yang menjadikan uang sebagai tuhan.
Intinya, mata duitan bukan hanya tentang mencintai uang; ini adalah tentang membiarkan cinta tersebut mengalahkan semua bentuk nilai dan hubungan lainnya, mereduksi kompleksitas kehidupan manusia menjadi sekadar transaksi finansial yang dingin dan tanpa hati.
Untuk memahami kedalaman istilah ini, kita harus melampaui terjemahan literalnya. Di Indonesia, frasa ini memiliki bobot budaya yang signifikan, mencerminkan ketidaksetujuan masyarakat terhadap ekses materialisme.
Semua orang membutuhkan uang. Uang adalah alat tukar yang esensial untuk memenuhi kebutuhan dasar, meraih stabilitas, dan memungkinkan kebebasan memilih. Orang yang ambisius atau pekerja keras untuk mendapatkan penghasilan tinggi demi keluarga bukanlah mata duitan. Garis batasnya terletak pada motivasi dan metode yang digunakan.
Motivasi: Mencapai kebebasan finansial, menjamin masa depan, atau memberikan kontribusi melalui kekayaan.
Motivasi: Pengumpulan tanpa batas, kekuasaan atas orang lain, validasi diri yang hanya diperoleh melalui kepemilikan. Pada titik ini, uang menjadi berhala, mendikte setiap keputusan moral, etika, dan relasional.
Secara tradisional, banyak budaya Timur, termasuk Indonesia, menjunjung tinggi nilai komunal, gotong royong, dan spiritualitas. Pandangan mata duitan, yang bersifat individualistik dan eksploitatif, sering kali bertentangan langsung dengan nilai-nilai luhur ini. Oleh karena itu, label 'mata duitan' berfungsi sebagai sanksi sosial terhadap perilaku yang dianggap merusak harmoni kolektif.
Namun, globalisasi dan masuknya budaya konsumerisme telah menciptakan ambivalensi. Masyarakat secara bersamaan mendambakan kemewahan (sebagai simbol kesuksesan) tetapi mencerca individu yang terlalu terbuka menunjukkan keserakahan mereka.
Tidak ada individu yang terlahir serakah. Pola pikir 'mata duitan' adalah konstruksi psikologis yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu, rasa tidak aman (insecurity), dan sistem nilai yang terinternalisasi.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa keserakahan yang berlebihan sering kali berakar pada pengalaman kekurangan finansial yang parah di masa kecil. Orang yang pernah mengalami kemiskinan ekstrem mungkin mengembangkan 'scarcity mentality' (mentalitas kekurangan) yang menetap, di mana mereka terus-menerus merasa harus mengumpulkan sumber daya, bahkan jauh setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kekayaan menjadi benteng, pelindung dari ketakutan akan kembali miskin.
Ketakutan ini kemudian menjelma menjadi:
Di era digital, media sosial menjadi medan pertempuran utama perbandingan sosial. Kita terus-menerus disuguhi versi kehidupan yang disaring dan mewah milik orang lain. Hal ini memicu "hedonic treadmill" — kita terus berlari untuk mendapatkan hal-hal baru, bukan karena kita membutuhkannya, tetapi karena orang lain memilikinya.
Bagi orang mata duitan, uang bukan lagi tentang kenyamanan, tetapi tentang status yang terlihat. Status ini harus lebih tinggi dari tetangga, kolega, atau teman masa kecil. Mereka menggunakan kekayaan sebagai alat ukur: "Saya sukses karena saya memiliki mobil ini; jika Anda tidak memilikinya, Anda kurang sukses."
Keserakahan sering kali beriringan dengan narsisisme. Individu dengan kecenderungan narsistik percaya bahwa mereka berhak atas lebih banyak kekayaan dan sumber daya daripada orang lain. Mereka memandang kesuksesan finansial mereka sebagai bukti superioritas, yang membenarkan eksploitasi atau manipulasi orang lain demi keuntungan pribadi.
Dalam kasus ekstrem, orang mata duitan kehilangan empati. Uang mengebiri kemampuan mereka untuk melihat orang lain sebagai manusia dengan kebutuhan, melainkan sebagai objek yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kekayaan mereka sendiri.
Pola pikir ini tidak selalu diwujudkan dengan memakai perhiasan mahal atau mobil mewah. Seringkali, ia termanifestasi dalam keputusan kecil, hubungan interpersonal, dan etos kerja yang merusak.
Di tempat kerja, individu mata duitan menunjukkan ciri-ciri berikut:
Hubungan adalah korban utama dari pola pikir materialistis. Uang menjadi saringan utama dalam memilih pasangan, teman, dan bahkan cara berinteraksi dengan keluarga.
Orang mata duitan cenderung melihat hubungan sebagai investasi. Mereka bertanya: "Apa untungnya bagi saya?" Persahabatan dipertahankan hanya jika dapat menawarkan keuntungan finansial atau status. Pasangan dipilih berdasarkan prospek kekayaan mereka (sering disebut sebagai 'gold digger'), bukan berdasarkan nilai-nilai, kompatibilitas, atau cinta sejati. Cinta dan kesetiaan dianggap sebagai komoditas yang dapat dibeli atau dijual.
Dalam keluarga, keserakahan seringkali memicu konflik pahit terkait warisan atau dukungan finansial. Keengganan untuk berbagi atau membantu anggota keluarga yang membutuhkan, meskipun mereka mampu, adalah ciri khas. Ikatan darah dapat diputus demi mempertahankan setiap sen yang dimiliki.
Mata duitan menciptakan siklus konsumsi yang tak berkesudahan. Mereka membeli barang-barang mewah bukan untuk dinikmati, tetapi untuk memamerkan kapasitas pembelian mereka. Begitu barang baru diperoleh, kegembiraan (dopamine rush) segera mereda, dan kekosongan emosional muncul kembali, memicu pencarian akuisisi berikutnya. Ini adalah pengejaran ilusi kebahagiaan melalui benda mati.
Mengejar uang secara obsesif tidak hanya merugikan lingkungan sosial, tetapi juga merusak individu dari dalam. Dampaknya bersifat personal, relasional, dan pada akhirnya, sosial.
Ironisnya, individu yang mata duitan seringkali adalah orang yang paling tidak bahagia. Kekayaan berlebihan tidak menjamin ketenangan; sebaliknya, itu menambah beban kecemasan:
Ketika uang menjadi nilai tertinggi, moralitas menjadi fleksibel. Standar etika mulai runtuh dalam situasi tekanan finansial. Ini adalah inti dari masalah sosial besar, seperti korupsi, penipuan investasi, dan kejahatan ekonomi terorganisir. Mereka membenarkan tindakan yang tidak etis dengan pemikiran bahwa 'semua orang melakukannya' atau 'tujuannya (kekayaan) membenarkan caranya'.
Pada level korporasi, pola pikir mata duitan menghasilkan praktik bisnis yang merugikan lingkungan, mengeksploitasi pekerja, dan menipu konsumen demi memaksimalkan laba triwulanan.
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua 'mata duitan' sering kali mewarisi masalah psikologis ini. Mereka mungkin tumbuh dengan dua pola ekstrem:
Alt Text: Dua siluet manusia yang dipisahkan oleh simbol mata uang dolar besar yang retak, melambangkan kehancuran hubungan akibat materialisme.
Perdebatan mengenai hubungan antara uang dan kebahagiaan telah menjadi inti filsafat selama ribuan tahun. Pemikiran mata duitan modern seringkali gagal memahami perbedaan antara kemakmuran (well-being) dan kepemilikan (possessions).
Para Stoik mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya dapat ditemukan dalam kebajikan dan kendali diri (nilai internal). Harta benda, status, dan kekayaan adalah 'preferensi yang diutamakan' (preferred indifferents), yang berarti mereka bagus untuk dimiliki tetapi tidak esensial untuk kebahagiaan dan tidak boleh menjadi sumber penderitaan jika hilang.
Orang mata duitan secara fundamental melanggar prinsip Stoikisme ini. Mereka menempatkan nilai eksternal (uang) di atas segalanya, membuat kebahagiaan mereka rentan terhadap pasar, krisis ekonomi, dan opini orang lain. Mereka gagal menyadari bahwa penguasaan atas keinginan adalah bentuk kekayaan tertinggi.
Hampir semua ajaran agama besar memperingatkan tentang bahaya keserakahan. Keserakahan tidak dilihat hanya sebagai kelemahan karakter, tetapi sebagai penyakit spiritual yang menghalangi koneksi seseorang dengan nilai-nilai yang lebih tinggi (ketuhanan, kemanusiaan, atau alam).
Islam menekankan konsep Qana'ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki yang diberikan). Kekayaan adalah amanah, dan seseorang akan dimintai pertanggungjawaban atas cara ia memperoleh dan membelanjakannya. Dalam Kekristenan, ada peringatan keras tentang sulitnya orang kaya masuk surga, menunjukkan bahaya menjadikan kekayaan duniawi sebagai prioritas utama.
Keserakahan, dalam konteks spiritual, adalah bentuk kebutaan. Ia mencegah individu melihat kekayaan sejati—yaitu waktu, kesehatan, hubungan, dan kontribusi—yang tidak dapat dibeli dengan uang.
Mengingat masyarakat kita mendorong ambisi dan kesuksesan finansial, menentukan kapan dorongan untuk maju berubah menjadi keserakahan yang destruktif adalah hal yang penting. Perbedaan utama terletak pada etika, empati, dan definisi "cukup."
Apakah uang itu diperoleh dengan cara yang menghormati hak dan martabat orang lain? Jika seseorang harus menipu, mengeksploitasi, atau merugikan orang lain demi keuntungan finansial, ambisi tersebut telah berubah menjadi keserakahan. Ambisi sehat menjunjung tinggi integritas; keserakahan tidak mengenal batas moral.
Apakah kekayaan yang dicari memiliki tujuan yang jelas (misalnya, keamanan, pendidikan, amal) atau apakah tujuannya adalah pengumpulan tanpa akhir? Jika kekayaan sebesar apapun tidak mampu memberikan rasa "cukup," maka yang dihadapi bukanlah kebutuhan finansial, melainkan lubang emosional yang tidak akan pernah bisa diisi oleh uang.
Apakah uang digunakan untuk meningkatkan atau merusak hubungan? Jika seseorang bersedia mengorbankan keluarga, kesehatan, persahabatan, atau bahkan nilai-nilai inti demi mempertahankan atau meningkatkan kekayaannya, ia telah didominasi oleh pola pikir mata duitan. Keserakahan membutuhkan korban; ambisi sehat menghargai sinergi.
Studi ekonomi perilaku menunjukkan bahwa uang memang meningkatkan kebahagiaan, tetapi hanya sampai pada titik tertentu (titik jenuh finansial). Setelah kebutuhan dasar terpenuhi dan ada bantalan untuk keamanan (seperti yang sering disebut, sekitar $75.000 per tahun dalam konteks Barat, atau angka yang memadai untuk stabilitas di konteks lokal), peningkatan kekayaan selanjutnya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada dampak pada kebahagiaan harian atau kesejahteraan emosional.
Orang mata duitan mengabaikan titik jenuh ini. Mereka terus memacu diri, meyakini bahwa lebih banyak uang akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya bersifat eksistensial atau relasional. Mereka mengejar keuntungan marjinal yang semakin kecil dengan biaya marjinal (kehilangan waktu, kesehatan, moral) yang semakin besar.
Mengubah pola pikir yang terobsesi pada uang memerlukan pergeseran fokus fundamental dari pengumpulan ke kontribusi, dari kepemilikan ke pengalaman, dan dari kuantitas ke kualitas.
Langkah pertama adalah mendefinisikan secara sadar apa yang dimaksud dengan 'cukup' bagi diri sendiri dan keluarga. Ini adalah proses introspeksi yang sulit, karena memerlukan kejujuran tentang kebutuhan versus keinginan. Ketika seseorang tahu berapa banyak yang cukup untuk keamanan, kenyamanan, dan tujuan hidup, mereka dapat melepaskan perlombaan tak berujung untuk memperoleh lebih banyak.
Mendefinisikan 'cukup' membantu mengubah tujuan finansial dari 'mengalahkan orang lain' menjadi 'mencapai kebebasan pribadi'. Kebebasan sejati bukanlah memiliki segalanya, tetapi tidak lagi takut kehilangan segalanya yang tidak penting.
Untuk menetralkan fokus pada uang, seseorang harus secara aktif mengembangkan nilai-nilai yang tidak dapat dibeli:
Memberi adalah penawar paling ampuh terhadap keserakahan. Kedermawanan mengajarkan otak bahwa sumber daya adalah berlimpah (abundance mindset), bukan langka (scarcity mindset).
Ketika seseorang memberi, mereka mengalami 'warm glow' (kehangatan batin) yang terbukti secara ilmiah meningkatkan kesejahteraan emosional. Memberikan sebagian kekayaan, baik melalui amal atau sekadar bantuan kecil, menggeser identitas diri dari seorang pengumpul menjadi seorang kontributor. Ini adalah transformasi dari 'mata duitan' menjadi 'tangan terbuka'.
Bukan hanya memberi saat ada sisa, tetapi menjadikannya bagian dari anggaran rutin. Ini memastikan bahwa kedermawanan menjadi nilai inti, bukan tindakan sesekali yang didorong rasa bersalah.
Kesadaran finansial (financial literacy) membantu memisahkan emosi dari uang. Ketika seseorang mengerti cara kerja uang—bukan sebagai alat validasi, tetapi sebagai alat—mereka dapat membuat keputusan yang lebih rasional.
Ini melibatkan:
Alt Text: Timbangan yang menunjukkan keseimbangan antara koin (kekayaan materi) dan simbol hati (kekayaan emosional/spiritual), melambangkan hidup yang puas.
Fenomena 'mata duitan' adalah cermin kolektif dari masyarakat yang terlalu menekankan metrik eksternal untuk mendefinisikan kesuksesan. Obsesi terhadap uang mengaburkan pandangan kita terhadap apa yang benar-benar bernilai—hubungan tulus, integritas pribadi, dan ketenangan batin.
Individu yang berhasil melepaskan diri dari rantai keserakahan tidak menjadi miskin; sebaliknya, mereka menjadi lebih kaya dalam cara yang paling bermakna. Mereka menemukan kebebasan dari perlombaan tikus, dan mampu mengarahkan energi yang dulunya dihabiskan untuk mengejar uang menjadi pertumbuhan pribadi dan kontribusi sosial.
Kekayaan sejati bukanlah jumlah angka di rekening bank. Kekayaan sejati diukur dari seberapa banyak tidur nyenyak yang kita nikmati tanpa cemas, seberapa tulus senyum yang kita bagi dengan orang terkasih, dan seberapa besar kontribusi positif yang kita berikan saat kita berkesempatan untuk membantu. Uang adalah alat yang kuat, tetapi ketika alat itu dibiarkan menjadi master, kehidupan manusia akan kehilangan warna dan jiwanya, terperangkap dalam sangkar emas yang dingin dan sepi.
Oleh karena itu, perjuangan melawan mentalitas mata duitan adalah perjuangan untuk memulihkan kemanusiaan kita—menempatkan cinta, etika, dan makna kembali ke posisi tertinggi, di mana mereka seharusnya selalu berada, jauh di atas tumpukan uang yang fana.
Salah satu arena paling berbahaya di mana mentalitas mata duitan beroperasi adalah di sektor publik. Ketika para pembuat kebijakan, legislator, atau administrator publik didominasi oleh keserakahan, hasilnya adalah korupsi institusional yang melumpuhkan. Di sini, uang tidak hanya diakumulasi untuk kepemilikan pribadi, tetapi juga untuk mempertahankan kekuasaan yang memungkinkan pengumpulan kekayaan lebih lanjut, menciptakan lingkaran setan.
Korupsi yang didorong oleh keserakahan jarang dilakukan sendirian. Seringkali, individu mata duitan menciptakan jaringan eksploitasi di mana loyalitas dibeli, dan integritas dijual. Ini mengubah layanan publik menjadi mekanisme pengumpulan keuntungan pribadi, di mana setiap keputusan, dari perizinan hingga pengadaan, memiliki label harga tersembunyi. Dampak akhirnya bukan hanya kerugian finansial negara, tetapi hilangnya kepercayaan publik, yang merupakan fondasi masyarakat yang berfungsi.
Ketika keserakahan merajalela di kalangan penguasa, sumber daya dialihkan dari pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) ke kantong pribadi. Ini memperlebar jurang kesenjangan sosial. Orang mata duitan yang berkuasa pada dasarnya merampas kesempatan dan stabilitas dari kelompok rentan untuk memperkaya diri sendiri, menunjukkan kurangnya empati total yang menjadi ciri khas dari obsesi uang.
Keserakahan individu diperkuat oleh sistem ekonomi modern yang dibangun di atas konsumerisme yang agresif. Pemasaran modern tidak menjual produk; ia menjual ide bahwa kebahagiaan Anda tidak lengkap tanpa produk tersebut. Ini adalah manipulasi yang secara langsung menargetkan rasa tidak aman dan keinginan untuk diakui.
Bagi orang yang mata duitan, merek mewah berfungsi sebagai bahasa. Mereka membeli bukan karena kualitas inheren produk, tetapi karena cerita status yang diceritakan oleh logo tersebut. Mereka berusaha keras untuk "membuat pernyataan" tentang kesuksesan mereka, seringkali dengan mengorbankan keamanan finansial mereka sendiri (misalnya, berutang hanya untuk mempertahankan penampilan).
Ini menciptakan identitas yang rapuh. Jika kekayaan atau status eksternal ini hilang, identitas diri mereka hancur, yang memicu keputusasaan dan upaya yang lebih nekat untuk mendapatkan kembali 'status' tersebut.
Di era investasi digital dan kripto, keserakahan seringkali termanifestasi sebagai Fear of Missing Out (FOMO) finansial. Dorongan untuk menjadi kaya raya dalam semalam, melihat tetangga atau kenalan mendadak sukses, memicu keputusan investasi yang didorong oleh emosi, bukan logika. Orang mata duitan cenderung mengambil risiko yang tidak bertanggung jawab karena motivasi utamanya adalah pengejaran keuntungan maksimal, bukan manajemen risiko yang bijaksana.
Filsafat Daoisme, yang berpusat pada konsep Wu Wei (tindakan tanpa usaha), menawarkan kontras tajam dengan pola pikir mata duitan. Daoisme mengajarkan bahwa upaya yang terlalu keras dan keinginan yang berlebihan untuk mengontrol atau mengakumulasi hanya akan membawa penderitaan.
Keserakahan dipandang sebagai penyimpangan dari aliran alami alam semesta (Dao). Seseorang yang serakah terikat pada kepemilikan dan hasil, sehingga ia selalu berada dalam keadaan ketegangan. Kehampaan materi (kesederhanaan) justru membuka ruang untuk kepenuhan spiritual dan mental. Kebahagiaan ditemukan dalam kesederhanaan dan ketidaklekatan—suatu konsep yang secara diametral bertentangan dengan setiap aspek kehidupan orang mata duitan.
Untuk melawan mentalitas mata duitan di tingkat masyarakat, perlu ada perubahan mendasar dalam metrik yang kita gunakan untuk mengukur kesuksesan.
Kita harus beralih dari:
Pendidikan finansial di sekolah dan rumah perlu menekankan bahwa uang adalah alat tanggung jawab sosial. Ketika anak-anak diajarkan bahwa kekayaan memberikan platform untuk memberi, bukan hanya untuk membeli, kita mulai menanamkan benih anti-keserakahan sejak dini. Jika budaya kita mulai mengagumi kedermawanan, integritas, dan ketenangan batin lebih dari sekadar perhiasan mahal, maka label 'mata duitan' akan kembali menjadi sanksi sosial yang efektif dan dihindari.
Keserakahan sering disalahartikan sebagai upaya mencari rasa aman. Namun, bagi individu mata duitan, rasa aman finansial adalah target yang bergerak. Semakin banyak yang mereka miliki, semakin tinggi tolok ukur rasa aman tersebut, menciptakan ketergantungan patologis.
Proses akuisisi (mendapatkan uang, menandatangani kesepakatan, membeli barang mewah) memicu pelepasan dopamin di otak, neurotransmitter yang terkait dengan penghargaan dan motivasi. Bagi orang yang terobsesi pada uang, mereka menjadi kecanduan pada 'rasa senang' ini. Mereka tidak kecanduan pada uang itu sendiri, tetapi pada tindakan mendapatkannya. Ini menjelaskan mengapa seorang miliarder pun terus bekerja keras dan mengambil risiko, bahkan ketika mereka sudah memiliki lebih dari cukup—mereka kecanduan pada proses pengumpulan, bukan pada hasil.
Uang memberikan rasa aman yang palsu. Ia dapat melindungi dari masalah material, tetapi tidak dapat melindungi dari penuaan, penyakit, kesepian, atau kematian. Ketergantungan yang berlebihan pada uang sebagai satu-satunya benteng keamanan adalah strategi yang gagal, karena ia mengabaikan kerapuhan eksistensi manusia yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekayaan.
Dalam kemitraan bisnis atau hubungan kerja yang serius, mentalitas mata duitan dapat merusak fondasi kepercayaan yang diperlukan untuk kesuksesan jangka panjang. Mereka cenderung fokus pada keuntungan jangka pendek (quick wins), sering kali mengorbankan reputasi atau hubungan baik demi keuntungan finansial sesaat. Mitra yang jujur akan segera mengenali pola eksploitatif ini dan menarik diri, meninggalkan orang mata duitan tersebut sendirian untuk mengelola kerajaan yang dibangun di atas pasir.
Reputasi (modal sosial) seringkali jauh lebih berharga daripada modal uang. Orang mata duitan sering kali terlalu rabun untuk melihat ini. Mereka merusak reputasi mereka dengan menawar terlalu rendah, menuntut terlalu banyak, atau mengingkari janji demi keuntungan moneter. Mereka lupa bahwa kepercayaan yang hilang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dibangun kembali, jauh melebihi nilai finansial dari penipuan kecil yang mereka lakukan.
Resiliensi internal adalah kemampuan untuk bangkit dari kesulitan tanpa tergantung pada sumber daya eksternal. Orang mata duitan memiliki resiliensi internal yang rendah karena mereka telah menyerahkan kendali emosional mereka kepada faktor eksternal (uang, pasar, status).
Untuk membangun benteng ini, kita harus mengadopsi tiga pilar non-materi:
Dengan menerapkan filosofi-filosofi ini, kita secara efektif "mengobati" mata duitan dengan mengganti lensa pandang yang rusak. Kita mengganti lensa yang melihat nilai hanya dalam bentuk angka dengan lensa yang melihat nilai dalam bentuk kehidupan yang dijalani dengan penuh kesadaran dan integritas.
Perjalanan ini memang panjang dan menantang, terutama di dunia yang terus memuja Dewa Uang, tetapi hasilnya adalah kebebasan yang tidak ternilai: kebebasan dari keinginan yang menghancurkan, dan kekayaan yang benar-benar abadi.
Psikologi positif membedakan dua jenis kebahagiaan. Kebahagiaan hedonik adalah kesenangan yang cepat dan dangkal (seperti membeli barang baru), yang cepat memudar. Orang mata duitan hidup dalam pengejaran hedonik yang tak berujung, terus-menerus mencari 'dosis' kesenangan material berikutnya.
Sebaliknya, kebahagiaan eudaimonik—yang diperjuangkan oleh Aristoteles—adalah kepuasan mendalam yang berasal dari hidup sesuai dengan nilai-nilai dan potensi sejati seseorang (makna dan kontribusi). Pola pikir 'mata duitan' adalah penghalang utama menuju kebahagiaan eudaimonik, karena ia memaksa individu untuk mengabaikan nilai-nilai terdalam mereka demi pengejaran materi yang pada dasarnya hampa.
Ketika seseorang beralih dari hedonisme material ke eudaimonia, mereka menemukan bahwa kepuasan terbesar datang dari proses sulit yang menghasilkan pertumbuhan (seperti mengajar, membantu, atau menciptakan), bukan dari akumulasi instan. Pergeseran fokus ini merupakan inti dari penyembuhan dari keserakahan yang destruktif.
Dalam beberapa dekade terakhir, proliferasi "budaya kaya cepat" (get-rich-quick schemes) telah memperparah mentalitas mata duitan. Budaya ini memuja kekayaan instan tanpa menghargai proses, kerja keras yang etis, atau kesabaran. Ini mengajarkan bahwa nilai seseorang setara dengan kecepatan mereka menjadi kaya.
Fenomena ini melahirkan ilusi bahwa kesuksesan adalah hasil dari keberuntungan atau trik cerdik, bukan integritas dan ketekunan. Orang mata duitan mudah terjerumus dalam jebakan ini karena mereka mencari jalan pintas untuk memvalidasi rasa superioritas mereka, seringkali berakhir dengan kerugian besar atau keterlibatan dalam skema yang tidak etis. Mengatasi budaya ini membutuhkan penekanan kembali pada etos kerja yang bernilai dan penghormatan terhadap proses yang lambat namun berkelanjutan.
Pola pikir 'mata duitan' adalah virus sosial yang dapat menyebar dengan cepat, namun penawarnya tetap abadi: integritas, kedermawanan, dan pengakuan bahwa manusia jauh lebih kompleks dan berharga daripada jumlah aset finansial yang mereka miliki.