Kematian adalah kepastian yang tak terhindarkan bagi setiap jiwa. Dalam ajaran Islam, prosesi mengurus seseorang yang telah wafat, atau yang disebut sebagai mayit (jenazah), merupakan serangkaian kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang harus dilaksanakan oleh komunitas. Prosedur ini tidak hanya mencakup tata cara fisik, tetapi juga aspek spiritual, etika, dan penghormatan tertinggi terhadap tubuh yang telah ditinggalkan oleh ruhnya.
Artikel ini hadir sebagai panduan komprehensif yang mengupas tuntas segala hal terkait penanganan mayit, mulai dari momen-momen sakaratul maut, tata cara pemandian, pengafanan, shalat jenazah, hingga prosesi penguburan, termasuk pembahasan mendalam mengenai fikih dan adab yang menyertainya.
Fase sakaratul maut adalah saat di mana ruh mulai dicabut dari jasad. Ini adalah momen krusial yang menuntut perhatian dan penanganan spiritual yang sangat lembut dari orang-orang di sekitarnya. Etika dan sunnah yang dianjurkan dalam masa ini bertujuan untuk memudahkan proses keluarnya ruh dan memastikan akhir hayat yang baik (khusnul khatimah).
Talqin syahadat adalah membimbing orang yang sedang menghadapi kematian untuk mengucapkan kalimat tauhid, "Laa ilaaha illallah". Hal ini dilakukan dengan lembut, tidak memaksa, dan diulang dengan pelan di dekat telinga orang yang sakit. Rasulullah ﷺ bersabda, "Ajarkanlah kepada orang yang hampir meninggal di antara kalian: 'Laa ilaaha illallah'." Tujuannya adalah agar ucapan terakhirnya adalah kalimat yang paling mulia, yang menjadi kunci masuk surga.
Rasa sakit yang dialami oleh orang yang sedang sakaratul maut adalah pembersih dosa. Keluarga dan kerabat dianjurkan untuk mengingatkan hal ini, memberikan ketenangan, dan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, terutama surat Yasin, yang diyakini dapat meringankan proses pencabutan ruh.
Setelah ruh berpisah dari jasad dan kematian dipastikan, ada beberapa tindakan sunnah yang harus segera dilakukan terhadap mayit:
Empat pilar utama dalam pengurusan mayit yang bersifat fardhu kifayah, yang jika tidak ada yang melaksanakannya, seluruh komunitas akan berdosa, adalah:
Gambar: Prosesi pemandian jenazah yang dilakukan dengan kehati-hatian dan privasi.
Memandikan mayit adalah proses membersihkan jasad dari kotoran dan najis sebagai bentuk penghormatan terakhir. Proses ini harus dilakukan oleh orang yang berilmu, terpercaya, dan memiliki jenis kelamin yang sama dengan mayit, kecuali untuk suami-istri.
Persiapan yang matang sangat penting agar proses pemandian berjalan lancar dan penuh adab:
Proses pemandian harus dilakukan di tempat tertutup yang tersembunyi dari pandangan publik, menjamin privasi absolut mayit. Mayit diletakkan di atas dipan atau alas yang agak tinggi agar air kotor mudah mengalir.
Orang yang memandikan wajib berniat dalam hati melaksanakan fardhu kifayah memandikan mayit. Tutupi aurat mayit dengan kain tebal sejak awal. Pelaksana memakai sarung tangan untuk menjaga kebersihan dan adab.
Mayit diwudhukan sebagaimana wudhu shalat, namun tanpa berkumur dan memasukkan air ke hidung. Cukup membersihkan area wajah, tangan hingga siku, mengusap kepala, dan kaki hingga mata kaki. Niat wudhu dilakukan oleh orang yang memandikan.
Setelah selesai, tubuh mayit dikeringkan dengan handuk bersih secara hati-hati sebelum proses pengafanan. Jangan biarkan air menggenang di bawah tubuh mayit.
Jika mayit meninggal dalam kondisi hancur, terbakar, atau dikhawatirkan jasadnya akan rusak jika dimandikan dengan air, maka kewajiban mandi digantikan dengan tayammum. Tayammum dilakukan oleh orang yang memandikan, dengan mengusapkan debu suci ke wajah dan kedua tangan mayit.
Mengafankan adalah membungkus mayit dengan kain kafan yang bersih dan menutupinya secara sempurna. Ini adalah simbol kesederhanaan dan pengembalian diri kepada Sang Pencipta.
Kafan dipotong sesuai ukuran panjang mayit dan diberi wewangian (bubuk kapur barus) pada lapisan-lapisan kain, terutama di tempat sujud (dahi, telapak tangan, lutut, kaki).
Kain kafan perempuan lebih detail karena mencakup pakaian, demi menjaga kehormatan jasad.
Shalat jenazah adalah rukun ketiga dalam pengurusan mayit dan merupakan ibadah khusus yang tata caranya berbeda dengan shalat wajib lainnya. Shalat ini dilakukan tanpa ruku', sujud, atau tasyahud.
Posisi imam sangat penting dalam shalat jenazah:
Makmum berdiri di belakang imam, dianjurkan untuk berjamaah minimal tiga shaf agar mendapatkan keutamaan yang besar.
Shalat jenazah terdiri dari empat takbir, dan setiap jeda takbir diisi dengan bacaan khusus. Setiap gerakan tidak diikuti dengan mengangkat tangan kecuali pada Takbir pertama (Takbiratul Ihram).
Setelah niat, mengucapkan "Allahu Akbar" sambil mengangkat tangan. Dilanjutkan dengan membaca **Surat Al-Fatihah** (tanpa doa iftitah).
Mengucapkan "Allahu Akbar" tanpa mengangkat tangan. Dilanjutkan dengan membaca **Shalawat atas Nabi Muhammad ﷺ** (seperti shalawat yang dibaca dalam tasyahud akhir).
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad... (hingga akhir)
Mengucapkan "Allahu Akbar" tanpa mengangkat tangan. Dilanjutkan dengan **Doa untuk Mayit**. Doa ini adalah inti dari shalat jenazah, memohon ampunan dan rahmat bagi mayit. Jika mayit laki-laki, kata ganti yang digunakan adalah hu (dia laki-laki). Jika mayit perempuan, kata ganti yang digunakan adalah ha (dia perempuan).
Contoh Doa Ringkas:
Allahummaghfir lahu, warhamhu, wa ‘aafihi, wa’fu ‘anhu... (Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakanlah dia, dan maafkanlah dia...)
Jika mayit masih anak-anak, doanya berbeda, memohon agar ia dijadikan simpanan pahala dan pemberi syafaat bagi kedua orang tuanya.
Mengucapkan "Allahu Akbar" tanpa mengangkat tangan. Dilanjutkan dengan **Doa setelah Takbir Keempat**, biasanya berupa permohonan agar tidak dihalangi dari pahala mayit dan agar Allah tidak menyesatkan kita setelahnya.
Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlanaa wa lahu.
Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, mengakhiri shalat.
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilaksanakan untuk mayit yang berada di tempat yang jauh dan belum dishalatkan di tempat asalnya. Hukum pelaksanaannya diperselisihkan ulama, namun mazhab Syafi'i memperbolehkannya, terutama jika mayit tersebut adalah tokoh penting atau wafat tanpa sempat dishalatkan oleh kaum Muslimin di sana.
Menguburkan mayit adalah kewajiban terakhir dalam rangkaian fardhu kifayah, yang harus dilaksanakan segera setelah shalat jenazah. Proses ini harus dilakukan dengan adab dan penghormatan yang layak.
Mayit dibawa dengan cepat namun tidak tergesa-gesa. Mereka yang mengantar dianjurkan untuk merenungkan akhir kehidupan. Dianjurkan pula berjalan di depan jenazah, kecuali bagi orang yang berkepentingan langsung.
Ada dua bentuk utama liang lahat:
Setelah mayit diletakkan, liang lahat ditutup dengan batu atau papan, lalu ditimbun dengan tanah. Dianjurkan bagi setiap pelayat untuk ikut menimbun dengan setidaknya tiga genggam tanah.
Tinggikan gundukan tanah makam tidak lebih dari satu jengkal (sekitar 20 cm) sebagai tanda. Diberi penanda (nisyan) berupa batu di kepala dan kaki, tanpa hiasan yang berlebihan.
Gambar: Makam yang ditandai secara sederhana sesuai sunnah.
Talqin adalah anjuran untuk mengingatkan mayit setelah ia dikuburkan tentang kalimat tauhid dan prinsip-prinsip keimanannya, sebagai bekal menghadapi malaikat Munkar dan Nakir. Meskipun diperselisihkan para ulama, banyak ulama salaf yang menganggap talqin sebagai amalan yang baik, dengan tujuan menguatkan mayit dalam menjawab pertanyaan kubur.
Lafadz talqin biasanya berbunyi:
"Wahai hamba Allah, putra hamba wanita Allah... Ingatlah perjanjian yang pernah kau ikrarkan saat keluar dari dunia ini: Syahadat Laa ilaaha illallah..."
Pengurusan mayit tidak berhenti pada liang lahat. Ada banyak aspek fikih dan etika sosial yang harus diperhatikan oleh keluarga dan masyarakat, termasuk masalah ta’ziyah (melayat), meratapi, dan penanganan kasus-kasus khusus.
Ta’ziyah adalah memberikan dukungan dan penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, serta mengingatkan mereka untuk bersabar dan ridha terhadap ketetapan Allah.
Perbedaan antara tangisan wajar dan ratapan (niyahah) sangat fundamental dalam fikih. Menangis mengeluarkan air mata karena kehilangan adalah fitrah manusia dan diperbolehkan. Rasulullah ﷺ pun menangis saat putranya, Ibrahim, wafat.
Namun, meratapi (niyahah) adalah haram, karena melibatkan teriakan histeris, menyobek pakaian, menampar pipi, atau mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Tindakan ini menyiksa mayit dalam kuburnya.
Mayit yang meninggal di medan perang (syahid fi sabilillah) tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ia dikuburkan dengan pakaiannya berlumuran darah sebagai bukti kesyahidannya di Hari Kiamat. Namun, jika ia wafat bukan karena senjata musuh (misalnya sakit di luar medan tempur), ia tetap dimandikan dan dishalatkan.
Jika janin keguguran sudah berusia empat bulan (setelah ditiupkan ruh) dan memperlihatkan tanda-tanda kehidupan (walaupun hanya sesaat), ia wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Jika janin lahir kurang dari empat bulan, ia cukup dibungkus dan dikuburkan tanpa dimandikan dan dishalatkan.
Seorang Muslim tidak wajib memandikan, mengafankan, atau menshalatkan mayit non-Muslim. Kewajiban seorang Muslim adalah menguburkan mayit non-Muslim hanya jika tidak ada kerabatnya yang mengurus, demi menjaga kebersihan lingkungan dan kemanusiaan.
Pada dasarnya, menggali kubur kembali dan memindahkan mayit adalah makruh tahrim (mendekati haram), karena dapat menyakiti jasad mayit dan melanggar kehormatan kuburan. Namun, pemindahan atau penggalian diperbolehkan dalam keadaan darurat yang dibenarkan syariat, seperti:
Ketika seseorang meninggal, mayit meninggalkan harta dan tanggung jawab yang harus diselesaikan sebelum harta warisan dibagikan. Ini adalah prioritas syariat yang wajib dilaksanakan.
Harta peninggalan mayit (tirkah) harus digunakan sesuai urutan berikut, sebelum dibagikan kepada ahli waris:
Sangat dianjurkan bagi keluarga untuk segera mengumumkan dan melunasi hutang mayit, bahkan jika mayit tidak meninggalkan harta yang cukup. Jika mayit adalah orang fakir, hutangnya ditanggung oleh kaum Muslimin atau baitul mal (kas negara Islam). Hutang yang tidak terbayar akan memberatkan mayit di alam kubur.
Rangkaian proses pengurusan mayit, dari talqin hingga penutupan liang lahat, mengandung hikmah dan pelajaran mendalam bagi mereka yang masih hidup. Pengurusan mayit bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi merupakan sekolah spiritual yang mengajarkan tentang kehidupan dan kematian.
Proses melihat mayit, memandikannya, dan mengantar ke kubur mengingatkan setiap individu tentang kefanaan dunia. Ini mendorong introspeksi dan persiapan diri menghadapi akhirat (zuhud dan amal shalih).
Kain kafan yang seragam dan sederhana (putih, tanpa jahitan, tanpa perhiasan) menunjukkan bahwa di hadapan Allah, semua manusia sama. Kekayaan, pangkat, dan jabatan tidak lagi berarti setelah kematian.
Seluruh prosedur pengurusan mayit didasarkan pada prinsip penghormatan maksimal terhadap tubuh manusia. Pemandian yang tertutup, pengafanan yang rapi, dan peletakan di kubur yang menghadap kiblat menunjukkan betapa Islam menghargai jasad, meskipun ruh telah meninggalkannya.
Dalam praktiknya, sering muncul pertanyaan detail mengenai penanganan mayit. Bagian ini membahas beberapa kasus khusus yang memerlukan penanganan fikih spesifik.
Jika mayit memiliki luka yang parah atau penyakit menular (seperti COVID-19 atau penyakit kulit serius), kewajiban memandikan tetap berlaku. Namun, orang yang memandikan wajib mengambil tindakan pencegahan maksimal (menggunakan pakaian pelindung, masker, sarung tangan ganda). Jika dikhawatirkan pemandian akan merusak jasad, maka diperbolehkan menggantinya dengan tayammum.
Menurut sunnah, mayit dikuburkan langsung di tanah tanpa peti. Penggunaan peti mati hukumnya makruh, kecuali jika ada kebutuhan syar’i atau darurat, seperti:
Jika peti digunakan, mayit tetap harus diletakkan miring menghadap kiblat di dalam peti tersebut, jika teknis peti memungkinkan.
Jika mayit ditemukan dalam kondisi yang sangat sulit dikenali atau sudah rusak berat (misalnya korban ledakan atau tenggelam lama), penanganan yang dapat dilakukan adalah memandikannya jika memungkinkan. Jika tidak, maka cukup dibungkus rapat-rapat, dishalatkan (jika ia diketahui Muslim), dan segera dikuburkan.
Jika mayit benar-benar hilang dan tidak ditemukan jasadnya, keluarga tetap boleh melaksanakan shalat ghaib, serta mulai mengurus masalah waris setelah batas waktu yang ditetapkan oleh pengadilan (hakim) bahwa mayit dinyatakan meninggal secara hukum.
Jika seorang perempuan meninggal dunia dalam keadaan sedang haid atau nifas, maka mandinya (ghusl) yang dilakukan sebagai pengurusan jenazah sudah mencakup mandi hadas besar. Tidak diperlukan dua kali mandi yang terpisah.
Dalam masyarakat seringkali terdapat praktik-praktik adat yang menyertai pengurusan mayit, yang kadang bertentangan dengan sunnah. Penting bagi umat Islam untuk memisahkan antara ajaran agama yang murni dan tradisi lokal.
Tradisi berkumpul untuk membaca Al-Qur'an (seperti tahlilan) dan menyelenggarakan jamuan makan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, atau haul (tahunan) tidak memiliki dasar yang kuat dalam sunnah Nabi atau amalan para sahabat. Para ulama menganjurkan agar fokusnya adalah mendoakan mayit di waktu senggang tanpa membebani keluarga mayit dengan persiapan jamuan.
Sebaliknya, sunnah menekankan pada tetangga yang memberikan makanan kepada keluarga mayit. Jika keluarga ingin bersedekah atas nama mayit, sedekah itu harus diberikan kepada fakir miskin, bukan kepada mereka yang datang melayat.
Haram hukumnya mengapur, membangun, atau menembok kuburan. Rasulullah ﷺ melarang keras praktik meninggikan dan menghias kuburan karena dikhawatirkan akan menjurus pada pengagungan mayit dan syirik. Kuburan harus tetap sederhana, hanya ditandai dengan gundukan tanah dan satu atau dua batu penanda.
Meletakkan bunga di atas kuburan bukanlah tradisi Islam, meskipun hukumnya makruh (tidak haram) jika hanya bersifat dekoratif tanpa keyakinan ritual. Namun, meletakkan sesajen, makanan, atau dupa dengan keyakinan bahwa mayit atau ruhnya membutuhkannya adalah perbuatan bid'ah yang harus dihindari.
Untuk mencapai pemahaman yang paripurna mengenai fardhu kifayah ini, perlu diperdalam lagi aspek teknis dan spiritual dari memandikan dan mengafankan mayit.
Penggunaan air daun bidara (Sidr) sangat ditekankan karena daun ini dikenal memiliki kemampuan membersihkan yang baik dan aroma alami yang sejuk. Siraman bidara dilakukan setelah pembersihan najis, dan air kapur barus (Kaafur) digunakan pada siraman terakhir.
Kapulaga barus memiliki peran ganda: sebagai pengharum dan juga pengawet alami, yang membantu menjaga kesegaran tubuh mayit sebelum dikuburkan, terutama di iklim panas.
Jika setelah selesai dimandikan dan dikafankan, ternyata keluar najis lagi dari tubuh mayit (darah, nanah, kotoran), maka:
Jika mayit adalah korban kekerasan atau kecelakaan dan terus mengeluarkan darah, pemandian tetap dilakukan sebisanya. Jika darah tidak berhenti, bagian yang berdarah harus ditutup dengan perban medis atau kain kassa (sama seperti mengobati orang yang luka) sebelum proses pengafanan dimulai. Keutamaan pembersihan jasad dari najis harus diupayakan semaksimal mungkin sesuai kemampuan.
Kain kafan tidak boleh menggunakan jahitan. Namun, penggunaan kapas atau kain tipis untuk menutupi bagian sensitif seperti kemaluan (sebelum dibungkus kain kafan utama) adalah dianjurkan. Selain itu, penggunaan wewangian (hanuth) harus diletakkan pada organ sujud (dahi, hidung, telapak tangan, lutut, dan kaki) dan di bawah lengan. Benda lain seperti perhiasan, uang, atau jimat, haram diletakkan di dalam kafan.
Detail tata cara shalat jenazah juga memuat berbagai ketentuan agar pelaksanaannya sah dan sempurna.
Sunnah hukumnya menyegerakan pengurusan mayit, termasuk shalat jenazah. Namun, ada tiga waktu yang makruh (dihindari) untuk pelaksanaan shalat dan penguburan, yaitu saat terbit matahari, saat matahari di puncak (istiwa'), dan saat matahari tenggelam, kecuali jika ada kekhawatiran mayit akan membusuk jika ditunda.
Jika terdapat beberapa mayit dengan jenis kelamin berbeda yang dishalatkan bersamaan, mereka diletakkan sejajar. Mayit laki-laki diletakkan di sisi yang paling dekat dengan imam (arah kiblat) diikuti oleh mayit anak laki-laki, lalu mayit perempuan dewasa, dan terakhir mayit anak perempuan.
Rasulullah ﷺ menganjurkan agar shalat jenazah dilakukan dengan jumlah jamaah yang cukup besar dan dibagi menjadi tiga shaf (barisan) atau lebih. Hal ini didasarkan pada hadits yang menyebutkan bahwa mayit yang dishalatkan oleh tiga shaf akan diampuni dosanya. Jika jamaah sedikit, mereka harus berusaha membagi diri menjadi tiga shaf kecil.
Seluruh proses pengurusan mayit adalah pengingat bahwa tujuan hidup di dunia adalah beribadah dan mengumpulkan bekal. Kewajiban fardhu kifayah ini bukan hanya tentang ritual membersihkan jasad, melainkan tentang kewajiban spiritual kolektif untuk memastikan bahwa saudara kita kembali kepada Allah dalam keadaan yang paling terhormat dan sesuai dengan ajaran-Nya. Dengan memahami dan melaksanakan setiap tahap dengan baik, kita tidak hanya memenuhi hak mayit, tetapi juga menyiapkan diri sendiri untuk menghadapi giliran yang pasti akan tiba.