Memahami Fenomena Bertaklid Buta dalam Islam: Bahaya, Dalil, dan Jalan Tengah

Bab I: Pengertian Taklid dan Taklid Buta

Dalam diskursus keilmuan Islam, istilah "taklid" memiliki makna yang spesifik dan seringkali disalahpahami. Untuk memahami bahaya taklid buta, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengurai definisi taklid secara etimologi dan terminologi, serta membedakannya dari praktik mengikuti ulama yang dibenarkan dalam syariat.

1.1 Definisi Taklid Secara Bahasa dan Istilah

Secara bahasa (etimologi), kata "taklid" berasal dari bahasa Arab قلد (qallada) yang berarti mengalungkan sesuatu pada leher, meniru, atau mengikuti. Ada pula makna "mengikuti tanpa mengetahui alasannya."

Secara istilah (terminologi), para ulama memiliki sedikit perbedaan dalam redaksi, namun substansinya serupa:

• Menurut mayoritas ulama ushul fiqh: Taklid adalah menerima perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Definisi ini mencakup taklid yang terpuji maupun yang tercela, bergantung pada konteks dan siapa yang bertaklid.
• Menurut sebagian ulama: Taklid adalah mengikuti pendapat orang lain yang bukan hujjah (bukan dalil syar'i) tanpa mengetahui alasannya. Definisi ini cenderung lebih fokus pada taklid yang tercela.

Dari dua definisi ini, intinya adalah "mengikuti tanpa dasar pengetahuan dalil." Ini adalah poin krusial yang membedakan taklid dari ittiba' (mengikuti berdasarkan dalil) dan ijtihad (penelusuran dalil untuk menghasilkan hukum).

1.2 Perbedaan Taklid yang Dibolehkan/Wajib dan Taklid Buta

Tidak semua taklid itu buruk atau terlarang. Dalam Islam, ada jenis taklid yang tidak hanya dibolehkan, bahkan bisa menjadi wajib bagi sebagian golongan. Perbedaannya terletak pada siapa yang bertaklid, kepada siapa ia bertaklid, dan dalam kondisi apa.

1.2.1 Taklid yang Dibolehkan (Bahkan Wajib bagi Awam)

Taklid jenis ini adalah ketika seorang muslim yang awam (tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah) mengikuti fatwa atau pendapat seorang ulama mujtahid (yang berkompeten). Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya': 7)

Kondisi taklid ini diperbolehkan karena:

1. Keterbatasan Ilmu: Kebanyakan umat Islam tidak memiliki latar belakang keilmuan yang cukup untuk memahami dalil-dalil syariat secara mendalam, apalagi melakukan ijtihad.
2. Keterbatasan Waktu: Tugas dan kewajiban duniawi seringkali tidak memungkinkan seseorang untuk mendedikasikan waktu penuhnya untuk studi syariat yang mendalam.
3. Kemudahan: Agama Islam adalah agama yang mudah. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya.

Dalam konteks ini, seorang awam yang bertaklid kepada ulama yang dipercaya keilmuannya, ketakwaannya, dan metodologinya, berarti ia menyerahkan urusan agama kepada ahlinya. Ia percaya bahwa ulama tersebut berfatwa berdasarkan dalil dan penelitian yang cermat. Ini bukan taklid buta, melainkan taklid yang dilandasi oleh kepercayaan dan pengakuan akan keterbatasan diri.

1.2.2 Taklid Buta (Taklid Mazmumah)

Taklid buta (disebut juga taklid mazmumah/tercela) adalah jenis taklid yang dilarang dalam syariat Islam. Ini terjadi ketika:

• Mengikuti tanpa alasan dan tanpa bertanya: Seseorang mengikuti pendapat ulama atau tradisi tanpa mencari tahu dasar hukumnya, bahkan jika ia sebenarnya memiliki kesempatan atau kemampuan untuk bertanya dan belajar.
• Fanatisme Berlebihan: Mengikuti satu mazhab atau pendapat tertentu secara membabi buta, menolak dalil yang lebih kuat jika bertentangan dengan pendapat yang diikutinya, atau mencela mazhab lain tanpa dasar ilmu.
• Mengikuti tanpa membedakan kapasitas: Mengikuti siapa saja yang berbicara agama, tanpa meneliti kapasitas keilmuan dan kredibilitasnya.
• Mengikuti tradisi nenek moyang: Mengikuti ajaran yang sudah turun-temurun hanya karena itu adalah kebiasaan, tanpa pernah memverifikasi kesesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
• Ketika dalil telah jelas: Seseorang tetap berpegang pada pendapat lama meskipun dalil yang shahih dan lebih kuat telah sampai kepadanya, dan ia memahami dalil tersebut.

Inti dari taklid buta adalah ketidakmauan untuk berpikir, meneliti, atau mencari kebenaran, semata-mata karena kenyamanan mengikuti apa yang sudah ada atau apa yang dikatakan orang lain tanpa verifikasi.

1.3 Konsep "Awam" dan "Mujtahid"

Memahami perbedaan taklid yang dibolehkan dan taklid buta sangat terkait dengan pemahaman terhadap dua konsep penting: awam dan mujtahid.

• Awam: Adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dalil-dalil syariat dan kaidah-kaidah ushul fiqh untuk mengeluarkan hukum sendiri. Mayoritas umat Islam masuk dalam kategori ini. Bagi mereka, taklid kepada ulama mujtahid adalah keniscayaan dan kewajiban.
• Mujtahid: Adalah ulama yang telah mencapai tingkatan ilmu tertentu sehingga mampu mengistinbat (menggali) hukum syariat langsung dari sumber-sumbernya (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan metodologi yang sahih. Mereka harus memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab, Al-Qur'an, Hadis, ushul fiqh, qawa'id fiqhiyyah, dan berbagai disiplin ilmu pendukung lainnya. Bagi mujtahid, haram hukumnya bertaklid kepada mujtahid lain, ia wajib berijtihad sendiri.

Permasalahan muncul ketika seorang awam merasa dirinya mujtahid, atau seorang yang mampu berijtihad justru memilih bertaklid buta. Demikian pula, jika seorang awam bertaklid kepada orang yang tidak layak dijadikan rujukan keilmuan, maka itu juga termasuk taklid buta.

Bab II: Dalil-Dalil Larangan Taklid Buta dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah

Al-Qur'an dan As-Sunnah secara gamblang memberikan peringatan keras terhadap praktik mengikuti sesuatu secara membabi buta, terutama dalam urusan agama. Ayat-ayat ini umumnya diturunkan dalam konteks penolakan kaum musyrikin terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW, di mana mereka berpegang teguh pada tradisi nenek moyang mereka meskipun telah jelas dalil-dalil keesaan Allah dan kebenaran risalah Nabi.

2.1 Dalil-Dalil dari Al-Qur'an

Banyak ayat Al-Qur'an yang mencela sikap mengikuti tanpa dalil, khususnya jika dalil kebenaran telah sampai kepada mereka. Beberapa di antaranya:

2.1.1 QS. Al-Baqarah: 170

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.' (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"

Ayat ini secara terang-terangan mencela sikap kaum musyrikin yang menolak kebenaran Al-Qur'an semata-mata karena berpegang pada ajaran nenek moyang, sekalipun ajaran tersebut tanpa ilmu dan petunjuk. Ini adalah bentuk taklid buta yang paling ekstrem, menolak wahyu demi tradisi.

2.1.2 QS. Al-Ma'idah: 104

"Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.' Mereka menjawab: 'Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.' Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?"

Ayat ini memiliki substansi yang mirip dengan Al-Baqarah: 170, menegaskan penolakan terhadap taklid buta yang menghalangi penerimaan kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Kata "cukuplah bagi kami" menunjukkan kesombongan dan keengganan untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi.

2.1.3 QS. Az-Zukhruf: 22-24

"(Tidak demikian), bahkan mereka berkata: 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.' Dan demikianlah, Kami tidak mengutus seorang pemberi peringatan pun sebelum kamu dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.' (Rasul itu) berkata: 'Apakah (kamu akan mengikuti juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik patunjuknya daripada apa yang kamu dapati pada bapak-bapakmu?' Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu bawa itu'."

Rangkaian ayat ini menunjukkan pola yang berulang dalam sejarah para nabi. Setiap kali rasul datang membawa petunjuk yang lebih baik, orang-orang yang menentangnya seringkali beralasan dengan tradisi nenek moyang. Ini adalah manifestasi taklid buta yang paling berbahaya, karena menghalangi hidayah dan kebenaran ilahi.

2.1.4 Ayat-Ayat yang Mendorong Penggunaan Akal dan Penelitian

Selain ayat-ayat yang secara eksplisit mencela taklid buta, Al-Qur'an juga kaya dengan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal, merenung, berpikir, dan meneliti. Ini secara implisit adalah larangan terhadap sikap pasif dan taklid buta:

• "Tidakkah mereka memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?" (QS. Al-Ghasyiyah: 17) — Ajakan untuk merenungi ciptaan Allah.
• "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir." (Sering disebutkan dalam berbagai konteks, seperti QS. Ar-Ra'd: 3, Az-Zumar: 42, dll.) — Penekanan pada pentingnya akal.
• "Mengapa mereka tidak merenungkan Al-Qur'an?" (QS. An-Nisa': 82, QS. Muhammad: 24) — Ajakan untuk tadabbur (merenungi makna) Al-Qur'an, bukan sekadar membacanya tanpa pemahaman.

Ayat-ayat semacam ini membentuk pondasi bagi seorang Muslim untuk menjadi pribadi yang kritis, rasional, dan senantiasa mencari ilmu, bukan sekadar pengikut tanpa pemahaman.

2.2 Dalil-Dalil dari As-Sunnah

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga memberikan penekanan pada pentingnya ilmu, dalil, dan larangan mengikuti tanpa dasar yang jelas.

2.2.1 Larangan Menjadi "Imma'ah"

Dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kamu menjadi ‘imma’ah’. Kalian berkata, 'Jika orang-orang berbuat baik, kami pun berbuat baik. Jika orang-orang berbuat zalim, kami pun berbuat zalim.' Akan tetapi, kuatkanlah jiwa kalian. Jika orang-orang berbuat baik, kalian pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, maka hindarilah kezaliman mereka." (HR. At-Tirmidzi, derajat hasan gharib)

Kata "imma'ah" (إِمَّعَةٌ) merujuk pada orang yang tidak memiliki pendirian, yang hanya mengikuti arus mayoritas tanpa pertimbangan. Ini adalah gambaran jelas dari taklid buta dalam konteks sosial dan moral, yang juga relevan dalam urusan agama. Seorang Muslim harus memiliki prinsip yang kokoh berdasarkan kebenaran, bukan sekadar ikut-ikutan.

2.2.2 Pentingnya Ilmu dan Dalil

Banyak hadis yang menegaskan keutamaan ilmu dan pentingnya beramal berdasarkan ilmu. Misalnya:

• "Barangsiapa meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
• "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Hadis-hadis ini secara tidak langsung menolak taklid buta, karena mencari ilmu adalah antitesis dari mengikuti tanpa pengetahuan. Ilmu adalah fondasi untuk memahami dalil, dan dalil adalah bukti kebenaran. Tanpa ilmu, sulit bagi seseorang untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan, apalagi untuk menolak taklid buta.

2.2.3 Peringatan Terhadap Bid'ah

Salah satu bahaya taklid buta adalah mudah terjerumus pada bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar syar'i). Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)

Taklid buta seringkali menjadi pintu masuk bid'ah. Orang yang tidak memahami dalil dan hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain, akan mudah menerima praktik-praktik baru yang tidak sesuai sunnah, hanya karena melihat banyak orang melakukannya atau karena dianjurkan oleh tokoh tertentu tanpa bukti syar'i.

Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa Islam sangat menganjurkan pemikiran, penelitian, dan penalaran dalam memahami agama. Bukan berarti setiap orang harus menjadi mujtahid, tetapi setiap Muslim, sesuai kapasitasnya, didorong untuk mencari tahu kebenaran, bertanya, dan tidak sekadar mengikuti tanpa dasar yang kuat.

Bab III: Bahaya dan Dampak Negatif Taklid Buta

Taklid buta bukanlah sekadar persoalan metodologi beragama yang keliru, melainkan memiliki konsekuensi serius yang dapat merusak individu dan umat secara keseluruhan. Dampak negatifnya dapat terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari stagnasi intelektual hingga perpecahan umat.

3.1 Stagnasi Intelektual dan Spiritual

Salah satu bahaya paling mendasar dari taklid buta adalah terhambatnya daya nalar dan kritis. Ketika seseorang terbiasa menerima tanpa mempertanyakan, pikirannya akan menjadi tumpul dan malas untuk berpikir. Ini berakibat pada:

• Kurangnya pemahaman mendalam: Seseorang hanya tahu "apa" yang harus dilakukan, tetapi tidak mengerti "mengapa" ia harus melakukannya. Hal ini mengurangi kekhusyukan dan penghayatan dalam beribadah.
• Kemandulan inovasi keilmuan: Taklid buta membunuh semangat penelitian dan pengembangan ilmu agama. Jika semua orang hanya mengikuti pendahulu, maka tidak akan ada kemajuan dalam memahami tantangan kontemporer dan mencari solusi syar'i yang relevan.
• Gersangnya hati: Tanpa pemahaman yang mendalam tentang hikmah di balik syariat, ibadah bisa terasa hambar dan spiritualitas menjadi dangkal. Hubungan dengan Allah tidak terbangun atas dasar keyakinan yang kuat, melainkan rutinitas belaka.

3.2 Mudah Terjerumus pada Kesesatan dan Bid'ah

Orang yang bertaklid buta sangat rentan terhadap penyimpangan. Tanpa bekal ilmu dan kemampuan membedakan dalil yang sahih dari yang lemah, mereka mudah diperdaya oleh ajaran-ajaran sesat yang mengatasnamakan agama. Hal ini terjadi karena:

• Tidak punya filter: Mereka tidak memiliki filter pengetahuan untuk menyaring informasi dan ajaran baru. Setiap perkataan yang diucapkan oleh tokoh yang dihormati, meskipun tidak berdasar, akan diterima begitu saja.
• Manipulasi emosi: Ajaran sesat seringkali bermain pada emosi dan janji-janji manis. Orang yang taklid buta lebih mudah terperangkap karena tidak menggunakan akal sehatnya untuk mengkritisi.
• Penyebaran bid'ah: Taklid buta pada tradisi tanpa verifikasi juga menjadi penyebab meluasnya bid'ah dalam masyarakat. Banyak praktik keagamaan yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah terus dilestarikan hanya karena "sudah dilakukan sejak dulu" atau "kata guru ini boleh."

3.3 Fanatisme Golongan dan Mazhab yang Berlebihan

Salah satu bahaya paling nyata dari taklid buta adalah lahirnya fanatisme buta terhadap mazhab atau kelompok tertentu. Hal ini berujung pada:

• Meremehkan pendapat lain: Menganggap mazhabnya sendiri yang paling benar dan menolak setiap pendapat yang berbeda, meskipun didasari dalil yang kuat.
• Perpecahan umat: Fanatisme mazhab melahirkan permusuhan dan kebencian antar sesama Muslim. Mereka yang seharusnya bersatu dalam ukhuwah Islamiyah justru saling mencaci dan menyalahkan karena perbedaan furu' (cabang) yang seharusnya lapang dada dalam menyikapinya.
• Menolak kebenaran: Ketika dalil yang shahih dihadapkan pada seorang yang fanatik buta, ia akan lebih memilih pendapat mazhabnya daripada dalil yang jelas, karena merasa terikat secara emosional atau historis.
• Terhambatnya kerjasama: Fanatisme menyulitkan kerjasama antar kelompok Muslim dalam menghadapi tantangan bersama, karena setiap kelompok merasa memiliki otoritas tunggal atas kebenaran.

3.4 Kehilangan Esensi Ibadah dan Hukum

Ketika seseorang beribadah atau menjalankan suatu hukum syariat hanya karena "diperintahkan" tanpa memahami hikmah dan tujuannya, ia akan kehilangan esensi dari amal tersebut. Misalnya:

• Ibadah menjadi rutinitas kosong: Shalat hanya menjadi gerakan fisik, puasa hanya menahan lapar dahaga, tanpa makna spiritual yang mendalam tentang kedekatan dengan Allah, pensucian jiwa, atau empati sosial.
• Hukum tidak dimengerti: Seseorang menjalankan hukum Islam seperti larangan riba atau kewajiban zakat, tetapi tidak memahami filosofi dan dampak positifnya bagi individu dan masyarakat. Ini membuat kepatuhan menjadi terpaksa dan tidak ikhlas.
• Tidak mampu menjelaskan agama: Karena tidak memahami dalil dan hikmah, seorang yang taklid buta tidak akan mampu menjelaskan Islam kepada orang lain secara logis dan meyakinkan, apalagi kepada non-Muslim yang kritis.

3.5 Kesulitan Beradaptasi dengan Masalah Kontemporer

Dunia terus berkembang dan memunculkan masalah-masalah baru yang tidak ada presedennya pada masa ulama terdahulu. Contohnya isu-isu terkait bioteknologi, ekonomi digital, lingkungan, dan etika modern. Orang yang terbiasa taklid buta akan kesulitan menghadapi ini:

• Mencari jawaban instan: Mereka akan mencari fatwa instan tanpa memahami proses ijtihad yang diperlukan, atau bahkan menolak solusi baru hanya karena "tidak ada di kitab kuning" atau "tidak ada di masa salaf."
• Tertinggal dari perkembangan zaman: Islam adalah agama yang relevan sepanjang masa. Namun, taklid buta bisa membuat umat Islam tampak kaku dan tidak mampu memberikan solusi atas problematika modern, padahal prinsip-prinsip syariat sangat fleksibel dan universal.
• Krisis kepemimpinan intelektual: Jika generasi baru tidak dididik untuk berpikir kritis dan berijtihad (bagi yang berkompeten), maka umat akan kehilangan ulama-ulama yang mampu menjawab tantangan zaman.

Secara keseluruhan, taklid buta adalah belenggu yang mengikat akal, merusak spiritualitas, memecah belah umat, dan menghambat kemajuan. Oleh karena itu, menjauhinya adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang ingin memahami dan mengamalkan agamanya secara benar dan bermakna.

Bab IV: Taklid yang Dibolehkan dan Batasannya

Setelah memahami bahaya taklid buta, penting untuk meninjau kembali bahwa tidak semua taklid adalah buruk. Ada taklid yang bukan saja dibolehkan, melainkan menjadi keniscayaan bagi sebagian besar umat Islam. Memahami batasannya adalah kunci untuk menghindari taklid buta dan tetap berada di jalur yang benar.

4.1 Kapan Taklid itu Wajib (bagi Awam kepada Ulama Mujtahid)

Seperti yang telah disinggung di Bab I, taklid menjadi wajib bagi seorang Muslim yang berada dalam kategori "awam." Awam adalah mereka yang tidak memiliki bekal ilmu yang memadai untuk menggali hukum syariat langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah, atau untuk membedakan dalil yang kuat dari yang lemah. Situasi ini berlaku bagi mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Kewajiban ini didasarkan pada prinsip kemudahan dalam Islam dan firman Allah SWT:

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya': 7)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan orang yang tidak tahu untuk bertanya kepada ahlinya. Dalam konteks syariat, ahlinya adalah para ulama mujtahid yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendalami ilmu agama.

Sebab-sebab taklid menjadi wajib bagi awam antara lain:

1. Keterbatasan Waktu dan Sumber Daya: Sebagian besar Muslim memiliki kesibukan duniawi yang tidak memungkinkan mereka untuk melakukan penelitian syar'i secara mendalam.
2. Kompleksitas Ilmu: Ilmu syariat, terutama ushul fiqh dan ilmu hadis, sangat kompleks dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai. Tidak semua orang memiliki kapasitas intelektual atau kesempatan untuk mencapainya.
3. Menghindari Kekacauan: Jika setiap orang mencoba berijtihad sendiri tanpa ilmu, akan terjadi kekacauan dan kesalahpahaman yang luas dalam praktik agama.

Oleh karena itu, bagi seorang awam, mengikuti fatwa seorang ulama yang dipercaya keilmuan dan ketakwaannya adalah jalan yang sah dan dibenarkan dalam Islam.

4.2 Syarat-Syarat Seorang Awam

Seorang disebut awam dan karenanya dibolehkan (bahkan wajib) bertaklid jika:

• Tidak menguasai bahasa Arab secara mendalam untuk memahami nash-nash (teks-teks) Al-Qur'an dan Sunnah.
• Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu Al-Qur'an (asbabun nuzul, nasikh mansukh, dll.).
• Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu Hadis (sanad, matan, rijalul hadis, shahih, dha'if, dll.).
• Tidak menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh (metodologi penggalian hukum) dan qawa'id fiqhiyyah (kaidah-kaidah umum fiqh).
• Tidak mampu membedakan dalil yang kuat dari yang lemah, atau mengkompromikan dalil-dalil yang tampak bertentangan.

Intinya, jika seseorang tidak memiliki perangkat keilmuan untuk berijtihad, maka ia adalah awam dan wajib bertaklid.

4.3 Syarat-Syarat Ulama yang Ditaqlid

Taklid yang dibolehkan tidak berarti mengikuti sembarang orang. Ada syarat-syarat tertentu bagi ulama yang boleh ditaqlid oleh seorang awam:

• Keahlian dan Kompetensi (Mujtahid): Ulama tersebut haruslah seorang mujtahid atau setidaknya seorang yang mendalami suatu mazhab dan mampu menjelaskan dalil-dalilnya dengan baik (muqallid faqih). Ia bukan hanya seorang penceramah biasa.
• Ketaqwaan dan Wara': Ulama tersebut harus dikenal memiliki integritas moral, ketaqwaan, dan menjauhi syubhat (perkara samar-samar). Ini penting agar fatwanya tidak dipengaruhi hawa nafsu atau kepentingan duniawi.
• Berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah: Meskipun ia seorang mujtahid, ia harus dikenal sebagai ulama yang berpegang teguh pada sumber utama Islam dan tidak menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
• Tidak fanatik buta: Seorang ulama yang baik adalah yang bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat selama masih dalam koridor syariat dan mengedepankan dalil. Ia tidak mengajak pada fanatisme mazhab.

Seorang awam harus selektif dalam memilih ulama rujukan, tidak asal mengikuti ulama yang populer atau yang sesuai dengan keinginan pribadinya.

4.4 Perbedaan Taklid (Hukum) dengan Ittiba' (Mengikuti Dalil)

Penting untuk membedakan antara taklid dan ittiba'.

• Taklid: Mengikuti perkataan atau pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Ini adalah domain awam.
• Ittiba': Mengikuti perkataan atau pendapat orang lain *setelah* mengetahui dalilnya dan merasa yakin dengan kekuatan dalil tersebut. Ini adalah domain orang yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil, meskipun ia bukan seorang mujtahid mutlak. Seorang awam pun jika bertanya kepada ulama, lalu ulama menjelaskan dalilnya dan ia memahami serta yakin, maka itu sudah mendekati ittiba'.

Idealnya, setiap Muslim didorong untuk beralih dari taklid ke ittiba' sejauh kemampuannya. Artinya, bukan hanya menerima fatwa, tetapi juga berusaha memahami dalil di baliknya. Hal ini akan meningkatkan pemahaman, keyakinan, dan penghayatan terhadap ajaran agama.

4.5 Pentingnya Bertanya kepada Ahlul Dzikr (Orang Berilmu)

Konsep taklid yang dibolehkan tidak berarti seseorang harus pasif. Justru, ia diwajibkan untuk aktif dalam bertanya kepada ahlinya. Pertanyaan yang baik adalah kunci untuk mendapatkan jawaban yang benar. Seseorang tidak boleh hanya berasumsi atau menduga-duga dalam masalah agama.

Ketika bertanya, seorang Muslim juga diharapkan untuk memiliki adab, yakni menghormati ulama, mendengarkan dengan seksama, dan berusaha memahami penjelasan yang diberikan. Jika ada keraguan, ia berhak bertanya lagi untuk klarifikasi, namun tidak sampai mendebat ulama tanpa dasar ilmu.

Dengan memahami batasan taklid yang dibolehkan ini, seorang Muslim dapat menjalankan agamanya dengan tenang dan benar, tanpa terjerumus ke dalam kubangan taklid buta yang merusak, namun juga tidak memaksakan diri untuk berijtihad di luar kemampuannya.

Bab V: Jalan Tengah: Menuju Pemahaman Islam yang Komprehensif

Setelah menguraikan taklid buta yang tercela dan taklid yang dibolehkan bagi awam, maka pertanyaan krusial yang muncul adalah: bagaimana jalan tengah yang proporsional bagi umat Islam secara umum untuk memahami agamanya secara komprehensif, terhindar dari taklid buta, namun tetap menghargai peran ulama dan tradisi keilmuan?

5.1 Pentingnya Ilmu Syar'i bagi Setiap Muslim

Setiap Muslim, tanpa terkecuali, wajib mencari ilmu agama sesuai kemampuannya. Kewajiban ini mencakup:

• Ilmu Fardhu Ain: Ilmu dasar-dasar akidah (tauhid), tata cara ibadah (shalat, puasa, zakat, haji), dan akhlak yang wajib diketahui setiap individu. Ini adalah ilmu yang tanpanya amal seseorang tidak sah.
• Pengenalan Dalil Dasar: Meskipun tidak semua orang bisa menjadi mujtahid, setiap Muslim didorong untuk setidaknya mengenal dalil-dalil dasar dari setiap amalan yang ia lakukan. Misalnya, mengapa shalat 5 waktu? Karena diperintahkan Allah dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ini berbeda dengan taklid buta yang sama sekali tidak peduli pada dalil.
• Membaca dan Memahami Al-Qur'an: Usahakan untuk memahami makna Al-Qur'an, tidak hanya membacanya tanpa tadabbur. Tafsir-tafsir ringkas atau terjemahan yang sahih sangat membantu.
• Mempelajari Hadis Nabi: Mengenal hadis-hadis penting yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan akhlak.

Pencarian ilmu ini akan membangun fondasi yang kuat, memungkinkan seseorang untuk membedakan kebenaran dari kebatilan, dan mencegahnya jatuh pada taklid buta.

5.2 Peran Ijtihad bagi yang Berkompeten

Bagi mereka yang telah mencapai derajat keilmuan tertentu, ijtihad adalah kewajiban. Ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk menggali hukum syariat dari sumber-sumbernya dengan metodologi yang benar. Tanpa ijtihad, agama akan menjadi kaku dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.

Penting untuk diingat bahwa ijtihad bukanlah pekerjaan sembarangan. Ia membutuhkan perangkat ilmu yang sangat banyak dan mendalam. Oleh karena itu, hanya ulama yang benar-benar berkompeten yang boleh berijtihad. Bagi yang tidak memiliki kompetensi, berijtihad sendiri justru akan membawa pada kesesatan.

5.3 Pentingnya Literasi Keagamaan bagi Awam

Di era informasi saat ini, seorang awam memiliki akses yang sangat luas terhadap berbagai sumber informasi keagamaan. Hal ini bisa menjadi berkah atau musibah, tergantung bagaimana ia menyikapinya. Untuk menghindari taklid buta, awam perlu meningkatkan literasi keagamaannya:

• Selektif dalam memilih sumber: Hanya mengambil ilmu dari ulama yang terpercaya, memiliki sanad keilmuan yang jelas, dan dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
• Tidak mudah percaya fatwa instan: Banyak fatwa bertebaran di internet yang tidak jelas sumbernya. Selalu verifikasi dan tanyakan pada ulama yang terpercaya.
• Mempelajari dasar-dasar perbandingan mazhab: Walaupun tidak sampai taraf berijtihad, seorang awam yang berwawasan akan mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam fiqh, dan memahami bahwa perbedaan tersebut memiliki dalilnya masing-masing. Ini akan mengurangi fanatisme.
• Mengikuti kajian ilmu: Hadiri majelis-majelis ilmu yang dibimbing oleh ulama yang kredibel, untuk mendapatkan pemahaman yang sistematis dan terarah.

5.4 Adab dalam Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam masalah furu' adalah keniscayaan dalam Islam dan merupakan rahmat. Ini menunjukkan keluasan syariat dan kekayaan metodologi ijtihad para ulama. Jalan tengah dalam menyikapi ini adalah:

• Toleransi dan Lapang Dada: Menghormati pendapat yang berbeda selama masih dalam koridor syariat dan didasari dalil. Tidak memaksakan satu pendapat saja.
• Fokus pada Persamaan: Mengedepankan persatuan umat dalam akidah dan prinsip-prinsip dasar, daripada memperuncing perbedaan dalam masalah furu'.
• Tidak Mencela: Menghindari celaan, cemoohan, atau tuduhan bid'ah/sesat hanya karena perbedaan dalam praktik atau mazhab.
• Kembali kepada Dalil Terkuat: Bagi yang memiliki kemampuan, berusaha mencari tahu dalil terkuat. Bagi awam, ia tetap berpegang pada ulama rujukannya sambil menghargai pendapat ulama lain.

5.5 Prioritas Memahami Al-Qur'an dan Sunnah

Bagaimanapun juga, Al-Qur'an dan Sunnah adalah dua sumber utama dan rujukan tertinggi dalam Islam. Semua pendapat ulama, fatwa mazhab, atau tradisi harus dikembalikan kepada keduanya. Oleh karena itu, upaya untuk memahami keduanya harus menjadi prioritas setiap Muslim. Ini tidak berarti menafikan peran ulama, melainkan menjadikan pemahaman ulama sebagai jembatan untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah secara benar.

Pendidikan agama sejak dini yang menekankan pada pemahaman dalil dan hikmah syariat akan sangat membantu membentuk generasi yang tidak taklid buta.

5.6 Mengambil dari Ulama yang Berpegang pada Dalil

Saat seorang awam memilih ulama untuk ditaqlid, hendaknya ia memilih ulama yang dikenal sebagai ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang tidak hanya menyampaikan fatwa, tetapi juga mampu menjelaskan dalil di baliknya jika diminta, serta mendorong umatnya untuk mencintai ilmu dan mencari kebenaran.

Ini adalah taklid yang bertanggung jawab, bukan sekadar mengikuti keramaian atau popularitas, melainkan mencari bimbingan dari mereka yang benar-benar berkompeten dan berpegang teguh pada sumber-sumber syariat.

5.7 Pentingnya Sanad Keilmuan

Dalam Islam, sanad (mata rantai periwayatan ilmu) memiliki peran yang sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran. Mempelajari dari ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas (tersambung kepada ulama-ulama terdahulu hingga Nabi SAW) memberikan jaminan otentisitas dan kehati-hatian dalam menyampaikan ilmu.

Ini adalah salah satu cara agar seorang Muslim tidak tersesat oleh ajaran yang muncul tiba-tiba tanpa akar keilmuan yang jelas, yang seringkali menjadi ciri dari ajaran-ajaran sesat.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seorang Muslim dapat meniti jalan beragama dengan keseimbangan: menghormati ulama dan tradisi keilmuan, namun tetap kritis dan bersemangat mencari kebenaran, sehingga terhindar dari bahaya taklid buta dan mencapai pemahaman Islam yang komprehensif dan mendalam.