Ijab Kabul: Fondasi Suci Pernikahan Islam di Indonesia

Pendahuluan: Sakralnya Sebuah Janji

Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci, yang sering disebut sebagai mitsaqan ghalizha, sebuah perjanjian yang kokoh dan agung di hadapan Allah SWT. Ia bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan juga penyatuan dua keluarga, dua jiwa, dan dua takdir menuju tujuan yang mulia: membentuk rumah tangga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Inti dari perjanjian agung ini terletak pada momen yang paling krusial dan sakral: ijab kabul.

Ijab kabul adalah jembatan spiritual dan legal yang mengubah dua orang asing menjadi pasangan suami istri yang sah menurut syariat Islam dan hukum negara. Tanpa ijab kabul, sebuah pernikahan tidak akan pernah dianggap sah, betapapun megah atau meriahnya pesta perayaan yang diadakan. Ia adalah inti, roh, dan fondasi yang menopang seluruh bangunan rumah tangga. Memahami ijab kabul bukan hanya sekadar mengetahui rangkaian kata-kata yang diucapkan, melainkan menyelami makna filosofis, rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, serta hikmah di baliknya.

Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek terkait ijab kabul di Indonesia. Kita akan membahas definisi dan maknanya secara mendalam, menelusuri kedudukannya dalam syariat Islam, merinci setiap rukun dan syarat sahnya, memahami prosedur pelaksanaannya secara praktis, hingga menggali hikmah dan filosofi luhur yang terkandung di dalamnya. Pemahaman yang komprehensif tentang ijab kabul sangat esensial bagi setiap individu yang akan melangkah ke jenjang pernikahan, memastikan bahwa ikatan suci yang dibangun memiliki dasar yang kuat, sah secara agama, dan diakui secara hukum, demi keberkahan dan kebahagiaan dunia akhirat.

Momen ijab kabul adalah titik balik dalam kehidupan seseorang, penanda berakhirnya masa lajang dan dimulainya sebuah babak baru yang penuh tanggung jawab, cinta, dan pengabdian. Oleh karena itu, persiapan, pemahaman, dan penghayatan akan prosesi ini menjadi sangat penting. Mari kita selami lebih jauh untuk memahami betapa agungnya perjanjian yang diucapkan di hadapan para saksi dan Allah SWT ini.

Definisi dan Makna Ijab Kabul

Untuk memahami inti dari sebuah pernikahan Islam, kita harus terlebih dahulu mengerti apa itu ijab kabul. Istilah ini sering terdengar, namun maknanya jauh lebih dalam daripada sekadar rangkaian kata-kata belaka.

Etimologi dan Pengertian Bahasa

Ijab (إيجاب): Secara etimologi dalam bahasa Arab, 'ijab' berarti 'penawaran', 'penetapan', atau 'pemastian'. Dalam konteks akad, ijab adalah pernyataan dari pihak pertama (biasanya wali atau wakilnya) yang menawarkan pernikahan.
Kabul (قبول): 'Kabul' berarti 'penerimaan', 'persetujuan', atau 'pemenuhan'. Dalam konteks akad, kabul adalah pernyataan dari pihak kedua (calon suami) yang menerima tawaran pernikahan tersebut.

Maka, secara sederhana, ijab kabul adalah prosesi tawar-menawar dan penerimaan dalam sebuah akad pernikahan, di mana satu pihak menawarkan dan pihak lain menerima tawaran tersebut, yang bertujuan untuk mengikatkan diri dalam sebuah hubungan suami istri yang sah.

Pengertian Ijab Kabul dalam Syariat Islam

Dalam syariat Islam, ijab kabul adalah pernyataan (shighat) yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya untuk menikahkan anak perempuannya/perempuan yang diwalinya, dan ucapan penerimaan dari calon suami. Pernyataan ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar pernikahan tersebut sah. Ijab kabul inilah yang menjadi indikator sah atau tidaknya sebuah pernikahan.

Para ulama fikih mendefinisikan ijab kabul sebagai "ucapan yang keluar dari salah satu pihak yang menunjukkan keinginan untuk mengikatkan diri dalam akad, dan ucapan dari pihak lain yang menunjukkan persetujuan atas keinginan tersebut." Khusus dalam pernikahan, ijab harus menggunakan lafaz yang menunjukkan pernikahan (seperti "aku nikahkan" atau "aku kawinkan"), dan kabul juga harus dengan lafaz yang menunjukkan penerimaan ("aku terima nikahnya" atau "aku terima kawinnya").

Lebih dari sekadar ucapan, ijab kabul adalah representasi dari kerelaan, kesepakatan, dan komitmen yang mendalam antara kedua belah pihak untuk menjalani kehidupan berumah tangga sesuai tuntunan agama. Melalui ijab kabul, status hukum kedua individu berubah secara drastis, dari non-mahram menjadi mahram, dari boleh menikah dengan siapa saja menjadi terikat pada satu sama lain.

Implikasi Hukum dan Spiritual

Momen ijab kabul memiliki implikasi yang sangat besar, baik secara hukum maupun spiritual:

Mengubah Status Hukum: Sebelum ijab kabul, hubungan antara calon suami dan istri adalah non-mahram, sehingga segala bentuk interaksi intim adalah haram. Setelah ijab kabul yang sah, mereka menjadi suami istri yang halal, dan seluruh hak serta kewajiban sebagai pasangan suami istri mulai berlaku.
Legitimasi Keturunan: Anak yang lahir dari pernikahan yang sah melalui ijab kabul akan diakui secara syariat dan hukum negara sebagai anak sah dari pasangan tersebut, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya.
Tanggung Jawab Dunia Akhirat: Ijab kabul adalah janji yang tidak hanya diucapkan di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT. Ini membawa konsekuensi tanggung jawab yang sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Janji ini adalah awal dari sebuah ibadah yang panjang.
Pembentukan Keluarga Sakinah: Dengan ijab kabul, terbentuklah sebuah unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Keluarga ini diharapkan menjadi tempat lahirnya ketenangan (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan rahmat (rahmah) sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum: 21.

Oleh karena itu, ijab kabul bukanlah sekadar formalitas, melainkan inti dari sebuah pernikahan yang memiliki bobot spiritual dan hukum yang luar biasa. Ia adalah pintu gerbang menuju kehidupan berumah tangga yang diridai Allah, yang darinya diharapkan lahir generasi-generasi penerus yang saleh dan salehah.

Kedudukan Ijab Kabul dalam Syariat Islam

Dalam struktur hukum Islam (fikih), ijab kabul menempati posisi sentral sebagai rukun terpenting dalam akad nikah. Tanpa adanya ijab kabul yang sah, maka akad nikah tersebut batal atau tidak pernah terjadi, meskipun semua rukun dan syarat lainnya telah dipenuhi.

Dasar Hukum dari Al-Qur'an dan Hadis

Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan frasa "ijab kabul", namun prinsip dasar akad dan perjanjian yang saling rela (taradhin) menjadi landasannya. Banyak ayat yang memerintahkan untuk berlaku adil dan memenuhi perjanjian. Misalnya:

"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra': 34)

Pernikahan adalah salah satu bentuk perjanjian yang paling agung. Selain itu, banyak ayat yang berbicara tentang pentingnya pernikahan sebagai ikatan yang halal:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32)

Dasar hukum ijab kabul lebih banyak dijelaskan dan diperinci dalam Hadis Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabat (ijma' sahabat) serta penafsiran ulama fikih. Rasulullah SAW sendiri telah memberikan petunjuk bagaimana sebuah pernikahan itu dilangsungkan, yang intinya harus ada penawaran dan penerimaan.

Salah satu Hadis yang menjadi landasan adalah:

"Sesungguhnya amalan itu (tergantung) niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (tergantung) apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks pernikahan, niat ini diekspresikan melalui ijab kabul yang jelas. Jika ada niat menikah tetapi tanpa ijab kabul yang sah, maka pernikahan itu tidak terjadi. Lafaz ijab kabul adalah bentuk ekspresi dari niat untuk saling mengikatkan diri dalam pernikahan.

Ijma' Ulama dan Konsensus Fikih

Para ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) sepakat bahwa ijab kabul adalah rukun utama dalam akad nikah. Tanpa ijab kabul, pernikahan tidak sah. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam detail lafaz atau urutannya, esensi tawar-menawar dan penerimaan ini diakui secara universal dalam fikih Islam.

Konsensus ini menunjukkan betapa fundamentalnya ijab kabul dalam membentuk sebuah pernikahan yang diridai Allah. Ia bukan sekadar tradisi, melainkan bagian integral dari ajaran agama yang memastikan bahwa kedua belah pihak memasuki ikatan ini dengan kesadaran penuh, kerelaan, dan komitmen yang diucapkan secara verbal dan disaksikan.

Ijab Kabul sebagai Penanda Dimulainya Hubungan Halal

Sebelum ijab kabul, segala bentuk hubungan fisik antara calon pasangan adalah haram. Setelah ijab kabul yang sah, hubungan tersebut menjadi halal dan diberkahi. Ini menunjukkan peran krusial ijab kabul sebagai "titik batas" antara yang haram dan yang halal dalam konteks hubungan suami istri.

Kedudukan ijab kabul juga berbeda dengan perjanjian atau akad lain. Dalam jual beli, misalnya, akad dilakukan untuk memindahkan kepemilikan barang. Dalam sewa-menyewa, untuk memindahkan hak guna. Namun, dalam pernikahan, ijab kabul adalah akad untuk memindahkan hak kepemilikan *budh'* (kemaluan) dari pihak perempuan kepada laki-laki dalam batas-batas syariat, dengan kewajiban dan hak timbal balik yang sangat spesifik dan agung. Ini juga melibatkan tujuan spiritual yang lebih tinggi, yaitu keturunan, ketenangan jiwa, dan melanjutkan sunah Rasulullah SAW.

Singkatnya, ijab kabul adalah fondasi syariat yang menegakkan sebuah pernikahan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan niat suci dengan realisasi ikatan yang sah, memastikan bahwa setiap langkah dalam pernikahan dimulai dengan landasan yang kuat dan diakui di hadapan Allah SWT dan seluruh umat Muslim.

Rukun Ijab Kabul: Pilar-pilar Kesahihan Pernikahan

Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus ada dalam sebuah ibadah atau transaksi agar dianggap sah. Dalam konteks ijab kabul pernikahan, jika salah satu rukun tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah menurut syariat Islam. Ada lima rukun ijab kabul yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu:

Calon Suami (Shihah)
Calon Istri (Shihah)
Wali Nikah
Dua Orang Saksi
Shighat (Ijab dan Kabul)

Mari kita bahas masing-masing rukun ini secara mendalam.

1. Calon Suami (Shihah)

Calon suami adalah pihak yang menerima ijab (kabul). Agar sah, ia harus memenuhi beberapa syarat:

Beragama Islam: Seorang Muslimah hanya boleh menikah dengan seorang Muslim. Pernikahan seorang Muslimah dengan non-Muslim hukumnya haram dan tidak sah.
Jelas Orangnya: Calon suami haruslah orang yang jelas identitasnya, tidak ambigu atau tidak dikenal.
Bukan Mahram Calon Istri: Tidak ada hubungan darah, persusuan, atau perkawinan yang menyebabkan ia haram menikahi calon istri. Misalnya, tidak boleh menikahi ibu kandung, saudara perempuan, bibi, anak perempuan hasil persusuan, dan lain-lain.
Tidak Dalam Keadaan Ihram Haji/Umrah: Seorang laki-laki yang sedang berihram haji atau umrah tidak boleh melangsungkan pernikahan.
Baligh dan Berakal: Calon suami harus sudah mencapai usia dewasa (baligh) dan memiliki akal sehat. Pernikahan dengan anak-anak yang belum baligh atau orang gila tidak sah, karena tidak ada kematangan berpikir dan kesadaran untuk mengemban tanggung jawab pernikahan.
Atas Kehendak Sendiri (Tidak Terpaksa): Pernikahan harus dilangsungkan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan dari pihak manapun. Paksaan menghilangkan esensi kerelaan dalam akad.
Tidak Beristri Empat: Jika ia sudah memiliki istri empat, ia tidak boleh menikah lagi kecuali menceraikan salah satu istrinya terlebih dahulu dan masa iddahnya telah habis.

2. Calon Istri (Shihah)

Calon istri adalah pihak yang diwakili oleh walinya untuk dinikahkan. Ia juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu:

Beragama Islam: Seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Muslimah atau wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) dengan syarat tertentu. Namun, mayoritas ulama di Indonesia menganjurkan dan mempraktikkan pernikahan antar sesama Muslim.
Jelas Orangnya: Sama seperti calon suami, identitas calon istri juga harus jelas.
Bukan Mahram Calon Suami: Tidak ada hubungan darah, persusuan, atau perkawinan yang mengharamkan pernikahan tersebut.
Tidak Dalam Keadaan Ihram Haji/Umrah: Sama seperti calon suami.
Tidak Dalam Masa Iddah: Seorang wanita yang baru bercerai atau ditinggal mati suaminya tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddahnya (masa tunggu) selesai. Masa iddah bertujuan untuk memastikan tidak ada kehamilan dari pernikahan sebelumnya dan memberikan waktu berduka.
Baligh dan Berakal: Calon istri harus sudah baligh dan berakal sehat, mampu memahami makna pernikahan dan hak serta kewajibannya.
Atas Kehendak Sendiri (Tidak Terpaksa): Sama seperti calon suami, pernikahan harus dilakukan atas dasar kerelaan calon istri. Hak perempuan untuk menolak sebuah lamaran atau pernikahan yang tidak dikehendakinya sangat ditekankan dalam Islam.
Bukan Istri Orang Lain: Ia tidak boleh sedang terikat pernikahan dengan laki-laki lain.

3. Wali Nikah

Wali nikah adalah orang yang memiliki hak untuk menikahkan seorang perempuan. Kehadiran wali adalah salah satu rukun terpenting dalam pernikahan seorang perempuan. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak sah pernikahan tanpa wali." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Syarat-syarat Wali Nikah:

Beragama Islam: Wali harus seorang Muslim. Seorang non-Muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang Muslimah.
Baligh dan Berakal: Wali harus sudah dewasa dan berakal sehat.
Merdeka: Bukan seorang budak.
Laki-laki: Wali harus seorang laki-laki.
Adil: Dalam pandangan sebagian ulama, wali juga disyaratkan adil, yaitu tidak melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
Tidak Terhalang Menjadi Wali: Tidak sedang ihram haji atau umrah, dan tidak sedang dalam sengketa dengan calon suami.

Urutan Wali Nikah (Wali Nasab):

Urutan wali didasarkan pada hubungan kekerabatan. Yang paling berhak adalah wali nasab (garis keturunan) terdekat, yaitu:

Ayah kandung.
Kakek dari pihak ayah (ayahnya ayah).
Saudara laki-laki sekandung.
Saudara laki-laki seayah.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman dari pihak ayah (saudara kandung ayah).
Paman dari pihak ayah (saudara seayah ayah).
Anak laki-laki dari paman dari pihak ayah.
Setiap ahli waris laki-laki dari pihak ayah sesuai urutan.

Jika semua wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat (misalnya meninggal dunia, gila, atau berbeda agama), maka hak perwalian jatuh kepada Wali Hakim. Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah (dalam hal ini KUA di Indonesia) untuk bertindak sebagai wali nikah. Peran wali hakim sangat penting untuk memastikan pernikahan tetap dapat dilangsungkan ketika wali nasab tidak ada atau tidak dapat menjalankan fungsinya.

Hikmah Adanya Wali: Wali berfungsi sebagai pelindung dan penjamin kepentingan perempuan. Ia memastikan bahwa perempuan dinikahkan dengan laki-laki yang baik dan tidak akan dirugikan. Ini juga menegaskan pentingnya persetujuan keluarga dalam ikatan pernikahan.

4. Dua Orang Saksi

Kehadiran dua orang saksi dalam ijab kabul adalah rukun yang tidak bisa ditawar. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Syarat-syarat Saksi:

Beragama Islam: Saksi harus seorang Muslim.
Laki-laki: Kedua saksi harus laki-laki. Tidak boleh perempuan, atau satu laki-laki dan satu perempuan.
Baligh dan Berakal: Sudah dewasa dan memiliki akal sehat.
Adil: Dalam pandangan mayoritas ulama, saksi harus adil, yaitu orang yang integritasnya baik, tidak fasik (melakukan dosa besar atau terus-menerus dosa kecil). Namun, di Indonesia, syarat adil ini sering diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
Mendengar dan Memahami Ijab Kabul: Saksi harus hadir secara langsung di majelis akad nikah dan mampu mendengar serta memahami dengan jelas lafaz ijab dan kabul yang diucapkan.
Bukan Pihak yang Terlibat Langsung: Saksi tidak boleh merupakan calon suami, wali, atau mempelai wanita.

Hikmah Persaksian: Adanya saksi berfungsi sebagai:
a. Pengumuman: Mengumumkan pernikahan secara publik, sehingga tidak ada keraguan atau fitnah di kemudian hari.
b. Penjamin Kesahihan: Memastikan bahwa proses ijab kabul telah dilakukan sesuai syariat dan rukun-rukunnya terpenuhi.
c. Perlindungan Hukum: Jika terjadi perselisihan di kemudian hari, para saksi dapat memberikan kesaksian tentang sahnya pernikahan.

5. Shighat (Ijab dan Kabul)

Shighat adalah ucapan atau lafaz yang digunakan dalam proses ijab kabul. Ini adalah rukun yang paling tampak dan paling sering diperdebatkan detailnya. Shighat harus memenuhi beberapa syarat:

Lafaz yang Jelas dan Tegas: Ijab dan kabul harus diucapkan dengan kata-kata yang jelas, tidak ambigu, dan secara tegas menunjukkan maksud pernikahan. Kata-kata seperti "Aku nikahkan engkau" atau "Aku kawinkan engkau" untuk ijab, dan "Aku terima nikahnya" atau "Aku terima kawinnya" untuk kabul.
Menggunakan Kata "Nikah" atau "Kawin": Mayoritas ulama mensyaratkan penggunaan lafaz yang secara eksplisit berarti "nikah" (نكاح) atau "kawin" (تزويج) atau derivasinya.
Berkesinambungan (Ittishal): Antara ijab dan kabul tidak boleh terpisah oleh waktu yang lama atau diselingi perkataan lain yang tidak relevan. Artinya, begitu wali mengucap ijab, calon suami harus segera mengucap kabul tanpa jeda yang berarti. Jika ada jeda panjang atau pembicaraan lain yang mengganggu, maka akad bisa batal dan harus diulang.
Tidak Bersyarat (Ta'liq): Ijab kabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat yang akan terjadi di masa depan. Contoh: "Aku nikahkan kamu jika aku lulus ujian," atau "Aku kawinkan kamu jika aku kaya." Pernikahan harus terjadi secara mutlak.
Tidak Bertempo (Ta'qit): Ijab kabul tidak boleh dibatasi oleh waktu tertentu. Contoh: "Aku nikahkan kamu selama dua tahun," atau "Aku kawinkan kamu selama masa studi." Pernikahan dalam Islam bersifat langgeng dan hanya dapat berakhir dengan perceraian atau kematian. Pernikahan mut'ah (kontrak berjangka) diharamkan dalam Islam.
Diucapkan dalam Satu Majelis: Ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu pertemuan atau satu majelis akad yang sama.
Bahasa: Ijab kabul sebaiknya diucapkan dalam bahasa Arab jika memungkinkan, karena ini adalah bahasa Al-Qur'an dan Hadis. Namun, jika tidak memungkinkan, boleh menggunakan bahasa lain yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir (wali, calon suami, dan saksi) dengan makna yang sama persis. Di Indonesia, umumnya menggunakan bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan secara baku dari lafaz Arab.

Memahami dan memenuhi kelima rukun ini adalah kunci utama untuk memastikan bahwa sebuah pernikahan Islam sah di mata agama dan insya Allah diberkahi oleh Allah SWT. Setiap rukun memiliki peran vital dalam menegakkan fondasi pernikahan yang kokoh dan penuh berkah.

Syarat Sah Ijab Kabul di Indonesia: Harmonisasi Syariat dan Hukum Negara

Di Indonesia, selain harus memenuhi rukun-rukun ijab kabul yang telah dijelaskan di atas berdasarkan syariat Islam, sebuah pernikahan juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum negara. Hal ini penting untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami istri dan keturunannya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi landasan utama.

1. Syarat Calon Suami dan Istri Menurut Hukum Negara

Hukum positif di Indonesia juga mengatur syarat-syarat bagi calon suami dan istri, yang sebagian besar sejalan dengan syariat Islam, namun dengan penekanan pada aspek administrasi dan usia:

Usia Minimal: Berdasarkan UU Perkawinan, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi pria dan 19 tahun bagi wanita. Tujuan penetapan usia ini adalah untuk memastikan kematangan fisik dan mental calon pengantin dalam membangun rumah tangga. Jika belum mencapai usia tersebut, pernikahan bisa diajukan dengan dispensasi dari pengadilan agama.
Persetujuan Kedua Belah Pihak: Pernikahan harus dilangsungkan atas dasar persetujuan kedua calon mempelai. Tidak boleh ada paksaan. Hal ini sejalan dengan prinsip "ridha" dalam Islam.
Tidak Ada Hubungan Darah, Semenda, atau Susuan: Calon suami dan istri tidak boleh memiliki hubungan yang dilarang menikah menurut agama maupun undang-undang. Ini mencakup mahram karena nasab (keturunan), mahram karena perkawinan (semenda), dan mahram karena persusuan.
Tidak Terikat Pernikahan dengan Pihak Lain: Calon suami tidak sedang terikat pernikahan yang sah dengan wanita lain jika ia tidak memenuhi syarat poligami (izin dari pengadilan agama dan memenuhi syarat-syarat poligami). Calon istri tidak boleh sedang terikat pernikahan dengan pria lain atau masih dalam masa iddah.
Izin Orang Tua/Wali: Bagi calon mempelai yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya (di bawah 21 tahun), wajib mendapatkan izin dari orang tua atau wali.

2. Peran Wali Nikah dalam Hukum Indonesia

KHI Pasal 19, 20, dan 21 secara eksplisit mengatur mengenai wali nikah, menegaskan kembali pentingnya wali sebagaimana dalam syariat Islam. KHI juga mengakui urutan wali nasab dan peran wali hakim jika wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) yang menjadi Penghulu seringkali bertindak sebagai wali hakim jika diperlukan, setelah melalui prosedur yang ditetapkan.

3. Persaksian Pernikahan Menurut Hukum Negara

Syarat dua orang saksi laki-laki yang baligh, berakal, dan adil juga diadopsi dalam praktik hukum pernikahan di Indonesia. Saksi-saksi ini akan menandatangani akta nikah sebagai bukti bahwa mereka menyaksikan langsung pelaksanaan ijab kabul yang sah.

4. Pencatatan Pernikahan: Aspek Krusial Hukum Indonesia

Salah satu perbedaan paling signifikan antara sekadar sah secara syariat dan sah secara hukum negara di Indonesia adalah pencatatan pernikahan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) menyatakan:

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Meskipun pernikahan yang tidak dicatat (sering disebut nikah siri) mungkin sah secara agama jika rukun dan syaratnya terpenuhi, namun ia tidak diakui secara hukum negara. Artinya, pasangan tersebut tidak akan memiliki buku nikah, dan konsekuensinya:

Tidak Adanya Perlindungan Hukum: Baik bagi suami, istri, maupun anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Hak-hak waris, hak nafkah, hak asuh anak, dan lain-lain akan sulit atau bahkan tidak dapat dituntut secara hukum.
Kesulitan Administratif: Kesulitan dalam mengurus akta kelahiran anak, kartu keluarga, paspor, dan dokumen-dokumen penting lainnya.
Potensi Penelantaran: Istri dan anak lebih rentan terhadap penelantaran atau ketidakadilan karena tidak ada bukti hukum yang kuat mengenai status pernikahan.

Oleh karena itu, di Indonesia, sangat ditekankan untuk melangsungkan pernikahan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) bagi Muslim, atau Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim, agar mendapatkan legalitas penuh dari negara. Pencatatan ini bukan berarti negara mencampuri urusan keabsahan agama, melainkan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak warga negara.

5. Tidak Ada Halangan Syar'i dan Yuridis

Selain halangan syar'i (seperti mahram atau masa iddah), tidak ada halangan yuridis lainnya, misalnya:

Salah satu pihak sedang dalam proses pidana yang menghalangi pernikahan.
Tidak ada persetujuan dari pihak yang berwenang jika salah satu calon adalah anggota TNI/Polri atau PNS dengan aturan khusus.

Secara keseluruhan, syarat sah ijab kabul di Indonesia merupakan upaya harmonisasi antara syariat Islam dan kebutuhan hukum modern. Tujuannya adalah untuk mewujudkan pernikahan yang tidak hanya sah di mata agama, tetapi juga kuat secara hukum, sehingga dapat melindungi hak-hak seluruh anggota keluarga dan menciptakan ketertiban sosial.

Prosedur Pelaksanaan Ijab Kabul: Dari Persiapan Hingga Sakralnya Ucapan

Pelaksanaan ijab kabul adalah puncak dari seluruh rangkaian persiapan pernikahan. Meskipun terlihat sederhana dari luar, ada banyak detail yang harus diperhatikan agar prosesnya berjalan lancar, sah, dan berkesan. Di Indonesia, prosedur ini melibatkan aspek agama dan administrasi negara.

1. Persiapan Pra-Nikah (Administratif dan Spiritual)

Pendaftaran ke KUA: Calon pengantin Muslim wajib mendaftarkan rencana pernikahannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, minimal 10 hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan. Ini melibatkan pengisian formulir, melengkapi berkas-berkas seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, pas foto, surat pengantar dari RT/RW/Kelurahan, dan lain-lain.
Pemeriksaan Dokumen: Petugas KUA akan memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen serta memastikan tidak ada halangan syar'i maupun hukum untuk menikah.
Kursus Pra-Nikah: Di beberapa daerah, calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pra-nikah yang diselenggarakan oleh KUA atau lembaga lain. Kursus ini bertujuan membekali calon pengantin dengan pengetahuan tentang hak dan kewajiban suami istri, kesehatan reproduksi, manajemen konflik, dan finansial keluarga.
Penentuan Wali dan Saksi: Calon pengantin wanita dan keluarganya harus menentukan siapa yang akan menjadi wali nikah sesuai urutan syariat. Demikian pula, calon pengantin pria dan wanita memilih dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Penentuan Mahar (Maskawin): Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri. Jumlah dan bentuk mahar disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
Penentuan Lokasi dan Waktu: Kapan dan di mana ijab kabul akan dilangsungkan. Bisa di KUA, masjid, rumah, atau gedung.

2. Tata Cara di Lokasi Akad Nikah

Pada hari-H, suasana akad nikah biasanya dipenuhi nuansa khidmat dan haru. Pihak-pihak utama yang hadir adalah:

Calon Suami: Duduk berhadapan dengan wali nikah atau penghulu yang mewakili wali.
Wali Nikah: Ayah kandung atau wali yang berhak, atau wali hakim (penghulu).
Dua Orang Saksi: Duduk di dekat calon pengantin pria dan wali, siap menyaksikan dan mendengarkan.
Penghulu/Petugas KUA: Bertindak sebagai pendaftar, pencatat, dan seringkali juga sebagai pembimbing prosesi.
Calon Istri: Biasanya duduk di tempat terpisah (di samping calon suami tapi tidak langsung berhadapan dengan wali) atau di ruangan lain hingga setelah ijab kabul selesai.

3. Urutan Prosesi Ijab Kabul

Pembukaan: Biasanya dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan khutbah nikah oleh penghulu atau seorang ulama. Khutbah nikah berisi nasihat tentang pentingnya pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta tujuan berkeluarga.
Penyerahan Mahar: Secara simbolis, calon suami menyerahkan mahar kepada calon istri melalui walinya atau langsung setelah akad.
Ucapan Ijab oleh Wali Nikah:
Wali nikah (atau wali hakim/penghulu yang mewakili) memegang tangan kanan calon suami, lalu mengucapkan ijab. Lafaznya kurang lebih:

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, [nama calon suami] bin [nama ayah calon suami], dengan anak saya/putri saya/saudari saya yang bernama [nama calon istri binti nama ayah calon istri], dengan mas kawinnya [sebutkan jenis dan jumlah mahar], tunai."

Dalam bahasa Arab:

« أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ اِبْنَتِي/مُوَكَّلَتِي [اسم العروس] بِمَهْرِ [المهر] حَالاً »

"Ankahtuka wa zawwajtuka ibnatī/muwakkilatī [nama calon istri] bi mahri [mahar] hālan."

Lafaz ini harus jelas, terdengar oleh saksi, dan tidak ambigu.
Ucapan Kabul oleh Calon Suami:
Setelah wali selesai mengucapkan ijab, calon suami harus segera menjawab dengan ucapan kabul tanpa jeda yang lama atau perkataan lain. Ia juga biasanya memegang tangan wali.

"Saya terima nikah dan kawinnya [nama calon istri binti nama ayah calon istri] dengan mas kawinnya tersebut, tunai."

Dalam bahasa Arab:

« قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيجَهَا بِالْمَهْرِ الْمَذْكُورِ حَالاً »

"Qabiltu nikāḥahā wa tazwījahā bil-mahri al-madhkūri hālan."

Ucapan kabul ini juga harus jelas dan terdengar oleh saksi. Jika calon suami salah dalam mengucapkan atau gugup sehingga lafaznya tidak tepat, penghulu biasanya akan membimbing untuk mengulanginya hingga sempurna.
Pengesahan Saksi:
Setelah ijab dan kabul diucapkan dengan benar dan berkesinambungan, penghulu akan bertanya kepada kedua saksi: "Bagaimana para saksi, sah?" Jika para saksi menjawab "Sah!" atau "Alhamdulillah sah," maka akad nikah dianggap telah terlaksana dengan sempurna.
Doa dan Nasehat Pernikahan:
Setelah dinyatakan sah, penghulu akan memimpin doa untuk kedua mempelai dan memberikan nasehat pernikahan yang berisi pesan-pesan agama untuk membimbing mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Penandatanganan Buku Nikah:
Setelah doa, kedua mempelai, wali nikah, dan kedua saksi akan menandatangani akta atau buku nikah sebagai bukti administratif dan legal dari pernikahan yang telah berlangsung. Ini adalah momen krusial untuk pencatatan pernikahan yang diakui negara.
Pertemuan Mempelai:
Setelah semua prosesi selesai, barulah calon istri yang kini telah resmi menjadi istri, dipertemukan dengan suaminya. Biasanya ada ritual sungkem, pemasangan cincin (jika ada), dan cium kening sebagai simbol kasih sayang dan penghormatan.

Nuansa Emosional dan Spiritual

Momen ijab kabul adalah momen yang sangat emosional. Ketegangan, haru, dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. Bagi banyak calon pengantin pria, mengucapkan kabul dengan lancar adalah sebuah tantangan tersendiri yang seringkali diiringi rasa gugup yang luar biasa. Namun, di balik itu, ada makna spiritual yang mendalam: janji suci di hadapan Allah, yang mengubah status mereka menjadi pasangan yang halal dan memulai sebuah perjalanan ibadah yang panjang.

Pelaksanaan ijab kabul yang khidmat dan memenuhi semua rukun serta syarat, baik secara syariat maupun hukum negara, akan memberikan kedamaian hati bagi kedua mempelai dan keluarga. Ini adalah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Hikmah dan Filosofi Ijab Kabul: Makna Mendalam di Balik Sebuah Janji

Di balik serangkaian rukun, syarat, dan prosedur yang telah dibahas, ijab kabul menyimpan hikmah dan filosofi yang sangat mendalam. Ia bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi dari tujuan luhur pernikahan dalam Islam yang membawa kebaikan bagi individu, keluarga, dan masyarakat.

1. Fondasi Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah

Ijab kabul adalah titik awal terbentuknya sebuah keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Dengan sahnya ijab kabul, dua jiwa disatukan dalam ikatan suci yang bertujuan untuk mencapai sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Lafaz ijab kabul menjadi gerbang untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberkahan dalam rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum: 21)

Melalui ijab kabul, Allah mengizinkan lahirnya cinta yang halal dan kasih sayang yang abadi, menjadi penopang dalam perjalanan hidup berdua.

2. Memelihara Kehormatan dan Kesucian Diri

Pernikahan yang diawali dengan ijab kabul yang sah adalah benteng terkuat bagi seseorang untuk menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Ia adalah cara halal untuk menyalurkan naluri biologis manusia, sehingga terhindar dari perzinaan atau perbuatan keji lainnya yang merusak moral dan tatanan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa itu adalah benteng baginya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ijab kabul adalah ikrar komitmen untuk hidup dalam kesucian, menjaga kehormatan pasangan, dan membentuk lingkungan yang bersih dari perbuatan haram.

3. Mewujudkan Keturunan yang Sah dan Berkualitas

Salah satu tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah untuk melestarikan keturunan (nasl) secara sah. Melalui ijab kabul, ikatan pernikahan menjadi legal dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut diakui secara agama dan hukum. Keturunan yang sah ini memiliki hak-hak yang jelas dan menjadi penerus yang diharapkan dapat membawa keberkahan bagi orang tua dan masyarakat.

Lebih dari sekadar reproduksi, pernikahan juga bertujuan untuk mendidik generasi penerus yang saleh dan salehah, yang akan menjadi aset berharga bagi agama, bangsa, dan negara. Lingkungan keluarga yang didasari ijab kabul yang suci akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak untuk tumbuh kembang dalam nilai-nilai Islam.

4. Pembentukan Masyarakat yang Harmonis dan Tertib

Keluarga adalah inti masyarakat. Jika keluarga-keluarga terbentuk di atas dasar yang kuat melalui ijab kabul yang sah, maka masyarakat pun akan menjadi harmonis dan tertib. Pernikahan mengurangi angka kriminalitas, perzinaan, dan dampak negatif lainnya yang disebabkan oleh hubungan tanpa ikatan. Ia menciptakan struktur sosial yang jelas, dengan hak dan kewajiban yang terdefinisi bagi setiap anggotanya.

Ijab kabul, dengan persaksian dan pencatatannya, juga merupakan bentuk pengumuman publik yang memastikan transparansi dan mencegah fitnah. Ini menjaga martabat individu dan stabilitas masyarakat.

5. Ibadah yang Panjang dan Menyempurnakan Separuh Agama

Pernikahan, yang dimulai dengan ijab kabul, sering disebut sebagai salah satu bentuk ibadah terpanjang dalam Islam. Setiap interaksi suami istri, setiap tanggung jawab yang dipikul, setiap kasih sayang yang diberikan, dapat bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

"Apabila seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang lainnya." (HR. Baihaqi)

Ijab kabul adalah momen di mana seseorang mengambil komitmen untuk menyempurnakan separuh agamanya, dengan harapan dapat menjalani sisa hidupnya dalam ketaatan kepada Allah melalui jalur pernikahan.

6. Penyatuan Dua Jiwa dan Dua Keluarga

Momen ijab kabul bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar. Ini mempererat tali silaturahmi, memperluas jaring kekerabatan, dan menciptakan ikatan baru yang membawa kebersamaan dan dukungan. Peran wali dalam ijab kabul adalah simbolisasi dari restu dan penyerahan tanggung jawab dari keluarga wanita kepada calon suami.

Secara filosofis, ijab kabul adalah pengakuan akan fitrah manusia untuk berpasangan, untuk saling melengkapi, dan untuk mencari ketenangan dalam diri pasangannya. Ini adalah jembatan menuju kehidupan yang lebih bermakna, penuh tanggung jawab, dan dilandasi cinta Ilahi.

Dengan memahami hikmah dan filosofi ini, ijab kabul tidak lagi dipandang sebagai sekadar serangkaian kalimat yang diucapkan dengan gugup, tetapi sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan abadi, baik di dunia maupun di akhirat, yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah SWT.

Variasi Adat dan Budaya dalam Ijab Kabul di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, budaya, dan tradisi. Meskipun inti dari ijab kabul tetap sama di seluruh Nusantara (sesuai syariat Islam dan hukum negara), namun seringkali terdapat variasi dalam adat dan budaya yang menyertainya. Variasi ini umumnya terletak pada ritual pra-akad dan pasca-akad, bukan pada rukun ijab kabul itu sendiri.

Inti Tetap Sama, Bingkai Budaya Berbeda

Prinsip dasar ijab kabul—adanya wali, calon suami, calon istri, saksi, dan shighat (ucapan ijab kabul)—tidak pernah berubah, di manapun di Indonesia. Ini adalah bagian dari syariat yang tidak bisa diotak-atik. Namun, masyarakat Indonesia seringkali mengadopsi atau mengintegrasikan tradisi lokal ke dalam rangkaian acara pernikahan mereka.

Beberapa contoh variasi adat yang populer:

Adat Jawa:
- Siraman: Upacara memandikan calon pengantin sebagai simbol pembersihan diri sebelum akad nikah.
- Midodareni: Malam sebelum akad nikah, calon pengantin wanita berdiam diri di kamar, didampingi keluarga dan kerabat perempuan, menerima nasihat. Calon pengantin pria biasanya datang untuk bertemu keluarga wanita namun belum bisa bertemu calon istrinya.
- Upacara Panggih: Setelah ijab kabul, ada serangkaian prosesi adat seperti injak telur, membasuh kaki suami, dulangan (saling menyuapi), yang melambangkan kesetiaan, pengabdian, dan kemesraan.
Adat Sunda:
- Ngeuyeuk Seureuh: Upacara adat yang dipimpin oleh sesepuh, memberikan nasihat rumah tangga dengan simbol-simbol daun sirih dan alat tenun.
- Prosesi Sawer: Setelah akad, kedua mempelai duduk di pelaminan, lalu disawer dengan beras, uang logam, permen, dan bunga oleh orang tua, diiringi lagu Sunda yang berisi nasihat.
- Huap Lingkung: Kedua mempelai saling menyuapi nasi kuning dengan tangan, melambangkan kebersamaan dan berbagi rezeki.
Adat Minang:
- Manjapuik Marapulai: Rombongan keluarga calon istri menjemput calon suami ke rumahnya untuk dibawa ke tempat akad nikah, dengan berbagai upacara penyambutan dan penghormatan.
- Bamalam di Rumah Mintuo: Setelah akad, ada tradisi pengantin pria menginap di rumah mertua untuk beberapa malam.
- Makan Bajamba: Makan bersama dalam wadah besar, melambangkan kebersamaan dan kekeluargaan.
Adat Bugis-Makassar:
- Mappacci: Upacara membersihkan diri dari hal-hal buruk, dengan menempelkan daun pacar ke tangan calon pengantin.
- Massuro Baca: Pembacaan doa-doa dan ayat suci Al-Qur'an sebelum akad.
- Mappanre Temme: Acara khataman Al-Qur'an sebagai penutup rangkaian acara.

Bolehkah Adat Mempengaruhi Ijab Kabul?

Penting untuk diingat bahwa adat istiadat ini bersifat pelengkap dan tidak boleh mengubah atau menghilangkan rukun dan syarat sah ijab kabul. Misalnya, jika adat mensyaratkan lafaz ijab kabul dalam bahasa tertentu, lafaz tersebut harus tetap mengandung makna yang sama persis dengan lafaz syar'i tentang "nikah" atau "kawin". Jika suatu adat bertentangan dengan syariat Islam (misalnya ada unsur kemusyrikan atau pemaksaan), maka adat tersebut harus ditinggalkan.

Para ulama dan KUA selalu menekankan bahwa keabsahan pernikahan ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat syar'i serta tercatat secara hukum negara. Adat dan budaya adalah bentuk ekspresi kegembiraan dan kekayaan lokal, yang selama tidak bertentangan dengan syariat, justru akan memperindah dan memperkaya momen pernikahan.

Inilah yang membuat pernikahan di Indonesia begitu unik dan berwarna. Setiap pasangan bisa memilih untuk mengadopsi tradisi leluhur mereka, selama fondasi utama yaitu ijab kabul tetap tegak sesuai tuntunan agama dan negara. Ini adalah harmoni antara ajaran Islam yang universal dengan kearifan lokal yang beragam.

Kesimpulan: Keagungan Janji Suci Ijab Kabul

Dari uraian panjang mengenai ijab kabul ini, dapat kita tarik benang merah bahwa ia bukanlah sekadar ritual seremonial belaka, melainkan sebuah fondasi yang amat kokoh dan sakral dalam pembangunan rumah tangga Muslim. Ijab kabul adalah pintu gerbang menuju kehidupan pernikahan yang halal, berkah, dan penuh makna, yang diakui baik di hadapan Allah SWT maupun di hadapan hukum negara.

Kita telah menyelami definisi etimologis dan syar'i dari ijab dan kabul sebagai tawar-menawar serta penerimaan yang mengubah status dua individu menjadi suami istri yang sah. Kedudukannya dalam syariat Islam sangat fundamental, didasarkan pada Al-Qur'an dan Hadis, serta disepakati oleh ijma' ulama, menjadikannya penanda dimulainya hubungan yang halal dan penuh tanggung jawab.

Pilar-pilar utama kesahihan ijab kabul terletak pada lima rukun yang tak boleh absen: keberadaan calon suami dan istri yang memenuhi syarat, wali nikah yang sah, dua orang saksi yang adil, serta shighat (lafaz ijab dan kabul) yang jelas, tegas, berkesinambungan, tidak bersyarat, dan tidak bertempo. Di Indonesia, rukun-rukun ini dilengkapi dengan syarat-syarat hukum negara, terutama mengenai usia minimal dan kewajiban pencatatan pernikahan, demi memberikan perlindungan hukum dan kepastian administratif bagi seluruh anggota keluarga.

Prosedur pelaksanaannya, mulai dari persiapan administratif di KUA, pemilihan wali dan saksi, hingga momen krusial pengucapan ijab kabul, semuanya dirancang untuk memastikan bahwa janji suci ini terucap dengan benar dan terekam secara resmi. Setiap langkah memiliki makna dan pentingnya sendiri, mengukuhkan keseriusan dan niat tulus kedua belah pihak.

Namun, lebih dari sekadar rukun dan prosedur, ijab kabul menyimpan hikmah dan filosofi yang mendalam. Ia adalah jalan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah; benteng untuk memelihara kehormatan diri dari perbuatan dosa; sarana untuk melahirkan keturunan yang sah dan berkualitas; serta fondasi bagi terciptanya masyarakat yang harmonis dan tertib. Pernikahan, yang dimulai dengan ijab kabul, juga merupakan ibadah terpanjang yang menyempurnakan separuh agama seseorang, menyatukan dua jiwa dan dua keluarga dalam satu ikatan suci.

Meskipun ada beragam variasi adat dan budaya yang memperindah prosesi pernikahan di berbagai daerah di Indonesia, esensi ijab kabul sebagai inti akad tidak pernah berubah. Tradisi-tradisi ini menjadi pelengkap yang memperkaya, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam yang mengatur rukun dan syarat pernikahan.

Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif tentang ijab kabul bukan hanya menjadi bekal bagi calon pengantin untuk menjalani momen sakral tersebut, tetapi juga fondasi yang kuat untuk membangun rumah tangga yang langgeng, berkah, dan diridai Allah SWT. Semoga setiap pasangan yang mengucapkan janji suci ini diberikan kekuatan, kesabaran, dan cinta untuk mewujudkan tujuan luhur pernikahan hingga akhir hayat.