Hiwālah (الحوالة) secara harfiah berarti pengalihan atau transfer. Dalam konteks syariah, hiwālah merujuk pada pemindahan kewajiban pembayaran utang dari satu pihak (debitur awal) kepada pihak lain (debitur baru). Konsep ini merupakan salah satu kontrak keuangan klasik Islam yang memiliki peran penting dalam memfasilitasi transaksi dan menjamin kelancaran peredaran harta.
Secara etimologis, kata hiwālah berasal dari bahasa Arab yang berarti berubah, berpindah, atau mengalihkan. Ia mengandung makna perpindahan tanggung jawab dan beban. Dalam konteks yang lebih spesifik, ia adalah pemindahan tanggung jawab dari satu entitas ke entitas lain.
Secara terminologi fiqh, definisi hiwālah yang paling umum diterima, terutama oleh Mazhab Hanafī dan Shāfi'ī, adalah akad pemindahan utang (hak penagihan) dari tanggungan Muḥīl (debitur awal) kepada tanggungan Muḥāl ‘Alaih (debitur baru), yang dilakukan atas permintaan Muḥīl dan persetujuan Muḥtāl (kreditur).
Kontrak ini fundamental karena tidak hanya melibatkan dua pihak seperti pada utang-piutang biasa (dayn), tetapi melibatkan tiga pihak dan dua hubungan utang yang saling terkait, atau setidaknya satu hubungan utang dan satu transfer tanggung jawab, bergantung pada jenis hiwālah yang diterapkan.
Keabsahan hiwālah dalam hukum Islam didasarkan pada sumber-sumber syariah yang kuat, terutama Sunnah dan ijma' (konsensus ulama).
Dalil utama yang menjadi landasan adalah sabda Rasulullah ﷺ:
"Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (hiwālah) kepada orang yang kaya (mampu), maka hendaklah ia mengikutinya (menerima hiwālah tersebut)."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan dua poin penting: pertama, hiwālah adalah praktik yang diakui syariah; kedua, jika debitur baru (Muḥāl ‘Alaih) adalah pihak yang mampu membayar, kreditur (Muḥtāl) wajib menerima pengalihan tersebut. Kewajiban menerima ini menunjukkan bahwa kontrak hiwālah memberikan jaminan dan kemudahan, sehingga tidak boleh ditolak tanpa alasan yang sah.
Selain Sunnah, para fuqahā (ahli fiqh) juga menyepakati (ijma') kebolehan hiwālah karena ia memenuhi prinsip maṣlaḥah (kemaslahatan umum) dan merupakan bentuk kerjasama (ta'āwun) dalam membantu menyelesaikan kewajiban finansial. Ini dianggap sebagai kontrak yang meringankan beban, karena kreditur mendapatkan pihak baru yang lebih solid atau mudah dijangkau untuk menagih utangnya.
Secara historis, hiwālah berfungsi sebagai mekanisme transfer dana atau wesel (draft) pada masa kekhalifahan. Sebelum adanya sistem perbankan modern, hiwālah memungkinkan seorang pedagang di Baghdad untuk membayar utang kepada pemasok di Kairo tanpa harus memindahkan emas atau perak secara fisik melalui rute yang berbahaya.
Dengan hiwālah, pedagang di Baghdad akan mengalihkan utangnya kepada pihak ketiga (Muḥāl ‘Alaih) di Baghdad yang memiliki utang atau aset di Kairo. Kreditur di Kairo kemudian hanya perlu menagih kepada agen atau mitra Muḥāl ‘Alaih di Kairo. Ini adalah cikal bakal dari sistem transfer dana dan akseptasi di dunia modern, menunjukkan kecanggihan sistem hukum Islam dalam memfasilitasi perdagangan lintas batas.
*Skema dasar hiwālah, menunjukkan perpindahan tanggung jawab utang dari Muḥīl kepada Muḥāl ‘Alaih, sehingga Muḥtāl kini menagih kepada pihak ketiga.*
Agar akad hiwālah dianggap sah dan mengikat secara hukum syariah, ia harus memenuhi rukun (pilar) dasar dan serangkaian syarat yang ditetapkan oleh fuqahā.
Secara umum, rukun hiwālah melibatkan empat elemen utama, yang terdiri dari tiga pihak pelaku akad dan satu objek akad.
Muḥīl adalah debitur awal yang ingin melepaskan dirinya dari tanggung jawab utang dengan mengalihkannya kepada pihak lain. Syarat-syarat Muḥīl:
Muḥtāl adalah kreditur awal, yaitu pihak yang berhak menagih utang. Setelah hiwālah terjadi, ia akan menerima pengalihan hak tagih kepada Muḥāl ‘Alaih. Syarat-syarat Muḥtāl:
Muḥāl ‘Alaih adalah pihak ketiga yang setuju untuk menerima tanggung jawab pembayaran utang dari Muḥīl kepada Muḥtāl. Ia menjadi debitur baru. Syarat-syarat Muḥāl ‘Alaih:
Objek hiwālah adalah utang (dayn) itu sendiri yang dipindahkan. Syarat-syarat Utang:
Salah satu perbedaan paling signifikan antara mazhab-mazhab fiqh terkait hiwālah terletak pada syarat adanya utang timbal balik antara Muḥīl dan Muḥāl ‘Alaih.
Ini adalah poin krusial yang membagi jenis hiwālah:
Hiwālah Muqayyadah adalah bentuk hiwālah yang dikaitkan (terikat) dengan utang atau aset tertentu yang dimiliki Muḥāl ‘Alaih dari Muḥīl. Ini berarti Muḥāl ‘Alaih setuju membayar Muḥtāl hanya jika ia memang memiliki utang kepada Muḥīl.
Dalam hiwālah terikat, terjadi dua pelunasan (ibrā') secara simultan:
Hiwālah Muqayyadah adalah jenis yang lebih disukai oleh Mazhab Shāfi'ī dan sering digunakan dalam mekanisme L/C (Letter of Credit) Syariah, di mana bank (Muḥāl ‘Alaih) membayar penerima manfaat (Muḥtāl) berdasarkan dana yang telah dijaminkan atau utang yang diakui oleh nasabah (Muḥīl).
Hiwālah Muṭlaqah adalah pengalihan utang yang tidak dikaitkan dengan adanya utang Muḥāl ‘Alaih kepada Muḥīl. Dalam bentuk ini, Muḥāl ‘Alaih membayar Muḥtāl semata-mata atas dasar persetujuan dan ikrar untuk menanggung utang Muḥīl.
Implikasi hukum utama dari Hiwālah Muṭlaqah adalah bahwa setelah Muḥāl ‘Alaih membayar Muḥtāl, Muḥāl ‘Alaih berhak menagih kembali kepada Muḥīl (debitur awal). Hal ini karena Muḥāl ‘Alaih bertindak sebagai penjamin atau pemberi pinjaman kepada Muḥīl.
Dalam pandangan Mazhab Hanafī, jika Muḥāl ‘Alaih tidak memiliki utang kepada Muḥīl, maka hiwālah ini berfungsi ganda: ia adalah hiwālah dari sisi Muḥīl dan Muḥtāl (kreditur awal terbebaskan), dan ia adalah akad wakalah atau kafālah dari sisi Muḥāl ‘Alaih (pihak yang menanggung utang tersebut).
Setelah akad hiwālah dilaksanakan dengan sah, terjadi perubahan mendasar pada hubungan hukum di antara ketiga pihak. Konsekuensi ini sangat penting untuk dipahami karena menentukan siapa yang berhak menuntut dan siapa yang bertanggung jawab membayar.
Dampak utama bagi Muḥīl adalah pembebasan dari tanggung jawab utang (Ibrā'). Sekali hiwālah sah, utang Muḥīl kepada Muḥtāl gugur sepenuhnya. Muḥtāl tidak lagi berhak menuntut Muḥīl, bahkan jika Muḥāl ‘Alaih kemudian gagal bayar atau bangkrut.
Prinsip ini sangat ditekankan: pembebasan Muḥīl adalah konsekuensi langsung dari hiwālah, dan ini membedakannya secara tegas dari akad kafālah (penjaminan), di mana penjamin hanya menanggung utang bersama debitur awal. Dalam hiwālah, tanggung jawab hukum benar-benar berpindah.
Namun, Muḥīl tetap memiliki kewajiban terhadap Muḥāl ‘Alaih dalam Hiwālah Muṭlaqah. Jika Muḥāl ‘Alaih telah membayar Muḥtāl, Muḥīl wajib mengganti (melunasi utangnya kepada) Muḥāl ‘Alaih.
Hak tagih Muḥtāl berpindah sepenuhnya dari Muḥīl kepada Muḥāl ‘Alaih. Muḥtāl kini hanya boleh menuntut pembayaran dari Muḥāl ‘Alaih.
Jika Muḥāl ‘Alaih bangkrut atau menolak bayar setelah akad sah, Muḥtāl tidak bisa kembali menuntut Muḥīl. Dalam pandangan jumhur, risiko kegagalan bayar ditanggung oleh Muḥtāl, karena ia dianggap telah merelakan pembebasan Muḥīl saat menerima hiwālah. Risiko ini adalah bagian dari kontrak itu sendiri, terutama karena Hadis mewajibkan penerimaan hiwālah jika debitur baru mampu (kaya).
Muḥāl ‘Alaih secara hukum menggantikan posisi Muḥīl sebagai debitur utama.
Hiwālah sering disamakan atau dicampuradukkan dengan dua konsep muamalah lainnya: Kafālah (Penjaminan) dan Wakalah (Perwakilan). Memahami perbedaannya adalah kunci dalam penentuan konsekuensi hukum.
Kafālah: Akad penjaminan di mana Kafil (penjamin) menambahkan tanggung jawabnya sendiri kepada tanggungan utang debitur asal.
Hiwālah: Akad pengalihan utang dari Muḥīl ke Muḥāl ‘Alaih.
Wakalah: Akad pemberian kuasa di mana Wakil (agen) bertindak atas nama Muwakkil (prinsipal).
Hiwālah:
Perbedaan ini menjadi kabur dalam Hiwālah Muṭlaqah, di mana Muḥāl ‘Alaih membayar tanpa memiliki utang kepada Muḥīl. Dalam kasus ini, Muḥāl ‘Alaih dilihat oleh sebagian ulama sebagai wakil bi al-dayn (agen yang membayar utang), yang kemudian berhak menagih kembali kepada Muḥīl. Namun, secara formil, pembebasan Muḥīl dari Muḥtāl tetap merupakan ciri khas hiwālah.
Meskipun hiwālah diterima secara universal, terdapat perdebatan yuridis yang sangat rinci di antara empat mazhab utama mengenai syarat persetujuan, kemampuan finansial debitur baru, dan status utang yang mendasari. Perdebatan ini penting karena menentukan jenis hiwālah mana yang dapat digunakan dalam transaksi modern.
Sebagian besar ulama (jumhur) mensyaratkan persetujuan Muḥtāl agar hiwālah sah, berdasarkan prinsip umum kontrak (akad) yang memerlukan kerelaan pihak-pihak. Namun, Mazhab Hanbalī, berdasarkan teks Hadis yang memerintahkan kreditur mengikuti pihak yang kaya, berpendapat bahwa jika Muḥāl ‘Alaih terbukti kaya (yasar) dan mampu membayar, penolakan Muḥtāl tidak membatalkan hiwālah.
Argumentasi Ḥanbalī: Tujuan syariah adalah melindungi hak kreditur. Jika kreditur dialihkan kepada pihak yang lebih mampu, penolakannya dianggap menghalangi kemaslahatan dan penjaminan haknya, oleh karena itu hiwālah tetap sah. Namun, pandangan dominan tetap mengedepankan hak individu Muḥtāl untuk menentukan siapa debiturnya.
Seperti yang telah disinggung, Mazhab Shāfi'ī dan Mālikī bersikeras bahwa hiwālah hanya sah jika bersifat Muqayyadah, yaitu Muḥāl ‘Alaih harus berutang kepada Muḥīl.
Bagaimana jika Muḥāl ‘Alaih bangkrut (muflis) setelah hiwālah terjadi?
Jumhur ulama (termasuk Hanafī, Shāfi'ī, Mālikī, dan Ḥanbalī) sepakat bahwa kebangkrutan Muḥāl ‘Alaih tidak membatalkan hiwālah dan Muḥīl tetap terbebas dari utang. Muḥtāl harus menanggung kerugian, sama seperti ia menanggung kerugian jika debitur aslinya (Muḥīl) yang bangkrut.
Namun, ada pengecualian minoritas, terutama dari beberapa pendapat Mazhab Ḥanbalī yang berpendapat bahwa jika Muḥāl ‘Alaih bangkrut segera setelah akad, Muḥtāl memiliki hak regres (kembali menuntut) Muḥīl, terutama jika Muḥtāl menerima hiwālah atas dasar asumsi Muḥāl ‘Alaih kaya dan tidak mengetahui kebangkrutan tersebut. Namun, pandangan ini kurang populer dan bertentangan dengan prinsip dasar pelepasan tanggung jawab Muḥīl.
Dalam sistem keuangan modern, prinsip hiwālah menjadi dasar bagi berbagai instrumen dan layanan, khususnya dalam memfasilitasi transfer dana, pembayaran lintas batas, dan trade finance.
Fungsi hiwālah yang paling jelas dalam perbankan syariah adalah layanan transfer dana (remitansi). Ketika nasabah A mengirim uang kepada B melalui bank C, bank C bertindak sebagai Muḥāl ‘Alaih. Bank C menerima tanggung jawab pembayaran kepada B, yang berarti utang A kepada B (atau dana A yang disimpan di Bank C) telah dialihkan.
Pada dasarnya, ini adalah Hiwālah Muqayyadah, di mana bank C mengalihkan dana nasabah A (yang merupakan utang bank C kepada nasabah A) kepada penerima B. Bank C menggunakan utangnya sendiri kepada nasabah (Muḥīl) untuk melunasi utang (transfer) yang diminta.
Meskipun anjak piutang konvensional (Factoring) melibatkan penjualan piutang dengan diskon yang seringkali dilarang (riba), prinsip hiwālah dapat digunakan untuk memfasilitasi pelunasan piutang tanpa unsur jual beli utang.
Dalam skema Shariah-compliant factoring, bank dapat bertindak sebagai Muḥāl ‘Alaih untuk pembayaran piutang perusahaan (Muḥtāl) kepada kliennya (Muḥīl). Perusahaan tersebut mengalihkan hak tagihnya kepada bank, dan bank menerima tanggung jawab penagihan dan pembayaran (dengan imbalan fee atas jasa wakalah atau administrasi).
Hiwālah memainkan peran penting dalam mekanisme Letter of Credit (L/C) syariah, terutama dalam tahap penyelesaian pembayaran.
Mengingat bahwa hiwālah adalah kontrak yang mengalihkan tanggung jawab, manajemen risiko menjadi perhatian utama bagi semua pihak, terutama bagi Muḥtāl (kreditur).
Risiko terbesar yang dihadapi Muḥtāl adalah risiko gagal bayar (default risk) dari Muḥāl ‘Alaih. Karena Muḥīl dibebaskan secara hukum setelah hiwālah, Muḥtāl tidak memiliki jalan kembali untuk menuntut debitur awal.
Mitigasi Syariah: Inilah sebabnya mengapa Hadis Nabi ﷺ menekankan pentingnya Muḥāl ‘Alaih menjadi orang yang mampu (kaya). Meskipun ini bukan syarat keabsahan akad, ini adalah syarat etis dan praktis. Dalam perbankan modern, mitigasi dilakukan melalui:
Risiko hukum timbul jika utang yang dialihkan (Al-Ḥaqq) ternyata tidak sah atau dipersengketakan. Misalnya, jika utang Muḥīl kepada Muḥtāl berasal dari transaksi yang dibatalkan.
Jika utang dasar (antara Muḥīl dan Muḥtāl) dibatalkan karena suatu alasan (misalnya, adanya cacat pada objek jual beli yang mendasari utang), maka hiwālah secara otomatis ikut batal, dan Muḥtāl harus mengembalikan pembayaran yang telah diterima (jika sudah dibayar) atau Muḥāl ‘Alaih tidak wajib membayar. Prinsipnya, taba'iyyah (ketergantungan), menyatakan bahwa sahnya hiwālah tergantung pada sahnya utang yang dialihkan.
Dalam aplikasi kontemporer, lembaga keuangan (sebagai Muḥāl ‘Alaih atau fasilitator) tentu membebankan biaya untuk layanan transfer atau pengalihan tanggung jawab. Jika biaya ini dikenakan di luar jumlah utang yang dialihkan, ini diperbolehkan sepanjang biaya tersebut murni merupakan penggantian biaya operasional dan administrasi (ujrah) dan bukan bunga tersembunyi (riba).
Biaya ini sering dibebankan melalui akad wakalah terpisah (agen fee) yang dilakukan antara Muḥīl dan Muḥāl ‘Alaih untuk jasa pengalihan dan pelunasan utang.
Untuk memahami ruang lingkup hiwālah secara lebih mendalam, fuqahā membaginya menjadi dua kategori utama berdasarkan objek yang dialihkan: pemindahan hak tagih (hiwālatul ḥaqq) dan pemindahan utang/kewajiban (hiwālatud dayn).
Inilah bentuk hiwālah yang telah kita bahas di atas, di mana Muḥīl (debitur) mengalihkan kewajiban membayar utangnya kepada Muḥāl ‘Alaih (debitur baru). Fokusnya adalah pemindahan beban dari debitur lama ke debitur baru.
Karakteristiknya adalah pembebasan Muḥīl, dan ini membutuhkan persetujuan tegas dari ketiga belah pihak (kecuali dalam pandangan Hanbalī jika Muḥāl ‘Alaih kaya).
Hiwālatul Ḥaqq adalah pemindahan hak penagihan dari kreditur awal kepada kreditur baru. Dalam skenario ini, kreditur awal (Muḥīl—dalam konteks hak) mengalihkan haknya menagih utang yang dimiliki debitur (Muḥāl ‘Alaih—dalam konteks hak) kepada pihak ketiga (Muḥtāl—kreditur baru).
Contoh: A memiliki piutang kepada B. A menjual atau mengalihkan hak tagihnya kepada C. C kini berhak menagih B.
Perbedaan utama antara hiwālatul ḥaqq dan hiwālatud dayn terletak pada subjek yang digantikan:
Dalam hiwālatul ḥaqq, persetujuan debitur (yang kini menjadi Muḥāl ‘Alaih) tidak selalu mutlak, karena kewajiban bayar B tetap ada. B hanya perlu diinformasikan mengenai perubahan pihak yang berhak menerima pembayaran. Pandangan Mazhab Hanafī dan Mālikī cenderung lebih menerima transfer hak tagih ini.
Hiwālatul Ḥaqq sering kali disamakan dengan assignment of receivables (pengalihan piutang) dalam hukum konvensional. Syariah melarang penjualan utang (piutang) dengan harga diskon jika piutang tersebut adalah uang tunai (dayn naqdī) karena dapat jatuh ke dalam riba.
Namun, hiwālatul ḥaqq diperbolehkan jika tujuannya adalah transfer hak tagih (tanpa diskon) atau jika pengalihan tersebut didasari oleh kontrak kafālah atau wakalah untuk tujuan penagihan. Pengalihan piutang dagang yang bukan berupa uang tunai (misalnya barang tertentu) juga lebih fleksibel.
Untuk menyimpulkan analisis yuridis, penting untuk menetapkan sifat mengikat (luzum) dan kerelaan (riḍhā) dalam akad hiwālah.
Mayoritas fuqahā menganggap hiwālah sebagai akad yang mengikat (lāzim) setelah semua rukun dan syarat terpenuhi. Artinya, setelah akad sah, tidak ada pihak yang dapat membatalkannya secara sepihak (faskh), karena pembatalan akan merusak pembebasan tanggung jawab Muḥīl.
Begitu Muḥīl dibebaskan, ia tidak dapat kembali dibebani utang tersebut hanya karena salah satu pihak ingin membatalkan akad. Kewajiban Muḥāl ‘Alaih untuk membayar Muḥtāl adalah kewajiban yang mengikat.
Kerelaan dari Muḥīl, Muḥāl ‘Alaih, dan Muḥtāl (kecuali pengecualian Hanbalī) adalah syarat utama keabsahan.
Isu yang muncul adalah apakah ada hak opsi (khiyār) dalam hiwālah:
Hiwālah adalah salah satu instrumen fiqh muamalah yang paling elegan dan fungsional, dirancang untuk memfasilitasi likuiditas dan transfer risiko kredit dalam ekonomi Islam. Dengan prinsip dasar pemindahan tanggung jawab yang definitif, hiwālah memungkinkan penyelesaian utang-piutang tanpa pergerakan fisik komoditas atau uang tunai, sebuah konsep yang sangat maju pada masanya.
Perbedaan pandangan antar mazhab, terutama mengenai syarat Muqayyadah vs Muṭlaqah, tidak mengurangi keabsahan akad ini, tetapi justru memberikan fleksibilitas implementasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan struktur risiko dalam transaksi keuangan kontemporer. Dalam praktiknya, lembaga keuangan syariah cenderung menggunakan struktur Hiwālah Muqayyadah untuk memastikan adanya dasar aset atau utang yang mendasari transfer, sehingga selaras dengan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam manajemen risiko dan mengurangi ketidakpastian hukum.
Memahami rukun-rukun hiwālah—Muḥīl yang dibebaskan, Muḥtāl yang menerima penggantian kreditur, dan Muḥāl ‘Alaih yang menanggung beban utang—adalah fondasi untuk mengaplikasikan kontrak ini dalam setiap aspek keuangan syariah, mulai dari remitansi sederhana hingga skema pembiayaan perdagangan internasional yang kompleks. Hiwālah tetap menjadi pilar vital yang mendukung stabilitas dan efisiensi sistem muamalah.
***