*Ilustrasi skematis Ka'bah dan area Hijir Isma'il yang membentuk setengah lingkaran.
Kata kunci hijir membawa kita langsung ke jantung tanah suci Makkah, ke sisi utara Baitullahil Haram, Ka'bah. Hijir Isma'il adalah salah satu tempat paling mulia dan sakral dalam geografi Islam, sebuah area berbentuk setengah lingkaran yang seringkali disalahpahami sebagai sekadar pagar atau pembatas. Padahal, ia adalah sisa otentik dari fondasi asli Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Isma'il, menjadikannya bagian integral dari bangunan Ka'bah itu sendiri.
Bagi jutaan umat Muslim yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, Hijir Isma'il adalah magnet spiritual. Berdiri di antara batas-batasnya adalah sama dengan berdiri di dalam rumah Allah. Inilah area yang menjadi saksi bisu sejarah panjang monoteisme, dari era Hajar dan Isma'il hingga modifikasi bangunan pada zaman Quraisy dan era modern. Kehadirannya tidak hanya penting secara historis, tetapi juga fundamental dalam penetapan hukum-hukum fikih terkait tawaf dan salat.
Area ini, yang terletak di antara Rukun Syami (sudut Syam) dan Rukun Iraqi (sudut Iraq) Ka'bah, menantang para peziarah untuk merenungkan batas antara yang terlihat dan yang tersembunyi. Dinding pendek yang membatasi Hijir, yang dikenal sebagai ‘Hathim’, berfungsi sebagai penanda visual yang jelas, menggarisbawahi keunikan wilayah tersebut. Memahami Hijir Isma'il memerlukan penelusuran sejarah yang mendalam, studi fikih yang cermat, dan refleksi spiritual yang mendalam, karena ia mewakili kekekalan janji ilahi di tengah perubahan dunia fisik.
Keagungan spiritual yang melekat pada Hijir Isma'il tidak bisa diukur hanya dengan panjang dan lebarnya saja. Ia adalah manifestasi fisik dari rahmat dan tempat bermunajat yang dicintai oleh Allah SWT. Ini adalah tanah di mana Hajar mencari perlindungan, di mana air Zamzam mulai mengalir, dan di mana Nabi Isma'il dibesarkan. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, mendekati Hijir bukan hanya aktivitas fisik, tetapi perjalanan jiwa menuju asal usul fitrah keimanan.
Secara etimologi, kata Hijir (الحِجْر) dalam bahasa Arab berarti ‘memisahkan’, ‘melarang’, atau ‘membatasi’. Penamaan ini sangat relevan karena Hijir membatasi area tawaf dari fondasi Ka'bah yang sebenarnya. Dalam konteks Mekkah, ia secara spesifik dikenal sebagai Hijir Isma'il (حجر إسماعيل).
Hijir Isma'il adalah area terbuka di samping Ka'bah. Ia dibentuk oleh sebuah tembok setengah lingkaran yang tingginya mencapai kurang lebih 1,32 meter. Tembok ini, yang disebut Hathim atau Syadzirwan (meskipun Syadzirwan lebih umum merujuk pada pondasi Ka'bah), terbuat dari marmer putih yang memancarkan kesejukan. Jarak antara ujung tembok Hijir dengan dinding Ka'bah bervariasi tergantung pada titik pengukuran.
Pengukuran yang disepakati oleh para sejarawan dan ulama kontemporer menunjukkan dimensi yang sangat spesifik, yang mana setiap sentimeter area ini telah diukur dan diabadikan dalam catatan sejarah renovasi. Jarak dari tengah Hijir ke dinding Ka'bah adalah sekitar 3.00 meter. Panjang total Hijir dari sudut Syam ke sudut Iraq, yang mengikuti lengkungan, adalah sekitar 20 meter. Namun, yang paling krusial adalah jarak sekitar 6 hasta dari dinding Ka'bah yang diyakini merupakan bagian fondasi asli.
Penting untuk dicatat bahwa hanya sebagian dari Hijir yang merupakan bagian dari Ka'bah. Para ulama sepakat bahwa enam hasta (sekitar 3.00 meter) di dalam area Hijir, dihitung dari dinding Ka'bah yang tegak lurus, adalah fondasi Ka'bah yang sesungguhnya. Area yang tersisa di luar batas enam hasta tersebut adalah area tawaf biasa, namun masih dihormati karena berada di dalam batas Hathim.
Marmer yang digunakan pada lantai Hijir Isma'il biasanya berwarna putih bersih, memberikan kontras yang jelas dengan warna hitam kelam kiswah Ka'bah dan marmer coklat kehitaman di lantai Masjidil Haram. Lantainya dilengkapi dengan sistem drainase khusus untuk mengalirkan air hujan yang jatuh dari Ka'bah melalui talang emas (Mizab), yang akan dibahas lebih lanjut.
Selain Hijir Isma'il, area ini juga dikenal dengan beberapa nama lain yang membawa nuansa sejarah dan fikih yang berbeda:
Kepadatan nama-nama ini menunjukkan betapa krusialnya area ini dalam tradisi dan ritual Islam. Setiap nama membawa lapisan makna yang mendukung pemahaman holistik tentang perannya dalam ibadah.
Untuk memahami keagungan Hijir, kita harus kembali ke akar sejarahnya, yaitu kisah Nabi Ibrahim, istrinya Hajar, dan putranya Isma'il. Hijir Isma'il bukanlah sekadar penambahan arsitektural; ia adalah simbol keimanan, ketahanan, dan ketaatan yang abadi.
Ketika Nabi Ibrahim menerima perintah ilahi untuk meninggalkan Hajar dan Isma'il kecil di lembah yang sunyi dan tandus di Makkah, tempat tersebut belum memiliki tanda-tanda kehidupan. Ibrahim meninggalkan mereka hanya dengan sedikit bekal air dan kurma. Setelah bekal habis, Hajar mulai berlari antara bukit Safa dan Marwah untuk mencari air.
Mukjizat terjadi ketika Hajar kembali dan menemukan Isma'il menghentakkan kakinya di tanah. Dari hentakan itu, memancarlah mata air Zamzam. Para sejarawan menyepakati bahwa sumur Zamzam terletak dekat, tetapi bukan persis di dalam Hijir. Namun, Hijir menjadi penting karena ia merupakan area di mana Hajar membangun naungan untuk dirinya dan putranya, setelah suku Jurhum datang dan menetap di sekitar mata air tersebut.
Tradisi menyebutkan bahwa setelah Ka'bah didirikan oleh Ibrahim dan Isma'il, area Hijir Isma'il awalnya digunakan sebagai tempat peristirahatan dan tempat tinggal Isma'il dan ibunya. Mereka membuat naungan dari dahan-dahan pohon di area tersebut. Ini menjelaskan mengapa tempat itu dinamakan Hijir Isma'il—sebagai penghormatan terhadap kediaman awal sang Nabi.
Lebih lanjut, dan ini adalah poin yang sangat penting, riwayat-riwayat kuat menyebutkan bahwa Hajar dan Nabi Isma'il dimakamkan di dalam area Hijir. Meskipun lokasi persis kuburan mereka tidak diketahui pasti, keyakinan bahwa mereka beristirahat di sana menambah lapisan kesucian yang luar biasa pada tempat tersebut. Hal ini juga menjadi alasan mengapa area tersebut dilindungi dan dihormati, dan mengapa berdoa di dalamnya memiliki keutamaan khusus, meskipun beberapa ulama menyarankan agar tidak berdoa persis di atas tempat yang diyakini sebagai kuburan.
Kesucian makam di dalam Hijir memperkuat hukum fikih yang melarang tawaf melintasi area tersebut. Jika tawaf melewati Hijir, itu berarti seseorang melakukan tawaf di atas kuburan, yang dalam banyak mazhab fikih dianggap tidak pantas, apalagi karena Hijir adalah bagian dari Ka'bah.
Bentuk Ka'bah yang kita lihat hari ini bukanlah bentuk aslinya 100% seperti yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Perubahan historis ini menjelaskan mengapa Hijir berada di luar garis Ka'bah yang sekarang tegak berdiri.
Perubahan paling signifikan yang memunculkan Hijir dalam bentuknya saat ini terjadi pada masa pra-Islam. Ka'bah mengalami kerusakan parah akibat banjir bandang. Kaum Quraisy berencana merenovasi dan meninggikan bangunan tersebut. Namun, mereka menghadapi masalah keterbatasan dana. Mereka sepakat hanya menggunakan dana yang diperoleh dari sumber yang halal dan murni, tanpa melibatkan hasil riba, perampasan, atau perzinaan.
Keterbatasan dana suci ini memaksa Quraisy untuk membatasi ukuran Ka'bah. Mereka memutuskan untuk tidak menyertakan seluruh fondasi yang dibangun Ibrahim ke dalam bangunan baru yang akan mereka dirikan. Mereka meninggalkan sekitar enam hasta (sekitar 3.00 meter) dari sisi utara (sisi Hijir) di luar tembok Ka'bah. Untuk menandai bahwa area yang ditinggalkan ini masih bagian dari Ka'bah, mereka membangun tembok setengah lingkaran yang rendah, yang kita kenal sekarang sebagai Hathim.
Keputusan Quraisy ini memiliki implikasi permanen terhadap manasik haji. Rasulullah SAW mengonfirmasi bahwa area yang ditinggalkan itu memang bagian dari Ka'bah. Oleh karena itu, tawaf harus dilakukan mengelilingi seluruh fondasi Ka'bah, termasuk area Hijir.
Setelah Nabi Muhammad SAW menaklukkan Makkah, beliau ingin mengembalikan Ka'bah ke ukuran aslinya, sesuai fondasi Ibrahim. Namun, beliau menahan diri karena khawatir hal itu akan menimbulkan kekacauan dan kesalahpahaman di kalangan masyarakat Makkah yang baru memeluk Islam. Beliau khawatir masyarakat akan menganggapnya merombak Ka'bah untuk kepentingan pribadi atau ideologi baru.
Impian Nabi baru terwujud secara fisik beberapa puluh tahun setelah wafatnya, pada masa kekhalifahan Abdullah bin Zubair. Dalam konflik dengan Bani Umayyah, Ka'bah rusak akibat pengepungan. Ketika Abdullah bin Zubair berkuasa di Makkah, ia memutuskan untuk merenovasi Ka'bah secara total. Ia memasukkan kembali Hijir ke dalam bangunan Ka'bah yang baru, membuka dua pintu (seperti yang diyakini pada masa Ibrahim), dan meninggikan lantai.
Sayangnya, perubahan ini tidak bertahan lama. Ketika Abdul Malik bin Marwan, khalifah Bani Umayyah, berhasil merebut kembali Makkah dari tangan Abdullah bin Zubair, ia diperdaya oleh para penasihatnya. Ia diperintahkan untuk mengembalikan Ka'bah ke bentuk yang dikenal masyarakat Quraisy (yaitu dengan mengeluarkan Hijir kembali). Maka, Ka'bah pun dikembalikan ke bentuknya yang sekarang kita lihat: Hijir dikeluarkan lagi, dan hanya ada satu pintu masuk.
Belakangan, Abdul Malik bin Marwan menyadari kesalahannya setelah mendapatkan hadis dari Aisyah yang menjelaskan rencana asli Nabi SAW. Namun, para ulama pada masa itu dan setelahnya berpendapat bahwa Ka'bah tidak boleh diubah-ubah lagi untuk menghindari kebingungan dan mempermainkan kesuciannya. Oleh karena itu, Ka'bah tetap dalam bentuk modifikasi Quraisy, dan Hijir Isma'il tetap berada di luar bangunan utama, berfungsi sebagai pengingat abadi akan fondasi yang hilang. Keputusan ini bertahan hingga hari ini.
Kedudukan fikih Hijir Isma'il sangatlah vital, terutama dalam ibadah haji dan umrah. Konsensus ulama dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menegaskan bahwa sebagian dari Hijir adalah Ka'bah. Titik kesepakatan ini menentukan validitas dua rukun ibadah: tawaf dan salat.
Hukum yang paling fundamental terkait Hijir adalah:
Tawaf (mengelilingi Ka'bah) harus dilakukan mengelilingi seluruh Ka'bah, dan karena Hijir Isma'il (khususnya area enam hasta di dalamnya) adalah bagian dari Ka'bah, maka tawaf tidak sah jika dilakukan dengan melintasi atau masuk ke dalam Hijir.
Melintasi Hijir saat tawaf sama saja dengan melintasi sebuah bangunan. Jika seseorang melintasi Hijir, maka ia belum mengelilingi seluruh Rumah Allah (Baitullah), sehingga putaran tawafnya pada rukun tersebut dianggap batal atau tidak sah, dan harus diulang. Ini adalah titik kesepakatan mutlak di kalangan fuqaha (ahli fikih).
Penjelasan lebih lanjut dari Mazhab Syafi'i menekankan bahwa kewajiban mengelilingi (thawaf) berarti mengelilingi fondasi keseluruhan Ka'bah. Karena sebagian fondasi Ka'bah berada di area Hijir, maka jalur tawaf harus berada di luar Hathim (dinding Hijir) agar seluruh Ka'bah berada di sebelah kiri jemaah.
Mazhab Hanafi dan Maliki juga menegaskan poin ini, sering kali merujuk pada hadis Aisyah yang menjelaskan bahwa area yang ditinggalkan Quraisy adalah bagian dari Ka'bah. Oleh karena itu, bagi pelaksana haji dan umrah, memahami batas-batas Hijir adalah syarat sah tawaf yang tidak bisa ditawar.
Berbeda dengan tawaf yang dilarang melewati Hijir, salat (doa) di dalam Hijir Isma'il sangat dianjurkan. Ulama sepakat bahwa salat sunah di area Hijir—khususnya pada bagian yang merupakan fondasi Ka'bah—adalah sunah dan memiliki keutamaan yang luar biasa.
Hal ini didasarkan pada riwayat bahwa salat di dalam Hijir sama dengan salat di dalam Ka'bah. Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh Aisyah tentang kemungkinan masuk ke Ka'bah, beliau menjawab, "Salatlah di Hijir Isma'il, karena ia adalah bagian dari rumah (Ka'bah)."
Meskipun salat di dalam Ka'bah secara teknis berarti menghadap ke dinding Ka'bah (sehingga tidak menghadap Ka'bah), salat sunah di dalam Hijir adalah pengecualian. Hal ini merupakan kekhususan yang diberikan Allah untuk area ini, mengingat kedudukannya sebagai fondasi suci.
Keutamaan salat sunah di sini sangatlah tinggi, menjadikannya salah satu tempat paling didambakan oleh para peziarah. Namun, karena area ini sempit dan selalu ramai, peziarah harus bersabar dan berjuang untuk mendapatkan kesempatan salat sunah dua rakaat di dalamnya. Harus diingat, salat fardhu di dalam Hijir tidak diperbolehkan karena ia dianggap menghadap ke sebagian arah Ka'bah, bukan ke seluruhnya, meskipun terdapat perdebatan fikih minor mengenai hal ini.
Hijir Isma'il berada tepat di bawah Mizab al-Rahmah (Talang Rahmat), yaitu talang emas yang terletak di atap Ka'bah. Air hujan yang turun dari Ka'bah akan jatuh tepat ke dalam Hijir Isma'il. Air yang jatuh dari atap Ka'bah ini dianggap air yang diberkahi. Para ulama menyebutkan bahwa sangat disunahkan bagi peziarah untuk menghadap atau bahkan menyentuh air tersebut jika memungkinkan, meskipun dalam praktik modern, area tersebut dijaga ketat.
Kehadiran Mizab dan jatuhnya air hujan ke dalam Hijir menambah dimensi spiritual dan fisikal kesucian tempat tersebut, menekankan bahwa Hijir tidak hanya suci dari bawah (fondasi) tetapi juga dari atas (terpapar langsung oleh air yang menyentuh Baitullah).
Hijir Isma'il bukan hanya struktur batu; ia adalah tempat di mana doa-doa lebih mudah dikabulkan, tempat di mana seorang Muslim merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Allah SWT. Spiritualitas yang melingkupinya berasal dari tiga sumber utama: sejarah kenabian, statusnya sebagai Baitullah, dan rekomendasi Nabi Muhammad SAW.
Ribuan peziarah setiap hari berusaha masuk ke Hijir untuk menunaikan salat dan berdoa. Keyakinan umum di kalangan umat Islam adalah bahwa doa yang dipanjatkan di Hijir memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh Allah SWT, setara dengan berdoa di dalam Ka'bah itu sendiri. Ini didorong oleh hadis Nabi yang memposisikan Hijir sebagai bagian dari Rumah Allah.
Ketika seseorang berdiri di Hijir, ia secara fisik berada di area yang pernah menjadi tempat sujud Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il. Ini menciptakan koneksi temporal dan spiritual yang kuat, menghubungkan peziarah modern dengan tradisi monoteisme yang paling murni.
Emosi yang dirasakan di sana seringkali mendalam. Berdesakan dengan ribuan orang dari seluruh penjuru dunia, semua memiliki satu tujuan—berdoa di fondasi Ka'bah—menghadirkan persatuan umat yang nyata. Rasa syukur dan ketenangan sering menyelimuti mereka yang berhasil menunaikan salat dua rakaat di sana, seolah-olah mereka telah menyelesaikan perjalanan spiritual mereka di titik terdalam kesucian.
Secara spiritual, Hijir adalah monumen bagi ketabahan Hajar. Ketika peziarah memasuki Hijir, mereka diingatkan akan penderitaan dan keteguhan hati seorang ibu yang sendirian di gurun pasir. Kisah Hajar adalah pelajaran tentang tawakkal (ketergantungan penuh kepada Allah) dan perjuangan. Ini bukan sekadar sejarah, tetapi cetak biru spiritual bagi setiap Muslim.
Keberadaan makam Hajar dan Isma'il (sesuai tradisi) di bawah marmer Hijir menambah dimensi kerinduan. Peziarah tidak hanya salat di fondasi Ka'bah, tetapi juga di dekat tempat peristirahatan para leluhur keimanan, sebuah penghormatan diam kepada mereka yang memulai perjalanan ini.
Mizab al-Rahmah (Talang Rahmat) yang airnya jatuh ke Hijir adalah simbol rahmat ilahi yang terus mengalir. Air hujan yang menyentuh atap Ka'bah dan jatuh ke Hijir melambangkan pembersihan dan keberkahan yang dicurahkan secara langsung oleh Allah. Secara simbolis, ketika seseorang berada di Hijir, ia berada di bawah curahan rahmat tersebut, baik secara fisik maupun spiritual.
Meskipun terlihat sederhana, Hijir Isma'il adalah mahakarya arsitektur dalam konteks Masjidil Haram, dan manajemennya membutuhkan strategi yang cermat untuk menampung jutaan peziarah.
Dinding Hathim yang kita lihat hari ini adalah hasil dari restorasi yang dilakukan oleh berbagai dinasti Islam, terakhir oleh Kerajaan Arab Saudi. Dinding ini dibangun dari marmer murni, dengan ornamen kaligrafi halus yang diukir pada bagian atasnya. Marmer yang digunakan sangat tebal dan padat, dirancang untuk menahan tekanan dari jutaan orang yang berlalu lalang di sekitarnya saat tawaf.
Tingginya yang sekitar 1.32 meter (bervariasi) adalah ketinggian yang ideal. Ia cukup tinggi untuk mencegah orang melompatinya (yang dapat membatalkan tawaf mereka sendiri dan mengganggu salat di dalam), namun cukup rendah sehingga orang dapat melihat ke dalam dan merasakan koneksi dengan Ka'bah.
Lantai Hijir Isma'il terbuat dari marmer putih berkualitas sangat tinggi yang dirancang untuk menjaga suhu tetap sejuk, bahkan di bawah terik matahari Makkah. Marmer ini juga berfungsi sebagai permukaan yang cepat kering setelah hujan, terutama setelah air dari Mizab mengalir deras.
Di bawah lantai ini terdapat fondasi yang diyakini merupakan fondasi asli Ibrahim. Meskipun fondasi ini tidak terlihat, lokasinya yang ditandai dengan sempurna menunjukkan komitmen untuk mempertahankan integritas historis dan spiritual tempat tersebut.
Karena keutamaan salat di Hijir, area ini adalah salah satu titik paling padat di Masjidil Haram. Di musim haji dan umrah, akses ke Hijir sangat dibatasi dan diatur secara ketat oleh petugas. Peziarah biasanya diizinkan masuk dari salah satu ujung dan keluar dari ujung yang lain, dengan waktu yang sangat singkat untuk menunaikan salat sunah dua rakaat. Pintu masuk dan keluar dijaga untuk memastikan tidak ada kekacauan atau perkelahian yang terjadi.
Pengaturan ini didasarkan pada prinsip fikih: menjaga ketertiban umum (maslahah ammah) lebih diutamakan daripada keinginan individu untuk berlama-lama di tempat yang suci. Bagi yang tidak dapat masuk, salat menghadap Hijir dari area Tawaf pun dianggap sebagai ibadah yang mulia.
Eksistensi Hijir Isma'il mengajarkan kita pelajaran teologis yang mendalam mengenai kesempurnaan yang tertunda, batasan, dan janji ilahi.
Hijir Isma'il adalah pengingat abadi bahwa Ka'bah yang ada saat ini tidak sepenuhnya utuh sesuai dengan desain Nabi Ibrahim. Area yang dipisahkan oleh Quraisy karena keterbatasan dana menunjukkan kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia dalam melaksanakan perintah ilahi.
Namun, ketidaksempurnaan arsitektural ini menghasilkan kesempurnaan spiritual. Nabi SAW, meski memiliki otoritas untuk memperbaikinya, memilih untuk tidak melakukannya demi menjaga persatuan umat. Keputusan ini menunjukkan bahwa nilai persatuan dan menghindari fitnah (kekacauan) lebih tinggi daripada kesempurnaan struktural.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang tawaf harus menyertakan Hijir dalam putarannya, secara simbolis melengkapi kembali apa yang dipisahkan oleh sejarah. Tawaf adalah upaya spiritual untuk menyempurnakan Baitullah dalam kesadaran kita.
Hijir berfungsi sebagai batas yang sangat jelas antara ruang publik (area tawaf) dan ruang yang sangat privat dan sakral (fondasi Ka'bah). Batas ini mengajarkan umat Muslim pentingnya menghormati ruang suci dan batas-batas syariat.
Dinding Hathim menantang peziarah untuk mengendalikan diri. Di tengah hiruk pikuk tawaf, peziarah harus selalu sadar untuk tidak melangkah masuk. Ini adalah latihan disiplin visual, mental, dan fisik. Rasa hormat terhadap batas-batas ini adalah cerminan dari rasa hormat terhadap hukum Allah secara keseluruhan.
Dalam konteks modern, di mana batasan moral dan spiritual seringkali kabur, Hijir Isma'il berdiri sebagai benteng fisik yang mengingatkan kita bahwa ada garis-garis yang tidak boleh dilintasi.
Bagi jemaah yang baru pertama kali datang, panduan praktis mengenai Hijir sangat diperlukan agar ibadah mereka sah dan maksimal.
1. Jarak dari Hathim: Pastikan Anda menjaga jarak aman dari dinding Hathim saat tawaf. Berjalan terlalu dekat berisiko menyebabkan bagian tubuh atau pakaian Anda melintasi batas Hijir, yang dapat membatalkan putaran tawaf tersebut.
2. Kesadaran Hukum: Ingatlah bahwa tawaf adalah mengelilingi Ka'bah. Karena Hijir adalah Ka'bah, Anda harus mengelilingi Hijir. Kesadaran ini membantu jemaah mempertahankan fokus spiritual dan fikih mereka saat bergerak di antara kerumunan.
1. Niat dan Prioritas: Niatkan salat sunah dua rakaat sebagai salat di dalam Ka'bah. Prioritaskan ini di waktu-waktu luang di luar puncak musim haji. Jika tidak memungkinkan, jangan bersedih; niat baik tetap dicatat.
2. Kesabaran dan Keikhlasan: Mengingat antrean yang panjang, bersabar dan tidak egois adalah kunci. Jangan berlama-lama, berikan kesempatan kepada orang lain. Keikhlasan dalam menerima keterbatasan fisik adalah bagian dari ibadah.
3. Menghindari Kuburan: Meskipun tidak ada tanda yang jelas, sebagian ulama menyarankan untuk tidak berdoa persis di tengah-tengah Hijir, tetapi lebih mendekat ke dinding Ka'bah yang tegak (area enam hasta), untuk menghindari kemungkinan salat di atas makam Hajar dan Isma'il.
Mengunjungi Hijir Isma'il bukanlah hanya tentang mendapatkan tempat terbaik untuk berdoa, melainkan tentang menghormati warisan kenabian dan menaati sunah Rasulullah SAW.
Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah peziarah, pemeliharaan dan inovasi di sekitar Hijir Isma'il menjadi semakin krusial. Pemerintah Arab Saudi secara konsisten memastikan bahwa Hijir Isma'il tetap terjaga keaslian historisnya sambil memenuhi tuntutan logistik modern.
Marmer di Hijir dan Hathim membutuhkan pembersihan dan perawatan konstan. Karena terpapar jutaan sentuhan tangan dan kaki setiap tahun, marmer tersebut harus dibersihkan secara intensif beberapa kali sehari. Proses ini melibatkan penggunaan bahan pembersih khusus dan teknik pemolesan untuk memastikan kebersihan, yang merupakan bagian integral dari kesucian tempat tersebut.
Struktur Hathim sendiri diperiksa secara berkala untuk memastikan kekuatannya. Meskipun terbuat dari marmer kokoh, tekanan horizontal dari kerumunan massa yang bergerak cepat saat tawaf bisa menjadi tantangan struktural. Inspeksi rutin memastikan bahwa batas suci ini tidak pernah goyah.
Salah satu inovasi terbesar di Masjidil Haram adalah pemasangan ubin marmer khusus yang memantulkan panas. Meskipun seluruh lantai mataf (area tawaf) menggunakan marmer sejuk, perhatian khusus diberikan pada Hijir karena ia adalah area tempat jemaah duduk atau berdiri untuk salat. Marmer khusus ini membantu menjaga suhu permukaan tetap nyaman, bahkan di musim panas ekstrem, memungkinkan jemaah untuk beribadah dengan fokus penuh.
Mizab al-Rahmah, yang menjulur di atas Hijir, terbuat dari emas murni dan merupakan peninggalan bersejarah. Konservasinya dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemeliharaan Mizab melibatkan pemeriksaan rutin terhadap struktur internalnya untuk memastikan tidak ada kebocoran yang merusak atap Ka'bah atau dinding luarnya. Meskipun Mizab sering dicuci dengan air Zamzam dan parfum khusus, hanya pihak berwenang yang diizinkan melakukan pemeliharaan untuk menghindari kerusakan pada artefak suci tersebut.
Perhatian terhadap detail ini mencerminkan pengakuan bahwa Hijir Isma'il bukan sekadar area pelengkap, tetapi merupakan warisan sejarah yang harus dilestarikan dengan standar tertinggi.
Kedudukan Hijir Isma'il tidak hanya terbatas pada fikih dan arsitektur; ia juga abadi dalam sastra, puisi, dan pujian Islam sepanjang sejarah. Para penyair dan ulama telah menulis panjang lebar tentang keindahan dan keutamaan tempat ini, menjadikannya ikon yang melampaui batas geografis.
Dalam tradisi sastra Arab klasik dan Turki Utsmani, sering ditemukan baris-baris puisi yang menggambarkan kerinduan untuk mencium batu-batu di Hijir. Para penyair menggambarkan Hijir sebagai ‘Taman Surga di Bumi’ atau ‘Pelukan Terbuka Baitullah’. Puisi-puisi ini berfungsi sebagai penguat emosional bagi umat Muslim yang jauh dari Makkah, menanamkan harapan untuk suatu hari dapat bersujud di area suci tersebut.
Deskripsi-deskripsi ini biasanya menekankan kontras antara marmer putih Hijir yang tenang dan dinding Ka'bah yang gelap dan megah, sebuah dikotomi yang merefleksikan hubungan antara Nabi Isma'il (yang membangun pondasi) dan Nabi Ibrahim (yang mendirikan tembok utama).
Bagi kalangan sufi, Hijir Isma'il sering dipandang sebagai stasiun spiritual (maqam) yang sangat tinggi. Mereka melihatnya sebagai tempat yang paling dekat dengan ‘Hakikat’ Ka'bah karena ia mewakili fondasi yang paling murni dan paling tua. Mereka menekankan bahwa ketika salat di sana, seseorang harus mencapai tingkat kehadiran hati (khushu') yang maksimal, menyadari bahwa mereka berada di tempat peristirahatan para nabi.
Beberapa risalah sufi menganjurkan meditasi di Hijir, merefleksikan kepasrahan Hajar dan kesabaran Isma'il, menjadikannya titik fokus untuk latihan spiritual tentang kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.
Kehormatan Hijir Isma'il mengharuskan peziarah untuk mematuhi serangkaian etika dan larangan, sebagian besar bersifat konsensus spiritual meskipun tidak selalu merupakan hukum fikih yang mutlak.
Meskipun secara teknis tidak ada larangan fikih yang melarang tidur di area Hijir, hal ini sangat tidak dianjurkan. Hijir adalah area salat sunah dan munajat. Menggunakan tempat suci ini untuk beristirahat atau tidur dipandang sebagai tindakan yang meremehkan keutamaannya dan menghalangi orang lain yang ingin salat. Petugas Masjidil Haram seringkali meminta jemaah yang beristirahat terlalu lama untuk pindah, terutama saat area tersebut padat.
Sama seperti seluruh Masjidil Haram, menjaga kebersihan di Hijir adalah kewajiban mutlak. Jemaah diminta untuk memastikan pakaian mereka bersih, terutama saat salat. Karena lantai Hijir sangat sering dicuci dan diganti, peziarah harus berkontribusi dalam menjaga kesuciannya dengan tidak meninggalkan sampah atau kotoran. Mengingat fungsinya sebagai fondasi Ka'bah dan makam para nabi, kebersihan di sana adalah manifestasi dari penghormatan tertinggi.
Karena kepadatan dan keinginan yang tinggi untuk masuk, sering terjadi dorongan atau perselisihan di pintu masuk Hijir. Etika tertinggi dalam Islam, terutama di Tanah Suci, adalah menahan diri dari pertengkaran. Semua ulama sepakat bahwa beribadah dalam keadaan damai, bahkan jika itu berarti mengalah dan melepaskan kesempatan untuk masuk, lebih utama daripada berhasil masuk namun harus bersaing dan bertengkar dengan sesama Muslim.
Jauh melampaui marmer, Mizab, dan Hathim, Hikmah dari hijir adalah pelajaran tentang kesabaran, ketaatan, dan keikhlasan. Hijir Isma'il mengajarkan kita bahwa bagian yang ‘terpisah’ atau ‘tertinggal’ dalam pandangan manusia mungkin memiliki nilai yang paling agung di hadapan Allah SWT.
Fondasi yang ditinggalkan oleh Quraisy menjadi tempat yang paling diidamkan oleh jutaan hati. Ini adalah pengingat bahwa penilaian manusia bersifat sementara, sementara janji dan ketetapan Ilahi adalah abadi. Ia adalah kesaksian fisik bahwa perjuangan Hajar tidak sia-sia, dan pengorbanan Ibrahim diabadikan dalam setiap langkah tawaf.
Setiap jemaah yang melintasi area tawaf, melihat Mizab yang menjulang di atas Hijir, dan berdesakan untuk mencapai batas Hathim, membawa pulang pelajaran bahwa ketaatan sejati kadang-kadang berarti menerima batasan yang telah ditetapkan, dan di dalam batasan itulah, rahmat Allah dapat ditemukan dengan kepadatan dan keagungan yang tiada tara.
Hijir Isma'il akan terus berdiri sebagai simbol abadi dari keimanan murni, mengingatkan umat Islam di seluruh dunia bahwa warisan kenabian terus hidup dan mengalir, sejelas air Zamzam yang memancar di dekatnya.
Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk bersujud di Hijir Isma'il.