Seni observasi dan kerahasiaan abadi.
Mata-mata, atau agen intelijen, adalah profesi tertua kedua di dunia, jauh mendahului banyak institusi peradaban modern. Mereka adalah aktor utama dalam ‘perang tak terlihat’—konflik abadi yang terjadi di bawah permukaan diplomasi, ekonomi, dan konflik militer terbuka. Esensi dari mata-mata bukanlah hanya mengumpulkan informasi, tetapi mengubah data mentah menjadi intelijen yang dapat ditindaklanjuti, memberikan keunggulan asimetris kepada negara atau entitas yang mempekerjakan mereka.
Kisah mata-mata adalah kisah pengkhianatan, loyalitas ekstrem, inovasi teknologi, dan tekanan psikologis yang tak tertahankan. Dari agen rahasia yang menyusup ke istana musuh kuno hingga peretas modern yang menembus jaringan pertahanan siber global, peran mereka tetap vital: melindungi kepentingan nasional, mencegah serangan, dan mempengaruhi hasil politik tanpa mengangkat senjata. Keberadaan mereka selalu diselimuti kerahasiaan yang intens, tetapi dampak tindakan mereka sering kali menentukan nasib jutaan orang. Mereka bekerja di batas moral, sering kali harus membuat pilihan etis yang tidak mungkin, demi kepentingan yang lebih besar yang didefinisikan oleh negara mereka. Mata-mata adalah hantu dalam mesin politik dunia, yang keberadaan mereka hanya terungkap dalam kegagalan, atau, lebih jarang, dalam kemenangan yang dirayakan dengan bisikan.
Sepanjang sejarah, keberhasilan atau kegagalan operasi mata-mata telah membentuk peta dunia. Dari kemenangan yang dimungkinkan oleh dekripsi pesan rahasia, hingga runtuhnya rezim akibat subversi internal yang diatur oleh agen asing. Intelijen adalah mata dan telinga negara; tanpanya, kebijakan luar negeri dan strategi pertahanan akan buta dan tuli. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, di mana ancaman tidak hanya datang dari tentara berseragam tetapi juga dari aktor non-negara dan serangan siber, pentingnya mata-mata dan intelijen manusia (HUMINT) belum pernah pudar, bahkan dihadapkan pada supremasi teknologi pengawasan.
Konsep mata-mata jauh melampaui era modern. Peradaban kuno telah memahami bahwa mengetahui niat musuh adalah separuh dari kemenangan. Sumber-sumber tertulis kuno di seluruh dunia, dari Asia hingga Eropa, merinci pentingnya menggunakan agen untuk mengumpulkan data.
Teks militer paling berpengaruh dalam sejarah, Seni Perang karya Sun Tzu (abad ke-5 SM), mendedikasikan seluruh bab untuk penggunaan mata-mata. Sun Tzu menyatakan, "Apa yang membuat penguasa yang tercerahkan dan jenderal yang bijaksana bergerak dan mencapai hal-hal yang melampaui kemampuan manusia adalah pengetahuan sebelumnya." Pengetahuan ini, menurutnya, tidak diperoleh dari ramalan atau perhitungan, tetapi melalui manusia yang mengetahui situasi musuh. Sun Tzu membagi mata-mata menjadi lima kategori spesifik, yang bahkan hari ini masih relevan:
Pandangan Sun Tzu menekankan bahwa mata-mata ganda adalah inti dari semua operasi intelijen. Mengendalikan musuh melalui agen mereka sendiri adalah puncak dari seni intelijen.
Kekaisaran Romawi menggunakan frumentarii, awalnya petugas logistik gandum, yang berubah menjadi jaringan intelijen internal dan eksternal yang luas, mengawasi potensi pemberontakan di provinsi-provinsi. Sementara di India, filsuf dan penasihat kerajaan Kautilya, dalam risalahnya Arthashastra (sekitar abad ke-4 SM), memberikan panduan rinci tentang pembentukan jaringan mata-mata yang ekstensif, bahkan merekomendasikan penggunaan agen yang menyamar sebagai pertapa, pedagang, dan pelacur untuk mengumpulkan informasi dari semua lapisan masyarakat. Kautilya melihat intelijen sebagai elemen kunci dalam stabilitas negara, tidak hanya untuk perang, tetapi juga untuk mencegah korupsi dan kudeta.
Penting untuk dicatat bahwa dalam catatan sejarah kuno, aktivitas mata-mata sering kali tidak dibedakan secara tegas dari pengintaian militer. Namun, benang merahnya jelas: keberhasilan militer dan politik bergantung pada informasi yang disembunyikan oleh pihak lain, dan mata-mata adalah alat untuk mengungkap kerahasiaan tersebut.
Perang Dingin (1947–1991) adalah era definitif bagi intelijen modern. Konflik ideologis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menciptakan kebutuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk pengawasan, pengkhianatan, dan operasi rahasia. CIA, KGB, MI6, dan agensi lainnya bertarung dalam ‘perang bayangan’ di seluruh dunia, dari Berlin yang terbelah hingga hutan di Vietnam dan gurun di Timur Tengah.
KGB (Komite Keamanan Negara Soviet) dikenal karena brutalitasnya, jangkauan globalnya yang luas, dan fokusnya yang kuat pada mata-mata ideologis—orang-orang Barat yang direkrut bukan karena uang, tetapi karena keyakinan pada komunisme. Di sisi lain, CIA (Badan Intelijen Pusat AS) mengandalkan teknologi, subversi politik (seperti kudeta yang disponsori), dan upaya untuk merekrut agen-agen di Blok Timur yang kecewa dengan sistem tersebut.
Puncak dari duel ini adalah perlombaan teknologi pengawasan dan kriptografi. Kedua belah pihak menginvestasikan sumber daya yang tak terbatas dalam pengembangan alat-alat tradecraft baru—kamera super-miniatur, alat penyadap yang tersembunyi di gigi palsu, hingga perangkat yang mampu menembus tembok baja. Perang Dingin melahirkan istilah-istilah seperti "Mole" (agen yang ditanam bertahun-tahun sebelum aktif) dan "Walk-in" (pembelot yang menawarkan diri dengan membawa informasi sensitif).
Contoh paling terkenal dari kerusakan yang ditimbulkan oleh mata-mata ideologis adalah The Cambridge Five. Kelompok elit lulusan Universitas Cambridge di Inggris ini direkrut oleh KGB pada tahun 1930-an dan menempati posisi tertinggi di intelijen Inggris (MI5 dan MI6) dan Kementerian Luar Negeri selama puluhan tahun setelah Perang Dunia II. Kim Philby, Guy Burgess, Donald Maclean, Anthony Blunt, dan John Cairncross berhasil membocorkan hampir setiap rahasia penting Barat, termasuk detail tentang program nuklir, strategi NATO, dan identitas agen Barat di Blok Timur. Dampak dari pengkhianatan mereka sangat besar, menyebabkan kematian banyak agen dan merusak kepercayaan antarsekutu selama bertahun-tahun. Kasus ini menunjukkan bahwa akses internal yang didukung oleh ideologi adalah ancaman intelijen terbesar.
Selain pengumpulan data, mata-mata Perang Dingin juga bertanggung jawab atas operasi rahasia, atau Covert Action. Ini termasuk upaya CIA untuk menggulingkan pemimpin yang dianggap tidak ramah di Iran (1953) dan Guatemala (1954), atau upaya KGB untuk menyebarkan disinformasi di negara-negara non-blok. Tujuannya adalah memanipulasi situasi politik tanpa meninggalkan jejak tangan pemerintah yang sebenarnya—sebuah bentuk perang proksi yang disamarkan.
Tradecraft adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada keahlian, metode, dan teknik yang digunakan oleh agen intelijen dalam menjalankan misi mereka. Ini adalah seperangkat prosedur yang dirancang untuk menjaga kerahasiaan operasi sambil memaksimalkan perolehan informasi.
Perekrutan agen, atau asset, adalah tugas paling sensitif dan rumit. Petugas kasus (handler) mencari individu di negara target yang memiliki akses ke informasi sensitif. Proses ini, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun, sering kali mengikuti prinsip "MICE" (Money, Ideology, Coercion, Ego).
Setelah direkrut, agen tersebut harus melalui serangkaian pelatihan intensif, mempelajari cara menggunakan komunikasi rahasia, pertemuan aman, dan prosedur darurat.
Komunikasi yang aman adalah garis hidup bagi mata-mata. Dua metode klasik telah menjadi ikon spionase:
1. Dead Drop (Kotak Mati): Ini adalah lokasi yang telah disepakati di mana agen dapat meninggalkan atau mengambil materi (dokumen, microdot, uang) tanpa harus bertemu langsung dengan handler. Dead drop harus di lokasi yang tidak mencurigakan, seperti di balik batu longgar di taman, di dalam kaleng minuman yang dimodifikasi, atau di celah dinding. Penggunaan Dead Drop meminimalkan risiko tertangkapnya kedua pihak saat bertukar informasi.
2. Brush Pass (Lewat Sambil Menyentuh): Pertukaran yang terjadi ketika handler dan agen berjalan melewati satu sama lain di tempat umum yang ramai. Kontak fisik seringkali sangat singkat, memungkinkan pertukaran barang kecil (kunci USB, film, catatan) tanpa menghentikan langkah atau menarik perhatian.
Mata-mata harus ahli dalam mengidentifikasi apakah mereka sedang diikuti. Prosedur anti-pengawasan, atau surveillance detection route (SDR), adalah urutan pergerakan yang direncanakan di area publik yang dirancang untuk memaksa tim pengawas untuk membuat kesalahan, seperti berhenti di tempat yang mencurigakan, atau terlalu dekat. Teknik SDR bisa melibatkan perubahan mendadak dalam kecepatan berjalan, masuk dan keluar toko secara acak, atau menaiki transportasi umum dengan tujuan yang tidak jelas.
Sebaliknya, teknik pengawasan modern telah berevolusi dari mobil van yang penuh dengan peralatan radio menjadi jaringan kamera CCTV yang didukung oleh pengenalan wajah dan analisis big data. Peran mata-mata kini mencakup menghindari sensor digital serta sensor manusia.
Profesi mata-mata menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis; ia menuntut pengorbanan psikologis yang mendalam. Agen, terutama yang berada di bawah Deep Cover (penyamaran mendalam), harus mempertahankan identitas palsu 24 jam sehari, berpotensi selama bertahun-tahun. Beban kognitif dan emosional ini sangat besar.
Agen yang menyamar harus mampu menekan diri mereka yang sebenarnya. Mereka harus fasih dalam bahasa dan budaya negara target, mengadopsi sejarah hidup palsu yang tahan terhadap verifikasi ketat (disebut Legend), dan membangun hubungan sosial yang solid—padahal semua hubungan tersebut didasarkan pada kebohongan. Kegagalan untuk mempertahankan ‘Legend’ bahkan pada detail terkecil dapat berarti penangkapan, penyiksaan, atau kematian.
Kondisi ini seringkali menyebabkan disosiasi; agen mungkin mulai kesulitan membedakan antara diri mereka yang asli dan identitas yang mereka ciptakan. Loyalitas menjadi kabur, terutama jika agen tersebut membentuk ikatan emosional yang tulus di negara target.
Apa yang memotivasi seseorang untuk menjalani kehidupan yang penuh bahaya, pengkhianatan, dan isolasi? Selain motivasi MICE yang digunakan untuk merekrut aset, agen operatif profesional didorong oleh kombinasi patriotisme yang kuat, hasrat untuk tantangan intelektual, dan pengakuan (meski rahasia) dari rekan-rekan mereka. Mereka adalah individu yang sangat berorientasi pada detail, mampu mengelola stres tinggi, dan memiliki tingkat empati yang memadai untuk memahami dan memanipulasi perilaku manusia, tetapi cukup dingin untuk mempertahankan jarak emosional.
Pembelotan adalah ketakutan terbesar setiap agensi. Seorang mata-mata yang berbalik arah tidak hanya mengkhianati negaranya tetapi juga mengungkapkan seluruh jaringan operasi, identitas agen lain, dan teknik rahasia. Kisah Aldrich Ames (CIA) dan Robert Hanssen (FBI), yang keduanya menjual informasi tingkat tertinggi kepada KGB/SVR karena motivasi finansial, menunjukkan betapa rentannya organisasi intelijen terhadap pengkhianatan internal. Kerusakan yang mereka timbulkan jauh lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh musuh dari luar.
Setelah jatuhnya Tembok Berlin, fokus spionase bergeser dari konflik ideologis menjadi ancaman asimetris (terorisme) dan, yang paling penting, peperangan siber dan ekonomi. Teknologi telah mengubah tradecraft secara fundamental, menciptakan kategori intelijen baru.
Kerahasiaan data dan persaingan siber.
SIGINT (Signal Intelligence): Pengumpulan intelijen melalui intersepsi sinyal elektronik. Lembaga seperti NSA (AS) dan GCHQ (Inggris) beroperasi di balik layar, menyadap komunikasi global, termasuk telepon, email, dan lalu lintas internet. Kemampuan untuk dekripsi dan analisis sinyal telah menjadi penentu kekuatan intelijen.
CYBERINT (Cyber Intelligence): Ini adalah medan perang baru. Mata-mata siber kini fokus pada serangan siber yang disponsori negara (state-sponsored hacking) untuk mencuri kekayaan intelektual (misalnya, desain jet tempur atau formula vaksin), mengganggu infrastruktur penting (listrik, keuangan), atau menyebarkan disinformasi politik. Mata-mata digital tidak perlu melintasi perbatasan; mereka hanya perlu menembus firewall.
Meskipun teknologi sangat dominan, Intelijen Manusia (HUMINT) tetap tak tergantikan. Satelit dan superkomputer dapat memberi tahu Anda apa yang terjadi, tetapi hanya agen manusia yang bisa memberi tahu Anda mengapa dan apa niat di balik tindakan musuh. Di era di mana setiap orang membawa perangkat pelacak (ponsel), pertemuan tatap muka dan komunikasi rahasia menjadi jauh lebih sulit, memaksa para mata-mata untuk kembali ke teknik kuno sambil mengintegrasikan enkripsi modern. Mereka harus berjuang melawan pengawasan digital tanpa meninggalkan jejak elektronik.
Dunia mata-mata terus mendorong batas inovasi perangkat keras. Kamera nanoteknologi, drone pengintai seukuran serangga, dan perangkat penyadap yang tidak memerlukan baterai adalah standar baru. Di sisi perangkat lunak, penggunaan malware canggih yang dirancang khusus oleh badan intelijen, seperti Stuxnet (yang menargetkan program nuklir Iran), menunjukkan bahwa ‘senjata’ mata-mata di abad ke-21 adalah kode digital, bukan pistol silencer.
Selain teknik operasional, mata-mata yang efektif harus menguasai seni manipulasi psikologis, khususnya Elicitation—teknik untuk mendapatkan informasi tanpa mengajukan pertanyaan langsung atau bahkan membuat target sadar bahwa mereka sedang diwawancarai.
Elicitation adalah alat HUMINT yang sangat halus. Agen menyamar sebagai kolega, jurnalis, atau bahkan turis yang naif, menggunakan trik psikologis untuk memancing informasi rahasia.
Elicitation bekerja karena orang secara alami ingin membetulkan ketidakakuratan, memamerkan keahlian, atau membantu orang lain. Dalam konteks mata-mata, ini adalah senjata yang jauh lebih aman daripada interogasi paksa, karena target tidak pernah tahu mereka telah dikompromikan.
Banyak mata-mata beroperasi di bawah Official Cover (OC), menyamar sebagai diplomat atau staf kedutaan. Jika tertangkap, mereka memiliki kekebalan diplomatik dan biasanya hanya dideportasi. Namun, mata-mata paling berharga sering beroperasi di bawah Non-Official Cover (NOC). Mereka menyamar sebagai pebisnis, akademisi, atau jurnalis. Jika tertangkap, NOC tidak memiliki perlindungan diplomatik; mereka dianggap sebagai mata-mata ilegal dan dapat dipenjara atau dieksekusi. Kehidupan NOC jauh lebih terisolasi dan berbahaya, tetapi memungkinkan akses ke target yang tidak mungkin dijangkau oleh staf kedutaan.
Kontra-intelijen (CI) adalah disiplin yang berfokus pada pencegahan kegiatan intelijen musuh. Jika intelijen adalah mengumpulkan rahasia, kontra-intelijen adalah melindungi rahasia dan menyingkirkan mata-mata musuh.
Tujuan utama CI adalah:
Agen kontra-intelijen harus berpikir seperti mata-mata, memahami teknik perekrutan, komunikasi, dan pergerakan, untuk mendeteksi penyimpangan dari norma. Mereka sering memantau karyawan pemerintah mereka sendiri yang menunjukkan tanda-tanda kerentanan (hutang berlebihan, masalah pribadi, atau ketidakpuasan politik) yang dapat dieksploitasi oleh musuh.
Operasi penangkalan yang canggih melibatkan pemantauan komunikasi asing, baik SIGINT maupun HUMINT, untuk mencari pola yang menunjukkan adanya operasi mata-mata yang sedang berjalan. Jika tim CI mencurigai adanya agen musuh, mereka akan memulai proses yang disebut Sleuthing—pengawasan ketat dan tersembunyi terhadap target untuk mengidentifikasi aset mereka, dead drop mereka, dan handler mereka, dengan tujuan membalikkan atau menangkap seluruh jaringan secara bersamaan.
Dunia mata-mata beroperasi di zona abu-abu moral. Konflik antara kebutuhan negara akan keamanan dan hak individu atas privasi atau martabat sering kali menghasilkan keputusan yang dipertanyakan di mata publik. Hukum yang mengatur mata-mata bersifat internal (hukum negara yang mempekerjakan) dan internasional (perjanjian global).
Salah satu dilema terbesar adalah penggunaan kekerasan, termasuk pembunuhan yang ditargetkan (targeted killing). Meskipun banyak negara secara resmi menolak operasi pembunuhan, faktanya beberapa agensi utama memiliki unit yang bertanggung jawab atas eliminasi ancaman yang dianggap terlalu berisiko untuk ditangkap. Selain itu, praktik yang berkaitan dengan interogasi, yang seringkali melibatkan metode yang melanggar hak asasi manusia, menjadi perdebatan sengit. Dari sudut pandang operatif, tindakan ekstrem ini dibenarkan jika itu mencegah ancaman eksistensial, namun dari sudut pandang hukum dan etika, praktik ini merusak kredibilitas demokrasi yang mempekerjakannya.
Pengungkapan oleh Edward Snowden menunjukkan sejauh mana program pengawasan global telah berkembang, mengumpulkan data metadata miliaran warga sipil, termasuk sekutu. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: Di mana batas antara mengumpulkan intelijen untuk melawan terorisme dan menginjak-injak hak privasi warga? Badan intelijen berpendapat bahwa pengawasan massal adalah satu-satunya cara untuk menemukan "jarum di tumpukan jerami" ancaman teroris, tetapi kritik menganggap ini adalah contoh mission creep (perluasan misi yang tidak terkontrol) yang merusak prinsip kebebasan.
Dalam sistem demokratis, badan intelijen seharusnya diawasi oleh komite legislatif untuk memastikan mereka tidak menyalahgunakan kekuatan mereka. Namun, sifat rahasia pekerjaan intelijen membuat pengawasan ini seringkali tidak memadai. Informasi yang paling sensitif sering disembunyikan dari pengawas itu sendiri, menciptakan siklus di mana mata-mata memiliki kekuasaan luar biasa dengan akuntabilitas yang terbatas. Ini adalah ketegangan abadi dalam setiap negara yang bergantung pada kerahasiaan untuk bertahan hidup.
Mata-mata telah menjadi subjek tak terbatas dalam literatur, film, dan televisi, membentuk persepsi publik tentang dunia rahasia ini. Namun, ada jurang pemisah yang besar antara James Bond yang glamor dan realitas seorang perwira kasus yang menghabiskan waktu bertahun-tahun menganalisis dokumen di ruang bawah tanah.
Tokoh seperti James Bond 007 (MI6) dan Jason Bourne adalah perwujudan fantasi spionase: agen super yang melakukan perjalanan mewah, mengendarai mobil eksotis, dan terlibat dalam tembak-menembak beroktan tinggi. Realitasnya, sebagian besar pekerjaan intelijen adalah monoton. Ini melibatkan jam-jam panjang pengawasan membosankan, analisis data yang melelahkan, menulis laporan yang mendalam, dan yang paling penting, kesabaran. Agen kehidupan nyata dilatih untuk menyatu dengan latar belakang, bukan menonjol dengan tuksedo dan gadget yang mencolok. Jika seorang mata-mata harus menembak seseorang, itu biasanya dianggap sebagai kegagalan operasional besar.
Beberapa penulis, seperti John le Carré (mantan MI6), menyajikan gambaran yang jauh lebih akurat. Dalam novel-novelnya (misalnya, The Spy Who Came in from the Cold), spionase digambarkan sebagai pekerjaan kotor yang melibatkan manusia yang cacat moral, birokrasi yang mematikan, dan keputusan yang menguras jiwa. Le Carré merayakan kecerdasan, bukan kekerasan, dan menunjukkan bahwa pengkhianatan sering terjadi di dalam agensi itu sendiri.
Dengan akselerasi teknologi dan pergeseran fokus global, peran mata-mata terus berevolusi. Ancaman terbesar di masa depan bukan lagi rudal nuklir, tetapi dominasi teknologi 5G, kemampuan komputasi kuantum, dan kekayaan intelektual.
Kecerdasan Buatan (AI) merevolusi analisis intelijen. AI dapat memproses volume data SIGINT yang mustahil dikelola oleh manusia, mendeteksi pola komunikasi, dan memprediksi perilaku. Ini berarti mata-mata manusia tidak lagi perlu melakukan tugas analitis dasar; peran mereka bergeser menjadi validator—memeriksa temuan AI dan menggunakan insting serta keahlian HUMINT mereka untuk mengkonfirmasi atau membantah prediksi mesin.
Spionase telah beralih dari menargetkan rahasia militer ke rahasia industri. Negara-negara mempekerjakan mata-mata siber dan HUMINT untuk mencuri paten, formula, strategi pasar, dan informasi merger/akuisisi yang dapat memberikan keunggulan triliunan dolar. Mata-mata korporat sering kali beroperasi di batas hukum, bekerja untuk lembaga swasta dan didukung secara diam-diam oleh pemerintah, menargetkan industri mulai dari farmasi hingga energi terbarukan.
Pada akhirnya, terlepas dari kemajuan teknologi, mesin tidak bisa berbohong dengan meyakinkan, dan algoritma tidak bisa memahami konteks budaya yang kompleks atau nuansa politik. Kecerdasan manusia, seni persuasi, dan kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dari target yang tinggi di rezim otoriter akan selalu menjadi kebutuhan fundamental. Mata-mata masa depan akan menjadi hybrid: ahli dalam manipulasi sosial dan mahir dalam enkripsi dan penghindaran pengawasan digital.
Mata-mata adalah cerminan dari ketidakpercayaan dan persaingan abadi antara bangsa-bangsa. Mereka adalah profesional yang beroperasi di wilayah yang tidak ditandai, di mana kebenaran adalah mata uang paling berharga dan pengkhianatan adalah alat utama. Sejak catatan kuno Sun Tzu hingga konflik siber modern, prinsip-prinsip dasar spionase tetap sama: mengetahui rahasia musuh dan menjaga rahasia Anda sendiri.
Kehidupan seorang mata-mata adalah kehidupan di bawah tekanan konstan, di mana setiap interaksi dapat membawa malapetaka atau kemenangan besar. Mereka adalah pahlawan yang tidak pernah diakui, sering kali dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar. Selama konflik ideologi, ekonomi, atau geopolitik terus ada, selama itulah dunia akan membutuhkan mata-mata, yang bekerja dalam bayangan, untuk membentuk realitas di bawah cahaya matahari. Perang tak terlihat ini tidak pernah berakhir, hanya berganti alat dan medan pertempuran.
Kerja keras dan pengorbanan mereka—yang dilakukan tanpa sorotan dan pujian—adalah fondasi tak terlihat yang menopang keamanan dan kekuatan politik global. Seni rahasia intelijen adalah bagian integral dari keberlanjutan peradaban modern, sebuah warisan abadi dari konflik pikiran dan informasi. Mereka adalah penjaga gerbang rahasia dunia, dan peran mereka akan semakin vital dalam menghadapi ketidakpastian masa depan digital dan geopolitik. Penguasaan tradecraft, baik kuno maupun modern, adalah kunci bagi kelangsungan hidup mereka dan negara yang mereka layani.