Visualisasi keadaan batin: Melankolia sebagai penopang kepala, merenungkan kedalaman eksistensi.
Melankolia adalah salah satu konsep tertua dan paling rumit dalam sejarah pemikiran manusia. Jauh sebelum istilah "depresi" masuk ke dalam leksikon psikologis, melankolia telah menjadi medan pertempuran bagi para filsuf, dokter, seniman, dan teolog. Ia bukan sekadar kesedihan biasa; ia adalah kondisi batin yang mendalam, suatu kerangka eksistensial, dan sering kali, sebuah sumber kreativitas yang luar biasa. Memahami melankolia berarti menelusuri sejarah peradaban dan bagaimana kita memandang batas antara penyakit mental dan kontemplasi filosofis.
Secara etimologi, istilah melankolia berasal dari bahasa Yunani Kuno, melas (hitam) dan kholē (empedu). Konsep ini berakar kuat pada teori humorisme Hipokratik, yang mendominasi kedokteran Barat selama lebih dari dua milenium. Empat humor—darah, flegma, empedu kuning, dan empedu hitam—diyakini mengatur kesehatan fisik dan temperamen psikologis seseorang. Kelebihan empedu hitam (black bile) diasumsikan menyebabkan keadaan murung, lamban, dan pemikiran yang terlalu serius atau kelam.
Namun, definisi historis ini jauh lebih luas daripada definisi klinis modern. Melankolia klasik mencakup spektrum yang luas, mulai dari penyakit mental yang melumpuhkan hingga sifat temperamental yang dimiliki oleh individu-individu berjiwa jenius. Inilah dualitas yang mendefinisikan seluruh sejarah melankolia: apakah ia kutukan yang harus diobati, atau anugerah yang harus dihargai? Jawabannya terletak pada bagaimana berbagai era menafsirkannya.
Perjalanan konsep melankolia adalah cerminan langsung dari perubahan peradaban. Setiap zaman memproyeksikan kecemasan dan aspirasinya sendiri pada kondisi batin ini, menjadikannya sebuah prisma yang melaluinya kita dapat memahami evolusi psikologi dan filosofi.
Dalam peradaban Yunani dan Romawi, melankolia adalah bagian integral dari diagnosis medis. Galen, mengikuti jejak Hipokrates, mengategorikannya sebagai penyakit yang disebabkan oleh dominasi empedu hitam, yang dianggap bersifat dingin dan kering. Pengobatan pada masa itu berfokus pada penyeimbangan humor melalui diet, olahraga, dan kadang-kadang, pengeluaran darah.
Namun, ada pengecualian penting yang sering dikutip: Problemata XXX, 1, yang secara tradisional dikaitkan dengan Aristoteles atau Lingkaran Peripatetik. Teks kuno ini mengajukan pertanyaan fundamental: Mengapa semua orang yang luar biasa dalam filsafat, politik, puisi, atau seni tampaknya melankolis?
Pertanyaan ini menggeser melankolia dari sekadar patologi (penyakit) menjadi temperamen yang berhubungan dengan keunggulan intelektual dan kreativitas. Individu yang terpengaruh oleh empedu hitam dianggap memiliki kedalaman refleksi yang tidak dapat dicapai oleh temperamen lain. Mereka memiliki kapasitas untuk kontemplasi yang intens, meskipun berisiko jatuh ke dalam kegilaan.
Selama Abad Pertengahan, pandangan medis kuno berinteraksi erat dengan teologi Kristen. Melankolia tidak hanya dilihat sebagai ketidakseimbangan humoral tetapi juga sebagai penyakit jiwa, atau bahkan dosa. Konsep acedia (kemurungan atau kelambanan spiritual) sering tumpang tindih dengan melankolia. Acedia adalah "setan siang hari," kondisi di mana seorang biarawan atau individu kehilangan sukacita dalam pekerjaan spiritual, merasa lesu, dan menolak cahaya ilahi.
Bagi gereja, melankolia yang patologis adalah bentuk putus asa atau kurangnya iman yang serius. Namun, bahkan di sini, ada perbedaan halus. Melankolia yang mengarah pada pertobatan yang mendalam (sebuah bentuk kesedihan yang saleh) diterima, sementara melankolia yang mengarah pada keputusasaan total dan penolakan terhadap anugerah Tuhan dianggap berbahaya. Abad Pertengahan menekankan aspek moral dan spiritual dari kondisi tersebut.
Periode Renaisans (khususnya abad ke-15 dan ke-16) menyaksikan rehabilitasi total terhadap melankolia, mengembalikannya ke kemuliaan yang diberikan oleh Aristoteles. Kebangkitan humanisme dan filosofi Neo-Platonis mengangkat melankolia sebagai tanda kejeniusan.
Dalam astrologi, planet Saturnus diasosiasikan dengan empedu hitam. Saturnus adalah planet yang lambat, berat, dan dingin. Ia menguasai para pemikir, para filsuf, dan mereka yang terbebani oleh kesadaran waktu (kronos). Para 'putra Saturnus' dianggap memiliki kecerdasan tajam dan keseriusan yang diperlukan untuk penemuan ilmiah dan seni, tetapi mereka juga rentan terhadap kekejaman nasib dan keputusasaan.
Manifestasi paling terkenal dari melankolia Renaisans adalah cetakan ukiran kayu karya Albrecht Dürer, Melencolia I (1514). Gambar ini menampilkan sesosok figur bersayap yang duduk, menopang kepala dengan tangan, dikelilingi oleh simbol-simbol pengetahuan dan pengukuran yang tidak digunakan: persegi ajaib, timbangan, alat tukang kayu.
Figur tersebut bukanlah pemalas, melainkan orang yang sangat cerdas yang, meskipun dikelilingi oleh semua alat untuk menguasai dunia, terhenti oleh pemikiran yang melumpuhkan. Ia terperangkap dalam kesadaran akan batas-batas pengetahuan manusia dan kefanaan eksistensi. Ini adalah momen kejeniusan yang terperangkap dalam refleksi tanpa akhir, mewakili tingkat melankolia yang paling ringan dan paling kreatif.
Dengan cara ini, Renaisans berhasil membagi melankolia menjadi tiga kategori: melankolia yang kasar (patologis), melankolia yang puitis (kontemplatif), dan melankolia yang ilmiah (filosofis).
Sejak abad ke-17, terutama dengan munculnya rasionalisme dan kedokteran ilmiah, konsep humorisme mulai ditinggalkan. Melankolia mulai dimaknai ulang sebagai "gangguan saraf" atau penyakit kejiwaan yang terpisah dari kejeniusan. Abad ke-19 menyaksikan pergeseran fokus dari etiologi kosmik (Saturnus) ke etiologi fisik dan psikologis.
Salah satu tonggak terpenting dalam pemahaman modern tentang melankolia adalah esai Sigmund Freud tahun 1917, Trauer und Melancholie (Mourning and Melancholia). Freud secara fundamental membedakan antara kesedihan (Trauer) dan melankolia.
Kesedihan adalah respons normal dan adaptif terhadap hilangnya objek yang dicintai (orang, pekerjaan, ideal). Dalam kesedihan, dunia luar menjadi miskin dan tidak menarik, tetapi ego (diri) tetap utuh. Individu menyadari apa yang hilang dan secara perlahan menarik energi psikis (libido) dari objek yang hilang tersebut, memungkinkannya untuk berfungsi kembali. Proses ini memiliki batas waktu dan penyelesaian.
Melankolia, sebaliknya, adalah respons patologis terhadap kehilangan. Di sini, kehilangan tidak disadari atau lebih abstrak (misalnya, kehilangan cita-cita, harga diri, atau kebebasan). Yang paling penting, dalam melankolia, yang miskin bukanlah dunia luar, melainkan ego itu sendiri. Energi psikis yang seharusnya ditarik dari objek yang hilang malah diarahkan kembali ke ego dan digunakan untuk mencerca diri sendiri.
Freud mendeskripsikan melankolia sebagai keadaan di mana individu mengalami celaan diri yang kejam, perasaan tidak berharga yang ekstrem, dan keinginan untuk dihukum. Ini adalah "bayangan objek yang jatuh ke atas ego." Analisis Freud inilah yang menanamkan benih bagi pemahaman klinis modern, yang kemudian berkembang menjadi diagnosis Depresi Mayor.
Saat ini, dalam sistem diagnosis seperti DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), istilah "melankolia" sebagian besar telah digantikan oleh "Depresi Mayor," atau lebih spesifik, subtipe depresi yang menunjukkan fitur melankolis yang parah (misalnya, anhedonia total, bangun pagi, agitasi psikomotor).
Ciri khas Melankolia Klinis (seperti yang didefinisikan dalam konteks modern) mencakup:
Namun, para filsuf dan kritikus budaya sering berpendapat bahwa dengan mengubah melankolia menjadi murni diagnosis klinis, kita telah kehilangan dimensi budaya dan filosofisnya yang kaya. Melankolia historis adalah kondisi yang memungkinkan untuk berkreasi dan merenungkan kefanaan; Depresi Mayor modern adalah penyakit yang melumpuhkan yang memerlukan intervensi medis. Perbedaan ini krusial dalam diskusi estetika.
Jam pasir merepresentasikan perhatian melankolis terhadap berlalunya waktu dan ketidakmampuan untuk bertindak saat kontemplasi berlangsung.
Jika melankolia telah dihapus dari buku pegangan klinis, ia masih bersemayam sebagai kekuatan estetika dalam budaya. Dari era Romantisisme hingga postmodernisme, melankolia menyediakan palet emosional yang kaya untuk eksplorasi batas-batas kesadaran dan keindahan tragis.
Abad ke-18 dan ke-19 adalah masa ketika melankolia menjadi mode dan bahkan status sosial. Gerakan Romantisisme, sebagai reaksi terhadap Pencerahan yang dingin dan rasional, memuliakan emosi yang intens, termasuk kesedihan, kerinduan, dan rasa kehilangan.
Para penyair Romantik melihat alam sebagai cermin dari jiwa yang bergejolak. Melankolia mereka sering kali berpusat pada kegagalan ideal yang agung, kesadaran akan kefanaan, dan kerinduan akan era yang telah berlalu. Lord Byron dan John Keats, misalnya, sering mengeksplorasi "kesenangan kesakitan" dan keindahan yang lahir dari kerapuhan. Melankolia di sini adalah bahan bakar bagi lirik yang paling menyentuh.
Puitika melankolis berpendapat bahwa hanya melalui pengakuan mendalam terhadap kesedihan dan keterbatasan manusia, kita dapat mencapai keindahan yang transenden. Kesedihan yang cerdas ini berbeda dari kesedihan yang bodoh; ia adalah kesedihan yang tahu mengapa ia sedih.
Di abad ke-20, melankolia sering diartikulasikan melalui tema alienasi dan keretakan struktural. Para penulis seperti Marcel Proust (dengan pencarian waktu yang hilang) dan Charles Baudelaire (dengan konsep Spleen) menggunakan melankolia sebagai lensa untuk menganalisis kehidupan urban yang modern dan terfragmentasi.
Baudelaire mendefinisikan Spleen (empedu) sebagai bentuk melankolia eksistensial, rasa jijik yang melumpuhkan terhadap kehidupan sehari-hari dan kebosanan yang tak terhindarkan dari eksistensi modern. Spleen adalah musuh abadi dari Idéal, keadaan di mana bahkan matahari paling cerah pun tampak diselimuti oleh selubung hitam batin. Ini bukan lagi melankolia yang menghasilkan jenius, tetapi melankolia yang membusukkan jiwa di tengah kota yang ramai.
Melankolia memiliki hubungan intrinsik dengan nostalgia—kerinduan yang menyakitkan untuk kembali ke rumah atau masa lalu yang tidak lagi ada, atau mungkin tidak pernah ada. Dalam sastra, tokoh melankolis sering kali adalah penjaga memori, individu yang menolak untuk melepaskan objek atau masa lalu yang hilang, sebagaimana dikemukakan Freud. Mereka berdiam di ambang batas antara masa lalu dan masa kini.
Musik mungkin adalah medium yang paling murni untuk mengekspresikan melankolia. Nada minor, tempo lambat, dan harmoni yang disonan secara tradisional dikaitkan dengan kesedihan dan perenungan. Dari requiem klasik, blues Amerika (yang secara harfiah diciptakan dari rasa kehilangan dan kepedihan), hingga genre modern seperti shoegaze dan trip-hop, melankolia adalah struktur dasar.
Filosofi musik melankolis berpendapat bahwa mendengarkan musik sedih sebenarnya dapat menjadi katarsis. Dengan memproses kesedihan dalam bentuk seni yang aman dan terkendali, pendengar dapat mencapai rasa pembersihan emosional tanpa harus menderita konsekuensi dunia nyata dari kesedihan tersebut. Ini adalah paradoks melankolia: penderitaan yang indah.
Di luar diagnosis klinis dan interpretasi seni, melankolia tetap menjadi topik filosofis yang vital. Para filsuf sering kali melihatnya bukan sebagai kegagalan mental, tetapi sebagai bentuk kesadaran yang tinggi, sebuah respons yang rasional terhadap kondisi fundamental manusia.
Inti dari melankolia filosofis adalah pengakuan yang menyakitkan terhadap kefanaan. Manusia melankolis adalah orang yang sangat menyadari bahwa semua yang indah akan memudar, semua proyek akan berakhir, dan waktu akan melahap segalanya. Kesadaran akan Vanitas (kesia-siaan) ini tidak selalu mengarah pada keputusasaan, tetapi sering kali mengarah pada keheningan kontemplatif.
Ini terkait dengan pemikiran tentang Kehampaan. Jika kita hidup dalam masyarakat yang terus-menerus menuntut optimisme dan produktivitas, melankolis adalah suara yang menolak ilusi ini. Mereka melihat retakan di fasad dunia dan memahami bahwa makna bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan di tengah keacakan kosmik.
Dalam pemikiran kontemporer, melankolia juga dikaitkan dengan etika tanggung jawab, terutama dalam konteks sosial dan politik. Para ahli teori seperti Judith Butler telah membahas "melankolia politik," di mana masyarakat secara kolektif berjuang untuk memproses kehilangan politik atau sosial (misalnya, kegagalan revolusi, hilangnya identitas budaya yang stabil).
Melankolia ini menjadi sumber kritik. Karena individu melankolis tidak dapat melepaskan objek yang hilang, mereka terus menanggung beban sejarah dan ketidakadilan masa lalu. Keengganan untuk "move on" ini menjadi penolakan etis terhadap narasi kemajuan yang dangkal. Melankolia memaksa kita untuk mengingat apa yang telah kita hilangkan dan mengapa itu penting.
Bagaimana melankolia termanifestasi dalam era informasi dan konektivitas instan? Meskipun kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat, tampaknya ada peningkatan bentuk melankolia modern yang didorong oleh teknologi dan perubahan sosial yang cepat.
Media sosial adalah mesin nostalgia yang kuat. Melalui "Throwback Thursday" atau fitur memori otomatis, kita secara konstan disajikan dengan versi masa lalu yang terkurasi dan terideal. Ini menciptakan jenis melankolia baru—sebuah kerinduan untuk kembali ke momen-momen yang, ironisnya, hanya eksis sebagai data digital.
Melankolia digital sering kali berpusat pada rasa kehilangan identitas yang koheren. Dengan terus-menerus membandingkan diri kita (ego) dengan versi ideal yang kita sajikan di dunia maya, kita menghadapi ketidakmungkinan mencapai diri yang sempurna. Ini menimbulkan rasa kekosongan yang samar-samar dan menetap, mirip dengan deskripsi Freud tentang hilangnya objek yang tidak teridentifikasi.
Krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati telah memunculkan konsep "solastalgia" atau "melankolia ekologis." Ini adalah kesedihan yang dialami ketika lingkungan yang dicintai sedang dihancurkan, bukan melalui migrasi atau kehilangan rumah, tetapi karena lingkungan itu sendiri berubah menjadi sesuatu yang asing dan terdegradasi. Ini adalah bentuk kehilangan yang tidak memiliki ritual duka yang jelas, dan beban yang ditimbulkannya seringkali melumpuhkan.
Melankolia ekologis mewakili dimensi Saturnine modern—beban pengetahuan (ilmu iklim) tanpa kekuatan untuk mengubah nasib (waktu yang terus berjalan menuju kehancuran). Ini adalah kesedihan yang berorientasi pada masa depan, bukan hanya masa lalu.
Perdebatan abadi mengenai melankolia tetap sama: Apakah kita harus berusaha menyembuhkannya sepenuhnya, atau apakah ada nilai yang melekat dalam keengganan untuk melepaskan kesedihan yang mendalam?
Filosofi melankolis bertindak sebagai kritik terhadap tuntutan masyarakat modern akan kebahagiaan yang terus-menerus dan optimisme yang tidak beralasan. Optimisme paksa seringkali mengarah pada penolakan terhadap kenyataan yang sulit dan menghapus sejarah penderitaan.
Melankolia, sebaliknya, mengajukan perspektif yang lebih jujur dan realistis. Individu yang melankolis seringkali adalah mereka yang paling rentan terhadap kebenaran yang menyakitkan tentang dunia. Mereka memiliki kapasitas untuk melihat kekurangan dalam sistem, kegagalan dalam janji, dan kefanaan dalam segala hal yang mereka pegang. Dalam pandangan ini, melankolia adalah bentuk kejujuran intelektual.
Kembali ke ide Renaisans, melankolia yang dikelola—yang tidak melumpuhkan secara klinis—dapat menjadi sumber kreativitas yang tak tertandingi. Keengganan untuk melepaskan objek yang hilang dapat diubah menjadi dorongan untuk menciptakan monumen bagi kehilangan tersebut.
Artis dan pemikir melankolis sering kali memiliki fokus yang intens, kesabaran, dan kemampuan untuk menggali kedalaman emosi manusia yang tidak diakses oleh mereka yang selalu sibuk dengan kegembiraan superfisial. Mereka adalah penambang jiwa, yang bersedia menghadapi kegelapan untuk mencari permata kearifan yang tersembunyi.
Proses ini—dari empedu hitam yang menekan, menjadi kontemplasi Saturnine yang serius—membutuhkan energi mental yang besar. Melankolis tidak pasif; mereka adalah individu yang berjuang keras untuk menahan dan memproses beban eksistensi. Perjuangan ini, ketika disalurkan, menghasilkan karya-karya yang abadi, baik dalam filsafat, sains, maupun seni.
Melankolia juga mengajarkan seni penundaan. Berbeda dengan mania modern yang menuntut kecepatan, melankolia memaksa kita untuk melambat, merenungkan, dan menunda tindakan. Dalam penundaan itu terdapat ruang untuk analisis yang lebih dalam, yang seringkali menjadi prasyarat untuk pengambilan keputusan yang bijaksana. Ini adalah keheningan yang diperlukan sebelum sebuah wahyu datang, atau sebelum sebuah karya seni dapat diselesaikan dengan kedalaman yang memadai.
Melankolia bukanlah sekadar artefak sejarah atau diagnosis yang ketinggalan zaman; ia adalah bagian fundamental dari kondisi manusia, sebuah spektrum yang membentang dari patologi yang membutuhkan bantuan mendesak hingga temperamen yang memberikan karunia pandangan ke depan. Ia telah berubah namanya, definisinya, dan konotasi moralnya di sepanjang abad, tetapi esensinya tetap: kesadaran yang menyakitkan akan batas-batas keberadaan, waktu, dan kehilangan yang tak terhindarkan.
Di era yang didominasi oleh kecepatan, melankolia menawarkan jeda, sebuah undangan untuk merenung di bawah bayangan Saturnus, menerima bahwa tidak semua luka harus segera disembuhkan. Beberapa luka, jika dipelihara dengan hati-hati, dapat menjadi jendela menuju kebenaran yang lebih dalam. Dengan menghargai dimensi estetika dan filosofisnya, kita tidak memuliakan penderitaan klinis, melainkan mengakui bahwa ada kekayaan dan kearifan yang terkandung dalam kesedihan yang kontemplatif.
Kisah melankolia adalah kisah yang tidak pernah selesai, karena selama manusia masih berjuang dengan ingatan, harapan yang hancur, dan berlalunya waktu, empedu hitam akan terus mengalir, menciptakan seniman, filsuf, dan jiwa-jiwa yang terbebani oleh pemikiran yang terlalu berat untuk dunia ini. Ia adalah pengingat bahwa di balik tawa dan kesibukan, ada dimensi realitas yang hanya dapat dilihat melalui mata yang telah lama akrab dengan air mata. Warisan melankolia adalah warisan kesadaran yang tak terhindarkan.
Keseluruhan diskursus ini menunjukkan bahwa melankolia menawarkan lebih dari sekadar diagnosis; ia menawarkan sebuah kerangka untuk memahami kompleksitas diri dan dunia. Untuk benar-benar memahami melankolia, kita harus menahan dorongan untuk menguranginya menjadi gejala tunggal dan malah merangkulnya sebagai rekan perjalanan historis kita, sebuah suara yang bisu namun resonan, yang mengingatkan kita pada keindahan tragis dari eksistensi manusia yang terikat waktu. Ia adalah guru yang keras, tetapi pelajarannya tentang kefanaan dan kedalaman batin adalah abadi.
Kehadiran abadi melankolia dalam seni, dari musik yang paling menghantui hingga karya sastra yang paling kompleks, membuktikan bahwa manusia tidak akan pernah sepenuhnya siap untuk melepaskan beban pemikiran yang terlalu berat. Justru dalam penolakan pelepasan itulah kita menemukan ketahanan paling aneh dan mendalam: kemampuan untuk mencintai, meskipun kita tahu bahwa apa yang kita cintai pasti akan hilang. Melankolia, pada akhirnya, adalah cinta yang menolak untuk mati, meskipun objek cintanya telah tiada.
Ia juga berfungsi sebagai barometer sosial. Ketika melankolia menyebar, itu sering menandakan bukan hanya penderitaan individu, tetapi juga krisis dalam sistem nilai kolektif—hilangnya keyakinan pada masa depan, kegagalan ideal politik, atau hilangnya koneksi yang bermakna dalam masyarakat yang semakin terisolasi. Oleh karena itu, memperhatikan melankolia adalah bentuk aktivisme pasif, sebuah cara untuk menyuarakan ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi realitas yang ada.
Melalui sejarah panjangnya—dari humor, planet, dosa, hingga ego—melankolia telah mengajarkan kita bahwa kedalaman sering kali beriringan dengan kegelapan. Untuk meraih kearifan sejati, seseorang harus berani menatap kekosongan, menerima kehancuran, dan menemukan keindahan dalam reruntuhan. Ini adalah pelajaran yang disampaikan oleh para putra dan putri Saturnus selama berabad-abad, sebuah resonansi yang masih bergema dalam keheningan saat kita duduk dan merenungkan beban dunia yang berat ini, menopang kepala kita dengan tangan, persis seperti figur di ukiran Dürer.
Dalam kontemplasi mendalam ini, kita menemukan paradoksnya: bahwa kondisi batin yang paling dekat dengan keputusasaan ini, justru adalah sumber dari pandangan yang paling tajam. Ia adalah pengakuan terakhir bahwa menjadi manusia berarti berduka atas kehilangan yang tak terhindarkan, dan bahwa dalam dukacita yang dihayati dengan penuh kesadaran, terdapat martabat yang melampaui kebahagiaan sesaat. Melankolia adalah jembatan menuju pemahaman diri, sebuah ruang yang tenang di mana jiwa manusia bernegosiasi dengan kefanaan.
Melankolia tidak pernah dapat sepenuhnya dipisahkan dari aspirasi manusia untuk makna. Ia muncul ketika ada jarak yang tidak teratasi antara cita-cita yang tinggi dan kenyataan yang rendah. Jarak ini adalah tempat kreativitas sejati bersemayam. Ia adalah pengakuan bahwa meskipun kita tidak dapat menghentikan waktu atau memulihkan kehilangan, kita dapat mengubah penderitaan menjadi sebuah narasi yang abadi, sebuah warisan puitis yang memberikan bentuk pada pengalaman manusia yang paling sulit dipahami.
Penelitian historis dan filosofis mengenai melankolia secara kolektif menantang narasi kesembuhan yang cepat. Mereka menyarankan bahwa mungkin tujuan kita bukanlah untuk menghapus melankolia dari jiwa, melainkan untuk belajar hidup bersamanya, menggunakannya sebagai kompas internal yang menunjuk ke kedalaman dan kerentanan kita. Dengan demikian, melankolia menjadi semacam kekebalan spiritual—penolakan untuk puas dengan jawaban dangkal, dan komitmen abadi untuk mengeksplorasi bayangan yang dilemparkan oleh keberadaan itu sendiri.
Akhirnya, mari kita akui peran melankolia sebagai penjaga kebenaran historis. Ia adalah penolakan untuk melupakan korban, kegagalan, dan tragedi yang telah membentuk sejarah kita. Di sinilah letak kekuatan etisnya yang paling besar: dalam kemampuannya untuk menanggung beban memori, dan dalam keseriusan tak tergoyahkan yang dibutuhkan untuk berduka atas dunia, baik yang telah hilang maupun yang sedang kita bangun.
Dengan semua kompleksitasnya, melankolia tetap menjadi salah satu kata yang paling sarat makna dalam bahasa manusia. Ia adalah refleksi mendalam, estetika yang memilukan, dan pengakuan historis bahwa ada aspek-aspek dalam pengalaman batin kita yang menolak untuk diklasifikasikan sebagai murni sakit atau murni sehat. Melankolia adalah keindahan dari kesedihan yang tercerahkan.