Memahami Hukum Perkawinan di Indonesia

Perkawinan adalah salah satu lembaga fundamental dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia, membentuk inti dari unit keluarga dan menjadi fondasi bagi kelangsungan generasi. Di Indonesia, sebuah negara dengan keragaman budaya dan agama yang kaya, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai ikatan spiritual atau komitmen personal antara dua individu, tetapi juga sebagai institusi yang diatur secara ketat oleh hukum negara. Pengaturan hukum ini bertujuan untuk memastikan ketertiban, keadilan, dan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam perkawinan, termasuk suami, istri, dan terutama anak-anak yang lahir dari ikatan tersebut.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk hukum perkawinan di Indonesia, dimulai dari dasar hukum yang menjadi pijakan utamanya, syarat-syarat yang harus dipenuhi, proses pelaksanaannya, hingga berbagai konsekuensi hukum yang muncul dari perkawinan, termasuk hak dan kewajiban pasangan, harta benda perkawinan, perjanjian perkawinan, pembatalan, dan putusnya perkawinan. Dengan pemahaman yang komprehensif mengenai aspek-aspek ini, diharapkan masyarakat dapat menjalani perkawinan dengan penuh kesadaran akan hak dan kewajibannya, serta mampu mengantisipasi berbagai tantangan hukum yang mungkin timbul.

1. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia memiliki dasar yang kuat dan berlapis, mencerminkan keragaman masyarakat serta upaya negara dalam menciptakan tatanan yang adil dan harmonis. Pilar utama hukum perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Undang-Undang ini merupakan tonggak sejarah yang mengatur secara komprehensif aspek-aspek perkawinan bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa membedakan agama atau golongan.

Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya dinamika sosial, UUP No. 1 Tahun 1974 mengalami beberapa kali perubahan, yang paling signifikan adalah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan ini krusial, terutama dalam hal penetapan batas usia perkawinan yang bertujuan untuk mencegah praktik perkawinan anak dan melindungi hak-hak anak.

1.1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UUP)

Sebelum adanya UUP, hukum perkawinan di Indonesia sangat heterogen, bergantung pada hukum adat, hukum agama, dan hukum kolonial yang berlaku. UUP No. 1 Tahun 1974 hadir sebagai upaya unifikasi hukum perkawinan, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan perbedaan yang ada, terutama bagi pemeluk agama Islam. UUP menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Beberapa prinsip dasar yang ditegakkan oleh UUP adalah:

• Asas Monogami: UUP secara prinsip menganut asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, UUP memberikan pengecualian terbatas bagi pria untuk berpoligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan izin dari pengadilan.
• Pencatatan Perkawinan: UUP mewajibkan setiap perkawinan untuk dicatat. Pencatatan ini bukan syarat sahnya perkawinan secara agama, tetapi merupakan syarat untuk mendapatkan legalitas dan kekuatan hukum di mata negara.
• Tujuan Perkawinan: Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1.2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (Perubahan UUP)

Revisi UUP melalui UU No. 16 Tahun 2019 memiliki dampak yang sangat besar, terutama terkait dengan masalah usia perkawinan. Sebelum revisi, batas usia perkawinan bagi wanita adalah 16 tahun dan bagi pria 19 tahun. Ketentuan ini kerap dikritik karena dianggap memfasilitasi perkawinan anak, yang berdampak negatif terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan, dan kesejahteraan anak perempuan.

Melalui UU No. 16 Tahun 2019, batas usia perkawinan diubah menjadi sama untuk pria dan wanita, yaitu minimal 19 tahun. Perubahan ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam upaya perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia. Selain itu, UU ini juga memperjelas ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang kini dapat dibuat tidak hanya sebelum, tetapi juga selama perkawinan berlangsung.

1.3. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Bagi pemeluk agama Islam di Indonesia, selain UUP, terdapat juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI menjadi pedoman utama bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi umat Islam. Meskipun KHI merupakan instruksi presiden dan bukan undang-undang, putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/Pdt/1991 telah mengukuhkan status KHI sebagai hukum formal di lingkungan Peradilan Agama.

KHI mengatur secara lebih detail mengenai aspek-aspek perkawinan sesuai dengan syariat Islam, seperti:

• Rukun dan syarat perkawinan (calon mempelai, wali, saksi, ijab qabul).
• Mahar.
• Larangan perkawinan.
• Poligami (dengan syarat yang sangat ketat).
• Putusnya perkawinan (talak, gugat cerai, fasakh, khulu').

Meskipun ada KHI, UUP tetap menjadi payung hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Artinya, prinsip-prinsip umum UUP berlaku bagi semua, sementara KHI menjadi pedoman spesifik bagi umat Islam sepanjang tidak bertentangan dengan UUP.

1.4. Peraturan Pelaksana Lainnya

Selain undang-undang tersebut, terdapat pula berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah yang menjadi pelengkap dalam implementasi hukum perkawinan, terutama terkait dengan prosedur pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi Muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim, serta tata cara permohonan dispensasi perkawinan di pengadilan.

2. Definisi dan Tujuan Perkawinan

Memahami definisi dan tujuan perkawinan menurut hukum adalah krusial untuk menguraikan segala aspek yang mengikutinya. Hukum tidak hanya mengatur bagaimana perkawinan dilaksanakan, tetapi juga mengapa ia ada dan apa yang seharusnya dicapai olehnya.

2.1. Definisi Perkawinan Menurut Hukum

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), perkawinan didefinisikan sebagai:

"Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Definisi ini mengandung beberapa elemen penting:

• Ikatan Lahir Batin: Menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya sekadar formalitas hukum (lahir), tetapi juga melibatkan komitmen emosional, spiritual, dan fisik (batin) antara pasangan. Ini mencakup cinta, kasih sayang, saling pengertian, dan komitmen moral.
• Antara Seorang Pria dan Seorang Wanita: Menegaskan prinsip heteroseksual dan monogami sebagai dasar perkawinan di Indonesia.
• Sebagai Suami Istri: Menyiratkan peran dan status hukum yang jelas bagi masing-masing pihak dalam hubungan tersebut.
• Tujuan Membentuk Keluarga (Rumah Tangga): Menekankan bahwa perkawinan adalah fondasi utama pembentukan unit keluarga, yang merupakan unit terkecil masyarakat.
• Yang Bahagia dan Kekal: Menunjukkan aspirasi luhur dari perkawinan, yaitu mencapai kebahagiaan yang langgeng dan tidak mudah pecah.
• Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa: Menegaskan dimensi spiritual dan religius perkawinan di Indonesia, sesuai dengan sila pertama Pancasila. Ini juga menggarisbawahi pentingnya pelaksanaan perkawinan sesuai ajaran agama masing-masing.

Definisi ini menjadi dasar bagi semua peraturan lebih lanjut mengenai syarat, hak, kewajiban, hingga putusnya perkawinan.

2.2. Tujuan Luhur Perkawinan

Selain tujuan umum yang disebutkan dalam Pasal 1 UUP, perkawinan memiliki tujuan-tujuan luhur lainnya yang tersirat maupun tersurat dalam berbagai norma hukum dan nilai-nilai sosial:

1. Melanjutkan Keturunan: Salah satu tujuan biologis dan sosial perkawinan adalah untuk melahirkan dan membesarkan anak, sehingga menjamin kelangsungan generasi manusia. Hukum perkawinan memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
2. Menciptakan Keturunan yang Saleh/Salihah dan Berkualitas: Terutama dalam pandangan agama, perkawinan diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang baik, berakhlak mulia, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
3. Mendapatkan Ketenangan Jiwa (Sakinah): Dalam banyak agama, khususnya Islam, perkawinan dipandang sebagai sarana untuk mencapai ketenangan, kedamaian, dan keharmonisan hidup (sakinah, mawaddah, warahmah).
4. Memenuhi Kebutuhan Biologis Secara Sah: Perkawinan adalah satu-satunya jalan yang diakui secara hukum dan agama untuk memenuhi kebutuhan seksual secara halal dan bertanggung jawab, mencegah perzinaan, dan penyakit sosial lainnya.
5. Membina Hubungan Sosial dan Kekeluargaan: Perkawinan tidak hanya mengikat dua individu, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar, memperluas jaringan kekerabatan dan memperkuat tali silaturahmi.
6. Perlindungan Hukum bagi Pasangan dan Anak: Melalui pencatatan perkawinan, negara memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap status suami-istri, harta benda, hak asuh anak, dan warisan. Tanpa pencatatan, pasangan dan anak-anak dapat kehilangan banyak hak-hak fundamental.
7. Menjaga Ketertiban Masyarakat: Dengan adanya pengaturan hukum yang jelas, perkawinan membantu menjaga norma dan etika sosial, mencegah konflik, serta menciptakan masyarakat yang teratur dan beradab.

Secara keseluruhan, tujuan perkawinan sangat multidimensional, mencakup dimensi personal, sosial, spiritual, dan hukum. Semua tujuan ini saling terkait dan menjadi alasan utama mengapa negara merasa perlu untuk mengatur institusi perkawinan secara ketat dan komprehensif.

3. Syarat-Syarat Perkawinan

Agar sebuah perkawinan dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum, calon mempelai harus memenuhi serangkaian syarat yang diatur dalam undang-undang. Syarat-syarat ini dapat dibagi menjadi dua kategori besar: syarat materil (substantif) dan syarat formil (prosedural).

3.1. Syarat Materil Perkawinan

Syarat materil adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan substansi dan kualitas calon mempelai serta hubungan mereka. Kegagalan memenuhi syarat materil dapat menyebabkan perkawinan tidak sah atau dapat dibatalkan.

3.1.1. Usia Perkawinan

Ini adalah salah satu syarat terpenting dan sering menjadi subjek perubahan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia perkawinan bagi pria dan wanita telah disamakan menjadi minimal 19 (sembilan belas) tahun. Tujuan dari perubahan ini adalah:

• Pencegahan Perkawinan Anak: Perkawinan di bawah umur dapat berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, pendidikan, dan perkembangan psikologis anak.
• Kematangan Fisik dan Mental: Usia 19 tahun dianggap sebagai usia minimal di mana individu sudah cukup matang secara fisik, mental, dan emosional untuk mengemban tanggung jawab perkawinan dan rumah tangga.
• Perlindungan Hak Anak: Memastikan anak dapat menikmati masa kanak-kanak dan remajanya untuk pendidikan dan tumbuh kembang optimal.

Jika ada calon mempelai yang berusia di bawah 19 tahun, mereka dapat mengajukan permohonan dispensasi perkawinan kepada pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim atau Pengadilan Negeri bagi non-Muslim). Permohonan dispensasi ini hanya akan dikabulkan jika ada alasan-alasan mendesak yang disertai bukti-bukti pendukung yang kuat, serta setelah mendengarkan pertimbangan dari kedua calon mempelai dan orang tua mereka.

3.1.2. Persetujuan Calon Mempelai

Perkawinan harus didasari oleh persetujuan bebas dari kedua calon mempelai, tanpa paksaan dari pihak manapun. Pasal 6 ayat (1) UUP menyatakan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan ini harus diberikan secara sadar, tanpa tekanan, ancaman, atau penipuan. Jika terbukti ada paksaan, perkawinan dapat menjadi alasan untuk pembatalan.

3.1.3. Izin Orang Tua

Bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun, UUP Pasal 6 ayat (2) mensyaratkan adanya izin dari kedua orang tua. Jika salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, izin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau yang dapat menyatakan kehendaknya. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, izin diberikan oleh wali, atau orang lain yang memelihara atau yang berkedudukan sebagai pengganti orang tua. Jika ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, atau antara calon mempelai dengan orang tua/wali, masalah ini dapat dimintakan penetapan kepada pengadilan.

3.1.4. Tidak Ada Halangan Perkawinan (Larangan)

Ada beberapa larangan perkawinan yang diatur dalam UUP dan KHI, bertujuan untuk menjaga kesucian hubungan, garis keturunan, dan ketertiban sosial. Larangan-larangan ini meliputi:

1. Hubungan Darah (Nasab):
   • Dengan orang tua, kakek/nenek, dan keturunan ke atas/ke bawah.
   • Dengan anak, cucu, dan keturunan ke bawah.
   • Dengan saudara sekandung, saudara seayah, saudara seibu.
   • Dengan paman, bibi, dan keturunan dari saudara paman/bibi.
2. Hubungan Semenda (Perkawinan):
   • Dengan mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ayah tiri.
   • Dengan bekas istri/suami dari anak/cucu.
3. Hubungan Susuan (bagi Muslim): Bagi wanita Muslim, dilarang menikah dengan pria yang pernah disusui oleh ibu yang sama, atau saudara sesusuan, atau anak susuan.
4. Memiliki Ikatan Perkawinan yang Sah dengan Orang Lain: Sesuai asas monogami, seseorang tidak boleh menikah jika masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Pengecualian poligami bagi pria Muslim sangat ketat dan memerlukan izin pengadilan.
5. Perbedaan Agama: UUP tidak mengatur secara tegas larangan perkawinan beda agama. Namun, Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam praktiknya, sebagian besar agama di Indonesia tidak mengakui perkawinan beda agama secara sakral, sehingga pencatatan di Catatan Sipil seringkali menjadi sulit, meskipun ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan pencatatan perkawinan beda agama dengan mekanisme tertentu.
6. Masa Iddah (bagi Muslimah): Seorang wanita Muslim yang baru bercerai atau suaminya meninggal dunia harus melewati masa iddah (masa tunggu) sebelum dapat menikah lagi.

3.1.5. Syarat Tambahan bagi Muslim

Bagi calon mempelai yang beragama Islam, terdapat beberapa syarat materil tambahan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI):

• Wali Nikah: Wajib bagi calon mempelai wanita untuk memiliki wali nikah (ayah, kakek, saudara laki-laki, dll.) yang akan menikahkan dirinya. Jika tidak ada wali nasab, dapat digunakan wali hakim.
• Saksi: Minimal dua orang saksi laki-laki Muslim yang adil.
• Ijab Qabul: Adanya ucapan ijab dari wali dan qabul dari calon mempelai pria yang menunjukkan kesepakatan untuk menikah.
• Mahar: Pemberian mahar (mas kawin) oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, yang merupakan hak mutlak istri.

3.2. Syarat Formil Perkawinan

Syarat formil berkaitan dengan prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan agar sah di mata negara.

3.2.1. Pemberitahuan ke Kantor Pencatat Perkawinan

Calon mempelai wajib memberitahukan niat perkawinan mereka kepada pejabat pencatat perkawinan (Kantor Urusan Agama untuk Muslim, Kantor Catatan Sipil untuk non-Muslim) minimal 10 (sepuluh) hari kerja sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Pemberitahuan ini disertai dengan dokumen-dokumen seperti surat pengantar dari RT/RW/Kelurahan/Desa, KTP, akta kelahiran, pas foto, dan surat pernyataan belum pernah menikah (atau akta cerai/kematian jika janda/duda).

3.2.2. Pelaksanaan Upacara Perkawinan

Setelah syarat materil terpenuhi dan pemberitahuan telah dilakukan, upacara perkawinan dapat dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai. Prosesi ini biasanya melibatkan penghulu atau rohaniawan yang memimpin upacara.

3.2.3. Pencatatan Perkawinan

Ini adalah syarat formil yang paling krusial untuk legalitas negara. Setelah upacara perkawinan selesai, pejabat pencatat perkawinan akan mencatat perkawinan tersebut dalam daftar register yang disediakan dan menerbitkan Akta Perkawinan. Akta ini adalah bukti otentik yang sah di mata hukum bahwa perkawinan telah terjadi. Perkawinan yang tidak dicatat, meskipun sah secara agama, tidak memiliki kekuatan hukum di negara dan seringkali disebut sebagai "kawin siri".

Memenuhi semua syarat ini adalah langkah pertama yang sangat penting dalam membangun ikatan perkawinan yang sah dan terlindungi secara hukum di Indonesia. Kegagalan dalam memenuhi salah satu syarat ini dapat menimbulkan berbagai masalah hukum di kemudian hari, mulai dari status anak, hak waris, hingga pembagian harta.

4. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah salah satu aspek terpenting dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang membedakan perkawinan yang sah secara agama saja dengan perkawinan yang sah secara hukum negara. Meskipun UUP Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu," namun ayat (2) melanjutkan dengan "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Ini menunjukkan bahwa pencatatan adalah kewajiban hukum yang memiliki konsekuensi besar.

4.1. Pentingnya Legalitas dan Perlindungan Hukum

Pencatatan perkawinan berfungsi sebagai bukti otentik yang tak terbantahkan bahwa suatu perkawinan telah terjadi. Akta perkawinan yang dikeluarkan oleh negara adalah dokumen resmi yang memberikan kepastian hukum dan berbagai perlindungan, antara lain:

• Status Suami Istri yang Jelas: Menetapkan status hukum yang sah bagi kedua pasangan sebagai suami dan istri.
• Status Anak yang Jelas: Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dicatat secara otomatis berstatus anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga memiliki hak-hak sipil penuh seperti hak waris, hak nafkah, hak perwalian, dan pencatatan akta kelahiran yang mudah.
• Perlindungan Harta Benda Perkawinan: Memudahkan pembuktian kepemilikan harta bersama (gono-gini) dan harta bawaan, terutama jika terjadi sengketa atau perceraian.
• Kemudahan Administrasi: Diperlukan untuk berbagai keperluan administratif seperti pembuatan kartu keluarga, paspor, pengajuan kredit, tunjangan, dan lain-lain.
• Pencegahan Nikah Ganda: Sistem pencatatan membantu mencegah praktik nikah ganda yang ilegal dan merugikan.
• Dasar Hukum untuk Perceraian: Perkawinan yang tidak dicatat tidak dapat diproses perceraiannya melalui pengadilan agama atau negeri, sehingga menyulitkan penyelesaian sengketa dan hak-hak pasca-perceraian.

4.2. Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil

Badan yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan di Indonesia dibagi berdasarkan agama calon mempelai:

• Kantor Urusan Agama (KUA): Berwenang mencatat perkawinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Proses pencatatan dilakukan oleh seorang Penghulu.
• Kantor Catatan Sipil: Berwenang mencatat perkawinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, serta warga negara asing yang menikah di Indonesia. Proses pencatatan dilakukan oleh Pejabat Pencatat Sipil.

Prosedur pencatatan di kedua lembaga ini umumnya serupa, diawali dengan pendaftaran, pemeriksaan dokumen, pengumuman kehendak perkawinan, pelaksanaan upacara (akad nikah/pemberkatan), dan diakhiri dengan penandatanganan akta perkawinan.

4.3. Akta Perkawinan sebagai Bukti Sah

Setelah perkawinan dicatat, pasangan akan menerima Akta Perkawinan atau Buku Nikah (bagi Muslim). Dokumen ini adalah satu-satunya bukti sah perkawinan di mata negara. Akta atau Buku Nikah berisi informasi penting seperti nama lengkap suami dan istri, tanggal dan tempat lahir, agama, pekerjaan, nama orang tua, tanggal dan tempat perkawinan, serta nomor registrasi. Dokumen ini harus disimpan dengan baik karena akan menjadi dasar hukum untuk berbagai keperluan di masa mendatang.

4.4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatat (Kawin Siri)

Perkawinan yang hanya sah secara agama namun tidak dicatat oleh negara, yang populer disebut "kawin siri", memiliki konsekuensi hukum yang sangat signifikan dan seringkali merugikan, terutama bagi istri dan anak:

• Tidak Ada Kekuatan Hukum di Mata Negara: Negara tidak mengakui keberadaan perkawinan tersebut, sehingga pasangan tidak memiliki status suami istri secara legal.
• Kesusahan dalam Bukti: Sangat sulit untuk membuktikan hubungan suami istri di hadapan hukum jika terjadi sengketa, misalnya saat mengajukan gugatan cerai, pembagian harta, atau hak asuh anak.
• Status Anak: Anak yang lahir dari perkawinan siri secara otomatis berstatus anak luar kawin atau anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Meskipun Pasal 43 ayat (1) UUP jo. UU No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan UUP mengakui anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, serta dengan ayah dan keluarga ayahnya sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum memiliki hubungan darah, namun penetapan ini memerlukan proses pengadilan yang rumit dan panjang. Ini juga memengaruhi hak waris dan hak perwalian anak.
• Tidak Ada Hak Nafkah dan Harta Bersama: Istri yang kawin siri sangat rentan tidak mendapatkan hak nafkah jika suami menelantarkan, dan kesulitan menuntut hak atas harta bersama jika terjadi perceraian.
• Sulit Mengurus Administrasi: Kesulitan mengurus dokumen penting seperti kartu keluarga, akta kelahiran anak (yang harus melewati penetapan pengadilan), paspor, dan lain-lain.
• Risiko Poligami Ilegal: Pria dapat dengan mudah melakukan poligami tanpa izin pengadilan, karena perkawinan siri tidak tercatat.

Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari perkawinan yang tidak dicatat, sangat dianjurkan bagi setiap pasangan untuk selalu mencatatkan perkawinan mereka di lembaga yang berwenang setelah melangsungkan upacara perkawinan sesuai agama.

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Setelah perkawinan dilangsungkan dan dicatat secara sah, munculah serangkaian hak dan kewajiban hukum bagi suami dan istri. Pengaturan hak dan kewajiban ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan, keadilan, dan keharmonisan dalam rumah tangga, serta melindungi kepentingan masing-masing pihak.

5.1. Prinsip Umum Kesetaraan dan Saling Menghormati

UUP menganut prinsip kesetaraan dalam rumah tangga, meskipun dengan pembagian peran yang kadang masih bernuansa tradisional. Pasal 31 ayat (1) UUP menyatakan, "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat." Hal ini dipertegas dengan kewajiban untuk saling mencintai, menghormati, setia, dan tolong-menolong.

5.2. Kewajiban Suami

Secara umum, kewajiban suami menurut UUP dan KHI meliputi:

1. Melindungi Istri dan Memberikan Segala Sesuatu yang Diperlukan: Suami adalah kepala keluarga dan tulang punggung keluarga (Pasal 34 ayat 1 UUP). Ia bertanggung jawab untuk melindungi istrinya dan memberikan nafkah lahir dan batin.
2. Memberikan Nafkah: Ini adalah kewajiban paling fundamental bagi suami. Nafkah meliputi biaya hidup, pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan istri serta anak-anak (Pasal 34 ayat 2 UUP). Kewajiban ini tetap berlaku meskipun istri memiliki penghasilan sendiri.
3. Setia: Suami wajib setia kepada istrinya dan tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau norma agama, termasuk berpoligami tanpa izin yang sah atau melakukan perzinaan.
4. Memberikan Bimbingan dan Pendidikan Agama: Bagi Muslim, suami berkewajiban membimbing istri dan anak-anak dalam kehidupan beragama.
5. Bersama-sama Memikul Beban Rumah Tangga: Meskipun suami adalah kepala keluarga, UUP menekankan pentingnya kerja sama dalam mengelola rumah tangga.

5.3. Kewajiban Istri

Kewajiban istri menurut UUP dan KHI antara lain:

1. Mengatur Rumah Tangga Sebaik-baiknya: Istri memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan memelihara keutuhan keluarga (Pasal 34 ayat 2 UUP). Namun, ini tidak berarti istri hanya bertanggung jawab atas urusan domestik; peran ini dapat dibagi sesuai kesepakatan dan kondisi keluarga.
2. Setia: Sama seperti suami, istri juga wajib setia kepada suaminya.
3. Saling Menghormati dan Membantu: Istri wajib menghormati suami dan membantu suami dalam menjalankan kewajibannya.
4. Tidak Melakukan Perbuatan yang Bertentangan dengan Kesusilaan: Istri wajib menjaga kehormatan diri dan keluarga.

5.4. Hak Bersama Suami Istri

Selain kewajiban masing-masing, ada pula hak-hak yang dimiliki bersama oleh suami dan istri:

1. Hidup Bersama dalam Satu Rumah Tangga: Keduanya berhak untuk tinggal bersama dan membangun kehidupan keluarga.
2. Mendapatkan Pergaulan dan Kasih Sayang: Keduanya berhak mendapatkan perlakuan yang baik, kasih sayang, dan perhatian dari pasangannya.
3. Saling Membantu dan Melindungi: Keduanya wajib dan berhak untuk saling membantu dan melindungi satu sama lain dalam menghadapi berbagai situasi.
4. Mendapatkan Keturunan dan Mengasuhnya: Keduanya berhak untuk memiliki anak dan bersama-sama bertanggung jawab atas pengasuhan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.
5. Mengatur Harta Benda Perkawinan: Keduanya memiliki hak dan kewenangan atas harta benda yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama), kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang mengatur lain.

5.5. Harta Benda Perkawinan

Isu harta benda perkawinan adalah salah satu yang paling sering menimbulkan sengketa jika terjadi perceraian. UUP membedakan antara:

5.5.1. Harta Bersama (Gono-gini)

Menurut Pasal 35 ayat (1) UUP, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (gono-gini). Harta ini dimiliki secara bersama oleh suami dan istri dan jika terjadi perceraian, pembagiannya adalah masing-masing mendapatkan separuh, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan atau berdasarkan putusan pengadilan yang mempertimbangkan kontribusi masing-masing.

Pengelolaan harta bersama harus atas persetujuan kedua belah pihak. Misalnya, penjualan aset penting seperti rumah atau tanah yang masuk kategori harta bersama memerlukan tanda tangan suami dan istri.

5.5.2. Harta Bawaan

Harta bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing suami atau istri sebelum perkawinan, atau harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan selama perkawinan. Harta bawaan tetap berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat 2 UUP). Artinya, harta bawaan tidak termasuk dalam pembagian harta bersama jika terjadi perceraian.

5.5.3. Perjanjian Perkawinan

Pasangan dapat membuat perjanjian perkawinan yang mengatur tentang harta benda. Perjanjian ini dapat berisi ketentuan mengenai pemisahan harta (harta bersama tidak ada, masing-masing memiliki hartanya sendiri), atau pembagian harta secara proporsional. Perjanjian ini harus dibuat dalam bentuk akta notaris dan disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan untuk memiliki kekuatan hukum. Pembahasan lebih lanjut mengenai perjanjian perkawinan akan ada di sesi berikutnya.

Pemahaman yang jelas tentang hak dan kewajiban ini sangat penting untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan mencegah konflik di masa depan. Jika terjadi perselisihan terkait hak dan kewajiban, mediasi atau konsultasi hukum dapat menjadi jalan keluar.

6. Perjanjian Perkawinan (Prenuptial Agreement)

Perjanjian perkawinan, yang sering disebut juga prenuptial agreement (perjanjian pra-nikah) atau postnuptial agreement (perjanjian pasca-nikah), adalah sebuah instrumen hukum yang semakin relevan dalam konteks perkawinan modern. Perjanjian ini memungkinkan calon pasangan atau pasangan yang sudah menikah untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari hubungan hukum mereka, terutama terkait dengan harta benda.

6.1. Definisi dan Tujuan

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri atau suami istri yang sudah menikah, yang isinya mengatur tentang hak dan kewajiban mereka, terutama mengenai harta benda perkawinan, serta hal-hal lain yang terkait dengan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan agama.

Tujuan utama dari perjanjian perkawinan adalah:

• Memberikan Kepastian Hukum: Mengurangi potensi sengketa di masa depan, terutama terkait harta benda jika terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak.
• Melindungi Harta Bawaan: Memastikan harta yang dimiliki sebelum perkawinan atau yang diperoleh dari warisan/hibah selama perkawinan tetap menjadi milik pribadi masing-masing.
• Mengatur Pemisahan Harta: Memungkinkan pasangan untuk tidak memiliki harta bersama (gono-gini), sehingga masing-masing pihak memiliki dan mengelola hartanya sendiri secara independen.
• Melindungi Bisnis atau Kewajiban Utang: Bagi pasangan yang memiliki bisnis atau utang pribadi, perjanjian ini dapat melindungi aset pribadi pasangan lainnya dari risiko bisnis atau utang tersebut.
• Mengatur Hak dan Kewajiban Lain: Meskipun fokusnya pada harta, perjanjian perkawinan juga bisa mengatur hal lain seperti hak asuh anak (meskipun ini tidak bisa mutlak mengikat pengadilan), kewajiban pendidikan anak, atau bahkan hal-hal non-materi lainnya, selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.

6.2. Waktu Pembuatan Perjanjian Perkawinan

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Jika tidak dibuat pada waktu tersebut, maka rezim harta yang berlaku adalah harta bersama. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dan kemudian diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, ketentuan ini telah diubah secara signifikan:

Pasal 29 UUP (setelah perubahan) menyatakan:

1. Pada waktu dilangsungkannya perkawinan, kedua pihak dengan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
2. Perjanjian tersebut berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang menyangkut hak-hak perjanjian harta benda perkawinan.
3. Perjanjian tersebut dapat diubah atau dicabut atas persetujuan kedua belah pihak.
4. Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan.
5. Perubahan perjanjian perkawinan tidak dapat merugikan pihak ketiga.

Poin pentingnya adalah perjanjian perkawinan kini dapat dibuat kapan saja, baik sebelum, pada saat, maupun selama perkawinan berlangsung. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pasangan untuk mengatur harta benda mereka sesuai dengan kebutuhan dan perubahan kondisi hidup.

6.3. Isi Perjanjian Perkawinan

Isi perjanjian perkawinan sangat bervariasi tergantung pada keinginan pasangan, namun yang paling umum adalah:

• Perjanjian Pemisahan Harta (Pemisahan Kekayaan): Ini adalah isi yang paling populer. Dalam perjanjian ini, disepakati bahwa tidak ada harta bersama. Masing-masing pihak memiliki, menguasai, dan mengelola hartanya sendiri, baik yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Jika terjadi perceraian, tidak ada pembagian harta gono-gini.
• Perjanjian Campuran: Mengatur bahwa sebagian harta adalah harta bersama dan sebagian lainnya adalah harta terpisah.
• Pengaturan Tanggung Jawab Utang: Memisahkan tanggung jawab utang pribadi suami atau istri, sehingga utang salah satu pihak tidak membebani pihak lainnya.
• Pengaturan Mengenai Hak Waris: Meskipun perjanjian perkawinan tidak dapat sepenuhnya membatalkan hak waris yang diatur undang-undang, dapat ada ketentuan-ketentuan yang memperjelas pembagian harta jika salah satu pihak meninggal dunia.
• Pengaturan Lain-lain: Misalnya, siapa yang akan mengelola aset tertentu, pengaturan mengenai usaha bersama, dll.

Penting untuk dicatat bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum. Misalnya, perjanjian yang melepaskan hak anak atas nafkah atau hak seorang istri untuk mendapatkan nafkah pasca-perceraian mungkin akan dianggap tidak sah oleh pengadilan.

6.4. Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan

Agar memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat, perjanjian perkawinan harus:

• Dibuat dalam bentuk akta notaris.
• Kemudian dicatatkan atau disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA/Catatan Sipil) pada saat pencatatan perkawinan awal, atau jika dibuat setelah perkawinan, harus dilaporkan untuk dicatat pada akta perkawinan.

Perjanjian perkawinan yang memenuhi syarat ini akan mengikat kedua belah pihak dan juga pihak ketiga. Hal ini berarti, misalnya, jika ada kreditor, mereka hanya dapat menagih utang dari harta pihak yang berutang jika ada perjanjian pemisahan harta.

Membuat perjanjian perkawinan adalah pilihan pribadi. Namun, bagi pasangan yang memiliki aset signifikan, bisnis, atau ingin mengatur hubungan finansial mereka secara jelas, ini adalah alat hukum yang sangat berguna untuk mencegah konflik dan memberikan ketenangan pikiran di masa depan.

7. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah suatu proses hukum yang mengakibatkan perkawinan dianggap tidak pernah terjadi secara sah sejak awal. Ini berbeda dengan perceraian, yang mengakhiri perkawinan yang sebelumnya sah. Pembatalan terjadi karena adanya cacat hukum pada syarat-syarat perkawinan pada saat dilangsungkan. Tujuan dari pembatalan adalah untuk menghilangkan status hukum perkawinan yang tidak memenuhi syarat sah.

7.1. Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan

UUP mengatur secara spesifik alasan-alasan yang dapat menjadi dasar pembatalan perkawinan, yaitu jika perkawinan tersebut mengandung cacat hukum sejak awal. Beberapa alasan utama meliputi:

1. Melanggar Batas Usia Perkawinan: Jika perkawinan dilakukan sebelum calon mempelai mencapai batas usia minimal 19 tahun tanpa adanya dispensasi dari pengadilan, perkawinan tersebut dapat dibatalkan (Pasal 6 ayat 3 UUP jo. Pasal 7 ayat 1 UUP).
2. Adanya Paksaan atau Kekhilafan (Salah Orang):
   • Jika perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, paksaan, atau tekanan yang kuat, sehingga salah satu pihak tidak memberikan persetujuan secara bebas (Pasal 27 UUP).
   • Jika salah satu pihak keliru mengenai identitas atau jati diri pasangannya (misalnya, menikah dengan orang yang salah karena penipuan atau kekeliruan serius).
3. Melanggar Larangan Perkawinan (Incest, Poligami Ilegal, dll.):
   • Perkawinan yang dilakukan antara orang-orang yang memiliki hubungan darah, semenda, atau susuan yang dilarang oleh hukum (Pasal 8 UUP, Pasal 39-44 KHI).
   • Perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang masih terikat perkawinan yang sah tanpa memenuhi syarat dan izin poligami dari pengadilan, atau oleh seorang wanita yang masih terikat perkawinan yang sah (Pasal 3 dan 4 UUP).
   • Perkawinan yang dilangsungkan saat salah satu pihak masih terikat perkawinan sebelumnya dan belum putus secara hukum.
   • Perkawinan yang dilangsungkan tanpa kehadiran wali atau saksi bagi yang beragama Islam.
4. Cacat Hukum Lainnya: Seperti wali nikah tidak sah, atau adanya kecurangan dalam persyaratan dokumen yang esensial.

Penting untuk dicatat bahwa alasan pembatalan harus sudah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, bukan terjadi setelah perkawinan berjalan.

7.2. Pihak yang Dapat Mengajukan Pembatalan

Tidak semua orang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Pihak-pihak yang berhak mengajukan gugatan pembatalan perkawinan antara lain (Pasal 23 UUP):

1. Para suami atau istri.
2. Para keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
3. Jaksa.
4. Pegawai pencatat perkawinan.
5. Pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.

Namun, dalam beberapa kasus, hak untuk mengajukan pembatalan dapat gugur. Misalnya, jika perkawinan dilangsungkan karena paksaan, tetapi setelah paksaan itu berhenti, pihak yang dipaksa tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mengajukan pembatalan dalam jangka waktu tertentu, maka haknya dapat gugur.

7.3. Proses Hukum Pembatalan Perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke:

• Pengadilan Agama: Bagi yang beragama Islam.
• Pengadilan Negeri: Bagi yang beragama non-Islam.

Prosesnya dimulai dengan pengajuan gugatan pembatalan, dilanjutkan dengan persidangan di mana penggugat harus membuktikan alasan-alasan pembatalan yang sah. Hakim akan mempertimbangkan bukti-bukti dan keterangan saksi sebelum memutuskan. Jika permohonan dikabulkan, pengadilan akan mengeluarkan putusan pembatalan perkawinan.

7.4. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Putusan pembatalan perkawinan memiliki beberapa akibat hukum yang penting:

• Perkawinan Dianggap Tidak Pernah Ada: Secara hukum, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi sejak awal. Ini berarti segala hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan tersebut menjadi batal.
• Status Anak: Meskipun perkawinan dibatalkan, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tetap sah. Pasal 28 UUP menyatakan bahwa "Batalnya suatu perkawinan tidak akan mengakibatkan batalnya atau menjadi tidak sahnya anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut." Anak-anak tetap memiliki status dan hak-hak sebagai anak sah dari kedua orang tuanya.
• Harta Benda: Harta yang diperoleh selama perkawinan yang dibatalkan biasanya tidak dianggap sebagai harta bersama. Masing-masing pihak mengembalikan harta bawaan dan harta yang diperoleh selama "perkawinan" tersebut akan diatur berdasarkan kontribusi masing-masing, atau kembali ke status kepemilikan sebelumnya.
• Status Pihak Ketiga yang Beritikad Baik: Hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik yang diperoleh dari perkawinan yang dibatalkan tidak terpengaruh oleh pembatalan tersebut. Misalnya, jika ada pihak ketiga yang membeli properti dari pasangan suami istri yang kemudian perkawinannya dibatalkan, transaksi tersebut tetap sah jika pihak ketiga tidak tahu menahu tentang adanya cacat hukum pada perkawinan.

Pembatalan perkawinan adalah upaya terakhir untuk memperbaiki kesalahan hukum dalam pembentukan perkawinan. Proses ini kompleks dan memerlukan dasar hukum yang kuat, sehingga seringkali membutuhkan bantuan penasihat hukum.

8. Putusnya Perkawinan

Perkawinan yang sah dan dicatat dapat putus karena beberapa sebab yang diatur oleh undang-undang. Putusnya perkawinan mengakhiri ikatan lahir batin antara suami dan istri, serta menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang perlu dipahami secara mendalam.

8.1. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

Menurut Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:

1. Kematian: Kematian salah satu pihak (suami atau istri) secara otomatis mengakhiri ikatan perkawinan. Perkawinan putus sejak meninggalnya salah satu pihak. Dalam hal ini, status janda/duda akan melekat pada pihak yang ditinggalkan, dan pihak yang ditinggalkan berhak atas warisan dari pasangannya sesuai hukum yang berlaku.
2. Perceraian: Perceraian adalah putusnya perkawinan atas putusan pengadilan. Ini merupakan sebab putusnya perkawinan yang paling sering terjadi dan memiliki prosedur serta konsekuensi hukum yang paling kompleks.
3. Perceraian karena Putusan Pengadilan: Ini adalah bentuk perceraian yang ditegaskan oleh UUP, yang berarti harus melalui proses peradilan untuk diakui secara sah oleh negara. Meskipun bagi Muslim ada istilah talak yang diucapkan di luar pengadilan, secara hukum negara talak tersebut baru sah jika telah diputus dan didaftarkan di Pengadilan Agama.

8.2. Perceraian

Perceraian adalah proses hukum untuk mengakhiri perkawinan yang sebelumnya sah. UUP menganut prinsip mempersulit perceraian, dengan harapan pasangan dapat mempertahankan rumah tangganya. Perceraian hanya dapat dilakukan di muka sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

8.2.1. Alasan-alasan Perceraian Menurut UUP dan KHI

UUP Pasal 39 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116, mengatur alasan-alasan yang sah untuk mengajukan perceraian. Beberapa alasan umum meliputi:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (Ini adalah alasan yang paling sering digunakan dan mencakup berbagai masalah).
7. Suami melanggar taklik talak (bagi Muslim).
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga (bagi Muslim).

8.2.2. Prosedur Perceraian

Prosedur perceraian berbeda antara pasangan Muslim dan non-Muslim:

Bagi Umat Islam:

• Cerai Talak (Suami Mengajukan): Suami mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri. Pengadilan akan memanggil kedua belah pihak untuk mediasi. Jika mediasi gagal, persidangan akan dilanjutkan untuk memeriksa alasan-alasan perceraian. Jika dikabulkan, suami akan diizinkan untuk mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang Pengadilan Agama.
• Cerai Gugat (Istri Mengajukan): Istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya. Prosedurnya mirip dengan cerai talak, dengan mediasi dan persidangan untuk membuktikan alasan gugatan.

Bagi Non-Muslim:

• Salah satu pihak (suami atau istri) mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat.
• Prosesnya juga melibatkan mediasi dan persidangan untuk memeriksa alasan-alasan perceraian dan bukti-bukti pendukung.
• Putusan pengadilan yang mengabulkan perceraian harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil untuk diakui secara resmi.

Dalam kedua proses ini, pengadilan akan senantiasa mengutamakan upaya perdamaian. Jika perdamaian tidak dapat tercapai, pengadilan akan mempertimbangkan bukti-bukti dan argumen kedua belah pihak untuk memutuskan apakah alasan perceraian sah dan cukup kuat.

8.3. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan

Putusnya perkawinan, baik karena kematian maupun perceraian, menimbulkan serangkaian akibat hukum, terutama terkait dengan:

8.3.1. Harta Benda Perkawinan (Harta Bersama)

Jika tidak ada perjanjian perkawinan yang mengatur pemisahan harta, maka harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama/gono-gini) harus dibagi. Pembagian ini umumnya adalah masing-masing mendapatkan separuh dari harta bersama (Pasal 37 UUP jo. Pasal 97 KHI), kecuali jika ada bukti kuat bahwa kontribusi salah satu pihak lebih besar atau ada kesepakatan lain yang adil. Jika tidak tercapai kesepakatan, pengadilan yang akan memutuskan pembagian harta ini.

8.3.2. Hak Asuh Anak (Hadhanah)

Jika ada anak di bawah umur, pengadilan akan menetapkan hak asuh anak. Prinsip utamanya adalah demi kepentingan terbaik anak. Umumnya, anak di bawah usia 12 tahun (mumayyiz) cenderung akan berada di bawah asuhan ibu, kecuali jika ibu terbukti tidak layak atau ada alasan sangat kuat lainnya. Setelah anak mencapai usia mumayyiz, anak dapat memilih akan ikut siapa. Namun, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak tetap menjadi tanggung jawab bersama kedua orang tua.

8.3.3. Nafkah Setelah Perceraian

Bagi Muslimah, setelah perceraian, istri berhak atas:

• Nafkah Iddah: Nafkah selama masa tunggu (iddah) yaitu sekitar 3 bulan 10 hari, yang merupakan kewajiban suami mantan istri.
• Nafkah Mut'ah: Pemberian bekas suami kepada bekas istrinya berupa uang atau benda lain sebagai penghibur bekas istrinya, yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan bekas suami dan kepatutan.
• Nafkah Anak: Mantan suami tetap wajib memberikan nafkah untuk anak-anaknya hingga anak tersebut dewasa dan mandiri.

Bagi non-Muslim, ketentuan mengenai nafkah pasca-perceraian biasanya diputuskan oleh pengadilan berdasarkan kondisi dan kebutuhan, serta kemampuan mantan suami/istri.

8.3.4. Kewajiban Menafkahi Anak

Terlepas dari siapa yang memegang hak asuh, kedua orang tua, baik suami maupun istri, tetap bertanggung jawab penuh atas biaya pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan anak-anak mereka hingga anak tersebut dewasa atau mandiri. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, pihak lain dapat mengajukan gugatan nafkah anak ke pengadilan.

Putusnya perkawinan adalah momen yang penuh tantangan, baik secara emosional maupun hukum. Oleh karena itu, penting untuk memahami prosedur dan konsekuensi hukumnya agar hak-hak semua pihak, terutama anak-anak, dapat terlindungi dengan baik.

9. Perlindungan Hukum Anak dalam Perkawinan

Anak adalah subjek hukum yang paling rentan dalam sebuah perkawinan, terutama jika perkawinan tersebut menghadapi masalah atau putus di tengah jalan. Oleh karena itu, hukum perkawinan di Indonesia sangat menekankan pada perlindungan hak-hak anak, yang menjadi prioritas utama negara dalam setiap kebijakan terkait keluarga.

9.1. Status Anak Sah dan Tidak Sah

UUP dengan jelas membedakan status anak yang lahir dari perkawinan yang sah dan yang tidak sah:

• Anak Sah: Menurut Pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak sah memiliki hubungan perdata penuh dengan kedua orang tua dan keluarga masing-masing, termasuk hak waris, hak nafkah, dan hak perwalian.
• Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin): Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dahulu, anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Namun, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 43 ayat (1) UUP diubah menjadi: "Anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Ini berarti, anak luar kawin dapat menuntut hak dari ayah biologisnya jika hubungan darah dapat dibuktikan secara sah.

Pentingnya pencatatan perkawinan sangat relevan di sini, karena perkawinan yang tidak dicatat (kawin siri) akan membuat status anak menjadi anak di luar perkawinan yang sah, sehingga memerlukan proses hukum tambahan untuk membuktikan hubungan darah dengan ayah biologis.

9.2. Hak-Hak Fundamental Anak

Hukum perkawinan dan undang-undang lain yang terkait (seperti UU Perlindungan Anak) menjamin hak-hak dasar anak, yang meliputi:

1. Hak atas Nama dan Identitas: Setiap anak berhak untuk dicatat kelahirannya dan memiliki identitas yang jelas.
2. Hak atas Nafkah dan Pemeliharaan: Anak berhak mendapatkan nafkah, pemeliharaan, dan perawatan dari kedua orang tuanya hingga dewasa atau mandiri. Kewajiban ini tetap ada meskipun orang tua bercerai.
3. Hak atas Pendidikan: Orang tua wajib menyediakan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.
4. Hak atas Kesehatan: Anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
5. Hak untuk Tumbuh Kembang Optimal: Anak berhak mendapatkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang fisik, mental, spiritual, dan sosial.
6. Hak untuk Berinteraksi dengan Kedua Orang Tua: Meskipun orang tua bercerai, anak berhak untuk tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan kedua orang tuanya, kecuali jika ada putusan pengadilan yang melarangnya demi kepentingan anak.
7. Hak untuk Didengar Pendapatnya: Terutama dalam perkara hak asuh, pendapat anak yang sudah cukup umur (mumayyiz) akan dipertimbangkan oleh hakim.

9.3. Peran Pengadilan dalam Menentukan Hak Asuh dan Nafkah Anak Setelah Perceraian

Jika terjadi perceraian, pengadilan memiliki peran sentral dalam menentukan masa depan anak-anak:

• Penetapan Hak Asuh (Hadhanah): Pengadilan akan memutuskan siapa yang berhak memegang hak asuh anak. Pertimbangan utama adalah kepentingan terbaik anak. Faktor-faktor yang dipertimbangkan meliputi usia anak, kondisi psikologis anak, kemampuan orang tua (finansial, mental, waktu), lingkungan tempat tinggal, dan keinginan anak jika sudah cukup dewasa untuk menyampaikan pendapat.
• Penetapan Nafkah Anak: Pengadilan akan menetapkan jumlah nafkah yang harus dibayarkan oleh orang tua yang tidak memegang hak asuh (biasanya ayah) kepada orang tua yang memegang hak asuh (biasanya ibu) untuk kebutuhan anak. Jumlah ini disesuaikan dengan kemampuan pemberi nafkah dan kebutuhan anak, serta dapat direvisi jika terjadi perubahan signifikan dalam kondisi finansial.
• Pengawasan: Dalam beberapa kasus, pengadilan dapat menunjuk pihak ketiga (misalnya dinas sosial) untuk mengawasi pelaksanaan putusan hak asuh dan nafkah anak, serta memastikan kesejahteraan anak terjamin.

Pelanggaran terhadap putusan pengadilan terkait hak asuh dan nafkah anak dapat berakibat pada sanksi hukum, termasuk penjemputan paksa anak atau tuntutan pidana bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah.

Perlindungan hukum anak dalam perkawinan adalah cerminan dari komitmen negara untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh kembang dalam lingkungan yang aman, mendapatkan kasih sayang, pendidikan, dan dukungan finansial yang memadai, terlepas dari status perkawinan orang tuanya.

10. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Dalam konteks Indonesia, ini berarti perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA). Perkawinan jenis ini memiliki kekhasan dan tantangan tersendiri dalam aspek hukum, yang diatur secara khusus.

10.1. Definisi

Menurut Pasal 57 UUP, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan hukum ini menimbulkan konsekuensi kompleks, terutama terkait dengan status kewarganegaraan anak, harta benda, dan tempat pelaksanaan pencatatan perkawinan.

10.2. Aturan Hukum Terkait Perkawinan Campuran

Meskipun UUP adalah payung hukum utama, implementasi perkawinan campuran juga merujuk pada undang-undang lain, seperti:

• Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia: Mengatur status kewarganegaraan anak-anak dari perkawinan campuran.
• Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Mengatur prosedur pencatatan perkawinan campuran.

10.2.1. Pencatatan Perkawinan Campuran

Prosedur pencatatan perkawinan campuran dilakukan di Kantor Catatan Sipil jika salah satu pihak beragama non-Islam, atau di KUA jika kedua pihak beragama Islam. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi oleh WNA, antara lain:

• Surat Keterangan dari Kedutaan/Konsulat: WNA harus menyertakan surat keterangan dari kedutaan atau konsulat negara asalnya yang menyatakan bahwa ia berstatus lajang/belum pernah menikah, tidak ada halangan untuk menikah, dan bahwa hukum negaranya mengizinkan perkawinan tersebut.
• Dokumen Identitas: Paspor yang masih berlaku, visa, dan dokumen identitas lainnya.
• Penerjemahan Dokumen: Semua dokumen dari WNA harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
• Pemeriksaan Dokumen: Pejabat pencatat akan melakukan pemeriksaan yang cermat terhadap semua dokumen untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum.

Perkawinan harus tetap dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

10.2.2. Kewarganegaraan Anak dari Perkawinan Campuran

Salah satu isu krusial dalam perkawinan campuran adalah status kewarganegaraan anak. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006, anak yang lahir dari perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu:

• Anak yang lahir dari perkawinan sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI.
• Anak yang lahir dari perkawinan sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA.

Anak-anak ini dapat memiliki kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun, atau sampai mereka menikah. Setelah itu, mereka harus memilih salah satu kewarganegaraan. Ini bertujuan untuk memberikan waktu bagi anak untuk menentukan identitasnya dan mencegah status tanpa kewarganegaraan (stateless).

10.2.3. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran

Isu harta benda dalam perkawinan campuran juga menjadi perhatian, terutama terkait dengan kepemilikan tanah. Hukum Agraria di Indonesia melarang WNA untuk memiliki hak milik atas tanah. Untuk mengatasi ini, pasangan WNI dan WNA seringkali membuat Perjanjian Perkawinan yang mengatur pemisahan harta. Dengan perjanjian pemisahan harta, WNI dapat membeli dan memiliki hak milik atas tanah secara sah tanpa melibatkan WNA pasangannya, sehingga terhindar dari potensi sengketa di kemudian hari.

Tanpa perjanjian pemisahan harta, harta yang diperoleh selama perkawinan (termasuk tanah) akan dianggap harta bersama. Hal ini bisa menjadi masalah jika tanah tersebut ingin dibeli atau dimiliki oleh WNI, karena secara implisit WNA pasangannya akan memiliki bagian dalam harta tersebut, yang bertentangan dengan hukum agraria.

10.3. Tantangan dan Rekomendasi

Perkawinan campuran seringkali menghadapi tantangan seperti perbedaan budaya, bahasa, dan sistem hukum. Oleh karena itu, bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan campuran, sangat disarankan untuk:

• Konsultasi Hukum: Mencari nasihat dari pengacara atau konsultan hukum yang memiliki keahlian dalam hukum perkawinan internasional dan hukum kewarganegaraan.
• Membuat Perjanjian Perkawinan: Sangat dianjurkan untuk membuat perjanjian perkawinan untuk mengatur masalah harta benda dan menghindari komplikasi di masa depan.
• Memahami Hukum Kedua Negara: Memastikan kedua belah pihak memahami hak dan kewajiban mereka baik di bawah hukum Indonesia maupun hukum negara asal WNA.

Dengan perencanaan dan pemahaman yang cermat, perkawinan campuran dapat berjalan lancar dan harmonis, memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi semua pihak yang terlibat.

11. Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia, meskipun berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah berusia puluhan tahun, bukanlah statis. Ia terus beradaptasi dengan dinamika sosial, perkembangan hak asasi manusia, serta kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Perubahan yang paling signifikan dalam beberapa waktu terakhir adalah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang membawa beberapa penyempurnaan krusial.

11.1. Penegasan Batas Usia Perkawinan (19 Tahun)

Ini adalah perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU No. 16 Tahun 2019. Sebelumnya, UUP mengizinkan wanita menikah pada usia 16 tahun dan pria pada usia 19 tahun, yang telah lama menjadi sorotan karena dianggap memicu praktik perkawinan anak. Berbagai studi telah menunjukkan dampak negatif perkawinan anak terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan perempuan dan anak-anak.

Melalui UU No. 16 Tahun 2019, Pasal 7 ayat (1) UUP diubah, menetapkan batas usia perkawinan yang sama untuk pria dan wanita, yaitu minimal 19 (sembilan belas) tahun. Perubahan ini sejalan dengan berbagai konvensi internasional tentang hak anak dan hak perempuan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Tujuan dari perubahan ini adalah:

• Perlindungan Anak: Mencegah eksploitasi anak melalui perkawinan dini dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengejar pendidikan dan tumbuh kembang secara optimal.
• Kesehatan Reproduksi: Mengurangi risiko komplikasi kesehatan bagi ibu dan anak yang disebabkan oleh kehamilan pada usia yang terlalu muda.
• Kesetaraan Gender: Menghilangkan diskriminasi usia antara pria dan wanita dalam perkawinan.
• Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia: Dengan anak-anak yang memiliki kesempatan pendidikan yang lebih baik, diharapkan kualitas generasi mendatang juga akan meningkat.

Adanya dispensasi perkawinan oleh pengadilan tetap dimungkinkan, tetapi hanya dalam kondisi yang sangat mendesak dan dengan pertimbangan yang ketat, serta harus tetap mengutamakan kepentingan terbaik anak.

11.2. Fleksibilitas Perjanjian Perkawinan (Dapat Dibuat Setelah Perkawinan)

Perubahan signifikan lainnya terdapat pada Pasal 29 UUP, yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan. Sebelumnya, perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) harus dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Jika tidak, maka rezim harta yang berlaku secara otomatis adalah harta bersama (gono-gini).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 kemudian membuka jalan bagi perjanjian perkawinan untuk dibuat selama perkawinan berlangsung (postnuptial agreement), dan ketentuan ini secara resmi diakomodir dalam UU No. 16 Tahun 2019. Kini, Pasal 29 ayat (4) UUP secara eksplisit menyatakan: "Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan."

Implikasi dari perubahan ini adalah:

• Memberikan Fleksibilitas: Pasangan yang pada awalnya tidak memiliki perjanjian perkawinan, tetapi seiring waktu melihat adanya kebutuhan (misalnya, salah satu pasangan memulai bisnis baru, ada masalah utang, atau terjadi perubahan kondisi finansial yang signifikan), kini dapat membuat perjanjian perkawinan di tengah masa perkawinan mereka.
• Perlindungan Harta: Memungkinkan pasangan untuk mengatur ulang kepemilikan harta benda mereka, misalnya dari rezim harta bersama menjadi pemisahan harta, untuk melindungi aset pribadi atau melindungi dari risiko bisnis.
• Kepastian Hukum: Memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi pasangan yang ingin mengatur keuangan mereka secara lebih terstruktur.

Namun, perlu diingat bahwa perubahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang telah ada.

11.3. Implikasi Perubahan dan Tantangan Masa Depan

Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan di Indonesia berusaha untuk lebih responsif terhadap isu-isu kontemporer seperti hak anak dan otonomi individu dalam mengelola kehidupan perkawinan. Meskipun demikian, masih ada beberapa tantangan dan isu yang mungkin akan menjadi fokus perkembangan hukum di masa depan:

• Penerapan UU No. 16 Tahun 2019: Memastikan implementasi yang konsisten di seluruh daerah dan sosialisasi yang memadai kepada masyarakat.
• Isu Perkawinan Beda Agama: Status hukum perkawinan beda agama masih menjadi perdebatan dan belum diatur secara tegas, seringkali menimbulkan kerumitan dalam pencatatan.
• Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Bagaimana hukum perkawinan dapat bersinergi lebih baik dengan UU KDRT untuk memberikan perlindungan maksimal.
• Perkawinan Adat dan Siri: Bagaimana negara dapat lebih efektif mendorong pencatatan semua perkawinan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak, tanpa menghilangkan nilai-nilai adat atau agama.
• Teknologi dan Perkawinan: Isu-isu baru terkait perkawinan digital, atau penggunaan teknologi dalam pembuktian kasus perkawinan.

Perkembangan hukum perkawinan adalah cerminan dari kemajuan sosial dan komitmen negara untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi warganya. Memahami setiap perubahan adalah kunci untuk berpartisipasi dalam institusi perkawinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

12. Kesimpulan

Hukum perkawinan di Indonesia adalah kerangka yang kompleks namun esensial, dirancang untuk mengatur salah satu institusi paling fundamental dalam masyarakat. Dari pembahasan yang panjang ini, dapat kita simpulkan beberapa poin penting:

• Pilar Utama: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan perubahannya melalui UU Nomor 16 Tahun 2019, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Muslim, adalah dasar hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia.
• Tujuan Mulia: Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menjadi sarana untuk melanjutkan keturunan dan memenuhi kebutuhan lahir batin secara sah.
• Syarat Ketat: Sahnya sebuah perkawinan bergantung pada pemenuhan syarat materil (usia, persetujuan, tidak ada larangan) dan syarat formil (pencatatan). Ketentuan usia minimal 19 tahun untuk pria dan wanita adalah perubahan krusial untuk perlindungan anak.
• Pentingnya Pencatatan: Pencatatan perkawinan di KUA atau Kantor Catatan Sipil bukan hanya formalitas, melainkan syarat vital untuk legalitas dan kekuatan hukum perkawinan di mata negara, yang berdampak langsung pada status suami istri, status anak, dan hak atas harta benda. Perkawinan yang tidak dicatat (kawin siri) menimbulkan banyak kerugian hukum.
• Hak dan Kewajiban Seimbang: UUP menegaskan kesetaraan hak dan kewajiban antara suami dan istri, dengan tanggung jawab suami dalam nafkah dan perlindungan, serta tanggung jawab bersama dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak.
• Harta Benda: Harta bersama (gono-gini) adalah prinsip dasar, namun dapat diatur lain melalui perjanjian perkawinan, yang kini bisa dibuat kapan saja (sebelum, saat, atau setelah perkawinan).
• Pembatalan dan Putusnya Perkawinan: Perkawinan dapat dibatalkan jika ada cacat hukum sejak awal, atau putus karena kematian atau perceraian. Prosedur dan akibat hukum perceraian (hak asuh anak, nafkah, pembagian harta) diatur secara ketat oleh pengadilan.
• Perlindungan Anak: Hukum perkawinan memberikan perlindungan kuat terhadap hak-hak anak, memastikan status anak yang sah, hak nafkah, pendidikan, dan pemeliharaan, bahkan setelah orang tua bercerai.
• Perkawinan Campuran: Menghadirkan kompleksitas tersendiri, khususnya terkait kewarganegaraan anak dan kepemilikan harta benda, yang dapat diatasi dengan perjanjian perkawinan dan pemahaman hukum yang mendalam.

Memahami hukum perkawinan bukan hanya sekadar mengetahui aturan, tetapi juga menyadari betapa pentingnya komitmen, tanggung jawab, dan saling menghargai dalam membangun sebuah rumah tangga. Dengan pemahaman yang baik, setiap individu dapat menjalani perkawinan yang tidak hanya bahagia dan kekal, tetapi juga terlindungi secara hukum, menciptakan fondasi keluarga yang kuat dan berkontribusi pada masyarakat yang adil dan beradab.

Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif dan bermanfaat bagi pembaca dalam memahami seluk-beluk hukum perkawinan di Indonesia.