Satu kata, atau lebih tepatnya satu sapaan, merangkum seluruh spektrum kehidupan, harapan, dan filosofi masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara: Mejuah-juah. Lebih dari sekadar 'halo' atau 'selamat pagi', sapaan ini adalah representasi spiritual, sosial, dan fisik dari kondisi ideal seorang manusia dalam pandangan kebudayaan Karo. Menyebut Mejuah-juah berarti mendoakan kesehatan, kemakmuran, kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan yang lengkap bagi lawan bicara.
Eksplorasi mendalam terhadap kata keramat ini membawa kita langsung ke jantung Taneh Karo Simalem—Tanah Karo yang Sejuk—wilayah pegunungan subur yang dikelilingi oleh lanskap dramatis, di mana Gunung Sinabung berdiri sebagai penjaga sunyi. Budaya Karo, yang berbeda secara linguistik dan adat dari sub-etnis Batak lainnya, menyimpan kekayaan tradisi yang terstruktur rapi, di mana setiap aspek kehidupan diatur oleh Adat dan semangat kolektif yang berakar pada sapaan Mejuah-juah ini.
I. HAKIKAT DAN MAKNA FILOSOFIS MEJUAH-JUAH
Untuk memahami Mejuah-juah secara utuh, kita perlu memecah maknanya ke dalam beberapa dimensi, melampaui terjemahan literalnya. Akar kata Juah dalam bahasa Karo kuno memiliki konotasi jauh, bebas dari kesulitan, dan mencapai kondisi paripurna. Sapaan ini bukanlah sekadar keinginan, melainkan sebuah proklamasi spiritual yang dilepaskan ke alam semesta, memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa (Dibata) dan leluhur (Dibata Sidua Sada).
Dimensi Kesehatan Fisik dan Batin
Pada tingkat yang paling mendasar, Mejuah-juah adalah doa untuk kesehatan. Ini mencakup kesehatan fisik (Lias ate ras beluh) yang bebas dari penyakit, serta kesehatan batin. Bagi masyarakat tradisional Karo, penyakit bukan hanya masalah biologis, tetapi sering dikaitkan dengan ketidakseimbangan spiritual atau pelanggaran adat. Ketika seseorang disapa Mejuah-juah, ia diingatkan untuk menjaga harmoni antara tubuh, pikiran, dan rohnya, sebuah konsep holistik yang fundamental dalam pengobatan tradisional Karo (tabib/datu).
Dimensi Sosial dan Keseimbangan Adat
Secara sosial, Mejuah-juah berarti terciptanya kedamaian dan kerukunan antarindividu dan antarkeluarga. Kondisi ini hanya mungkin terwujud jika setiap anggota masyarakat menjunjung tinggi Adat dan mematuhi sistem kekerabatan Rakut Sitelu. Jika terjadi konflik atau perselisihan (ersingkelen), kedamaian akan hilang, dan status Mejuah-juah pun terancam. Oleh karena itu, sapaan ini adalah pengingat konstan akan kewajiban sosial dan tanggung jawab moral.
Dimensi Kemakmuran dan Kesuburan
Kesejahteraan material, terutama dalam konteks agraris Taneh Karo, juga termuat dalam sapaan ini. Mejuah-juah adalah harapan agar panen melimpah, ternak berkembang biak, dan keluarga mendapatkan rezeki yang berkah. Harapan ini seringkali diekspresikan bersamaan dengan harapan kesuburan bagi pasangan yang baru menikah, di mana mereka didoakan agar cepat mendapatkan keturunan yang akan melanjutkan Marga (Klan).
II. STRUKTUR ADAT: RAKUT SITELU DAN MARGA
Filosofi Mejuah-juah tidak akan pernah terpisah dari fondasi masyarakat Karo: sistem kekerabatan yang disebut Rakut Sitelu (Tiga Tali Pengikat). Sistem ini memastikan bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas dalam setiap upacara adat, sehingga harmoni sosial (Mejuah-juah) tetap terjaga.
A. Sistem Marga
Masyarakat Karo diorganisir berdasarkan sistem patrilineal yang ketat. Semua orang Karo berasal dari salah satu dari lima marga utama, yang dikenal sebagai Merga Silima: Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Masing-masing marga ini kemudian terbagi lagi menjadi ratusan submarga (misalnya, Ginting Suka, Sembiring Meliala, Tarigan Sibero). Prinsip yang paling sakral adalah larangan pernikahan sesama marga (ersumbang), yang dianggap sebagai pelanggaran adat berat yang dapat menghilangkan status Mejuah-juah seluruh keluarga.
B. Rakut Sitelu: Tiga Pilar Kekerabatan
Dalam setiap acara adat—baik suka (kerja adat si meriah) maupun duka (kerja adat si mate)—setiap orang Karo akan otomatis menduduki salah satu dari tiga posisi kunci, yang secara kolektif membentuk Rakut Sitelu:
- Kalimbubu: Pihak pemberi gadis (mertua). Mereka adalah pihak yang paling dihormati, dianggap sebagai dewa yang terlihat di bumi (Dibata ni Idah). Nasihat dan restu (pasu-pasu) dari Kalimbubu sangat menentukan kelangsungan acara dan keberkahan hidup seseorang. Mereka wajib dimuliakan dan dihormati sepenuhnya.
- Anak Beru: Pihak penerima gadis (menantu). Mereka adalah pelaksana adat, pihak yang bekerja keras, dan bertanggung jawab memastikan semua keperluan upacara terpenuhi. Anak Beru berfungsi sebagai 'tangan dan kaki' dalam setiap kegiatan, menjamin kelancaran acara. Hubungan antara Kalimbubu dan Anak Beru harus selalu dijaga dalam suasana harmonis untuk mencapai Mejuah-juah.
- Senina: Pihak se-marga atau saudara sekandung. Mereka adalah penopang moral dan material, memberikan dukungan finansial dan tenaga. Senina memastikan bahwa pihak yang mengadakan acara tidak merasa sendiri dan memiliki dukungan penuh dari komunitas marga.
Keseimbangan antara ketiga pilar ini adalah definisi sejati dari Mejuah-juah dalam konteks sosial. Jika salah satu pilar ini diabaikan, atau jika terjadi ketidakadilan, maka seluruh komunitas akan merasakan dampaknya, dan berkat (pasu-pasu) tidak akan turun secara sempurna.
C. Prinsip Kesopanan dan Penghormatan (Sumbang)
Untuk menjaga Mejuah-juah, masyarakat Karo diikat oleh aturan kesopanan yang ketat (Sumbang). Sumbang mengatur interaksi antarkeluarga dan antarjenis kelamin. Ini bukan sekadar etika, tetapi hukum adat. Contohnya, larangan bercanda berlebihan antara ipar perempuan dan ipar laki-laki (sumbang ndarami), atau kewajiban menggunakan bahasa yang sangat halus saat berbicara dengan Kalimbubu. Pelanggaran terhadap Sumbang akan merusak reputasi dan integritas seseorang, sehingga secara otomatis menghilangkan status Mejuah-juah yang mereka nikmati.
III. ARSITEKTUR RUMAH ADAT: MANIFESTASI FISIK MEJUAH-JUAH
Arsitektur tradisional Karo adalah salah satu warisan budaya yang paling mencolok dan filosofis. Rumah adat Karo, dikenal sebagai Rumah Adat Siwaluh Jabu (Rumah Adat Delapan Keluarga), adalah manifestasi fisik dari semangat komunal dan prinsip Mejuah-juah.
A. Siwaluh Jabu: Komunalitas di Bawah Satu Atap
Rumah adat ini adalah rumah panggung panjang yang dapat menampung hingga delapan keluarga (jabu) yang tinggal berdampingan tanpa dinding pemisah yang permanen, hanya sekat pembatas ruang tidur. Keunikan ini memaksa delapan keluarga tersebut untuk hidup dalam keharmonisan yang konstan. Mereka berbagi api, dapur, dan ritual harian. Kebutuhan untuk selalu hidup rukun dan toleran adalah praktik nyata dari Mejuah-juah.
B. Filosofi Konstruksi Tanpa Paku
Salah satu fakta paling menakjubkan dari Rumah Adat Siwaluh Jabu adalah bahwa ia dibangun hampir seluruhnya tanpa menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak kayu dan sistem sambungan yang sangat presisi (tangguk). Filosofi di baliknya sangat mendalam: paku melambangkan kekerasan dan perpecahan, sedangkan sambungan pasak melambangkan ikatan alami, fleksibilitas, dan kemauan untuk menyesuaikan diri—semua elemen esensial untuk menjaga kedamaian delapan keluarga yang tinggal di dalamnya.
C. Simbolisme Atap dan Ornamen (Gerga)
Atap rumah adat berbentuk pelana raksasa yang curam, melambangkan perlindungan dan kemuliaan. Di ujung atap seringkali terdapat ornamen kepala kerbau (Gerga) pada dinding luar rumah bukan hanya hiasan, tetapi narasi visual tentang kosmos Karo dan sistem kekerabatan. Setiap Gerga memiliki nama dan makna, seperti Gerga Tupak Siduadua (simbol keseimbangan) atau Gerga Pengeretret (simbol kekuatan). Semua ornamen ini bertujuan untuk mengundang berkat (pasu-pasu) dan memastikan rumah tersebut selalu Mejuah-juah dari segala malapetaka.
IV. WARISAN BUDAYA TAK BENDA: UIS GARA DAN KESENIAN
Aspek artistik kebudayaan Karo, dari tekstil hingga musik, berfungsi sebagai perangkat ritual yang integral dalam menjaga dan merayakan status Mejuah-juah dalam kehidupan sehari-hari dan upacara adat.
A. Uis Gara: Pakaian Kebesaran dan Doa
Uis Gara (Kain Merah) adalah tekstil tenun tradisional Karo. Dinamakan demikian karena warna merah sering mendominasi pola, meskipun warna lain seperti hitam, kuning, dan putih juga memiliki peran penting. Uis Gara bukan sekadar pakaian, melainkan simbol status sosial, identitas, dan doa yang diwujudkan dalam benang. Kain ini selalu hadir dalam setiap upacara adat, diberikan sebagai hadiah (tukko) dari Kalimbubu kepada Anak Beru, atau sebaliknya, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kekerabatan.
Setiap jenis Uis Gara memiliki fungsi dan makna yang spesifik. Misalnya:
- Uis Nipes: Digunakan oleh kaum wanita, seringkali diletakkan di kepala atau pundak, melambangkan kelembutan dan doa perlindungan.
- Uis Bekka Buluh: Kain yang lebih tebal, sering digunakan sebagai ikat pinggang, melambangkan kekuatan dan ketahanan.
- Uis Gara Ragi Idup: Kain ‘bermotif hidup’ yang sangat mahal dan sakral, hanya digunakan dalam upacara besar dan sering diberikan kepada pasangan yang sedang merayakan puncak kebahagiaan, memastikan kehidupan mereka selalu Mejuah-juah.
B. Musik dan Tarian Adat (Gondang dan Landek)
Musik Gondang adalah jantung dari upacara adat Karo. Alat musik utama adalah Sarune (instrumen tiup mirip oboe) dan set gendang yang kompleks. Musik ini tidak dimainkan untuk hiburan semata, tetapi berfungsi sebagai komunikasi ritual yang menghubungkan manusia dengan leluhur dan roh. Setiap jenis irama (Gondang) memiliki tujuan spesifik, misalnya Gondang Erkata Rende (untuk upacara suka cita) atau Gondang Perumah Begu (untuk memanggil roh).
Tarian tradisional Karo, atau Landek, dilakukan dengan gerakan yang lembut, anggun, dan penuh makna simbolis. Landek selalu diiringi oleh Gondang, dan tarian tersebut merupakan ekspresi visual dari kegembiraan komunal atau kesedihan kolektif. Ketika seorang Kalimbubu menari, itu adalah cara mereka memberikan restu (Mejuah-juah) kepada tuan rumah melalui gerakan tubuh yang halus. Tarian ini memastikan bahwa energi positif mengalir dalam upacara, menjauhkan malapetaka.
V. SIKLUS KEHIDUPAN DAN MEJUAH-JUAH
Konsep Mejuah-juah menemani setiap orang Karo dari lahir hingga kematian, membentuk etika, ritual, dan pandangan mereka terhadap alam semesta. Setiap tahapan kehidupan adalah sebuah transisi yang memerlukan ritual adat untuk menjamin kelancaran dan keberkahan.
A. Kelahiran dan Pemberian Nama (Nggeluh)
Ketika seorang anak lahir, ia segera didoakan agar selalu Mejuah-juah. Ada upacara khusus untuk mengumumkan marga dan hubungan kekerabatan anak tersebut, menegaskan posisinya dalam Rakut Sitelu. Pemberian nama seringkali melibatkan nama leluhur, memastikan ikatan spiritual dengan generasi yang telah mendahului.
B. Pernikahan (Erkata Sendi)
Pernikahan adalah upacara terpenting yang meregenerasi Rakut Sitelu. Pernikahan Karo (Adat Peradaten) adalah proses yang panjang dan berlapis, melibatkan banyak pertemuan antara Anak Beru, Kalimbubu, dan Senina. Inti dari upacara ini adalah penyerahan mahar adat (Tukur) dan pembagian Uis Gara. Restu dari Kalimbubu adalah kunci, dan pada saat restu diberikan, seluruh pihak berharap agar pasangan tersebut hidup dalam keadaan Mejuah-juah, memiliki rezeki, dan mendapatkan keturunan.
C. Kematian (Cawir Metua)
Bahkan dalam duka, Mejuah-juah tetap relevan. Kematian yang ideal adalah Cawir Metua, yaitu meninggal dalam usia lanjut setelah melihat cicit, dengan semua anak sudah menikah. Kematian semacam ini dirayakan sebagai pencapaian Mejuah-juah yang sempurna di dunia, dan upacara adatnya sangat meriah. Upacara ini memastikan roh orang yang meninggal (Begu) naik ke alam leluhur dan tidak mengganggu keturunan, sehingga keturunan yang ditinggalkan tetap Mejuah-juah.
VI. KULINER DAN GEOGRAFI TANEH KARO
Kesejahteraan (salah satu aspek Mejuah-juah) sangat bergantung pada sumber daya alam Taneh Karo. Dataran tinggi Karo Simalem terkenal dengan kesuburannya yang luar biasa, didukung oleh abu vulkanik Gunung Sinabung dan Sibayak.
A. Lada dan Buah-buahan Khas
Taneh Karo adalah lumbung sayur dan buah Sumatera Utara. Terkenal dengan jeruknya yang manis, markisa yang unik, dan kopi Arabika berkualitas tinggi. Kekayaan agraris ini memungkinkan masyarakat Karo untuk hidup Mejuah-juah secara ekonomi. Selain itu, rempah-rempah seperti andaliman (lada batak) adalah bumbu khas yang mendefinisikan rasa kuliner Karo.
B. Masakan Khas Karo (Tasak Telu dan Cimpa)
Kuliner Karo seringkali terkait erat dengan ritual adat:
- Tasak Telu: Secara harfiah berarti 'masak tiga'. Ini adalah hidangan ayam yang dimasak dalam tiga tahapan (dicampur dengan darah, dimasak dengan santan, dan dimasak dengan rempah-rempah), melambangkan tiga pilar Rakut Sitelu dan harmoni yang sempurna. Hidangan ini disajikan dalam acara-acara adat penting untuk memastikan keberkahan.
- Cimpa: Kue tradisional yang terbuat dari beras ketan, gula merah, dan kelapa, dibungkus dengan daun pisang. Cimpa selalu hadir dalam setiap perayaan adat sebagai simbol rasa syukur dan kebahagiaan. Menyajikan Cimpa adalah cara tuan rumah berbagi Mejuah-juah mereka dengan tamu.
- Gulai Kambi-kambing: Hidangan dari daging kambing atau babi (Babi Panggang Karo/BPK) yang kaya rempah, sering disajikan dengan sambal andaliman yang pedas.
VII. MEJUAH-JUAH DI ERA MODERN: PELESTARIAN DAN TANTANGAN
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, budaya Karo menghadapi tantangan besar. Migrasi ke kota-kota besar (Medan, Jakarta) menyebabkan disintegrasi parsial dari sistem Rakut Sitelu dan arsitektur rumah adat yang kini semakin jarang ditemukan.
A. Erosi Adat di Perkotaan
Di wilayah perantauan, sulit bagi masyarakat Karo untuk melaksanakan adat secara penuh karena keterbatasan waktu, biaya, dan kurangnya pemahaman generasi muda. Upacara pernikahan, misalnya, seringkali disederhanakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa makna mendalam dari Mejuah-juah—yang memerlukan interaksi intensif antar-pilar kekerabatan—akan tergerus menjadi sekadar sapaan hampa.
B. Pendidikan dan Regenerasi
Upaya pelestarian kini banyak berfokus pada pendidikan bahasa Karo (Cakap Karo) dan pengajaran Adat kepada generasi muda. Sekolah-sekolah dan sanggar seni budaya menjadi benteng terakhir untuk memastikan bahwa pemuda Karo memahami bahwa Mejuah-juah adalah filosofi hidup, bukan hanya kata-kata. Mereka diajarkan pentingnya ertutur (berkenalan dan menentukan posisi marga) bahkan di antara sesama perantau.
C. Bencana Alam dan Spiritualitas
Letusan Gunung Sinabung yang berulang kali mengharuskan ribuan warga Karo mengungsi adalah ujian spiritual yang berat. Dalam menghadapi bencana ini, semangat Mejuah-juah menjadi sangat penting. Ia berfungsi sebagai penguat mental, di mana solidaritas Rakut Sitelu diuji melalui bantuan dan dukungan kolektif bagi korban. Masyarakat kembali bersandar pada nilai-nilai leluhur untuk mencari kekuatan dan harapan di tengah kehancuran.
VIII. MEJUAH-JUAH SEBAGAI PEDOMAN ETIKA ABADI
Mencermati seluruh aspek budaya Karo, terlihat jelas bahwa Mejuah-juah berfungsi sebagai Pedoman Etika Universal bagi masyarakat tersebut. Ia mengikat kebahagiaan individu dengan kebahagiaan komunal. Prinsip ini dapat diuraikan lebih lanjut melalui tujuh dimensi utama yang harus dicapai oleh setiap individu untuk mencapai keberkatan penuh:
- Kesehatan Fisik (Kinindiken): Bebas dari penyakit dan memiliki kekuatan untuk bekerja.
- Kesejahteraan Material (Kekelengen): Memiliki cukup rezeki dan panen yang melimpah.
- Keseimbangan Rohani (Malu-malu): Memiliki rasa malu jika melanggar adat dan ketaatan spiritual.
- Kedamaian Sosial (Erkemalangen): Hidup rukun dengan tetangga dan anggota Rakut Sitelu.
- Keharmonisan Kekerabatan (Persadan): Menjalankan peran sebagai Kalimbubu, Anak Beru, atau Senina dengan sempurna.
- Keberkahan Keturunan (Sibayak): Memiliki anak cucu yang sukses dan sehat.
- Kehormatan dan Martabat (Sangap): Memiliki reputasi yang baik di mata komunitas.
Ketika seseorang telah mencapai ketujuh dimensi ini, barulah ia dapat dikatakan benar-benar Mejuah-juah. Sapaan ini, oleh karena itu, adalah pertanyaan sekaligus harapan: "Apakah Anda telah mencapai semua tingkatan kemuliaan ini?" dan "Semoga Anda mencapai semua tingkatan kemuliaan ini!"
Penguatan Identitas Lokal Melalui Bahasa
Dalam konteks linguistik, sapaan Mejuah-juah adalah penanda identitas yang tegas, membedakan Karo dari Batak Toba (yang menggunakan Horas), Simalungun (Ahoi), atau Mandailing (Juari). Ini adalah deklarasi kedaulatan budaya dan keunikan linguistik yang selalu dijunjung tinggi, terutama di tengah upaya standardisasi budaya nasional.
Penggunaan kata-kata dalam ritual adat juga mencerminkan upaya maksimal untuk menjaga kondisi Mejuah-juah. Misalnya, ketika meminta restu, kata-kata yang digunakan harus mengandung makna optimisme, penghormatan yang sangat tinggi, dan menjauhi segala bentuk kata-kata yang berkonotasi negatif atau sumbang. Hal ini menciptakan lingkungan verbal yang mendukung keberlanjutan harmoni.
IX. PERAN WANITA DALAM MEJUAH-JUAH
Walaupun sistem marga bersifat patrilineal, peran wanita dalam menjaga Mejuah-juah sangat krusial. Wanita Karo, terutama setelah menikah, adalah jembatan penghubung yang paling penting dalam sistem Rakut Sitelu. Seorang wanita yang menikah menjadi simbol ikatan antara dua marga. Statusnya sebagai ibu (Nande) menempatkannya sebagai pengajar adat pertama di rumah. Ia memastikan bahwa anak-anaknya menghormati Kalimbubu (mertua laki-lakinya) dan menghargai peran Anak Beru (saudara perempuannya yang menikah).
Secara tradisional, wanita juga bertanggung jawab penuh atas seni menenun Uis Gara. Menenun adalah tindakan yang sarat ritual, di mana setiap motif dan warna yang dipilih adalah doa bisu untuk kesejahteraan keluarga dan komunitas. Kualitas Uis Gara yang dihasilkan oleh seorang wanita mencerminkan status Mejuah-juah keluarganya.
Dalam konteks upacara duka, tangisan dan ratapan wanita Karo (Erkata) adalah ritual yang sangat penting. Melalui ratapan yang bernada, mereka tidak hanya mengekspresikan kesedihan, tetapi juga memuji hidup orang yang meninggal dan mendoakan agar rohnya mencapai tempat yang Mejuah-juah di alam baka, sambil meminta agar sisa keluarga yang ditinggalkan dilindungi. Ini menunjukkan bagaimana emosi yang paling intens pun diarahkan untuk mengembalikan keseimbangan dan harmoni.
X. FILOSOFI ALAM DAN KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal Karo sangat terikat pada alam (Juma – ladang). Konsep Mejuah-juah mencakup hubungan harmonis dengan lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara bijaksana, dan ada keyakinan bahwa jika alam dirusak, maka Mejuah-juah akan hilang.
A. Penghormatan terhadap Gunung dan Air
Gunung Sinabung dan Sibayak dianggap suci, penyedia kesuburan. Ritual persembahan (Erpangir Ku Lau) sering dilakukan di tepi sungai atau mata air sebagai tanda syukur dan permohonan agar air selalu jernih dan berlimpah. Keseimbangan ekologi adalah prasyarat untuk kesejahteraan komunitas.
B. Pertanian Tradisional (Sistem Tanam Tumpang Sari)
Cara bertani Karo yang memanfaatkan sistem tanam tumpang sari (erpangir) adalah contoh praktis dari prinsip keseimbangan. Mereka menanam berbagai jenis komoditas secara bersamaan (kopi di bawah naungan, cabai, dan sayuran di antara pohon buah). Praktik ini memastikan ketahanan pangan dan keanekaragaman, yang secara kolektif menjamin bahwa masyarakat Karo tetap Mejuah-juah meskipun satu jenis panen gagal.
XI. MEJUAH-JUAH SEBAGAI RESILIENSI BUDAYA
Sejak masa kolonial Belanda, hingga masa pergerakan nasional, dan kini di era teknologi, budaya Karo menunjukkan daya tahan yang luar biasa. Daya tahan ini disalurkan melalui sapaan Mejuah-juah.
A. Perlawanan dan Adaptasi
Pada masa perang kemerdekaan, semangat Mejuah-juah menjadi seruan bagi solidaritas. Kini, di tengah persaingan ekonomi global, sapaan ini menjadi identitas yang harus dipertahankan. Orang Karo yang sukses di perantauan selalu kembali ke akar mereka, membawa kekayaan mereka untuk membangun kampung halaman, karena mereka tahu bahwa kekayaan sejati adalah ketika komunitas mereka juga Mejuah-juah.
B. Media Digital dan Pelestarian
Upaya terbaru dalam pelestarian adalah penggunaan media sosial dan platform digital untuk mendokumentasikan upacara adat, mengajarkan Cakap Karo, dan menghubungkan komunitas Karo di seluruh dunia. Mejuah-juah diucapkan melalui gawai, memastikan bahwa tali persaudaraan tidak pernah terputus meskipun jarak memisahkan. Teknologi digunakan sebagai Anak Beru modern yang membantu melestarikan Adat.
XII. PENUTUP: HARAPAN ABADI TANEH KARO
Sebagai sebuah kata penutup, Mejuah-juah bukanlah sekadar warisan masa lalu; ia adalah kompas moral dan spiritual yang memandu masa depan masyarakat Karo. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai secara individu, melainkan harus dicapai secara komunal, melalui penghormatan terhadap leluhur, kepatuhan pada Rakut Sitelu, dan penjagaan terhadap alam.
Selama Gunung Sinabung masih berdiri gagah, selama Uis Gara masih ditenun, dan selama suara Sarune masih mengiringi Landek, maka semangat kolektif Taneh Karo akan terus membimbing generasi penerus untuk selalu hidup dalam kondisi yang paripurna, dalam kesehatan, kekayaan, dan kehormatan.
Semoga kita semua senantiasa berada dalam keadaan Mejuah-juah.