Dalam khazanah keilmuan dan praktik keagamaan Islam, terdapat sebuah konsep yang kaya akan makna spiritual dan kerap menjadi pusat diskusi di kalangan ulama serta umat, yaitu bertabaruk. Kata ini, yang berakar dari bahasa Arab barakah (بركة), secara etimologis mengandung arti pertumbuhan, peningkatan, kebaikan yang melimpah, dan keberlangsungan. Namun, dalam konteks keislaman, makna barakah melampaui sekadar pertumbuhan materi; ia mencakup dimensi spiritual, kebaikan yang tak terduga, dan berkah yang datang dari Ilahi. Bertabaruk, dengan demikian, adalah tindakan mencari, mengharap, atau mengambil berkah dari sesuatu atau seseorang yang diyakini memiliki nilai spiritual atau koneksi khusus dengan Allah SWT.
Konsep bertabaruk bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Ia telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat, dan terus berlanjut hingga kini dalam berbagai bentuk dan interpretasi. Namun, sebagaimana banyak aspek ajaran agama lainnya, praktik bertabaruk juga diwarnai oleh beragam pandangan dan perdebatan, terutama terkait batasan dan kekhawatiran akan terjatuh pada syirik (menyekutukan Allah). Artikel ini akan menyelami lebih dalam makna, dasar hukum, bentuk-bentuk praktik, serta perdebatan seputar bertabaruk, dengan tujuan memberikan pemahaman yang komprehensif dan seimbang bagi pembaca.
Kata "barakah" (بركة) berasal dari akar kata ba-ra-ka (ب ر ك) yang memiliki beberapa makna dasar dalam bahasa Arab klasik. Di antaranya adalah:
Dari makna-makna linguistik ini, "barakah" dalam konteks agama dimaknai sebagai kebaikan yang banyak, bertumbuh, dan bersifat ilahiah yang Allah tempatkan pada sesuatu. Kebaikan ini bukan hanya bersifat materi, tetapi juga spiritual, seperti ketenangan hati, kemudahan urusan, atau keberkahan waktu.
Adapun bertabaruk (التبرك) adalah sebuah kata kerja yang berarti mencari berkah, mengharapkan berkah, atau mengambil berkah. Ketika seseorang bertabaruk, ia sedang melakukan upaya spiritual untuk mendapatkan atau merasakan bagian dari kebaikan Ilahi yang diyakini melekat pada suatu objek, tempat, waktu, atau individu. Ini adalah tindakan proaktif yang dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah SWT dapat menyalurkan berkah-Nya melalui perantara tertentu.
Penting untuk digarisbawahi bahwa dalam pandangan mayoritas ulama, tindakan bertabaruk harus selalu diarahkan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya sumber berkah. Perantara hanyalah sabab (sebab) atau wasilah (perantara), bukan sumber kekuatan atau pemberi berkah itu sendiri. Kesalahpahaman dalam titik ini dapat menggeser praktik bertabaruk menjadi tindakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam kekuasaan-Nya untuk memberi dan menahan berkah.
Al-Qur'an seringkali menyebutkan kata "barakah" atau derivasinya untuk menjelaskan sifat-sifat Allah, nikmat-Nya, atau keberkahan pada ciptaan-Nya. Beberapa contohnya antara lain:
Ayat-ayat ini mengukuhkan bahwa konsep keberkahan adalah integral dalam pandangan hidup seorang Muslim, di mana Allah adalah sumber utama dari segala kebaikan dan pertumbuhan, dan Dia menyalurkan berkah-Nya melalui berbagai sarana yang telah Dia tentukan.
Praktik bertabaruk sangat jelas terlihat dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Banyak riwayat sahih yang mencatat bagaimana para sahabat berusaha mendapatkan berkah dari Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa bertabaruk, dengan batasan yang benar, bukanlah bid'ah (inovasi dalam agama) melainkan sunnah yang telah lama dipraktikkan:
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, "Ketika Rasulullah SAW mencukur rambutnya, Abu Thalhah adalah orang pertama yang mengambil rambutnya." Ini menunjukkan praktik para sahabat untuk mengambil berkah dari fisik Nabi SAW.
Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa para sahabat memahami berkah sebagai sesuatu yang dapat Allah tempatkan pada seorang hamba yang saleh, khususnya para Nabi, dan dari sana dapat berpindah atau dirasakan oleh orang lain yang berinteraksi dengannya dengan niat mencari berkah dari Allah.
Berdasarkan dalil-dalil syar'i dan praktik ulama salaf, ada beberapa kategori utama yang diyakini sebagai sumber keberkahan atau sarana untuk mencari berkah:
Allah SWT adalah sumber mutlak segala berkah. Nama-nama-Nya yang mulia (Asmaul Husna) juga mengandung keberkahan. Menyebut nama Allah (dzikrullah), membaca basmalah sebelum memulai sesuatu, dan memuji-Nya adalah bentuk bertabaruk yang paling fundamental dan universal.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an itu sendiri, Kitabullah adalah sumber berkah yang tak terhingga.
Keberkahan dari Nabi Muhammad SAW adalah salah satu sumber yang paling kuat dan banyak diriwayatkan.
Meskipun tidak ada riwayat sejelas Nabi Muhammad SAW, para Nabi dan Rasul lainnya juga diyakini memiliki keberkahan karena kedekatan mereka dengan Allah. Kisah Nabi Yusuf AS yang menyembuhkan mata ayahnya dengan bajunya juga sering dijadikan dalil akan keberkahan ini.
Para wali Allah, ulama, dan orang-orang saleh yang memiliki takwa tinggi juga diyakini dapat menjadi perantara berkah.
Beberapa tempat di muka bumi diberkahi secara khusus oleh Allah SWT.
Ada pula waktu-waktu yang Allah jadikan istimewa dan penuh berkah.
Pada akhirnya, amalan dan perbuatan baik itu sendiri adalah sumber keberkahan.
Praktik bertabaruk telah berkembang dalam berbagai bentuk seiring sejarah Islam, memicu beragam interpretasi dan perdebatan di kalangan ulama. Memahami nuansa ini adalah krusial untuk membedakan antara praktik yang diterima dan yang berpotensi menyimpang.
Secara umum, praktik bertabaruk dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:
Bentuk-bentuk ini pada dasarnya adalah ibadah yang disyariatkan dan secara inheren mengandung keberkahan dari Allah SWT.
Perdebatan utama seputar bertabaruk berkisar pada dua poros: kekhususan dan batasan:
Pandangan yang lebih hati-hati (seringkali diwakili oleh ulama Salafi/Wahabi) berpendapat bahwa praktik bertabaruk dengan fisik atau atsar Nabi Muhammad SAW adalah kekhususan beliau semata. Ini didasarkan pada posisi Nabi yang unik sebagai manusia terbaik dan Rasul terakhir, yang memiliki kedekatan tak tertandingi dengan Allah. Mereka berargumen bahwa menggeneralisasi praktik ini kepada orang saleh atau ulama setelah Nabi adalah bid'ah, karena tidak ada dalil yang sahih dari Al-Qur'an atau Sunnah yang menunjukkan bahwa para sahabat melakukan hal yang sama terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali, atau para Tabi'in terhadap sahabat senior.
Sementara itu, pandangan yang lebih luas (seringkali diwakili oleh ulama tradisionalis dan Sufi) berargumen bahwa jika Allah menempatkan berkah pada seseorang karena kesalehannya, maka secara prinsip berkah itu dapat dicari dari siapa pun yang memiliki derajat kesalehan tinggi, meskipun tidak selevel Nabi. Mereka seringkali mengutip ayat-ayat tentang keberkahan para Nabi lain atau kisah Nabi Yusuf sebagai dalil umum. Mereka juga memandang praktik para sahabat terhadap Nabi sebagai bentuk kecintaan yang mendalam dan pengakuan akan derajat spiritual yang tinggi, bukan semata-mata kekhususan fisik.
Ini adalah inti dari perdebatan. Semua ulama sepakat bahwa sumber berkah mutlak adalah Allah SWT. Bertabaruk yang dibolehkan adalah ketika seseorang meyakini bahwa objek atau individu tertentu hanyalah perantara atau sebab di mana Allah menempatkan berkah-Nya. Niat dan keyakinan hati menjadi sangat penting.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berkata, "Tawassul dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah diperbolehkan dalam doa, akan tetapi yang terbaik adalah berdoa langsung kepada Allah." Pandangan ini menunjukkan adanya kelapangan dalam bertabaruk melalui wasilah, selama tujuan akhirnya tetap Allah.
Kekhawatiran akan terjatuh pada syirik atau bid'ah ini yang mendorong banyak ulama untuk sangat berhati-hati dalam membahas dan mempraktikkan bertabaruk. Mereka menekankan pentingnya ilmu, niat yang benar, dan menghindari taklid buta atau mengikuti tradisi tanpa dasar yang kuat.
Agar praktik bertabaruk tidak menyimpang dari ajaran Islam dan benar-benar mendatangkan manfaat spiritual, ada beberapa adab dan etika yang perlu diperhatikan secara serius:
Niat adalah fondasi dari setiap amal ibadah. Dalam bertabaruk, niat harus murni untuk mencari berkah dari Allah SWT semata. Objek atau perantara hanyalah sebab yang Allah kehendaki sebagai jalan. Jangan sampai ada sedikit pun keyakinan bahwa objek tersebut memiliki kekuatan independen di luar kehendak Allah. Bertabaruk tidak boleh menjadi bentuk mencari manfaat dari benda mati atau makhluk, melainkan mencari manfaat dari Allah melalui benda atau makhluk tersebut.
Seorang Muslim harus memiliki pemahaman yang jelas tentang apa itu berkah, dari mana asalnya, dan bagaimana cara mendapatkannya sesuai syariat. Ketidaktahuan dapat dengan mudah mengarah pada praktik takhayul, khurafat, atau bahkan syirik. Belajarlah dari sumber-sumber yang sahih dan ulama yang kompeten untuk membedakan antara sunnah, bid'ah, dan syirik dalam konteks bertabaruk.
Salah satu bahaya terbesar dalam bertabaruk adalah pengkultusan objek atau individu. Meskipun seseorang atau suatu tempat memang diberkahi, pengagungan yang berlebihan (ghuluw) dapat mengubah penghormatan menjadi penyembahan. Contohnya, meyakini bahwa seorang wali dapat mengabulkan doa secara langsung tanpa perantara Allah, atau bahwa sebuah jimat memiliki kekuatan magis sendiri, adalah bentuk ghuluw yang mengarah pada syirik.
Bertabaruk tidak boleh membuat seseorang lalai dari beribadah langsung kepada Allah dan melakukan amal saleh. Berkah sejati datang dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mencari berkah melalui perantara adalah pelengkap, bukan pengganti dari shalat, puasa, sedekah, dan dzikir. Terlalu fokus pada perantara tanpa diiringi amal saleh adalah bentuk kesesatan.
Setiap praktik ibadah, termasuk bertabaruk, harus memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih. Jika suatu bentuk bertabaruk tidak memiliki dalil, apalagi jika bertentangan dengan prinsip tauhid atau sunnah, maka sebaiknya dihindari. Ini adalah prinsip ittiba' (mengikuti) dan menjauhi bid'ah (inovasi yang tidak syar'i).
Mengingat adanya khilafiyah di kalangan ulama mengenai beberapa bentuk bertabaruk, seorang Muslim harus bersikap lapang dada dan toleran terhadap perbedaan pandangan, selama semua pihak tetap berada dalam koridor ahlus sunnah wal jama'ah dan tidak saling mengkafirkan. Ini adalah bagian dari adab beragama dan menjaga persatuan umat.
Keberkahan yang paling hakiki adalah keberkahan dalam iman, ilmu, amal, waktu, keluarga, dan harta. Ini adalah keberkahan yang Allah berikan melalui ketaatan dan kesalehan hamba-Nya. Bertabaruk seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan tujuan itu sendiri. Ketika seseorang hidup dalam ketaatan, maka seluruh aspek kehidupannya akan Allah berkahi, tanpa perlu mencari-cari objek atau perantara yang tidak jelas dalilnya.
Di tengah modernitas dan kemajuan teknologi, konsep bertabaruk tetap relevan, meskipun mungkin mengalami pergeseran bentuk dan pemahaman di masyarakat. Bagaimana bertabaruk dapat dipahami dan dipraktikkan secara konstruktif di zaman sekarang?
Dalam dunia yang serba materialistis, bertabaruk mengingatkan kita akan dimensi spiritual kehidupan. Ini adalah pengakuan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu Allah SWT, yang memberikan segala kebaikan. Dengan bertabaruk, seseorang berusaha menjaga koneksi hati dengan sumber segala berkah, menguatkan tauhid, dan melawan arus sekularisme yang mengabaikan aspek transenden.
Kisah-kisah para sahabat yang bertabaruk dengan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi inspirasi untuk menghidupkan kembali semangat cinta dan penghormatan kepada Nabi, serta komitmen untuk mengikuti sunnah beliau. Namun, perlu diingat bahwa penghormatan ini harus diekspresikan dalam bentuk ketaatan dan mengikuti ajaran beliau, bukan dalam bentuk pengkultusan atau ritual yang tidak berdasar.
Alih-alih menjadi sumber perpecahan, bertabaruk seharusnya menjadi perekat umat. Ada banyak bentuk bertabaruk yang disepakati oleh seluruh mazhab dan ulama, seperti membaca Al-Qur'an, berdzikir, bershalawat, dan beramal saleh. Fokus pada bentuk-bentuk ini dapat memperkuat ikatan spiritual umat tanpa terjebak dalam perdebatan tentang masalah-masalah khilafiyah.
Sayangnya, di era kontemporer, tidak jarang konsep bertabaruk disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau eksploitasi spiritual. Penjualan jimat "berkah," air yang diklaim "suci" tanpa dasar yang jelas, atau ritual-ritual yang dikomersialkan atas nama keberkahan adalah contoh praktik yang harus diwaspadai. Umat harus cerdas dalam membedakan antara praktik yang sahih dan penipuan spiritual.
Di era informasi yang serba cepat, fokus pada keberkahan yang hakiki menjadi semakin penting. Keberkahan dalam waktu, kesehatan, keluarga, dan amal perbuatan jauh lebih esensial daripada sekadar mencari keberkahan dari objek fisik. Bertabaruk seharusnya mendorong seseorang untuk menjadi lebih produktif, lebih sabar, lebih bersyukur, dan lebih dekat kepada Allah, bukan justru menjadi alasan untuk bermalas-malasan atau menggantungkan nasib pada benda mati.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa berkah sejati terletak pada ketaatan dan kebersihan hati. Mengutip beliau, "Keberkahan bukanlah pada banyaknya sesuatu, tetapi pada kebaikan yang diletakkan Allah di dalamnya."
Secara keseluruhan, bertabaruk adalah konsep yang mendalam dan berharga dalam Islam. Ketika dipahami dan dipraktikkan dengan benar, ia dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperkuat iman, dan merasakan limpahan kebaikan dari-Nya. Namun, tanpa ilmu yang memadai, niat yang murni, dan kehati-hatian, praktik ini dapat menyimpang dan justru menjauhkan seorang hamba dari tujuan utamanya.
Bertabaruk, dalam esensinya, adalah sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan limpahan kebaikan Ilahi, yaitu barakah. Konsep ini bukan sekadar ritual tanpa makna, melainkan sebuah pengakuan tulus akan kekuasaan Allah sebagai satu-satunya sumber segala kebaikan, pertumbuhan, dan keberlangsungan. Sejak awal mula Islam, praktik ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan umat Muslim, mulai dari upaya para sahabat untuk mendapatkan berkah langsung dari fisik Rasulullah SAW hingga berbagai bentuk pencarian berkah melalui Al-Qur'an, tempat-tempat suci, waktu-waktu istimewa, dan amalan-amalan saleh.
Namun, kompleksitas konsep ini juga melahirkan berbagai interpretasi dan perdebatan, terutama terkait batasan dan kekhawatiran akan terjatuh pada syirik atau bid'ah. Inti dari semua perdebatan ini adalah menjaga kemurnian tauhid, memastikan bahwa segala bentuk pencarian berkah selalu diarahkan kepada Allah SWT, dan bahwa perantara hanyalah sebab atau wasilah, bukan sumber kekuatan itu sendiri. Niat yang benar, ilmu yang memadai, dan kehati-hatian dalam membedakan antara sunnah dan inovasi menjadi sangat krusial bagi seorang Muslim.
Di era modern ini, di mana godaan materialisme dan kerancuan spiritual semakin menguat, pemahaman yang benar tentang bertabaruk menjadi semakin penting. Ia berfungsi sebagai pengingat akan dimensi spiritual kehidupan, menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mendorong umat untuk mencari keberkahan sejati yang terletak pada ketaatan, kesabaran, dan syukur. Jauh dari praktik-praktik takhayul atau komersialisasi, bertabaruk yang benar adalah praktik yang memberdayakan iman, memperkaya jiwa, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Marilah kita senantiasa berusaha mencari keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita, tidak hanya melalui perantara fisik atau waktu, tetapi yang terpenting adalah melalui ketulusan ibadah, kejujuran dalam berinteraksi, dan konsistensi dalam berbuat kebaikan. Karena pada akhirnya, keberkahan sejati adalah ketika Allah meridhai setiap langkah dan amal perbuatan kita, menjadikan hidup kita berarti dan penuh manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga artikel ini memberikan pencerahan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep bertabaruk, mendorong kita untuk mempraktikkannya dengan bijak dan sesuai tuntunan syariat, serta menjauhkan kita dari segala bentuk kesesatan. Keberkahan senantiasa menyertai kita semua.