Hijauan kering, atau yang dikenal luas sebagai hay, merupakan salah satu komponen paling esensial dalam sistem pakan ternak di seluruh dunia. Didefinisikan secara sederhana sebagai hijauan segar (rumput, leguminosa, atau campuran) yang telah dipotong, dikeringkan, dan diawetkan hingga kadar airnya cukup rendah (umumnya di bawah 20%) untuk mencegah pembusukan dan mempertahankan sebagian besar nilai gizinya. Praktik pengeringan ini memungkinkan peternak untuk menyimpan sumber pakan yang melimpah selama musim tanam untuk digunakan pada saat ketersediaan hijauan segar terbatas, seperti selama musim dingin atau musim kemarau panjang. Memahami secara mendalam proses produksi, parameter nutrisi, dan manajemen kualitas hijauan kering adalah kunci keberhasilan operasi peternakan yang berkelanjutan.
Konsep pengawetan hijauan telah ada selama ribuan tahun, berevolusi dari metode penjemuran sederhana menjadi sistem mekanis yang sangat efisien saat ini. Di zaman modern, hijauan kering berfungsi lebih dari sekadar makanan; ia adalah regulator pencernaan, sumber energi, dan penjamin kesehatan rumen bagi ruminansia. Nilai intrinsiknya terletak pada kemampuannya untuk menyediakan serat kasar (roughage) yang diperlukan untuk memelihara fungsi fisiologis normal.
Seringkali disamakan dengan silase, hijauan kering memiliki proses pengawetan yang fundamental berbeda. Hijauan kering mengandalkan pengeringan fisik untuk menurunkan kadar air, menghentikan aktivitas mikroba dan respirasi sel. Sebaliknya, silase mengandalkan proses fermentasi anaerobik, di mana bakteri menghasilkan asam laktat untuk mengawetkan bahan pakan dengan kadar air yang lebih tinggi (sekitar 35% hingga 60%). Kualitas dan manajemen risiko keduanya sangat berbeda, namun hijauan kering menawarkan stabilitas penyimpanan yang lebih tinggi dalam jangka waktu sangat lama asalkan dikemas dan disimpan dengan benar.
Kualitas hijauan kering sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang digunakan. Secara umum, hijauan dibagi menjadi dua kategori besar yang memiliki profil nutrisi dan karakteristik struktural yang berbeda:
Leguminosa (contoh: Alfalfa/Medicago sativa, Clover) dikenal karena kandungan proteinnya yang tinggi dan nilai nutrisinya yang superior. Kemampuan mereka untuk memfiksasi nitrogen atmosfer melalui bakteri bintil akar membuat leguminosa menjadi pilihan yang sangat baik, baik secara agronomi maupun nutrisi. Namun, mereka cenderung lebih sulit dikeringkan karena batangnya yang tebal dan rentan terhadap kehilangan daun yang berharga saat proses pengumpulan.
Rumput (contoh: Timothy, Orchardgrass, Rhodes Grass, Brome) umumnya memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan leguminosa tetapi menawarkan keseimbangan serat yang baik. Rumput lebih mudah dikeringkan dan biasanya menghasilkan lebih sedikit masalah penyimpanan atau pemberian makan, terutama untuk hewan yang sensitif seperti kuda atau ternak yang membutuhkan pakan serat tinggi untuk pemeliharaan.
Nilai gizi hijauan kering diukur tidak hanya dari persentase proteinnya, tetapi yang lebih penting, dari kualitas seratnya. Analisis laboratorium modern berfokus pada fraksi serat untuk menentukan seberapa mudah energi dapat diekstrak oleh ternak. Dua parameter serat yang paling penting adalah NDF dan ADF.
NDF mencerminkan total kandungan serat dalam hijauan, termasuk hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Ini adalah indikator utama volume pakan yang dapat dimakan oleh hewan. NDF berkorelasi negatif dengan asupan pakan—artinya, semakin tinggi nilai NDF, semakin cepat hewan merasa kenyang dan semakin sedikit pakan yang dapat mereka konsumsi.
ADF mencakup selulosa dan lignin, mengecualikan hemiselulosa. ADF berkorelasi negatif langsung dengan daya cerna (digestibility) pakan. Semakin tinggi ADF, semakin rendah energi yang dapat diperoleh hewan dari pakan tersebut.
Selain NDF dan ADF, beberapa faktor lain menentukan kualitas hijauan kering:
Membuat hijauan kering berkualitas tinggi adalah seni yang menuntut manajemen waktu, cuaca, dan mekanisasi yang presisi. Tujuan utamanya adalah mengurangi kadar air dari sekitar 75%-85% (segar) menjadi 15%-18% (bal) secepat mungkin sambil meminimalkan kerugian nutrisi.
Waktu panen adalah penentu tunggal terpenting kualitas hijauan. Nilai gizi tanaman menurun drastis setelah mencapai tahap pematangan tertentu, karena tanaman mengalihkan energi dari daun (tinggi protein) ke batang dan biji (tinggi serat dan lignin).
Pemotongan harus dilakukan dengan mesin yang tidak merusak tanah dan memastikan tanaman terbaring dalam barisan yang seragam (windrow) untuk pengeringan yang efisien. Mesin pemotong modern sering dilengkapi dengan perajang (conditioner) yang berfungsi memecahkan lapisan lilin pada batang tebal (terutama leguminosa) untuk mempercepat penguapan air.
Pengeringan harus cepat. Pengeringan yang lambat di lapangan (lebih dari 3-4 hari) meningkatkan kerugian nutrisi melalui dua mekanisme utama:
Pengumpulan adalah proses menyatukan barisan hijauan yang sudah dikeringkan menjadi satu barisan tebal. Proses ini harus dilakukan pada saat kadar air sudah hampir mencapai target bal (sekitar 20%), dan sangat penting untuk menghindari kerusakan daun (leaf shatter loss).
Pengepakan mengubah hijauan kering menjadi bentuk yang mudah ditangani, diangkut, dan disimpan. Kadar air saat baling adalah faktor penentu keselamatan penyimpanan.
Kualitas tidak hanya dapat dilihat secara visual, tetapi harus dikonfirmasi melalui analisis kimia yang akurat. Peternak yang sukses mengandalkan kombinasi pengamatan lapangan dan data laboratorium.
Analisis kimia memberikan angka konkret yang memungkinkan perumusan ransum yang tepat. Metode standar melibatkan spektroskopi inframerah dekat (NIR) atau metode deterjen kimia basah.
Dua indeks telah dikembangkan untuk menyederhanakan interpretasi data laboratorium, memungkinkan perbandingan hijauan yang berbeda:
Sebagai pedoman umum, hijauan Alfalfa atau rumput yang dipanen pada tahap awal pertumbuhan harus menghasilkan RFQ 130 atau lebih tinggi agar dianggap sebagai hijauan kualitas baik.
Setelah baling, tantangan bergeser ke penyimpanan. Kerugian penyimpanan bisa berkisar antara 5% hingga 40% tergantung pada metode yang digunakan. Kelembaban dan oksigen adalah musuh utama yang harus dikontrol.
Jika hijauan dibal dengan kadar air di atas 20%, kapang dan ragi akan mulai tumbuh. Ini tidak hanya merusak nilai gizi, tetapi juga menghasilkan debu (spora jamur) dan mikotoksin. Debu jamur adalah penyebab umum penyakit paru-paru obstruktif kronis (COPD) pada kuda (Heaves).
Ini adalah risiko terbesar dan paling berbahaya. Ketika bal hijauan mengandung kadar air berlebihan, aktivitas mikroba menghasilkan panas. Jika panas tidak dapat keluar (seperti pada bal yang sangat padat), suhu internal dapat meningkat hingga mencapai titik pembakaran. Proses ini biasanya memuncak 10 hingga 25 hari setelah baling.
Idealnya, hijauan harus disimpan di gudang tertutup, jauh dari elemen cuaca. Kerugian akibat penyimpanan luar ruangan dapat mencapai 25% untuk bal bundar yang tidak ditutup.
Kebutuhan hijauan sangat bervariasi antara spesies ternak, usia, dan status fisiologis (misalnya laktasi, pertumbuhan, pemeliharaan).
Bagi ruminansia, hijauan kering menyediakan substrat berserat yang diperlukan untuk menjaga kesehatan rumen. Serat efektif (eNDF) merangsang pengunyahan dan produksi air liur, yang sangat penting untuk menyangga pH rumen. Hijauan leguminosa tinggi (Alfalfa) sangat disukai untuk sapi perah laktasi tinggi karena kandungan protein dan kalsiumnya, asalkan dicampur dengan biji-bijian dan serat tambahan lainnya.
Kuda adalah hewan yang sangat sensitif terhadap kualitas pakan. Hijauan kering harus menjadi dasar dari ransum kuda. Kualitas, kebersihan, dan kebebasan dari debu atau kapang adalah yang paling penting.
Kambing adalah pemakan yang sangat selektif (browser), dan domba adalah pemakan padang rumput (grazer). Keduanya membutuhkan hijauan yang bersih dan seringkali lebih toleran terhadap hijauan yang lebih berkayu daripada sapi perah, namun hijauan berkualitas tinggi akan meningkatkan produksi susu dan laju pertumbuhan.
Meningkatnya ketidakpastian iklim global dan tekanan pada lahan pertanian mendorong pengembangan strategi baru dalam produksi dan pemanfaatan hijauan kering.
Curah hujan yang tidak menentu dan periode kekeringan yang berkepanjangan secara langsung memengaruhi waktu panen. Panen yang terlambat karena hujan dapat mengurangi RFV secara signifikan. Di sisi lain, kekeringan dapat menghasilkan hijauan dengan hasil panen rendah tetapi kualitas nutrisi yang sangat terkonsentrasi karena pertumbuhan yang terhambat. Manajemen risiko cuaca menjadi elemen terpenting dalam perencanaan pertanian hijauan.
Karena pengeringan di lapangan rentan terhadap cuaca, inovasi telah difokuskan pada pengeringan buatan:
Penggunaan zat aditif bertujuan untuk memperluas jendela aman baling:
Keputusan mengenai jenis hijauan apa yang akan diproduksi atau dibeli sering kali didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang mendalam, mempertimbangkan harga per ton, biaya transportasi, dan nilai nutrisi yang sebenarnya diterima (berdasarkan analisis lab).
Peternak harus menghitung biaya per unit nutrisi yang diberikan. Hijauan dengan harga murah per ton tetapi kualitas nutrisi yang sangat rendah (NDF tinggi) mungkin memerlukan suplemen pakan yang mahal, sehingga total biaya ransum menjadi lebih tinggi daripada membeli hijauan kualitas premium yang lebih mahal di awal.
Perluasan analisis ekonomi ini mencakup biaya operasional mesin, bahan bakar, tenaga kerja, dan depresiasi peralatan, yang semuanya harus diimbangi dengan harga jual atau nilai substitusi pakan yang dihasilkan.
Leguminosa, seperti Alfalfa, memainkan peran vital dalam keberlanjutan pertanian karena kemampuannya memfiksasi nitrogen. Menanam leguminosa dalam rotasi mengurangi kebutuhan pupuk nitrogen sintetis untuk tanaman biji-bijian berikutnya, menghemat biaya dan mengurangi jejak karbon pertanian.
Globalisasi perdagangan hijauan kering memerlukan standarisasi yang lebih ketat. Negara-negara pengekspor besar (seperti Amerika Serikat dan Kanada) menggunakan sistem penilaian berbasis RFQ/RFV untuk memastikan pembeli internasional menerima produk dengan kualitas yang dapat diandalkan. Perdagangan ini menuntut transparansi penuh pada tingkat NDF, ADF, dan protein.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana hijauan kering memberikan energi, kita perlu melihat bagaimana karbohidrat dan protein dikategorikan berdasarkan ketersediaan untuk mikroba rumen (degradasi).
Ini adalah karbohidrat yang mudah dicerna, seperti gula dan pati. NSC berada di luar sel (larut dalam air) atau di dalam sel, dan tersedia hampir seketika bagi ternak. Sayangnya, NSC adalah yang paling rentan hilang selama proses respirasi lapangan atau pencucian hujan.
Hijauan dengan NSC tinggi sangat diinginkan untuk ternak laktasi. Namun, untuk kuda yang rentan terhadap laminitis atau gangguan metabolik, hijauan dengan NSC rendah sangat diwajibkan. Analisis NSC menjadi wajib untuk pakan kuda.
Lignin adalah polimer kompleks yang tidak dapat dipecah oleh enzim mamalia maupun mikroba rumen. Lignin bertindak sebagai pagar di sekitar selulosa, secara fisik mencegah mikroba mengakses energi di dalamnya. Kualitas hijauan secara langsung berbanding terbalik dengan kandungan ligninnya.
Silika, meskipun bukan lignin, juga merupakan komponen indigestible (tidak dapat dicerna) yang ditemukan di beberapa rumput (terutama di daerah subtropis) yang dapat menurunkan daya cerna.
Protein Kasar (CP) terbagi menjadi dua bagian: DIP (Degradable Intake Protein) dan RUP (Ruminal Undegradable Protein). DIP digunakan oleh mikroba rumen untuk tumbuh. RUP 'melewati' rumen dan dicerna langsung di usus kecil, menyediakan asam amino penting bagi hewan inang.
Hijauan yang mengalami kerusakan panas (heat-damaged hay, lihat bagian V) memiliki kandungan RUP yang tinggi, tetapi protein ini sering kali terikat erat oleh reaksi Maillard (reaksi gula-protein) dan menjadi tidak tersedia (Unavailable Protein). Inilah mengapa tes protein harus mencakup persentase Unavailable Protein.
Dalam kasus hijauan yang mengalami pemanasan berlebihan, kadar proteinnya mungkin terlihat tinggi, namun kandungan Unavailable Protein (diukur sebagai ADF-N) akan menjelaskan mengapa ternak tidak berkinerja baik, karena protein tersebut telah ‘terkunci’.
Kualitas hijauan kering juga dipengaruhi oleh manajemen penyakit dan hama di lapangan, serta kontaminasi pasca panen.
Banyak gulma (misalnya Senecio, Jimsonweed, Nightshade) yang menjadi tidak enak bagi ternak saat segar, tetapi menjadi tidak terdeteksi baunya dan termakan saat dikeringkan menjadi hijauan. Peternak harus memastikan lahan hijauan bersih dari gulma berbahaya sebelum panen.
Hijauan kering tetap menjadi fondasi yang tak tergantikan dalam nutrisi ternak. Proses pembuatannya, mulai dari pemilihan varietas tanaman yang tepat, penentuan waktu panen yang kritis, hingga baling pada kadar air yang aman, semuanya adalah mata rantai yang menentukan nilai gizi akhir. Investasi dalam peralatan pengeringan yang efisien, penggunaan pengawet yang bijaksana, dan yang paling penting, melakukan analisis laboratorium (NDF, ADF, RUP) secara rutin, adalah praktik yang membedakan hijauan pakan biasa dari hijauan premium.
Dalam konteks ketahanan pangan global, ketersediaan hijauan kering berkualitas tinggi bukan hanya masalah ekonomi peternak individu, tetapi juga penjamin stabilitas produksi susu, daging, dan keberlanjutan sektor peternakan secara keseluruhan. Memahami detail rumit dari ilmu hijauan kering adalah memastikan bahwa setiap gigitan yang diambil ternak adalah gigitan yang bergizi optimal dan aman.
Pengelolaan yang cermat terhadap hijauan kering pada akhirnya adalah manajemen energi—energi yang terkunci di lapangan pada puncak nutrisinya, dipanen dengan kerugian minimal, dan disimpan dengan aman hingga siap ditransfer ke sistem metabolisme ternak. Kualitas yang dicapai di lapangan akan menentukan kesehatan, produktivitas, dan profitabilitas operasi peternakan di kandang.