Sejarah Jawa tidak dapat dilepaskan dari narasi besar Kesultanan Mataram Islam. Berdiri pada penghujung abad ke-16, Mataram bangkit dari sisa-sisa kemegahan Demak dan Pajang, menjelma menjadi entitas politik, militer, dan budaya yang paling dominan di Pulau Jawa. Mataram bukan hanya sekadar kerajaan; ia adalah cawan pelebur di mana tradisi Hindu-Buddha kuno berintegrasi secara harmonis dengan ajaran Islam, menghasilkan kebudayaan adiluhung yang masih lestari hingga kini di Yogyakarta dan Surakarta.
Kajian ini akan menelusuri secara mendalam perjalanan Mataram, mulai dari akar pendiriannya di alas Mentaok, masa kejayaan yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, struktur administrasi yang kompleks, hingga konflik internal dan tekanan eksternal yang pada akhirnya membawa kerajaan ini menuju perpecahan historis, yang warisannya terus membentuk identitas kultural masyarakat Jawa modern.
Keris, perlambang kekuasaan dan spiritualitas yang sangat erat dengan sejarah Mataram.
Mataram bukanlah entitas yang muncul tiba-tiba. Akarnya dapat ditarik kembali ke masa Kesultanan Pajang, penerus Demak. Wilayah yang kelak menjadi pusat Mataram adalah Alas Mentaok, sebuah hutan lebat yang terletak di tenggara Jawa Tengah. Kawasan ini diberikan sebagai hadiah atas jasa dua tokoh penting dalam penumpasan Arya Penangsang, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan putranya, Danang Sutawijaya.
Ki Ageng Pamanahan menerima hadiah wilayah Mentaok dari Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) dari Pajang. Pamanahan, yang memiliki hubungan darah dengan tokoh-tokoh penting sebelumnya, mulai membangun pemukiman dan basis kekuasaan di sana, mendirikan institusi awal yang berbasis pada pertanian dan spiritualitas Jawa. Ia dikenal sebagai pendiri garis keturunan Mataram, meskipun ia tidak pernah menyandang gelar Sultan.
Penerus Pamanahan adalah putranya, Danang Sutawijaya. Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai Panembahan Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama, adalah sosok karismatik dengan ambisi politik yang besar. Ia menyadari bahwa wilayah Mataram yang subur dan strategis memiliki potensi untuk melampaui Pajang.
Titik balik dimulai ketika hubungan antara Sutawijaya dan Pajang memburuk. Setelah kematian Sultan Hadiwijaya, Pajang dilanda krisis suksesi. Sutawijaya memanfaatkan kekosongan kekuasaan ini dan secara bertahap menolak otoritas Pajang. Pertempuran sengit akhirnya terjadi. Meskipun Senapati berhasil mengalahkan Pajang, ia menunjukkan kearifan politik dengan tidak menghancurkan Pajang sepenuhnya, melainkan memindahkan pusat kekuasaan dan pusaka kerajaan ke Mataram.
Pada sekitar tahun 1587, setelah Pajang runtuh sepenuhnya, Panembahan Senapati secara de facto menjadi penguasa tunggal di Jawa Tengah bagian selatan. Ia memilih gelar Panembahan (Yang Disembah), menunjukkan legitimasi spiritual dan politik, dan secara resmi mendirikan Mataram sebagai kesultanan yang berdaulat, meletakkan dasar bagi ekspansi yang akan datang. Ia mulai menaklukkan wilayah pesisir utara (Pesisir Lor) yang strategis dan kaya, seperti Jepara dan Tuban, meskipun penaklukan ini baru mencapai puncaknya di era penerusnya.
Setelah wafatnya Panembahan Senapati, tahta diwarisi oleh putranya, Raden Mas Jolang, yang bergelar Panembahan Seda Krapyak. Periode ini (1601–1613) merupakan fase konsolidasi, di mana fokus utama adalah mempertahankan wilayah yang telah diperoleh Senapati dan mengatasi pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipicu oleh penolakan terhadap otoritas Mataram.
Meskipun Seda Krapyak menghadapi tantangan domestik yang signifikan, ia juga merupakan penguasa Mataram pertama yang menjalin interaksi, meskipun penuh kewaspadaan, dengan kekuatan Eropa yang baru tiba, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari Belanda. VOC saat itu mulai menancapkan pengaruhnya di Batavia (Jakarta) dan sebagian wilayah pesisir, menimbulkan ancaman geopolitik yang kelak akan menjadi masalah paling kritis bagi Mataram.
Masa pemerintahan Raden Mas Rangsang, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo, adalah era emas Mataram. Sultan Agung (berkuasa 1613–1645) diakui sebagai raja terbesar Mataram, yang berhasil menyatukan hampir seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaannya, kecuali Banten dan Batavia yang dikuasai VOC. Kekuasaannya mencakup aspek militer, politik, hukum, dan kebudayaan.
Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang sangat ambisius dan piawai dalam strategi militer. Begitu naik tahta, ia segera melancarkan serangkaian kampanye penaklukan besar-besaran, melanjutkan cita-cita kakeknya, Senapati.
Wilayah Pesisir Lor, yang kaya dan memiliki jalur perdagangan penting, adalah target utama. Kota-kota bandar seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Pasuruan memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang mandiri. Penaklukan Surabaya pada tahun 1625, setelah pengepungan yang panjang dan melelahkan, dianggap sebagai pencapaian militer terbesar Mataram di bawah Agung. Kemenangan ini secara efektif menjadikan Mataram sebagai penguasa tunggal di Jawa bagian tengah dan timur, mengakhiri era kota-kota pelabuhan yang independen.
Sultan Agung tidak hanya berfokus pada Jawa. Ia juga berhasil menundukkan Madura. Dengan menguasai Madura dan Jawa Timur, ia mengamankan jalur pelayaran penting dan menempatkan Mataram pada posisi dominan dalam perdagangan rempah dan beras. Kesuksesan ini membuatnya berani menyandang gelar Sultan, yang secara harfiah berarti penguasa dunia, sebuah gelar yang diperolehnya dari Mekah.
Ancaman terbesar bagi kedaulatan Mataram adalah VOC, yang di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, telah mendirikan benteng kuat di Batavia. VOC mengganggu monopoli perdagangan Mataram di jalur rempah dan beras, dan sikap angkuh mereka dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan Jawa.
Sultan Agung memutuskan bahwa VOC harus disingkirkan dari Jawa. Ia melancarkan dua serangan besar ke Batavia.
Meskipun kedua serangan tersebut gagal, upaya ini menunjukkan tekad Mataram untuk mempertahankan kedaulatan dan menjadi simbol perlawanan Jawa terhadap imperialisme awal. Setelah kegagalan ini, Sultan Agung mengalihkan fokusnya dari agresi militer eksternal ke pembangunan internal dan kultural.
Mahkota, simbol kejayaan dan kedaulatan Sultan Agung sebagai penguasa Mataram.
Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai panglima perang, tetapi juga sebagai seorang reformis kultural yang visioner. Tujuannya adalah menyatukan seluruh rakyat Jawa di bawah satu payung budaya dan agama Islam yang berkarakter Jawa.
Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka Jawa), Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa. Sebelumnya, masyarakat Jawa menggunakan Kalender Saka (berbasis Hindu) yang beredar luas di wilayah bekas Majapahit. Agung menggabungkan sistem tahun Saka (berbasis matahari) dengan sistem Hijriyah (Islam, berbasis bulan). Hasilnya adalah sistem penanggalan yang unik, di mana angka tahun mengikuti Saka, namun perhitungannya mengikuti qamariyah Islam. Tindakan ini adalah upaya brilian untuk mengintegrasikan identitas Islam ke dalam tradisi Jawa tanpa menghilangkan akar lokal.
Sultan Agung juga menyusun kodifikasi hukum yang dikenal sebagai Angger-Angger. Hukum ini mencakup peraturan sipil, pidana, dan administrasi. Kodifikasi ini bertujuan untuk menciptakan keseragaman hukum di seluruh wilayah Mataram yang baru saja disatukan, menggabungkan prinsip-prinsip syariat Islam dengan hukum adat (tradisi) Jawa. Hal ini memperkuat sentralisasi kekuasaan dan legitimasi raja sebagai pemegang otoritas spiritual dan duniawi.
Mataram di bawah Sultan Agung sangat bergantung pada sektor agraris, khususnya pertanian padi. Ia membangun sistem irigasi yang ekstensif, memperkuat lumbung pangan, dan memastikan bahwa Jawa menjadi lumbung beras utama. Pusat kerajaan, yang dikenal sebagai Kutogede atau Plered, menjadi pusat administrasi yang megah, menampilkan arsitektur yang mencerminkan paduan tradisi Majapahit dan pengaruh Islam.
Untuk mengelola wilayah yang luas dan populasi yang padat, Mataram mengembangkan struktur administrasi yang hierarkis dan terpusat. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan, yang dianggap sebagai Sayidin Panatagama (Pemimpin Agama) dan Khalifatullah (Wakil Allah di Bumi), memberikan legitimasi ganda, baik tradisional maupun Islam.
Wilayah Mataram dibagi menjadi tiga kategori utama, yang mencerminkan jarak dan hubungan kekuasaan dengan pusat keraton:
Ini adalah wilayah inti kerajaan yang meliputi ibu kota (Plered/Kartasura) dan wilayah sekitarnya yang sangat subur. Tanah di Nagari Gung dikelola langsung oleh keraton, dan hasil buminya digunakan untuk membiayai keluarga kerajaan, abdi dalem, dan sistem administrasi pusat. Loyalitas di wilayah ini sangat mutlak.
Wilayah ini adalah daerah-daerah di luar Nagari Gung, tetapi masih dianggap integral. Daerah Mancanegara seperti Kediri, Madiun, dan daerah Jawa Timur lainnya, dipimpin oleh Adipati atau Tumenggung yang merupakan bangsawan Mataram atau penguasa lokal yang telah ditundukkan. Mereka harus membayar upeti (pajak) dan menyediakan kontribusi militer, tetapi memiliki otonomi yang lebih besar dalam urusan internal.
Wilayah Pesisir memiliki karakteristik yang unik. Sebelum ditaklukkan Mataram, mereka adalah pusat-pusat perdagangan yang independen. Setelah penaklukan, mereka tetap strategis secara ekonomi, namun sering kali memberontak. Mataram menempatkan pengawas ketat di sini untuk mengontrol perdagangan, khususnya beras, dan menjaga agar VOC tidak menanamkan pengaruh terlalu dalam.
Masyarakat Mataram terbagi dalam hierarki yang kaku, yang mencerminkan sistem feodal Jawa:
Warisan terbesar Mataram terletak pada kemampuan luar biasanya untuk menyaring dan menyatukan elemen-elemen budaya yang berbeda—animisme, Hindu-Buddha, dan Islam—menjadi satu kesatuan yang koheren, yang kini kita kenal sebagai Kebudayaan Jawa Klasik.
Islam di Mataram disebarkan secara bertahap dan damai. Mataram tidak menghapus tradisi lama; sebaliknya, tradisi tersebut diadaptasi dan diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Istilah Suluk (jalan spiritual) dan Tasawuf (mistisisme Islam) menjadi sangat penting dalam ajaran istana.
Ritual-ritual keagamaan di Mataram, seperti upacara Grebeg, adalah contoh nyata sinkretisme. Grebeg merayakan hari-hari besar Islam (Idul Fitri, Maulid Nabi), namun disajikan dalam format prosesi kerajaan yang penuh dengan simbolisme dan tradisi Jawa kuno. Raja sendiri berperan sebagai pemimpin agama, memastikan bahwa interpretasi Islam selaras dengan kepentingan politik dan budaya kerajaan.
Keraton Mataram berfungsi sebagai pusat kreatif yang menghasilkan karya-karya seni dan sastra yang monumental. Seni pertunjukan, terutama Wayang Kulit dan Gamelan, mencapai bentuknya yang paling halus dan filosofis di bawah perlindungan Mataram.
Sastra Mataram ditandai dengan genre Babad (kronik sejarah) dan Serat (kitab/naskah). Babad Tanah Jawi, misalnya, adalah kronik penting yang mengisahkan sejarah Mataram, sering kali dicampur dengan mitologi untuk memberikan legitimasi ilahi kepada para raja. Naskah-naskah filosofis, seperti yang dihasilkan di era Pangeran Mangkunegara, juga memegang peranan penting dalam membentuk etika Kejawen (falsafah hidup Jawa).
Wayang, media spiritual dan seni yang digunakan Mataram untuk menyebarkan nilai-nilai Islam dan moral.
Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, Mataram memasuki periode kemunduran yang panjang dan menyakitkan. Transisi kekuasaan sering kali diwarnai konflik, yang pada akhirnya memberikan celah bagi VOC untuk mencampuri urusan domestik Mataram.
Pengganti Sultan Agung adalah putranya, Raden Mas Sayidin, yang bergelar Susuhunan Amangkurat I (bertahta 1646–1677). Amangkurat I dikenal sebagai penguasa yang sangat otoriter, kejam, dan paranoid. Berbeda dengan ayahnya yang menghormati ulama, Amangkurat I justru merasa terancam oleh kekuatan para ulama yang berbasis di pesantren dan daerah perdikan.
Pada tahun 1647, Amangkurat I melakukan pembantaian massal terhadap ribuan ulama dan keluarga mereka di Plered, sebuah tindakan yang merusak legitimasi spiritual keraton dan menimbulkan kebencian mendalam di kalangan elite agama dan masyarakat. Tindakan tirani ini juga didorong oleh ambisi Amangkurat I untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dan pragmatis dengan VOC, berharap VOC dapat membantunya mempertahankan kekuasaan absolut.
Kebencian terhadap Amangkurat I memuncak dalam pemberontakan besar yang dipimpin oleh Pangeran Trunojoyo, seorang bangsawan dari Madura. Pemberontakan ini didukung oleh berbagai elemen yang tidak puas, termasuk ulama yang selamat dari pembantaian dan bangsawan Jawa Timur. Pemberontakan Trunojoyo menjadi bencana bagi Mataram. Pada tahun 1677, ibu kota Plered jatuh dan dibakar, memaksa Amangkurat I melarikan diri ke barat.
Dalam pelarian, Amangkurat I meminta bantuan VOC yang dipimpin oleh Laksamana Speelman. Bantuan ini datang dengan harga yang sangat mahal: VOC menuntut imbalan berupa konsesi wilayah, pengakuan hutang, dan hak monopoli perdagangan yang lebih besar. Dengan bantuan VOC, Trunojoyo berhasil dikalahkan pada tahun 1679, tetapi kemenangan ini adalah kemenangan bagi VOC, bukan Mataram.
Setelah Amangkurat I wafat saat pelarian, putranya, Amangkurat II (bertahta 1677–1703), naik tahta. Karena ia hanya bisa merebut kembali keraton dengan bantuan VOC, Mataram secara efektif menjadi negara boneka di bawah pengaruh Belanda. Amangkurat II memindahkan ibu kota dari Plered yang hancur ke Kartasura, menandai babak baru ketergantungan. Perjanjian-perjanjian yang ditandatangani Amangkurat II menyerahkan hak monopoli garam, gula, dan tekstil kepada VOC, serta mengakui hutang perang yang sangat besar.
Abad ke-18 diwarnai oleh serangkaian Perang Suksesi Jawa, yang seluruhnya dipicu oleh sengketa tahta di mana VOC selalu bertindak sebagai penentu akhir. Setiap kali VOC membantu menaikkan seorang raja baru, mereka menuntut lebih banyak konsesi teritorial dan ekonomi, secara sistematis mengikis kedaulatan Mataram.
Kelemahan internal dan intervensi VOC mencapai puncaknya pada serangkaian konflik berdarah yang pada akhirnya memecah belah Mataram menjadi entitas-entitas kecil.
Dipicu oleh sengketa antara Amangkurat III dan pamannya, Pangeran Puger (yang didukung VOC dan diangkat menjadi Pakubuwono I). VOC berhasil menyingkirkan Amangkurat III. Pakubuwono I, sebagai raja yang diangkat Belanda, terpaksa mengakui semua konsesi sebelumnya dan memberikan wilayah Cirebon, Priangan, dan sebagian Jawa Timur kepada VOC.
Meskipun lebih singkat, konflik ini kembali menguras sumber daya Mataram. VOC semakin memperketat kontrolnya, menggunakan kekacauan suksesi sebagai alat untuk mendapatkan kendali penuh atas administrasi dan ekonomi Mataram.
Perang Suksesi terbesar dan paling menentukan adalah yang melibatkan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) melawan Susuhunan Pakubuwono II (yang didukung VOC). Pangeran Mangkubumi menentang kebijakan Pakubuwono II yang dianggap terlalu tunduk pada Belanda. Perang ini berlangsung hampir sepuluh tahun dan melibatkan strategi gerilya yang sangat efektif oleh Mangkubumi dan Sambernyawa.
Untuk mengakhiri perang yang berkepanjangan dan merugikan, VOC memaksa adanya negosiasi. Puncak dari negosiasi ini adalah Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini secara resmi membagi Kesultanan Mataram menjadi dua:
Pembagian ini, yang dikenal dalam sejarah Jawa sebagai Palihan Nagari (Pembagian Negara), adalah akhir resmi dari Mataram yang bersatu. Namun, VOC belum puas. Tiga tahun kemudian, pada 1757, melalui Perjanjian Salatiga, wilayah Surakarta dibagi lagi, menciptakan Kadipaten Mangkunegaran yang dipimpin oleh Raden Mas Said (Mangkunegara I).
Meskipun Mataram sebagai entitas politik tunggal telah tiada sejak 1755, warisan kultural, sosial, dan spiritualnya tetap hidup dalam wujud empat kerajaan penerusnya (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman). Keempat entitas ini dikenal sebagai Vorstenlanden (Negara Raja).
Pembagian Mataram menciptakan kompetisi budaya yang justru memperkaya tradisi Jawa. Kedua keraton, Yogyakarta dan Surakarta, berlomba-lomba dalam melestarikan dan mengembangkan seni, tarian, musik, dan bahasa Jawa halus.
Yogyakarta dikenal karena karakternya yang lebih lugas dan spiritualitas yang kuat, sering dianggap sebagai pelestari tradisi Mataram yang lebih murni, terutama karena Sultan Hamengkubuwono I adalah seorang pejuang yang berani menentang Belanda. Surakarta, di sisi lain, lebih dikenal karena kehalusan dan estetika keraton yang canggih.
Bahasa Jawa, dengan tingkatan bahasanya yang kompleks (terutama Krama Inggil dan Ngoko), adalah warisan administrasi Mataram yang kental. Mataram telah menyusun bahasa Jawa standar yang digunakan dalam komunikasi keraton dan birokrasi, yang kemudian dipertahankan dan diajarkan secara ketat di lingkungan keraton penerus. Etika unggah-ungguh (tata krama) dan konsep kebatinan (spiritualitas Jawa) yang berasal dari sinkretisme Mataram tetap menjadi fondasi moral masyarakat Jawa.
Tata kota Surakarta dan Yogyakarta mencerminkan kosmologi Mataram. Kedua kota dibangun berdasarkan konsep Catur Gatra Tunggal: keraton, alun-alun, masjid agung, dan pasar, yang semuanya terhubung secara simbolis dan fungsional. Alun-alun berfungsi sebagai ruang publik dan militer, masjid sebagai pusat spiritual, dan pasar sebagai pusat ekonomi. Tata ruang ini menunjukkan perencanaan yang cermat dan filosofi kekuasaan yang terpusat.
Untuk memahami Mataram secara menyeluruh, perlu dianalisis bagaimana para Sultannya mempertahankan kekuasaan mereka yang luas. Legitimasi Mataram berakar pada kombinasi kekuatan militer, klaim keturunan, dan konsep kosmik Jawa.
Dalam tradisi Jawa, seorang raja berkuasa karena ia menerima Wahyu Kedaton (Wahyu Keraton), yaitu semacam cahaya ilahi yang memberikan hak memerintah. Wahyu ini tidak stabil dan bisa berpindah jika raja kehilangan kesucian atau keselarasan kosmiknya. Konsep ini menjelaskan mengapa perebutan kekuasaan sering kali didahului oleh klaim spiritual dan mitologis, seperti cerita Panembahan Senapati yang bertapa dan bertemu dengan Ratu Pantai Selatan.
Meskipun telah memeluk Islam, raja-raja Mataram masih mempertahankan konsep ini, menggabungkannya dengan peran mereka sebagai Khalifatullah dan Sayidin Panatagama. Ini memungkinkan mereka mengklaim otoritas politik dan keagamaan secara simultan, menempatkan diri mereka di atas ulama-ulama regional.
Pusaka (benda-benda keramat) memegang peranan vital dalam legitimasi Mataram. Pusaka seperti keris, tombak, dan bendera tidak hanya dianggap sebagai benda bersejarah, tetapi sebagai perwujudan kekuatan spiritual kerajaan. Perebutan pusaka, seperti yang terjadi ketika Senapati mengambil pusaka dari Pajang, adalah tindakan politik yang sangat simbolis, menunjukkan pemindahan otoritas spiritual dari kerajaan yang lama ke kerajaan yang baru.
Setiap ritual keraton, dari penobatan hingga prosesi Grebeg, dipenuhi dengan simbolisme Mataram yang mendalam, dirancang untuk mengingatkan rakyat bahwa raja adalah pusat kosmik yang menjaga harmoni alam dan manusia.
Kekuatan Mataram sangat bergantung pada produksi beras yang melimpah di wilayah pedalaman. Mataram adalah sebuah kerajaan agraris yang menolak maritim. Kontrol atas lumbung beras Jawa Tengah dan Timur memberikan Mataram kekuatan populasi dan logistik yang diperlukan untuk menaklukkan wilayah pesisir. Kebijakan pertanian yang dikelola secara terpusat oleh Sultan Agung menjamin bahwa Mataram dapat mempertahankan angkatan perang yang besar dan membiayai proyek-proyek kultural yang megah.
Ironisnya, ketergantungan pada logistik beras ini juga menjadi kelemahan fatal Mataram saat menyerang Batavia. VOC menyadari bahwa merusak rantai pasokan beras adalah cara paling efektif untuk mengalahkan tentara Mataram tanpa perlu pertempuran frontal besar-besaran.
Kesultanan Mataram Islam meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada peradaban Indonesia. Dari sebuah alas (hutan) Mentaok, ia tumbuh menjadi kekaisaran yang hampir menyatukan seluruh Jawa, menciptakan sistem politik, hukum, dan budaya yang unik. Masa Sultan Agung menjadi puncak kejayaannya, di mana ia tidak hanya berekspansi secara militer tetapi juga mereformasi waktu dan hukum untuk mencerminkan identitas Jawa-Islam yang baru.
Namun, kebijakan otoriter Amangkurat I dan serangkaian konflik suksesi yang berkepanjangan membuka pintu bagi intervensi VOC, yang pada akhirnya memecah Mataram menjadi empat bagian melalui Perjanjian Giyanti dan Salatiga. Meskipun terpecah, kerajaan-kerajaan penerus Mataram—Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman—terus memainkan peran vital sebagai penjaga utama budaya Jawa. Warisan Mataram bukan hanya tumpukan batu bata keraton yang megah, tetapi juga dalam etika, bahasa, seni pertunjukan, dan falsafah hidup yang terus dijunjung tinggi oleh jutaan masyarakat Jawa hingga hari ini.
Mataram adalah pelajaran berharga tentang kekuatan sentralisasi, adaptasi budaya, dan dampak tragis dari perpecahan internal di hadapan kekuatan kolonial yang terorganisir. Ia tetap menjadi rujukan utama ketika membahas akar sejarah, identitas, dan spiritualitas Jawa.
***
Sebagai pendiri de facto, fokus Senapati adalah meletakkan fondasi militer dan politik. Ia menggunakan Pajang sebagai batu loncatan. Strategi utamanya adalah penguatan spiritual di Imogiri dan penggunaan jaringan santri dan priyayi untuk memperluas pengaruhnya. Ia membangun legitimasi dari bawah, memanfaatkan keahlian dalam perang dan mistisisme Jawa. Tindakan paling signifikan adalah penolakan membayar upeti kepada Pajang dan pertempuran Jipang.
Periode ini adalah era ekspansionisme total. Fokus utama Agung adalah unifikasi (kesatuan). Ia menaklukkan Surabaya setelah pengepungan yang panjang, yang melibatkan rekayasa sungai dan bendungan untuk memotong pasokan air dan logistik kota tersebut. Selain itu, ia mengatur ulang seluruh sistem agraria di Jawa, menjadikan Mataram sebagai negara agraris-militer yang kuat. Kebijakan Tatanan Nagari (tata negara) yang ia buat menjadi cetak biru administrasi feodal Jawa selama berabad-abad.
Amangkurat I mewarisi kekaisaran yang besar tetapi memilih jalur tirani. Fokusnya bukan ekspansi, melainkan eliminasi ancaman internal. Pembantaian ulama di alun-alun Plered menjadi simbol ketidakpercayaan raja terhadap kekuatan Islam non-keraton. Kebijakan ini, yang melemahkan dukungan rakyat, berujung pada invasi Trunojoyo. Amangkurat I menjadi raja Mataram pertama yang secara terbuka dan fatal meminta bantuan VOC, menandai awal dari ketergantungan yang tidak terhindarkan.
Pemerintahan Amangkurat II didominasi oleh upaya pemulihan pasca-Trunojoyo. Ia adalah raja yang pindah ke Kartasura. Hubungannya dengan VOC sangat subordinatif. VOC menempatkan garnizun di Kartasura, secara simbolis dan praktis menunjukkan bahwa keraton Jawa telah kehilangan independensinya. Perjanjian-perjanjian yang ia tandatangani menyerahkan hak ekonomi dan politik penting kepada VOC sebagai ganti biaya bantuan perang.
Di bawah Sultan, peran Patih (Perdana Menteri) sangat krusial. Patih adalah kepala administrasi harian, jembatan antara raja dan priyayi. Ketika raja-raja Mataram pasca-Agung semakin lemah, peran Patih, seperti Patih Danurejo atau Patih Sindurejo, sering kali diintervensi oleh VOC, menjadikan Patih sebagai agen ganda antara kepentingan raja dan kepentingan Belanda. Stabilitas Mataram seringkali bergantung pada integritas dan kekuatan Patih.
Sistem irigasi Mataram, yang berpusat di sungai-sungai besar seperti Sungai Opak dan Progo, adalah pencapaian teknik sipil yang luar biasa. Raja-raja Mataram mengorganisasi gotong royong massal untuk membangun dan memelihara bendungan serta saluran air. Padi adalah mata uang, sumber daya strategis, dan komoditas perdagangan utama. Kontrol atas beras memungkinkan Mataram menahan pengepungan yang panjang atau membiayai kampanye militer di wilayah yang jauh.
Meskipun Mataram adalah kerajaan agraris, ia juga mengontrol perdagangan. Setelah menaklukkan pesisir, Mataram berusaha memonopoli komoditas seperti gula, kayu jati, dan rempah-rempah yang datang dari timur. Monopoli ini adalah sumber ketegangan utama dengan VOC. VOC ingin mengendalikan arus komoditas ini ke pasar global, sementara Mataram ingin mempertahankan kendali ekonomi internal. Konflik ini, yang pada akhirnya dimenangkan oleh VOC, secara perlahan mencekik Mataram secara finansial.
Rakyat jelata, atau kawula, tunduk pada sistem wajib kerja yang disebut kerigan. Ini bukan hanya wajib militer, tetapi juga tenaga kerja untuk proyek-proyek publik, seperti pembangunan jalan, irigasi, dan tentu saja, pembangunan keraton. Sistem ini, meskipun efektif dalam mobilisasi sumber daya, juga menjadi sumber ketidakpuasan rakyat dan eksploitasi di tangan para Adipati dan Priyayi lokal.
Mataram Islam tidak dapat dipisahkan dari tradisi mistis Islam, atau Tasawuf. Raja Mataram, termasuk Sultan Agung, sering dianggap sebagai wali (orang suci) atau setidaknya memiliki kedekatan spiritual yang luar biasa.
Para raja Mataram seringkali mengklaim silsilah spiritual yang menghubungkan mereka kembali ke para Wali Songo. Klaim ini memberikan legitimasi keagamaan yang tak terbantahkan di hadapan rakyat Jawa. Tempat-tempat suci, seperti kompleks makam Imogiri, yang didirikan oleh Sultan Agung, menjadi pusat ziarah yang menghubungkan penguasa yang masih hidup dengan nenek moyang suci mereka, memperkuat ikatan antara keraton dan spiritualitas rakyat.
Karya-karya sastra di keraton Mataram kaya akan ajaran tasawuf. Serat Centhini, meskipun diselesaikan di era pasca-Mataram, merupakan rangkuman dari pengetahuan mistis dan filosofis Jawa yang berkembang pesat di masa Mataram. Naskah-naskah ini membahas pencarian jati diri, hubungan antara manusia dan Tuhan, dan pentingnya keseimbangan antara lahir (duniawi) dan batin (spiritual).
Salah satu sumber konflik internal Mataram adalah perbedaan antara ulama yang diangkat dan dibiayai oleh keraton (yang cenderung mendukung sinkretisme dan kekuasaan raja) dan ulama di pedesaan (yang seringkali lebih puritan dan menentang campur tangan politik dalam agama). Pembantaian ulama oleh Amangkurat I adalah upaya dramatis untuk menghilangkan oposisi spiritual ini, namun justru memicu pemberontakan yang lebih besar dan mempercepat keruntuhan politik Mataram.