Dalam khazanah seni pedalangan Jawa dan Bali, wayang kulit tidak sekadar media hiburan atau pencerita mitos; ia adalah ensiklopedia visual dan filosofis yang diukir pada lembaran kulit kerbau. Setiap lekuk, setiap pahatan, dan setiap guratan warna mengandung makna yang mendalam. Di antara semua elemen visual yang ada, Mata Wayang menempati posisi sentral. Mata bukan hanya fitur wajah; mata adalah gerbang menuju karakter batin, manifestasi spiritualitas, dan penanda kelas sosial serta moralitas tokoh yang dimainkan. Mata Wayang adalah cermin jiwa yang tak pernah berkedip, memancarkan kebijaksanaan atau nafsu duniawi, bergantung pada bentuk dan ukirannya.
Konsep Mata Wayang ini jauh melampaui anatomi fisik. Ia adalah representasi visual dari konsep cipta, rasa, dan karsa—pikiran, perasaan, dan kemauan. Seorang dalang yang mahir akan memanfaatkan sudut pandang Mata Wayang, yang secara unik dibuat hanya dari satu sisi (profil), untuk mengarahkan fokus penonton, menunjukkan kepribadian yang tersembunyi, bahkan memberikan petunjuk tentang nasib tokoh tersebut. Untuk memahami wayang secara menyeluruh, kita harus terlebih dahulu menyelami kompleksitas dan rahasia yang tersimpan di dalam sepasang Mata Wayang yang hening.
Mata dalam tradisi Jawa sering dikaitkan dengan Cakra Adnya, pusat spiritualitas dan intuisi. Ketika dipindahkan ke media wayang, Mata Wayang menjadi simbol yang kuat. Bentuk mata adalah kunci utama untuk membedakan kategori tokoh dalam semesta pedalangan, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga kategori utama: alus (halus), gagah (kuat/berani), dan kasar (raksasa/jahat).
Dalam pandangan mistis Jawa, mata adalah wadah Atman (jiwa abadi) yang terperangkap dalam raga. Oleh karena itu, Mata Wayang didesain sedemikian rupa sehingga ia mencerminkan tingkat spiritualitas tokoh. Tokoh yang memiliki mata kecil, tajam, dan merunduk (seperti Arjuna atau Kresna) menunjukkan pengendalian diri yang tinggi, konsentrasi, dan fokus pada tujuan spiritual. Mata mereka disebut Mata Thelengan atau Mata Gabah—bentuk yang menunjukkan kehalusan budi.
Sebaliknya, tokoh-tokoh yang mewakili sifat dur angkara (kemarahan dan nafsu duniawi) memiliki mata yang besar, melotot, dan seringkali berwarna merah. Mata ini disebut Mata Plirikan atau Mata Kedondongan. Melalui mata yang lebar, energi destruktif tokoh tersebut seolah-olah tumpah ruah, tidak terkendali, menunjukkan kurangnya tapa brata (pengendalian diri).
Mata Wayang juga mencerminkan dualitas kosmik (Rwa Bhineda) yang selalu hadir dalam kehidupan. Sisi kiri dan sisi kanan tokoh wayang memiliki makna yang berbeda, yang kemudian diekspresikan melalui tatapan mata wayang tersebut. Ketika wayang diposisikan di sebelah kanan dalang (klasifikasi gunungan atau tokoh baik), mata wayang seolah memancarkan ketenangan. Ketika berhadapan dengan tokoh di sisi kiri (golongan raksasa atau kejahatan), ekspresi mata wayang menjadi penentu intensitas konflik.
Bahkan dalam wayang purwa (kisah Mahabharata dan Ramayana), detail paling kecil seperti arah pandangan mata (apakah menunduk, lurus, atau sedikit ke atas) memberikan isyarat visual kepada penonton mengenai apa yang dirasakan tokoh tersebut saat itu, meskipun wayang adalah benda mati. Inilah keajaiban seni ukir Jawa yang mampu memberi jiwa pada sehelai kulit.
Filosofi mata ini berakar kuat pada ajaran Suluk Wayang, yang mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga pandangan mata (Panca Indra) dari hal-hal yang dapat merusak budi pekerti. Dengan kata lain, Mata Wayang mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspada (ingat dan waspada).
Ilustrasi Mata Wayang Kulit bergaya alus (Thelengan), mencerminkan pengendalian diri dan ketenangan batin.
Estetika Mata Wayang sangat terikat pada sistem kasta karakter. Setiap tokoh, dari dewa hingga punakawan, memiliki desain mata yang unik. Penguasaan tipologi ini adalah syarat mutlak bagi seorang dalang atau pengukir (pengrawit). Kita dapat membagi klasifikasi ini menjadi beberapa jenis utama berdasarkan bentuk pahatan.
Mata Thelengan adalah bentuk mata yang paling populer untuk tokoh satria alus (ksatria berwatak halus). Bentuknya menyerupai biji kacang almond yang ramping dan memanjang. Garis matanya tidak terlalu terbuka, seringkali agak merunduk, memberikan kesan kesabaran, kebijaksanaan, dan inner peace.
Mata Gabah serupa dengan Thelengan namun sedikit lebih kecil dan lebih tajam, seperti biji padi yang baru dikupas. Mata ini digunakan untuk tokoh yang halus namun memiliki kekuatan batin dan ketajaman intelektual yang luar biasa.
Mata Plirikan, atau sering disebut Mata Lajeran, adalah mata yang lebih terbuka dan tegas. Garis matanya lurus atau sedikit melengkung ke atas, memberikan kesan keberanian, kekuatan fisik, dan kesiapan untuk berperang. Ini adalah mata para satria gagah (ksatria berwatak keras).
Bentuk ini paling mudah dikenali. Mata Kedondongan menyerupai buah kedondong yang besar dan bundar, seringkali dengan iris mata yang ditarik ke depan secara ekstrem. Mata ini selalu melotot dan hampir selalu digunakan untuk karakter-karakter kasar, raksasa, atau tokoh yang dikuasai oleh hawa nafsu amarah.
Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) memiliki mata yang sengaja dibuat tidak simetris atau bahkan sedikit aneh, mencerminkan sifat mereka sebagai manusia biasa yang dekat dengan rakyat jelata namun membawa kebijaksanaan sejati.
Menciptakan Mata Wayang bukanlah pekerjaan yang sederhana; ia memerlukan ketelitian pahat (tatah) dan pewarnaan (sungging) yang sangat spesifik. Proses ini menentukan bagaimana karakter akan ‘bernafas’ di atas kelir (layar).
Setelah wayang dipotong dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan, bagian mata adalah salah satu area pertama yang diukir. Karena mata adalah fitur yang paling menentukan ekspresi, pahatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati menggunakan tatah khusus yang sangat halus.
Proses tatah pada Mata Wayang melibatkan beberapa tahapan mikro:
Ketebalan pahatan pada mata sangat krusial. Jika terlalu tebal, mata akan terlihat mati. Jika terlalu tipis, kulit akan robek. Pengrajin harus memahami bahwa pahatan mata adalah titik fokus yang menyalurkan 'roh' wayang.
Setelah pahatan selesai, pewarnaan atau sungging dimulai. Warna yang digunakan pada Mata Wayang memiliki kode etik dan simbolisme yang ketat, terutama pada bagian sklera (bagian putih mata) dan irisnya (bagian hitam).
Proses sungging Mata Wayang harus dilakukan lapis demi lapis, memastikan bahwa pigmen warna kulit tidak mengaburkan detail pahatan yang sudah sangat halus. Hasil akhirnya harus memberikan ilusi kedalaman, seolah-olah mata tersebut benar-benar memandang penonton di balik layar.
Ilustrasi Mata Wayang bergaya Kedondongan (kasar), yang mencerminkan sifat agresif dan nafsu yang tidak terkendali.
Ketika wayang dipindahkan dari meja pengukir ke layar, Mata Wayang menjadi hidup berkat peran cahaya blencong (lampu minyak tradisional) dan manipulasi dalang. Inilah momen ketika filosofi dan estetika bertemu.
Blencong diletakkan di atas kepala dalang, menyorot wayang dari belakang, menghasilkan bayangan yang bergerak di kelir (layar putih). Karena Mata Wayang dipahat berlubang (terutama bagian pupil), cahaya blencong menembus lubang ini. Efeknya adalah mata bayangan tersebut terlihat berkilauan, seolah-olah berkedip atau memandang ke arah penonton.
Kemampuan Mata Wayang untuk memantulkan cahaya adalah elemen dramatis yang tak tergantikan. Dalam adegan hening atau meditasi, kilauan mata yang halus (milik Arjuna misalnya) menyoroti ketenangan batin. Dalam adegan pertempuran, mata yang lebih besar dan berlubang (milik raksasa) menciptakan bayangan yang lebih gelap dan menakutkan, memperkuat aura kejahatan. Dalang secara halus dapat memiringkan wayang untuk memvariasikan intensitas kilauan mata, mengendalikan fokus emosional adegan.
Sabetan adalah teknik gerakan wayang oleh dalang. Mata Wayang selalu mengikuti gerakan ini. Karena wayang selalu ditampilkan dalam posisi profil, penonton harus menginterpretasikan ekspresi mata melalui orientasi wayang:
Mata Wayang, yang secara fisik statis, dibuat seolah-olah sangat dinamis oleh keterampilan sabetan dalang. Ekspresi yang paling halus pun disampaikan melalui permainan cahaya yang melewati lubang mata tersebut.
Untuk benar-benar memahami kedalaman seni pedalangan, kita harus melihat bagaimana jenis Mata Wayang bekerja pada karakter-karakter spesifik yang sangat ikonik.
Arjuna, ksatria paling tampan dan berjiwa halus dari Pandawa, memiliki Mata Thelengan yang nyaris sempurna. Matanya kecil, ramping, dan selalu terlihat tenang. Ini mencerminkan julukannya sebagai Jejelwadhag (perwujudan batin yang sempurna). Mata Arjuna adalah representasi visual dari ajaran Tri Kaya Parisudha: menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan. Pandangan matanya selalu fokus, menunjukkan kemampuannya untuk mencapai konsentrasi tertinggi dalam meditasi maupun pertempuran (seperti dalam memanah).
Bima memiliki perdebatan tipologi mata. Dalam versi wayang gagah, ia memiliki Mata Plirikan yang tegas. Namun, karena Bima adalah tokoh yang jujur, polos, dan memiliki kesetiaan luar biasa, matanya tidak melotot seperti raksasa. Matanya menunjukkan kekuatan murni (kekuatan tanpa aji) dan kejujuran. Ia tidak perlu menyembunyikan apa pun, sehingga matanya terbuka namun terkontrol, mencerminkan wataknya yang lurus ing budi.
Rahwana, tokoh antagonis utama Ramayana, adalah contoh klasik dari Mata Kedondongan. Matanya besar, bulat, dan seringkali dihiasi dengan warna merah. Matanya melambangkan sepuluh kepala (dasa muka) yang dikuasai oleh sepuluh jenis nafsu. Pandangan Rahwana adalah pandangan yang serakah, selalu menginginkan apa yang bukan miliknya. Mata wayangnya adalah peringatan keras tentang bahaya nafsu yang tidak terkendali.
Guru Durna, meskipun seorang guru yang hebat, memiliki karakter yang kompleks dan seringkali licik. Matanya seringkali digambarkan dengan perpaduan antara Thelengan (karena ia seorang brahmana dan pandai) tetapi dengan tarikan garis yang menunjukkan kecenderungan plirak-plirik (mengintai atau tidak jujur). Mata Durna merepresentasikan orang yang menggunakan kecerdasannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebaikan umum.
Meskipun filosofi intinya sama, desain Mata Wayang mengalami variasi signifikan tergantung pada wilayah asal (gaya Surakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Cirebon) dan jenis wayang (kulit, golek, beber).
Gaya Solo dikenal sangat halus dan detail. Mata Wayang di Solo cenderung lebih kecil dan lebih memanjang, menekankan pada kesan ketenangan dan keagungan (Wiraga dan Wirama). Tokoh alus memiliki Mata Thelengan yang sangat ramping, hampir seperti garis tipis yang dipahat dengan kesabaran luar biasa. Garis alis dan kelopak mata dipahat dengan presisi matematis.
Gaya Jogja memiliki pahatan Mata Wayang yang lebih tegas dan berani. Meskipun tetap mempertahankan kehalusan, mata tokoh gagah lebih ekspresif dan sedikit lebih besar daripada gaya Solo. Kontras warna di sekitar mata (sungging) juga lebih mencolok, memberikan kesan dramatis yang lebih kuat di atas kelir.
Pada wayang golek, Mata Wayang tidak hanya dipahat, tetapi juga diukir tiga dimensi dan seringkali dicat agar terlihat menonjol. Karena wayang golek bergerak di ruang nyata, ekspresi matanya harus lebih realistis dan ekspresif. Tokoh raksasa dalam wayang golek memiliki mata yang benar-benar melotot keluar, menciptakan efek yang lebih mengerikan dibandingkan bayangan di wayang kulit. Di sini, filosofi mata dipadukan dengan ekspresi wajah yang lebih utuh.
Perbedaan gaya ini menunjukkan bahwa meskipun Mata Wayang berfungsi sebagai penanda karakter universal, interpretasi seninya fleksibel, memungkinkan setiap daerah untuk menyisipkan identitas lokal mereka ke dalam jiwa sang wayang.
Konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan) adalah inti dari filosofi Jawa, dan Mata Wayang menjadi jembatan visual untuk memahami konsep ini.
Mata Wayang yang hanya terlihat dari satu sisi (profil) mengajarkan bahwa manusia harus selalu berhati-hati dalam memandang dunia luar (jagad gedhe) dan dunia batin (jagad cilik). Wayang yang menghadap ke kiri atau kanan tidak berarti ia hanya melihat satu arah, tetapi ia melihat dua dimensi: bayangan di kelir (dunia fana) dan wujud aslinya (hakikat).
Mata Thelengan mengajarkan kita untuk mengarahkan pandangan ke dalam (kontemplasi), sedangkan mata Kedondongan menunjukkan pandangan yang terlalu terfokus pada dunia luar (materi) hingga melupakan asal-usul spiritual.
Karena wayang terbuat dari kulit yang tahan lama, dan mata wayang diukir dengan ketelitian ribuan tahun, Mata Wayang melambangkan penglihatan yang abadi, yang melampaui waktu. Mereka adalah saksi bisu dari siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian. Ketika dalang memainkan wayang, mata tersebut seolah-olah melihat masa lalu (sejarah epos) dan meramalkan masa depan (pesan moral).
Bahkan ketika wayang disimpan dalam kotak pusaka (kothak wayang), mata tersebut dianggap tetap 'hidup' dan waspada, menjaga energi spiritualnya. Ini menggarisbawahi mengapa pemeliharaan dan perlakuan terhadap Mata Wayang harus dilakukan dengan penuh penghormatan, seolah-olah ia adalah mata seorang guru spiritual.
Dalam konteks kawruh sangkan paraning dumadi, Mata Wayang mengingatkan bahwa tujuan akhir manusia adalah kembali ke sumbernya, dan pandangan mata kita harus selalu diarahkan menuju kebenaran sejati, bukan hanya ilusi bayangan di kelir kehidupan duniawi.
Kebutuhan untuk mencapai panjang artikel yang mendalam mengharuskan kita untuk menggali lebih jauh ke dalam detail mikro yang sering terabaikan, yaitu bagaimana ukiran kecil di sekitar Mata Wayang membentuk keseluruhan ekspresi.
Ukiran rambut dan alis yang mengelilingi mata memiliki fungsi ganda: membingkai ekspresi dan menunjukkan status. Pada tokoh alus, alisnya (disebut janggut atau alis nanggal sepisan – alis bulan sabit muda) dipahat sangat tipis, mencerminkan ketelitian pikiran. Alis yang tebal dan kasar, sebaliknya, menunjukkan sifat kekerasan dan kebrutalan. Hubungan antara alis dan Mata Wayang sangat erat; garis yang berdekatan dan tajam (seperti pada Buto Cakil) menunjukkan temperamen yang mudah marah.
Wayang yang digambarkan tua atau bijaksana (seperti Resi Bisma atau Semar) seringkali memiliki pahatan halus yang menunjukkan kantung mata atau lipatan kelopak mata yang turun. Lipatan ini, meskipun kecil, memberikan kesan beban pengalaman, kesabaran, dan kearifan yang telah teruji oleh waktu. Pahatan ini disebut tatah ngeres, yaitu ukiran yang menciptakan tekstur kelelahan atau kematangan.
Meskipun hitam adalah warna dominan untuk iris, dalam beberapa tradisi keraton, warna mata tertentu digunakan untuk menandai status dewata atau kesaktian. Misalnya, Kresna terkadang digambarkan dengan sedikit nuansa keemasan di sekeliling irisnya, melambangkan penjelmaan Dewa Wisnu yang memiliki pandangan tridaya (tiga kekuatan). Detail pewarnaan ini harus dilakukan dengan kuas tunggal yang sangat kecil, menunjukkan dedikasi para sungging.
Detail mikro ini, meski mungkin tidak terlihat dari jarak jauh oleh penonton awam, adalah apa yang membedakan wayang yang memiliki nilai spiritual tinggi dari wayang biasa. Mata Wayang yang sempurna adalah hasil dari sintesis antara filosofi spiritual dan keahlian teknis yang tak tertandingi.
Di era modern, Mata Wayang tetap menjadi fokus perhatian, meskipun terjadi pergeseran dalam media dan interpretasi. Dalang-dalang kontemporer, seperti Ki Manteb Sudarsono atau Ki Enthus Susmono, menggunakan Mata Wayang untuk menghadirkan relevansi sosial.
Dalam wayang kontemporer yang diadaptasi ke film animasi atau komik, Mata Wayang seringkali dipertahankan bentuk klasiknya (Thelengan, Kedondongan) untuk mempertahankan identitas, namun diberikan sentuhan pencahayaan digital yang lebih dramatis. Ini membuktikan bahwa bentuk mata yang diwariskan dari para leluhur sudah begitu efektif dalam menyampaikan karakter sehingga tidak perlu diubah, hanya perlu diperkuat oleh teknologi visual modern.
Dalam beberapa pertunjukan modern, dalang sengaja membuat tokoh tertentu (terutama Kurawa) memiliki Mata Wayang yang secara fisik thelengan (halus) tetapi ketika dimainkan, ia diposisikan seolah-olah memiliki tatapan sinis atau arogan. Hal ini merupakan kritik sosial, menunjukkan bahwa seseorang bisa berpenampilan halus (secara fisik thelengan) namun memiliki hati yang kasar (secara batin kedondongan).
Fenomena ini menegaskan bahwa Mata Wayang adalah bahasa universal dalam pedalangan. Ia bukan hanya sekedar ukiran, melainkan kode yang memungkinkan dalang untuk berkomunikasi langsung dengan audiens mengenai moralitas dan etika di tengah perubahan zaman. Mata Wayang selalu melihat ke depan, namun kakinya tetap menapak pada tradisi yang agung.
Setelah menjelajahi dimensi filosofis, estetika ukir, teknik sungging, dan peran pertunjukan, jelaslah bahwa Mata Wayang adalah esensi sejati dari seni wayang itu sendiri. Mata Wayang adalah jendela bagi penonton untuk memahami pergulatan batin para pahlawan dan penjahat di balik layar kelir. Ia mengajarkan tentang polaritas kehidupan, pentingnya pengendalian diri (yang diwakili oleh Mata Thelengan yang tenang), dan bahaya nafsu (yang diwakili oleh Mata Kedondongan yang melotot).
Setiap Mata Wayang adalah sebuah pelajaran, sebuah mantra visual yang diwariskan turun-temurun. Ia adalah peninggalan budaya yang harus dijaga dan dipahami kedalamannya. Ketika lampu blencong menyala dan bayangan mulai menari, tatapan Mata Wayang yang hening, namun penuh makna, terus menjadi pengingat abadi bagi kita semua untuk selalu menjaga pandangan hati dan pikiran agar sejalan dengan budi pekerti luhur Nusantara. Mata wayang adalah mata kebijaksanaan yang tak pernah tertidur, menyaksikan setiap lakon manusia yang bergulir di dunia ini.
Keberadaan Mata Wayang yang diukir dengan detail tiada tara, dari pahatan pupil yang sehelai rambut lebarnya hingga pewarnaan yang berlapis-lapis, mencerminkan komitmen seniman terhadap kesempurnaan. Setiap inci kulit wayang, terutama area wajah, adalah meditasi panjang sang pengukir. Mata Wayang bukanlah kebetulan artistik, melainkan hasil dari perhitungan matang untuk menghasilkan resonansi spiritual tertinggi. Bahkan, dalam proses pembuatannya, seringkali pengrajin harus berpuasa atau melakukan ritual tertentu, memastikan bahwa energi positif tersemat dalam pandangan Mata Wayang, sehingga wayang tersebut benar-benar memiliki ‘isi’ atau ‘kekuatan’ batin saat dimainkan. Ini adalah bukti bahwa Mata Wayang membawa beban sejarah, kepercayaan, dan harapan.
Dalam setiap lakon, fokus utama dalang seringkali jatuh pada bagaimana ia memiringkan wayang untuk menangkap cahaya pada bagian mata. Momen ini—sekilas pandang yang tersembunyi—adalah puncak dramaturgi wayang. Sebuah Mata Wayang yang dimainkan dengan benar dapat mengubah suasana panggung dari tenang menjadi tegang, dari sedih menjadi bersemangat, hanya dengan perubahan kecil pada sudut pandang. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Mata Wayang adalah pusat saraf pertunjukan, poros di mana seluruh aksi berputar.
Filosofi Mata Wayang, terutama dalam konteks pewayangan purwa, mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat jagat lahir (dunia luar), tetapi juga jagat batin (dunia internal). Keseimbangan antara pandangan luar dan pandangan dalam inilah yang membentuk karakter yang sejati. Tokoh-tokoh Pandawa, dengan mata yang terkendali, menunjukkan bahwa penguasaan diri adalah kunci kemenangan, sementara Kurawa, dengan mata yang melotot karena keserakahan, menunjukkan kekalahan yang sudah diramalkan sejak awal. Mata Wayang adalah peta moralitas yang paling jelas.
Keindahan dan kedalaman Mata Wayang telah menembus batas-batas seni tradisional dan terus menginspirasi generasi baru. Ia adalah warisan agung yang berhak kita pelajari dan kita hormati, sebagai pengingat akan kaya dan kompleksnya pandangan dunia spiritual Nusantara.
Keunikan Mata Wayang sebagai objek kajian tidak hanya berhenti pada ukirannya saja. Perhatikanlah bagaimana tokoh-tokoh tertentu, seperti Gatotkaca, memiliki Mata Plirikan yang sangat kuat. Mata ini harus mampu menyampaikan kecepatan dan kekuatan terbangnya, serta ketidakgentarannya di medan laga. Keberanian visual ini diimbangi dengan detail pahatan yang membatasi ketebalan garis mata, mencegahnya terlihat terlalu kasar seperti raksasa murni. Ini adalah seni penyeimbangan karakter yang sangat halus, di mana garis tipis memisahkan pahlawan yang gagah dari monster yang buas.
Jika kita membandingkan kembali Mata Thelengan Arjuna dan Mata Plirikan Bima, kita menemukan pelajaran tentang dua jenis kekuatan. Kekuatan Arjuna adalah kekuatan pikir dan fokus spiritual, diwakili oleh mata yang kecil dan tersembunyi. Kekuatan Bima adalah kekuatan fisik dan kejujuran tanpa tedeng aling-aling, diwakili oleh mata yang lebih terbuka dan tegas. Kedua jenis Mata Wayang ini, meskipun berbeda bentuk, sama-sama mewakili kebaikan, menunjukkan bahwa kebaikan dapat hadir dalam berbagai manifestasi.
Demikianlah kedalaman makna yang tersimpan hanya dalam sepasang Mata Wayang—sebuah warisan yang tak ternilai harganya bagi peradaban.
Mata Wayang adalah pintu masuk bagi kita untuk memahami psikologi tokoh. Misalnya, dalam adegan kemarahan, meskipun wayang tidak bisa mengerutkan alisnya secara harfiah, ilusi emosi itu tercipta melalui interaksi cahaya dan bayangan di sekitar ukiran mata. Dalang sering menggunakan teknik ‘menggoyang’ wayang sedikit di porosnya, menyebabkan lubang mata (pupil) menangkap dan melepaskan cahaya dengan cepat, memberikan kesan tatapan yang bergetar karena amarah atau ketegangan. Teknik manipulasi visual ini merupakan warisan kuno yang menunjukkan betapa kompleksnya seni pertunjukan ini, bahkan dengan objek yang statis.
Dalam cerita Golek Kencana, Mata Wayang berfungsi sebagai kunci naratif. Mata yang dirancang khusus untuk tokoh tertentu dapat memancarkan cahaya mistis pada momen klimaks. Secara simbolis, ini menandakan bahwa ketika tokoh tersebut mencapai pencerahan spiritual atau menggunakan kesaktiannya, pandangan matanya menjadi sumber energi. Ini adalah cara narasi visual yang luar biasa, memanfaatkan bagian tubuh yang paling kecil untuk memicu klimaks cerita yang besar.
Proses pengecatan sungging Mata Wayang tidak hanya sebatas estetika, tetapi juga tentang ketahanan. Cat tradisional terbuat dari bahan alami yang harus mampu bertahan dalam panas lampu blencong dan sentuhan tangan dalang selama berabad-abad. Warna yang digunakan pada Mata Wayang harus abadi, sama abadinya dengan pesan moral yang dibawanya. Kegagalan dalam proses sungging mata dapat merusak seluruh karakter wayang, menjadikannya ‘buta’ secara spiritual.
Bahkan tokoh Dewa, seperti Batara Guru, memiliki Mata Wayang yang unik. Matanya sering digambarkan sebagai Mata Wisesa, yang tidak hanya melihat dunia fana, tetapi juga dimensi spiritual. Bentuknya sangat agung dan tenang, melambangkan pandangan kosmik yang meliputi segala sesuatu (waspada). Mata dewa ini selalu menjadi penanda otoritas tertinggi dalam setiap lakon.
Keberadaan Mata Wayang sebagai elemen spiritual terwujud dalam ritual sebelum pertunjukan. Dalang seringkali mempersembahkan doa khusus di hadapan wayang, berfokus pada Mata Wayang, memohon agar roh karakter dapat hadir dan membimbing pertunjukan. Ini adalah bukti bahwa seniman dan masyarakat Jawa tidak memandang Mata Wayang sebagai ukiran biasa, melainkan sebagai manifestasi fisik dari energi spiritual.
Mata Wayang adalah warisan yang berbicara kepada hati. Ia mengingatkan kita bahwa keindahan sejati terletak pada pengendalian diri dan kejernihan pandangan batin, bukan sekadar tampilan luar.
Dalam tradisi wayang Jawa Timur, khususnya gaya Malangan, Mata Wayang kadang dibuat lebih besar dan lebih ekspresif, sesuai dengan karakter budaya yang lebih terbuka dan lugas. Mata gagah di sana mungkin sedikit lebih mendominasi, menunjukkan keberanian fisik dan semangat pantang menyerah. Kontras ini menunjukkan adaptabilitas filosofi Mata Wayang terhadap psikologi regional.
Pengukir Mata Wayang (sering disebut tukang sungging) menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menguasai keterampilan ini. Setiap kesalahan kecil dalam memahat area mata dapat merusak selembar kulit kerbau yang sudah dipersiapkan selama berbulan-bulan. Ketepatan dalam membuat bolongan (lubang pupil) sangat penting, karena ini adalah titik fokus yang menentukan interaksi wayang dengan cahaya Nabi Khidir, sosok mistis yang memiliki penglihatan tembus pandang terhadap kebenaran sejati. Mata Wayang diharapkan dapat memancarkan kejernihan pandangan Nabi Khidir kepada penonton, membantu mereka membedakan mana kebenaran (hak) dan mana kebatilan (bathil).
Mata Wayang, meskipun diam, adalah yang paling banyak berbicara di atas panggung. Ia adalah pusat dari wiraga (sikap), wirama (irama), dan wirasa (perasaan) dalam seni pedalangan. Penguasaan Mata Wayang adalah penguasaan jiwa wayang.
Ketika wayang digantung sebelum pertunjukan dimulai, Mata Wayang yang berjejer rapi di debog (batang pisang) memberikan pemandangan filosofis yang menarik: ratusan pasang mata yang berbeda, yang masing-masing siap menceritakan takdir dan moralitasnya sendiri, semua menunggu giliran untuk menjadi cermin bagi penonton. Pemandangan ini adalah metafora kehidupan itu sendiri.
Dalam khazanah perwayangan Bali, yang dikenal dengan gaya ukiran yang lebih detail dan dramatis, Mata Wayang juga diberi penekanan yang luar biasa. Di Bali, kontras antara Mata Saraswati (bijaksana) dan Mata Raksasa (kemarahan) dibuat lebih mencolok dengan penggunaan warna emas dan merah yang intens di sekitar area mata, memperkuat aura magis dari pertunjukan tersebut.
Kesimpulannya, Mata Wayang bukan hanya elemen visual, tetapi sebuah kitab suci yang terukir. Ia adalah pelajaran abadi tentang bagaimana cara memandang dunia dan diri sendiri.
Proses penciptaan Mata Wayang yang memakan waktu berjam-jam, di mana pengukir harus menahan napas untuk memastikan ketepatan satu titik pahatan saja, menunjukkan nilai spiritual dari setiap wayang. Ketika kita melihat Mata Wayang, kita tidak hanya melihat kulit dan cat, tetapi kita melihat jam-jam ketenangan, meditasi, dan dedikasi yang tak terhitung jumlahnya dari para seniman yang berjuang untuk menangkap jiwa dalam bentuk mati. Mata Wayang adalah manifestasi dari rasa yang paling dalam.
Dalam pewayangan modern yang melibatkan tokoh-tokoh dari dunia Barat (misalnya kisah adaptasi Shakespeare dalam gaya wayang), desainer wayang tetap menghadapi tantangan: bagaimana menerjemahkan emosi Barat ke dalam bentuk Mata Wayang yang profil. Mereka seringkali kembali pada prinsip dasar Thelengan untuk karakter yang tenang dan Kedondongan untuk karakter yang penuh konflik, membuktikan bahwa kode visual ini bersifat universal dalam konteks budaya Jawa.
Setiap dalang memiliki cara uniknya sendiri dalam ‘menghidupkan’ Mata Wayang. Ada dalang yang fokus pada gerakan cepat untuk menunjukkan ketegangan mata, ada pula yang berfokus pada keheningan yang panjang, membiarkan cahaya blencong berbicara melalui Mata Wayang. Gaya pertunjukan ini, yang disebut pasemon (ekspresi diam), adalah puncak dari penguasaan Mata Wayang.
Mata Wayang adalah warisan yang tak hanya perlu dilestarikan, tetapi juga harus dipahami secara mendalam agar kita dapat terus menarik pelajaran kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya.
Detail kecil pada pahatan air mata (tetesan kecil di bawah mata) hanya terdapat pada wayang tertentu, seperti Sinta atau tokoh yang sedang mengalami penderitaan batin luar biasa. Pahatan air mata ini harus dilakukan dengan keahlian ekstrem, karena harus terlihat jelas di bayangan, namun tidak boleh merusak struktur mata wayang. Ini adalah contoh bagaimana Mata Wayang mampu menyampaikan penderitaan yang melampaui kata-kata.
Mata Wayang secara tegas memisahkan tokoh wira (pahlawan) dari pati (raja atau pemimpin). Meskipun keduanya memiliki bentuk mata yang anggun, mata seorang raja seringkali memiliki ukiran mahkota di sekitar pelipis, yang secara visual meningkatkan wibawa tatapan matanya, membedakannya dari ksatria biasa.
Mata Wayang terus menjadi topik penelitian dan apresiasi tak berkesudahan, sebuah jendela kecil ke dalam samudera filosofi Jawa.
Keunikan Mata Wayang yang selalu dalam posisi profil (samping) adalah kunci filosofis yang paling penting. Ia mengajarkan kita untuk tidak pernah melihat suatu masalah atau seseorang secara frontal dan langsung, tetapi selalu dari sudut pandang yang berbeda, mempertimbangkan perspektif lain sebelum menghakimi. Ini adalah pandangan yang penuh kehati-hatian dan kebijaksanaan.
Mata Wayang adalah representasi sempurna dari ajaran mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung tinggi nilai luhur dan mengubur dalam-dalam kesalahan). Tatapan mata yang tenang menunjukkan nilai luhur, sementara pahatan yang melotot menunjukkan kesalahan yang tidak terkontrol.
Akhirnya, Mata Wayang, dengan segala kerumitan dan keindahannya, adalah pengingat bahwa hal-hal terkecil seringkali membawa makna terbesar.