Melayu Kalimantan: Penjaga Tradisi di Jantung Borneo

I. Geografi dan Asal-Usul Kekerabatan Melayu

Melayu Kalimantan merujuk pada kelompok etnis yang secara linguistik dan kultural memiliki kemiripan dengan Melayu di Semenanjung dan Sumatera, tetapi memiliki ciri khas yang diadaptasi dari lingkungan Borneo. Mereka mayoritas mendiami wilayah pesisir dan muara sungai-sungai besar, yang secara historis menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan kesultanan.

A. Pembagian Wilayah Etnis dan Sub-Etnis

Wilayah Melayu di Kalimantan terbagi berdasarkan bekas pusat-pusat kesultanan yang dominan. Secara garis besar, Melayu Kalimantan dapat dibagi berdasarkan lokasinya:

1. Melayu Kalimantan Barat (Kalbar): Terpusat di sekitar Kesultanan Pontianak, Sambas, dan Mempawah. Mereka memiliki interaksi budaya yang kuat dengan Dayak di pedalaman serta Tionghoa yang mendominasi sektor perdagangan. Dialek mereka cenderung memiliki kedekatan dengan Melayu Riau.
2. Melayu Kalimantan Selatan (Kalsel): Sering disebut sebagai suku Banjar. Meskipun Banjar memiliki identitas yang sangat spesifik, akarnya adalah campuran Melayu dengan elemen Dayak Bukit dan Jawa (Majapahit). Mereka adalah kelompok Melayu terbesar dan paling terorganisir secara historis melalui Kesultanan Banjar.
3. Melayu Kalimantan Timur (Kaltim): Berpusat pada Kesultanan Kutai Kartanegara, Paser, dan Berau. Budaya mereka menunjukkan akulturasi yang intens dengan Dayak Kutai dan Bugis.
4. Melayu Kalimantan Utara (Kaltara) dan Brunei/Sarawak: Kelompok Melayu di utara (seperti Bulungan) memiliki kekerabatan yang erat dengan Melayu Brunei, ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat dan sistem adat yang hierarkis.

B. Jejak Kerajaan Maritim Awal

Kehadiran Melayu di Kalimantan tidak lepas dari gelombang migrasi dan ekspansi kerajaan maritim. Jauh sebelum era kesultanan Islam, wilayah pesisir telah menjadi jalur pelayaran penting. Bukti arkeologis menunjukkan adanya kontak dengan kerajaan seperti Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Namun, identitas Melayu yang terdefinisi kuat mulai terbentuk seiring masuknya agama Islam pada abad ke-15 hingga ke-17, yang menjadi pilar pemersatu identitas budaya, hukum, dan politik.

C. Kesultanan-Kesultanan Melayu yang Berpengaruh

Eksistensi Melayu Kalimantan terukir melalui empat poros kekuasaan utama yang mengontrol perdagangan dan menetapkan hukum adat di wilayah mereka:

1. Kesultanan Banjar (Kalsel): Didirikan pada abad ke-16, menjadi pusat penyebaran Islam terpenting. Banjar terkenal dengan sistem irigasi, pertanian lada yang maju, dan perlawanan sengit terhadap Belanda (Perang Banjar). Identitas Banjar adalah perpaduan unik antara ajaran Islam, hukum adat Melayu, dan mitologi Dayak.
2. Kesultanan Kutai Kartanegara (Kaltim): Warisan dari kerajaan Hindu tertua di Indonesia (Kutai Martadipura), yang kemudian mengadopsi Islam. Kutai menjadi pusat budaya Melayu yang kaya di pantai timur, dengan tradisi keraton yang sangat kental dan kompleksitas upacara adat yang tinggi.
3. Kesultanan Pontianak (Kalbar): Didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada abad ke-18. Kota ini strategis karena terletak tepat di garis Khatulistiwa dan di pertemuan Sungai Kapuas. Pengaruh Arab dan Bugis sangat terasa dalam arsitektur dan struktur sosial Pontianak.
4. Kesultanan Sambas (Kalbar): Kekuatan maritim yang penting di ujung utara Kalbar, berbatasan langsung dengan Sarawak. Sambas dikenal dengan kain tenunnya yang indah dan tradisi istana yang terjaga ketat.

II. Struktur Sosial, Hukum Adat, dan Agama

Masyarakat Melayu Kalimantan sangat dipengaruhi oleh sistem hierarki yang diwariskan dari era kesultanan. Meskipun sistem kerajaan telah berakhir, sisa-sisa struktur sosial ini masih terlihat dalam sebutan gelar dan penghormatan terhadap keturunan bangsawan (Pangeran, Gusti, Syarif).

A. Stratifikasi Masyarakat Tradisional

Secara umum, masyarakat Melayu Kalimantan terbagi menjadi tiga lapisan utama, yang mempengaruhi status sosial, hak waris, dan pernikahan:

• Golongan Bangsawan/Darjah (Kerabat Diraja): Keturunan langsung sultan atau raja, biasanya menggunakan gelar seperti Pangeran (Banjar), Sultan (Kutai), atau Syarif/Syarifah (Pontianak). Mereka adalah penjaga utama adat dan pusaka kerajaan.
• Golongan Orang Biasa (Rakyat Jelata): Kelompok terbesar yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan pedagang kecil. Meskipun tidak memiliki gelar, mereka sangat menghormati adat istiadat yang berlaku.
• Golongan Hamba Sahaya: Meskipun praktik perbudakan telah dihapus, secara historis terdapat golongan yang terikat pada bangsawan atau keraton, sering kali berasal dari tawanan perang atau mereka yang gagal melunasi utang.

Dalam komunitas Melayu di Kalimantan Barat, khususnya di daerah pesisir, terdapat pula penggolongan berdasarkan profesi dan asal-usul klan (misalnya keturunan Bugis, Tionghoa, atau Arab yang telah berasimilasi menjadi Melayu).

B. Hukum Adat dan Musyawarah

Hukum adat, yang sering kali disebut Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (Adat berlandaskan hukum agama, hukum agama berlandaskan Al-Qur'an), merupakan pedoman utama dalam kehidupan sosial. Hal ini berarti aturan adat yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.

Pelaksanaan hukum adat diurus oleh lembaga adat setempat, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat bergelar Penghulu Adat atau Tetua Kampung. Beberapa aspek yang diatur ketat dalam adat meliputi:

1. Perkawinan: Prosedur lamaran (Bapantun), penentuan mahar (Jajuluk), dan larangan-larangan pernikahan antara klan tertentu.
2. Warisan (Faraidh): Meskipun Islam menyediakan hukum waris yang jelas, adat seringkali memberikan penekanan khusus pada kepemilikan benda pusaka dan tanah ulayat.
3. Denda Adat (Patisan): Hukuman non-yudisial bagi pelanggaran ringan seperti perkelahian atau pencemaran nama baik, biasanya berupa pembayaran sejumlah uang atau barang kepada pihak yang dirugikan atau diserahkan kepada kas desa.

C. Peran Vital Sungai dalam Kehidupan Sosial

Tidak seperti Melayu di Semenanjung yang fokus pada laut, kehidupan Melayu Kalimantan berpusat pada sungai. Sungai (seperti Kapuas, Barito, Mahakam) adalah jalan raya utama, sumber mata pencaharian, dan penentu lokasi permukiman. Rumah-rumah tradisional (Rumah Adat) sering dibangun di tepi sungai atau bahkan di atas air (seperti yang terlihat pada arsitektur Banjar, Rumah Lanting).

Interaksi sosial terjadi di pasar terapung (Pasar Terapung), di mana pertukaran barang, informasi, dan perjodohan terjadi. Kebiasaan ini menciptakan budaya komunal yang erat, di mana tetangga sangat bergantung pada fungsi sungai sebagai penghubung mereka.

III. Adat Istiadat dalam Siklus Kehidupan

Adat Melayu Kalimantan sangat kaya dengan ritual yang menandai setiap tahapan penting kehidupan, mulai dari kelahiran hingga kematian. Ritual-ritual ini sering memadukan unsur Islam dengan kepercayaan animisme lokal yang diwariskan dari interaksi dengan suku Dayak.

A. Kelahiran dan Masa Anak-Anak

Upacara yang paling umum ditemui dalam menyambut kelahiran anak adalah Aqiqah dan Bercukur, sesuai tuntutan syariat Islam. Namun, ada ritual adat yang memperkuat keselamatan bayi:

• Batimbang Anak (Menimbang Anak): Di beberapa wilayah Banjar dan Kutai, bayi 'ditimbang' dengan berbagai benda berharga atau perlengkapan shalat. Ritual ini bertujuan agar anak memiliki bobot kebaikan dan keberkahan dalam hidup.
• Mandi Bunga Tujuh Rupa: Setelah masa nifas ibu berakhir, baik ibu maupun anak dimandikan dengan air kembang tujuh rupa, dipercaya membersihkan aura negatif dan menguatkan semangat (roh) anak.
• Sunat Rasul/Khitanan: Diadakan secara meriah, seringkali diiringi dengan pertunjukan musik tradisional. Sebelum khitan, anak laki-laki diarak keliling desa sebagai simbol transisi menuju kedewasaan dan tanggung jawab agama.

B. Upacara Pernikahan (Gawian)

Pernikahan adalah puncak dari rangkaian adat Melayu dan seringkali menjadi perayaan terlama. Prosesnya bisa memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan negosiasi antar keluarga yang rumit:

1. Badatang (Lamaran): Keluarga pria datang membawa sirih pinang dan membicarakan niat baik. Di Melayu Pontianak, percakapan ini sering berbentuk pantun yang saling berbalas.
2. Bapantat (Penentuan Mahar): Penentuan jumlah mahar yang sering kali mencakup uang, emas, dan beberapa properti adat. Di Banjar, mahar disebut Jajuluk atau Pemberian.
3. Malam Bainai/Berinai: Malam terakhir sebelum akad nikah, calon pengantin wanita dihiasi dengan inai (pacar) di kuku dan telapak tangan, melambangkan harapan akan kehidupan yang cerah dan subur.
4. Akad Nikah dan Bersanding: Setelah akad, dilakukan upacara Bersanding, di mana pasangan raja sehari duduk di pelaminan. Ritual ini disertai dengan upacara Pijak Telur atau Basuh Kaki yang melambangkan pengabdian.

C. Kematian dan Penghormatan kepada Leluhur

Masyarakat Melayu sangat menjunjung tinggi penghormatan terhadap orang yang meninggal, dengan prosesi yang ketat sesuai syariat Islam, diperkaya dengan adat istiadat setempat. Prosesi meliputi:

• Malam Tahlilan dan Doa Arwah: Diadakan selama tiga, tujuh, empat puluh, atau seratus hari (tergantung tradisi lokal) setelah kematian. Keluarga besar berkumpul untuk membacakan Yasin dan tahlil.
• Ziarah Kubur: Secara berkala, terutama menjelang bulan Ramadhan, kuburan diziarahi dan dibersihkan.
• Selamatan (Haul): Peringatan tahunan terhadap tokoh ulama atau leluhur yang dihormati, seperti Haul Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kelampayan), yang menunjukkan kuatnya ikatan spiritual Melayu Kalimantan.

IV. Seni Pertunjukan, Kerajinan, dan Arsitektur

Kesenian Melayu Kalimantan merupakan hasil percampuran antara unsur Islami, kerajaan (keraton), dan pengaruh pribumi pedalaman. Estetika yang dominan seringkali menampilkan motif flora dan fauna yang disederhanakan, serta penggunaan warna-warna cerah yang berani.

A. Arsitektur Tradisional: Rumah Panggung

Ciri khas utama arsitektur Melayu di Kalimantan adalah Rumah Panggung. Struktur ini penting untuk menghindari banjir (mengingat lokasi di tepi sungai) dan melindungi dari serangan binatang buas. Variasi utama meliputi:

• Rumah Adat Banjar (Bubungan Tinggi): Atapnya sangat curam, mencapai kemiringan 45 derajat. Interiornya dibagi menjadi beberapa ruang fungsional seperti Palatar (teras) dan Panampik Bawah/Tangah (ruang tamu), yang menunjukkan fungsi sosial yang jelas.
• Rumah Adat Melayu Sambas/Pontianak: Memiliki bentuk memanjang dengan atap limas atau pelana. Rumah ini umumnya memiliki ukiran kayu yang halus dan tangga yang lebar sebagai simbol penyambutan.
• Istana Keraton Kutai: Meskipun mengalami modifikasi, Istana Kutai Kartanegara menunjukkan gaya arsitektur yang megah dengan penekanan pada ukiran naga dan ornamen emas, mencerminkan perpaduan Melayu-Dayak.

B. Seni Pertunjukan dan Musik

Seni pertunjukan Melayu Kalimantan didominasi oleh tari-tarian yang bersifat ritualistik atau hiburan kerajaan.

1. Tarian

Tarian sering kali lembut dan anggun, meskipun ada juga tarian perang yang dinamis, menunjukkan akulturasi dengan Dayak. Contohnya:

• Tari Jepen (Kutai/Kaltim): Tarian pergaulan yang dipengaruhi oleh budaya Melayu pesisir dan Timur Tengah (Zapin). Gerakannya lincah namun sopan, diiringi musik gambus.
• Tari Baksa Kembang (Banjar/Kalsel): Tarian penyambutan yang dibawakan oleh penari wanita yang membawa karangan bunga, simbol penghormatan tertinggi kepada tamu agung.
• Tari Zapin Melayu (Kalbar): Tari berpasangan yang merupakan warisan Arab-Melayu, menekankan pada ketangkasan kaki dan ritme yang cepat.

2. Alat Musik

Alat musik yang khas meliputi Gambus (alat petik seperti lute), Rebana (alat pukul islami), dan juga alat musik gong/tetabuhan yang dipinjam dari tradisi Dayak untuk menciptakan irama yang lebih kaya.

C. Seni Rupa dan Tekstil

Dua jenis kerajinan Melayu Kalimantan yang paling terkenal adalah Tenun dan Ukiran Kayu:

• Kain Sasirangan (Banjar): Kain tradisional khas Banjar yang dibuat dengan teknik jumputan atau ikat celup. Motifnya sangat terikat pada alam lokal, seperti Bintang Bahambur (bintang bertaburan) dan Ombak Sinamo (ombak kecil). Sasirangan tidak hanya estetis tetapi juga memiliki fungsi ritual, dipercaya dapat menyembuhkan penyakit tertentu.
• Kain Songket Sambas: Songket di Kalbar terkenal dengan penggunaan benang emas dan peraknya yang tebal, dengan motif seperti Tampuk Manggis atau Bunga Cengkeh, mencerminkan kekayaan kesultanan.
• Ukiran Kayu: Digunakan pada Rumah Adat, khususnya pada tiang penyangga dan daun pintu. Ukiran Melayu cenderung lebih halus dan simetris dibandingkan ukiran Dayak, seringkali memasukkan kaligrafi Arab.

V. Dinamika Bahasa dan Dialek Melayu Kalimantan

Meskipun secara umum menggunakan rumpun bahasa Melayu, setiap sub-etnis di Kalimantan mengembangkan dialek unik yang dipengaruhi oleh lingkungan lokal, migrasi suku lain, dan jalur perdagangan kuno. Perbedaan ini bukan hanya dalam kosakata, tetapi juga intonasi dan tata bahasa.

A. Dialek Melayu Banjar

Dialek Banjar adalah yang paling luas penyebarannya dan memiliki kekhasan signifikan. Dialek ini dikenal dengan tiga pembagian utama, meskipun perbedaannya subtle:

1. Banjar Hulu (Hulu Sungai): Intonasinya lebih cepat dan keras, dengan banyak sisa-sisa kosakata Dayak dan Jawa kuno.
2. Banjar Kuala (Banjarmasin dan Pesisir): Lebih halus dan telah banyak menyerap kosakata dari Melayu Riau, Bugis, dan bahkan Belanda, karena fungsinya sebagai pusat pelabuhan.

Ciri khas utama Banjar adalah penggunaan partikel penegas seperti '-kah' dan '-lah' yang sangat sering, serta perubahan vokal pada beberapa kata dasar. Contoh: "Kada" (Tidak) atau "Urang" (Orang).

B. Dialek Melayu Pontianak dan Sambas

Melayu di Kalimantan Barat memiliki dialek yang lebih dekat dengan Melayu baku (Malaysia/Riau), namun dengan intonasi yang khas. Melayu Pontianak terkenal dengan intonasi yang sedikit tinggi dan cenderung cepat.

• Melayu Sambas: Dikenal memiliki kosakata yang unik dan beberapa serapan dari Tionghoa Hakka dan Iban (Dayak Laut), karena kedekatan geografisnya.
• Ciri Khas Kalbar: Penggunaan kata ganti yang sederhana dan kecenderungan menghilangkan beberapa konsonan akhir (misalnya 'datang' menjadi 'datang').

C. Bahasa Melayu Kutai

Melayu Kutai, khususnya di kawasan Tenggarong dan Samarinda, menunjukkan adanya percampuran leksikon yang kental dengan bahasa Dayak Tunjung dan Benuaq. Terdapat kata-kata yang tidak ditemukan dalam Melayu standar. Bahasa Kutai juga memiliki varian berdasarkan hulu dan hilir sungai Mahakam.

Meskipun ada perbedaan dialek, kesamaan mendasar dalam tata bahasa dan sebagian besar leksikon memungkinkan komunikasi yang efektif antar kelompok Melayu di seluruh Borneo, menegaskan identitas mereka sebagai satu rumpun budaya besar.

VI. Ekonomi Tradisional dan Mata Pencaharian Melayu

Sejarah ekonomi Melayu Kalimantan adalah kisah tentang adaptasi terhadap lingkungan sungai dan hutan hujan tropis. Meskipun kini banyak yang bergerak ke sektor jasa, mata pencaharian tradisional tetap menjadi pondasi budaya.

A. Perdagangan dan Maritim

Melayu secara historis adalah pedagang dan pelaut ulung. Pusat-pusat kesultanan seperti Banjarmasin, Pontianak, dan Kutai adalah pelabuhan internasional yang menghubungkan Kalimantan dengan Jawa, Sulawesi, Malaka, Tiongkok, dan India. Komoditas utama yang diperdagangkan meliputi:

• Lada Hitam: Terutama dari Banjar, menjadi komoditas ekspor terbesar yang memicu Perang Banjar.
• Hasil Hutan: Sarang burung walet, kayu ulin, rotan, dan getah karet.
• Emas dan Intan: Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Selatan (Martapura) terkenal sebagai penghasil intan berkualitas tinggi.

B. Sistem Pertanian dan Perkebunan

Mata pencaharian di daerah hulu dan pedalaman adalah pertanian. Melayu dikenal sebagai petani padi yang terampil, menggunakan sistem irigasi sederhana yang diwarisi dari kerajaan masa lalu. Selain padi, mereka menanam komoditas ekspor seperti:

• Karet: Diperkenalkan pada masa kolonial, karet menjadi sumber pendapatan penting.
• Kelapa Sawit dan Kelapa: Di pesisir, kelapa dan produk turunannya menjadi andalan, serta penanaman kelapa sawit yang kini menjadi sektor modern utama.

C. Nelayan Sungai dan Pasar Terapung

Fungsi sungai sebagai "jalan raya" memunculkan profesi nelayan air tawar dan para pengrajin perahu. Budaya pasar terapung di Banjar adalah simbol ekonomi Melayu Kalimantan yang paling ikonik. Pasar ini tidak hanya tempat bertransaksi, tetapi juga pusat pertukaran sosial, di mana pedagang (kebanyakan perempuan) menjajakan hasil bumi mereka dari perahu-perahu kecil.

VII. Warisan Budaya dan Tantangan di Era Modern

Identitas Melayu Kalimantan kini menghadapi berbagai tantangan akibat globalisasi, modernisasi, dan perubahan ekologi di Borneo. Upaya pelestarian budaya menjadi sangat penting untuk menjaga kekayaan tradisi ini.

A. Pelestarian Pusaka Kerajaan

Peninggalan fisik kesultanan, seperti keraton, makam raja, dan benda pusaka (regalia), memerlukan perhatian khusus. Di Kutai Kartanegara, upaya restorasi benda pusaka seperti Mahkota Naga Erau dan meriam-meriam kuno terus dilakukan. Di Pontianak, replika Istana Kadriah menjadi pusat edukasi sejarah.

Pelestarian ini tidak hanya tentang bangunan, tetapi juga tentang revitalisasi upacara adat tahunan. Contoh paling menonjol adalah Festival Erau di Kutai, yang dulunya merupakan upacara penobatan raja dan kini menjadi festival budaya besar yang menampilkan tarian dan ritual kerajaan secara publik.

B. Dinamika Hubungan dengan Suku Dayak

Hubungan antara Melayu (penduduk pesisir dan sungai) dan Dayak (penduduk pedalaman) adalah hubungan simbiosis yang kompleks, yang telah berlangsung berabad-abad. Meskipun ada perbedaan historis dalam agama dan praktik adat, keduanya memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang kuat dan sering berbagi seni dan leksikon.

Di era modern, terjadi peningkatan kesadaran akan perlunya kolaborasi budaya. Festival-festival lokal seringkali menampilkan pertunjukan dari kedua suku secara berdampingan, menunjukkan persatuan Borneo.

C. Tantangan Lingkungan dan Modernisasi

Deforestasi dan eksploitasi sungai akibat pertambangan dan perkebunan skala besar mengancam mata pencaharian tradisional Melayu. Air sungai yang tercemar mengganggu nelayan dan mengubah struktur pasar tradisional. Selain itu, arus migrasi dari luar Kalimantan membawa bahasa dan budaya baru yang berpotensi mengikis penggunaan dialek lokal Melayu di kalangan generasi muda.

Pemerintah daerah dan komunitas adat berupaya mengatasi hal ini melalui program pendidikan yang memasukkan bahasa dan sejarah lokal ke dalam kurikulum sekolah, serta revitalisasi kerajinan tangan sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.

D. Revitalisasi Seni dan Adat

Upaya pelestarian mencakup:
1. **Regenerasi Seniman:** Mengadakan pelatihan bagi generasi muda untuk menguasai musik tradisional (Gambus, Sampek) dan tarian klasik. 2. **Penggunaan Sasirangan:** Mempromosikan kain Sasirangan sebagai pakaian wajib di kantor atau sekolah, memastikan motif dan teknik pembuatannya tetap hidup. 3. **Pendokumentasian Lisan:** Mencatat cerita rakyat, pantun (seperti pantun Melayu Sambas), dan petuah-petuah adat yang diwariskan secara lisan, untuk menghindari kepunahan.

VIII. Sastra Lisan, Petuah Adat, dan Keanekaragaman Kuliner

Budaya Melayu Kalimantan tidak hanya termanifestasi dalam fisik bangunan atau tari, tetapi juga dalam kekayaan intelektual berupa sastra lisan dan keunikan gastronomi yang dipengaruhi oleh hasil hutan dan sungai.

A. Tradisi Pantun dan Syair

Pantun adalah bentuk sastra lisan yang sangat populer. Di Kalimantan Barat, khususnya Sambas dan Pontianak, pantun menjadi bagian integral dari komunikasi sehari-hari, upacara lamaran, dan hiburan. Pantun sering digunakan untuk menyampaikan nasihat, cinta, dan humor, dengan bait yang berima A-B-A-B.

Selain pantun, tradisi Syair (seperti Syair Siti Zubaidah) juga populer, terutama di kalangan bangsawan, berfungsi sebagai media penyimpanan sejarah dan nilai-nilai moral Islam.

B. Cerita Rakyat dan Legenda

Setiap kesultanan memiliki legenda pendiriannya sendiri. Misalnya, legenda asal-usul Kesultanan Kutai yang terkait dengan tokoh mistis dan transisi dari Hindu ke Islam. Di Banjar, cerita-cerita tentang pahlawan Perang Banjar dan tokoh ulama karismatik seperti Datu Kelampayan sangat dihargai sebagai bagian dari identitas kolektif.

Kisah-kisah ini, yang sering disajikan dalam bentuk lisan, berfungsi sebagai mekanisme pendidikan moral dan pengikat kekerabatan. Mereka mengandung petuah-petuah adat (petuah bejabat) yang menekankan pentingnya kejujuran, gotong royong, dan penghormatan terhadap lingkungan alam.

C. Gastronomi Khas Melayu Kalimantan

Kuliner Melayu Kalimantan mencerminkan ketersediaan bahan lokal (ikan air tawar, rempah-rempah hutan, dan sagu) serta pengaruh India dan Arab yang datang melalui jalur perdagangan.

1. Kuliner Kalsel (Banjar):
   • Soto Banjar: Soto dengan aroma rempah yang khas, menggunakan suwiran ayam, perkedel, dan disajikan dengan kuah kental.
   • Mandai: Makanan fermentasi kulit cempedak yang menjadi lauk pauk khas.
   • Wadai (Kue) Khas: Seperti *Amparan Tatak* (kue pisang bersantan) dan *Bingka* (kue manis berbahan kentang atau labu).
2. Kuliner Kalbar (Pontianak/Sambas):
   • Choi Pan/Chai Kue: Meskipun dipengaruhi Tionghoa, ini telah menjadi makanan khas Melayu Kalbar, sering disajikan dengan bumbu pedas khas.
   • Bubur Pedas (Sambas): Bubur beras yang dicampur dengan berbagai sayuran, kacang, dan rempah-rempah yang kompleks, mencerminkan akulturasi budaya.
3. Kuliner Kaltim (Kutai):
   • Nasi Bekepor: Nasi yang dimasak dengan rempah-rempah dalam kuali (bekepor) dan ikan gabus (haruan).
   • Gence Ruan: Ikan gabus yang dimasak dengan bumbu cabai, jahe, dan kunyit, menunjukkan adaptasi dengan hasil tangkapan sungai Mahakam.

Penggunaan rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan serai sangat dominan, tidak hanya untuk rasa, tetapi juga dipercaya memiliki khasiat obat, menunjukkan kearifan lokal yang mendalam.

IX. Pendalaman Etnografi: Kekayaan Budaya Banjar (Kalsel)

Suku Banjar, sebagai representasi Melayu di Kalimantan Selatan, memiliki kompleksitas budaya yang unik. Mereka adalah hasil perpaduan tiga unsur utama: Melayu (historis dari Kerajaan Nan Sarunai dan pengaruh Sriwijaya), Dayak Bukit (yang menyumbangkan kearifan lokal tentang hutan dan pegunungan), dan Jawa (yang datang melalui Majapahit dan demografi perdagangan).

A. Sistem Kekerabatan dan Sifat Komunal

Sistem kekerabatan Banjar bersifat bilateral, namun terdapat penekanan yang kuat pada garis keturunan laki-laki dalam hal pewarisan gelar bangsawan (Gusti). Kehidupan komunal sangat dijunjung tinggi. Tradisi *Batatamba* (gotong royong membantu pekerjaan besar, seperti membangun rumah atau panen) adalah praktik yang masih dipegang teguh. Dalam pernikahan, seluruh komunitas desa sering terlibat dalam persiapan yang disebut *Gawian Basar*.

B. Seni Ukir dan Kayu Ulin

Rumah Banjar, yang sebagian besar terbuat dari Kayu Ulin (kayu besi) yang sangat keras, menunjukkan keahlian ukir kayu yang tinggi. Motif ukiran Banjar memiliki makna filosofis yang mendalam, seperti motif *Naga Badudung* yang melambangkan kekuatan spiritual dan penjagaan. Detail ukiran ini tidak hanya estetika, tetapi juga berfungsi sebagai ventilasi dan penolak bala.

Pembangunan rumah adat Banjar melalui beberapa tahapan ritual, dari memilih pohon (yang harus dilakukan dengan upacara khusus) hingga pemasangan tiang utama (disebut *Pasak Batu*), yang semuanya bertujuan meminta restu dari alam dan leluhur.

C. Sistem Pendidikan Agama Tradisional

Banjar dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius. Sistem pendidikan agama tradisional (Pesantren dan Surau) berkembang pesat sejak abad ke-17. Tokoh seperti Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (w. 1812) tidak hanya menyebarkan Islam tetapi juga menyusun hukum fiqih dan muamalah yang sangat relevan dengan konteks Kalimantan. Warisan intelektual ini masih dipelajari di surau-surau dan menjadi fondasi moral masyarakat Banjar.

D. Ritual Kematian Banjar yang Detil

Meskipun sesuai syariat Islam, upacara kematian Banjar memiliki keunikan. Misalnya, tradisi *Badudus* (mandi kembang) dilakukan terhadap jenazah sebelum dikuburkan. Setelah penguburan, terdapat ritual *Mambaca Talqin* yang sangat khusyuk. Peringatan tahlilan (3, 7, 40, 100 hari) disertai dengan pembacaan *Al-Barzanji* (riwayat Nabi Muhammad) yang khas dengan irama lokal.

X. Pendalaman Etnografi: Melayu Pesisir Kalimantan Barat (Kalbar)

Melayu di Kalimantan Barat, terutama yang berada di sekitar Pontianak, Mempawah, dan Sambas, memiliki perbedaan signifikan karena interaksi intensif dengan migran Bugis, Arab, dan Tionghoa, serta suku Dayak Iban dan Kantuk.

A. Akulturasi Arab dan Bugis

Pendirian Kesultanan Pontianak oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Arab Hadrami, meninggalkan jejak kuat. Nama-nama keturunan bangsawan menggunakan gelar Syarif/Syarifah. Arsitektur Masjid Jami Pontianak dan Istana Kadriah menunjukkan pengaruh gaya Timur Tengah dan Melayu klasik. Selain itu, migrasi Bugis sejak abad ke-17 juga membentuk komunitas Melayu Kalbar sebagai masyarakat maritim yang andal.

B. Seni Pertunjukan Zapin dan Silat

Zapin di Kalbar memiliki variasi yang unik. Ia lebih dinamis dan cepat dibandingkan Zapin di Riau. Tarian ini sering disandingkan dengan seni bela diri tradisional Melayu, yaitu *Silat*. Silat Melayu Pontianak dikenal dengan jurus-jurus yang lincah, sering ditampilkan dalam upacara perkawinan (sebagai penyambutan pengantin) dan festival kebudayaan.

C. Pantun dan Budaya Berbalas Kata

Di Sambas, budaya berbalas pantun (disebut *Bapantun*) adalah tradisi yang sangat dihormati. Ini bukan hanya hiburan, tetapi juga bentuk diplomasi dan negosiasi. Saat lamaran, keluarga calon mempelai pria dan wanita akan berbalas pantun untuk menegosiasikan mahar dan jadwal pernikahan, menunjukkan kecerdasan linguistik dan pemahaman adat.

Pantun juga digunakan dalam ritual *Beruji*, yaitu sejenis sayembara lisan yang menguji kemampuan improvisasi dan pemahaman terhadap adat. Kegagalan dalam berpantun dapat dianggap sebagai penghinaan adat.

D. Kerajinan Tenun Songket Sambas yang Eksklusif

Songket Sambas adalah salah satu warisan tekstil yang paling berharga. Ciri khasnya adalah penggunaan benang emas dan perak yang padat, menciptakan kain yang berat dan mewah. Motif seperti *Kembang Setangkai* dan *Rantai-Rantai* tidak hanya dekoratif, tetapi juga merupakan simbol status sosial. Proses menenun Songket Sambas sangat rumit dan hanya dilakukan oleh perempuan yang telah menguasai teknik turun-temurun, menjadikan kain ini sangat mahal dan eksklusif.

XI. Pendalaman Etnografi: Melayu Kutai dan Kekerabatan Timur (Kaltim/Kaltara)

Melayu di pantai timur dan utara Kalimantan (Kutai, Paser, Berau, Bulungan) terikat kuat oleh sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara dan memiliki interaksi yang unik dengan suku Bugis (migran dari Sulawesi) dan berbagai sub-suku Dayak.

A. Warisan Pra-Islam dan Tradisi Keraton Erau

Kutai memiliki keunikan karena mewarisi tradisi dari Kerajaan Kutai Martadipura (Hindu-Buddha). Ketika Islam datang, tradisi lama ini tidak sepenuhnya hilang, melainkan diakulturasi. Buktinya terlihat dalam upacara adat *Erau*.

Erau adalah ritual penobatan atau peringatan yang sangat besar. Puncak ritual Erau adalah *Belimbur*, yaitu acara perang air (siraman) yang melambangkan pembersihan diri dan penyucian. Meskipun Islam telah menjadi agama utama, ritual ini tetap dilakukan sebagai bagian dari adat keraton yang tak terpisahkan.

B. Bahasa Kutai dan Hierarki Kosakata

Bahasa Kutai memiliki sistem tingkatan bahasa yang mencerminkan hierarki sosial, mirip dengan bahasa Jawa atau Bali, meskipun tidak seketat itu. Terdapat kosakata khusus yang hanya digunakan saat berbicara dengan bangsawan atau orang yang lebih tua, menunjukkan penghormatan yang mendalam terhadap status sosial.

C. Kesenian Mamanda

Mamanda adalah teater rakyat khas Kutai (dan juga populer di Banjar). Pertunjukan ini merupakan drama panggung yang menggabungkan elemen komedi, pesan moral, dan musik tradisional. Mamanda sering menceritakan kisah-kisah kerajaan atau cerita rakyat yang heroik. Pakaian yang digunakan sangat mewah, menunjukkan pengaruh gaya keraton.

D. Struktur Permukiman Sungai Mahakam

Sepanjang Sungai Mahakam, pola permukiman Melayu Kutai berpusat di muara-muara anak sungai. Mereka membangun rumah panggung dengan orientasi menghadap sungai, menekankan pentingnya transportasi air. Komunitas-komunitas ini memiliki ketergantungan erat pada hasil sungai, memunculkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya air, seperti penggunaan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan.

XII. Epilog: Identitas Melayu Kalimantan sebagai Jembatan Budaya

Melayu Kalimantan adalah identitas yang dinamis, tidak statis. Ia merupakan jembatan budaya yang menghubungkan dunia maritim Nusantara dengan kekayaan alam pedalaman Borneo. Dari kemegahan arsitektur *Bubungan Tinggi* Banjar, keanggunan *Songket Sambas*, hingga ritual penyucian *Erau* Kutai, setiap elemen mencerminkan kemampuan adaptasi dan sintesis budaya yang luar biasa.

Warisan ini adalah aset nasional yang tak ternilai. Memahami Melayu Kalimantan berarti memahami bagaimana agama, politik kerajaan, dan kearifan lokal dapat berpadu, menghasilkan peradaban yang berakar kuat pada air dan tanah, tetapi terbuka pada arus global. Di tengah derasnya modernisasi, semangat untuk melestarikan bahasa, adat, dan seni tradisional Melayu Kalimantan adalah kunci untuk menjaga jantung budaya Borneo tetap berdetak.

Identitas Melayu Kalimantan adalah tentang sungai yang mengalir, membawa sejarah dari hulu ke hilir, memastikan bahwa tradisi para leluhur terus dikenang dan diwariskan kepada generasi penerus.