Jejak Gemilang Kahuripan: Kerajaan Airlangga dan Warisannya di Tanah Jawa

Sejarah Nusantara kaya akan kisah-kisah kerajaan yang gemilang, dan di antara lembaran-lembaran masa lalu itu, nama Kahuripan bersinar terang sebagai salah satu episode paling penting dalam sejarah Jawa kuno. Kerajaan ini, meskipun relatif singkat masa berdirinya, memiliki dampak yang luar biasa terhadap fondasi politik, sosial, dan budaya di Jawa, terutama berkat kepemimpinan visioner dari rajanya yang paling terkenal, Prabu Airlangga. Kisah Kahuripan bukan sekadar catatan tentang kekuasaan, melainkan sebuah epik tentang perjuangan, kebangkitan dari keterpurukan, dan upaya pembangunan kembali peradaban di tengah-tengah kekacauan. Memahami Kahuripan berarti menelusuri akar-akar kejayaan Jawa, memahami bagaimana kepemimpinan yang kuat dapat membentuk sebuah bangsa, dan merenungi warisan abadi yang terus hidup hingga kini.

Ilustrasi konseptual lokasi Kerajaan Kahuripan di wilayah Jawa Timur.

Latar Belakang dan Kehancuran Medang (Mataram Kuno)

Untuk memahami kebangkitan Kahuripan, kita harus menengok ke belakang, pada periode sebelum kemunculannya. Pulau Jawa pada abad ke-10 dan awal abad ke-11 didominasi oleh Kerajaan Medang, sering disebut juga Mataram Kuno, yang berpusat di Jawa Timur setelah pindah dari Jawa Tengah pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Perpindahan pusat kekuasaan ini diyakini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari letusan Gunung Merapi yang dahsyat, bencana alam, hingga ancaman politik dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Mpu Sindok berhasil membangun kembali stabilitas dan melanjutkan tradisi Mataram Kuno dengan mendirikan dinasti Isyana. Kerajaan Medang kemudian berkembang di Jawa Timur dengan pusat-pusat pemerintahan yang berpindah-pindah, menyesuaikan dengan dinamika politik dan ekonomi saat itu.

Pada akhir abad ke-10, tepatnya sekitar tahun 990 Masehi, Medang diperintah oleh Dharmawangsa Teguh, paman dari Airlangga. Dharmawangsa adalah raja yang ambisius dan berusaha memperluas pengaruh Medang, bahkan hingga ke Sumatera, yang membuatnya berkonflik langsung dengan Kerajaan Sriwijaya. Konflik ini tidak hanya terbatas pada perebutan dominasi perdagangan, tetapi juga pertarungan hegemoni politik di Nusantara bagian barat. Ekspedisi militer Dharmawangsa ke Sriwijaya, meskipun awalnya menunjukkan keberhasilan, pada akhirnya memicu reaksi balasan yang dahsyat dari imperium maritim tersebut. Sriwijaya, yang terkenal dengan kekuatan lautnya, tidak tinggal diam menghadapi ancaman terhadap posisinya sebagai penguasa jalur perdagangan dan hegemoni regional.

Puncak kehancuran Medang terjadi pada tahun 1006 Masehi (ada juga yang menyebut 1016 Masehi), dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Mahapralaya. Kala itu, Medang diserang secara tiba-tiba oleh pasukan dari kerajaan bawahan yang disebut Wurawari, yang diyakini mendapat dukungan atau bahkan menjadi boneka dari Sriwijaya. Serangan ini terjadi saat Dharmawangsa sedang merayakan pesta pernikahan putrinya dengan Airlangga, seorang pangeran dari Bali yang juga keponakannya. Pesta yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan kebahagiaan itu berubah menjadi malapetaka. Istana diserang, Dharmawangsa Teguh gugur, dan seluruh keluarga kerajaan serta banyak bangsawan terbunuh. Medang hancur lebur, dan Jawa Timur dilanda kekacauan. Mahapralaya ini menjadi salah satu titik balik paling tragis dalam sejarah Jawa kuno, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang besar dan membuka jalan bagi era baru.

Dalam kekacauan itu, hanya segelintir orang yang berhasil selamat, termasuk Airlangga. Dengan didampingi oleh beberapa pengikut setia, salah satunya adalah Mpu Narotama, Airlangga melarikan diri ke hutan-hutan di pegunungan, hidup sebagai pertapa. Selama bertahun-tahun, ia bersembunyi, merenung, dan mengumpulkan kekuatan, sembari mengamati kondisi politik dan sosial Jawa yang carut-marut. Periode pelarian ini membentuk karakternya, memberinya kesempatan untuk memahami lebih dalam seluk-beluk kepemimpinan dan kebutuhan rakyatnya. Kondisi Jawa yang terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang saling berperang, bandit-bandit yang merajalela, dan hilangnya hukum serta ketertiban, adalah gambaran jelas dari keruntuhan sebuah peradaban. Dari abu kehancuran inilah, benih-benih Kerajaan Kahuripan mulai ditanam, dengan Airlangga sebagai sosok sentralnya.

Kebangkitan Airlangga dan Pendirian Kahuripan

Setelah bertahun-tahun menjadi pertapa di hutan Wonogiri (atau di tempat lain yang masih diperdebatkan oleh para sejarawan, seperti di lereng Gunung Lawu atau Gunung Penanggungan), nama Airlangga mulai dikenal dan dihormati. Kisah pelariannya dan keberaniannya dalam menghadapi kesulitan menyebar di antara rakyat. Pada tahun 1019 Masehi, para brahmana dan tokoh masyarakat terkemuka, yang prihatin dengan kondisi Jawa yang tidak stabil, memohon kepada Airlangga untuk turun gunung dan menjadi raja. Mereka melihat Airlangga sebagai sosok yang sah, memiliki legitimasi darah kerajaan dari Medang, dan memiliki kharisma serta kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk memulihkan keadaan.

Mahkota, simbol kekuasaan yang dikembalikan oleh Airlangga untuk Kerajaan Kahuripan.

Airlangga menerima permohonan tersebut. Ini adalah titik awal berdirinya Kerajaan Kahuripan, sebuah nama yang bermakna "kehidupan" atau "kesejahteraan", yang mencerminkan harapan dan misi Airlangga untuk menghidupkan kembali peradaban Jawa yang telah hancur. Pusat pemerintahannya awal mulanya didirikan di daerah yang kemudian dikenal sebagai Kahuripan, di dekat Sidoarjo sekarang, meskipun lokasinya yang tepat masih menjadi subjek perdebatan dan penelitian arkeologi. Dengan modal legitimasi, dukungan para brahmana, dan kemampuan militernya, Airlangga memulai tugas berat untuk menyatukan kembali Jawa yang terpecah-belah.

Perjuangan Menyatukan Wilayah

Tugas pertama Airlangga adalah mengonsolidasi kekuasaannya. Jawa Timur pada waktu itu terpecah menjadi banyak kerajaan-kerajaan kecil, kadipaten, dan daerah-daerah yang dikuasai oleh penguasa lokal yang independen atau bahkan para bandit. Proses penyatuan ini tidaklah mudah. Airlangga harus menaklukkan berbagai kelompok dan penguasa yang enggan tunduk, menggunakan kombinasi strategi militer dan diplomasi. Beberapa pertempuran penting tercatat dalam Prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone) yang memaparkan kronik hidup Airlangga.

Penaklukan Raja Wengker: Salah satu lawan awal yang kuat adalah Raja Wengker. Airlangga melancarkan beberapa kampanye militer untuk menundukkannya dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Mengalahkan Raja Hasin: Penguasa lain bernama Hasin juga menjadi target operasi militer Airlangga untuk memperluas wilayah kekuasaan Kahuripan.
Ekspansi ke Wilayah Timur dan Barat: Setelah mengamankan wilayah inti Kahuripan, Airlangga secara sistematis memperluas pengaruhnya ke arah timur, ke daerah-daerah seperti Pasuruan dan Malang, serta ke arah barat, menguasai sebagian wilayah yang kini menjadi Jawa Tengah bagian timur.

Strategi Airlangga tidak hanya terbatas pada kekuatan militer. Ia juga menggunakan pernikahan politik untuk mempererat hubungan dengan penguasa lokal dan memperkuat legitimasinya. Misalnya, ia menikahi putri dari Raja Panarukan, memperluas jaringan aliansi. Airlangga juga dikenal pandai membangun kembali infrastruktur yang hancur, seperti jalan dan pelabuhan, yang vital untuk perdagangan dan komunikasi, serta mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan pusat.

Pengakuan dan Legitimasi

Pada tahun 1028 Masehi, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wurawari, pihak yang bertanggung jawab atas Mahapralaya. Kemenangan ini bukan hanya balas dendam pribadi, tetapi juga kemenangan simbolis yang mengukuhkan posisi Airlangga sebagai pemulih ketertiban dan pewaris sah Medang. Setelah menguasai sebagian besar Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, Airlangga memproklamasikan dirinya sebagai raja penuh pada tahun 1032 Masehi. Pengakuan ini tidak hanya datang dari rakyat dan para brahmana, tetapi juga dari kerajaan-kerajaan tetangga yang mulai melihat stabilitas dan kemakmuran di bawah pemerintahannya.

Pada puncaknya, Kerajaan Kahuripan mencakup sebagian besar wilayah Jawa Timur dan membentang hingga ke Jawa Tengah bagian timur, sebuah wilayah yang cukup luas dan strategis. Ini adalah pencapaian luar biasa mengingat kondisi awalnya yang serba hancur. Nama Airlangga pun mulai disandingkan dengan raja-raja besar Jawa lainnya yang dikenal karena kemampuan memulihkan dan membangun kerajaan dari kehancuran.

Puncak Kejayaan dan Kebijakan Airlangga

Di bawah kepemimpinan Airlangga, Kerajaan Kahuripan mencapai puncak kejayaannya. Periode ini ditandai dengan stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, dan perkembangan budaya yang pesat. Airlangga bukan hanya seorang pejuang ulung, tetapi juga seorang negarawan yang visioner, seorang administrator yang cakap, dan seorang pelindung seni serta agama.

Administrasi dan Tata Kelola Pemerintahan

Airlangga fokus pada pembangunan kembali struktur pemerintahan yang efektif. Ia menunjuk pejabat-pejabat yang kompeten untuk membantu menjalankan roda pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Sistem hukum dan peradilan yang telah hancur akibat perang kembali ditegakkan, memberikan kepastian hukum bagi rakyat. Airlangga mengeluarkan berbagai peraturan dan undang-undang yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan. Kestabilan ini sangat penting untuk menarik kembali masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian.

Pajak dan retribusi diatur secara adil, dan hasil dari pajak tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur publik serta mendukung kegiatan keagamaan. Raja menunjukkan perhatian yang besar terhadap kesejahteraan rakyat, memastikan bahwa tanah-tanah pertanian dapat diolah kembali dengan aman dan hasil panen dapat didistribusikan dengan baik.

Ekonomi dan Perdagangan

Salah satu prioritas utama Airlangga adalah menghidupkan kembali perekonomian. Ia menyadari bahwa kemakmuran sebuah kerajaan sangat bergantung pada sektor pertanian dan perdagangan. Oleh karena itu, ia mengambil beberapa langkah strategis:

Pembangunan Infrastruktur Pertanian: Airlangga memerintahkan pembangunan dan perbaikan saluran irigasi, bendungan, dan sistem pengairan lainnya untuk mendukung pertanian padi, yang merupakan tulang punggung ekonomi Jawa. Pembangunan Waduk Waringin Pitu, misalnya, adalah bukti nyata dari perhatiannya terhadap irigasi.
Perlindungan Jalur Perdagangan: Dengan mengembalikan keamanan di darat dan laut, jalur-jalur perdagangan utama kembali dibuka. Airlangga memastikan bahwa para pedagang dapat beraktivitas tanpa ancaman dari perampok atau gangguan lainnya. Ini mendorong pertumbuhan perdagangan lokal dan internasional.
Peningkatan Pelabuhan: Pelabuhan-pelabuhan seperti Hujung Galuh (di Sungai Brantas, dekat Surabaya sekarang) dan Tuban dikembangkan menjadi pusat-pusat perdagangan yang ramai. Kapal-kapal dari berbagai penjuru Nusantara dan bahkan dari luar negeri seperti Tiongkok dan India kembali singgah, membawa barang dagangan dan pertukaran budaya. Komoditas ekspor utama kemungkinan besar adalah beras, rempah-rempah, dan hasil hutan, sementara impor meliputi keramik, sutra, dan barang-barang mewah lainnya.

Kemakmuran ekonomi di bawah Airlangga digambarkan dalam catatan-catatan kuno, menunjukkan adanya surplus pangan dan aktivitas perdagangan yang dinamis. Rakyat Kahuripan hidup dalam suasana yang lebih tenteram dan sejahtera dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang penuh kekacauan.

Perdagangan maritim menjadi tulang punggung ekonomi Kahuripan.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Airlangga adalah pelindung agama dan seni. Ia mendukung agama Hindu dan Buddha, yang pada masa itu hidup berdampingan di Jawa. Para brahmana dan agamawan dihormati, dan berbagai ritual keagamaan dilaksanakan untuk menjaga harmoni spiritual kerajaan. Airlangga juga dikenal sebagai pelindung sastra. Pada masa pemerintahannya, lahir karya sastra monumental seperti Kakawin Arjunawiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa. Kakawin ini bukan hanya sebuah karya sastra yang indah, tetapi juga alegori dari kisah hidup Airlangga sendiri, menggambarkan perjuangan seorang pahlawan yang berhasil mengatasi cobaan dan memulihkan kedamaian. Karya ini menjadi cerminan dari ideologi kekuasaan dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi pada masa Kahuripan.

Perkembangan seni arsitektur dan pahatan juga terlihat pada masa ini, meskipun banyak peninggalannya telah hilang atau belum sepenuhnya teridentifikasi. Namun, gaya seni periode ini menjadi jembatan antara gaya Mataram Kuno di Jawa Tengah dengan gaya Singasari dan Majapahit di kemudian hari. Kebijakan Airlangga yang menghormati dan mendukung berbagai lapisan masyarakat serta kebudayaan membuat Kahuripan menjadi pusat peradaban yang berkembang pesat.

Tantangan dan Pembelahan Kerajaan

Meskipun berhasil membawa Kahuripan ke puncak kejayaan, masa pemerintahan Airlangga tidak lepas dari tantangan. Seiring dengan bertambahnya usia, persoalan suksesi mulai muncul menjadi masalah krusial. Airlangga memiliki beberapa orang putri, dan juga seorang putra dari selir atau gundik yang disebut sebagai Mapanji Garasakan. Putra sulungnya, seorang pangeran bernama Sanggramawijaya Tunggadewi, dikisahkan menolak takhta dan memilih menjadi pertapa, mengikuti jejak ayahnya di masa muda. Penolakan ini menciptakan dilema suksesi yang serius bagi Airlangga.

Ketiadaan ahli waris takhta yang bersedia dan memiliki legitimasi kuat dari garis keturunan utama menimbulkan potensi konflik internal yang besar. Airlangga menyadari bahwa jika ia mewariskan seluruh kerajaannya kepada salah satu putranya (yang kemungkinan besar adalah Mapanji Garasakan), akan ada kemungkinan perang saudara di antara calon-calon pewaris lainnya, atau bahkan pemberontakan dari wilayah-wilayah yang tidak setuju. Trauma akan Mahapralaya yang menghancurkan Medang masih membekas dalam ingatan. Airlangga tidak ingin melihat Kahuripan, yang telah ia bangun dengan susah payah, kembali hancur karena konflik internal.

Keputusan Pembelahan Kerajaan

Untuk mencegah perpecahan dan menjamin kelangsungan hidup kerajaannya, Airlangga membuat sebuah keputusan yang monumental dan sangat strategis: ia membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Pembelahan ini dilakukan pada tahun 1042 Masehi, sesaat sebelum Airlangga turun takhta untuk menjadi pertapa. Pembagian ini dilakukan dengan bantuan Mpu Bharada, seorang brahmana terkemuka yang dihormati kebijaksanaannya. Sungai Brantas, yang melintasi Jawa Timur, dijadikan batas alamiah antara kedua kerajaan tersebut.

Dua kerajaan baru yang terbentuk adalah:

Kerajaan Janggala: Berpusat di daerah Surabaya dan sekitarnya, meliputi wilayah pesisir timur Jawa. Kerajaan ini diberikan kepada salah satu putra Airlangga yang bernama Mapanji Garasakan (atau adiknya, yang kemudian diangkat menjadi raja). Nama Janggala sering dikaitkan dengan makna "hutan" atau "tanah kosong", mencerminkan wilayah yang mungkin lebih baru dikembangkan atau memiliki potensi pertumbuhan yang besar.
Kerajaan Kediri (Panjalu): Berpusat di pedalaman Jawa, di daerah Kediri dan sekitarnya. Kerajaan ini diberikan kepada putra Airlangga yang lain, atau menurut beberapa sumber, kepada salah satu menantunya atau seorang pangeran yang memiliki hubungan erat dengan garis keturunan utama. Nama Panjalu atau Kediri kemudian menjadi identik dengan kerajaan yang kuat dan kaya di kemudian hari.

Meskipun tujuan pembelahan adalah untuk mencegah perang saudara, pada kenyataannya, kedua kerajaan ini (Janggala dan Kediri) tetap saja sering berkonflik dalam upaya untuk mendominasi satu sama lain. Konflik antara Janggala dan Kediri menjadi salah satu tema sentral dalam sejarah Jawa Timur pada abad ke-11 dan ke-12, di mana Kediri akhirnya muncul sebagai kekuatan yang lebih dominan.

Airlangga Menjadi Pertapa

Setelah melakukan pembelahan kerajaan dan memastikan kelangsungan dinastinya, Airlangga menanggalkan jubah kebesaran kerajaannya. Ia memutuskan untuk kembali menjadi pertapa, meninggalkan gemerlap kekuasaan untuk mencari ketenangan spiritual. Ia dikenal dengan nama Resi Gentayu atau Resi Jatayu (ada juga yang menyebut Resi Aji Paduka Mpungku). Keputusan ini menunjukkan tingkat spiritualitas dan kebijaksanaan Airlangga yang mendalam, bahwa kekuasaan duniawi hanyalah sementara dan tujuan akhir kehidupan adalah pencarian kebenaran spiritual. Ia meninggal pada tahun 1049 Masehi dan dicandikan di Tirta Empul, Belahan, atau di daerah Petirtaan Jalatunda, di mana ia digambarkan sebagai Wisnu mengendarai Garuda, sebuah gambaran yang mencerminkan statusnya sebagai raja yang saleh dan perwujudan dewa penyelamat.

Warisan dan Pengaruh Kahuripan

Meskipun Kerajaan Kahuripan hanya berdiri selama kurang lebih tiga dekade, warisan yang ditinggalkan Airlangga dan kerajaannya sangat mendalam dan berpengaruh terhadap perkembangan sejarah Jawa selanjutnya.

Fondasi untuk Kerajaan Selanjutnya

Pembelahan Kahuripan menjadi Janggala dan Kediri pada akhirnya melahirkan Kerajaan Kediri sebagai kekuatan besar di Jawa. Kediri, yang mewarisi sebagian besar tradisi dan sistem pemerintahan Kahuripan, kemudian berkembang menjadi kerajaan yang makmur dan berpengaruh, terkenal dengan sastra dan hukumnya. Kestabilan yang dibangun Airlangga, baik dalam aspek ekonomi maupun politik, menjadi landasan bagi kejayaan Kediri dan bahkan kemudian Singasari serta Majapahit. Tanpa upaya pemulihan yang dilakukan Airlangga, mungkin sejarah Jawa akan berjalan berbeda, mungkin kekacauan akan berlanjut lebih lama.

Pembangunan Infrastruktur

Upaya Airlangga dalam membangun dan memperbaiki infrastruktur, seperti sistem irigasi, jalan, dan pelabuhan, memiliki dampak jangka panjang. Sistem irigasi yang efisien memastikan produktivitas pertanian tetap tinggi selama berabad-abad, mendukung populasi yang berkembang. Jalur-jalur perdagangan yang aman memfasilitasi pertukaran barang dan ide, menjadikan Jawa sebagai salah satu pusat maritim dan perdagangan di Nusantara.

Teratai, simbol kesucian dan kebangkitan, relevan dengan semangat Kahuripan.

Perkembangan Sastra dan Seni

Karya-karya sastra seperti Kakawin Arjunawiwaha menjadi tonggak penting dalam sejarah kesusastraan Jawa Kuno. Kakawin ini tidak hanya dihargai karena nilai sastranya, tetapi juga karena memberikan wawasan berharga tentang nilai-nilai, ideologi, dan pandangan dunia masyarakat pada masa itu. Tradisi kesusastraan yang kuat ini kemudian dilanjutkan dan diperkaya pada masa Kediri dan Majapahit, menunjukkan bahwa Kahuripan adalah mata rantai penting dalam evolusi budaya Jawa.

Legitimasi dan Sakralitas Raja

Kisah hidup Airlangga, dari pangeran pelarian yang menjadi pertapa, lalu kembali menjadi raja yang menyelamatkan negerinya, dan akhirnya kembali menjadi pertapa, menciptakan sebuah narasi yang sangat kuat tentang kepemimpinan yang saleh dan berintegritas. Ini mengukuhkan konsep Dewa-Raja di mana raja dianggap sebagai perwujudan dewa di bumi, yang memiliki legitimasi ilahi untuk memerintah. Konsep ini terus dipegang teguh oleh raja-raja Jawa selanjutnya, dari Singasari hingga Majapahit, dan bahkan hingga kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Airlangga menjadi prototipe bagi raja-raja ideal dalam tradisi Jawa.

Keseimbangan Agama

Kebijakan Airlangga yang mengakomodasi dan melindungi agama Hindu dan Buddha secara bersamaan juga menjadi warisan penting. Sinkretisme agama ini, di mana kedua agama hidup berdampingan secara harmonis, menjadi ciri khas peradaban Jawa kuno dan terus berlanjut hingga masa Majapahit. Ini mencerminkan toleransi beragama yang kuat dan menjadi contoh bagi pemerintahan berikutnya.

Penemuan dan Penelitian Arkeologi

Peninggalan fisik dari Kerajaan Kahuripan tidak sebanyak peninggalan Mataram Kuno atau Majapahit, sebagian besar karena usia dan mungkin juga karena pusat-pusat pemerintahannya yang bergerak. Namun, beberapa penemuan arkeologi telah memberikan petunjuk berharga tentang keberadaan dan kejayaan kerajaan ini.

Prasasti Pucangan (Calcutta Stone)

Salah satu bukti terpenting adalah Prasasti Pucangan yang ditemukan di daerah Sidoarjo. Prasasti ini, yang bertarikh 1041 Masehi, adalah sumber utama informasi tentang kehidupan dan perjuangan Airlangga. Ditulis dalam dua bahasa, Sansekerta dan Jawa Kuno, prasasti ini menceritakan tentang asal-usul Airlangga, tragedi Mahapralaya, perjuangannya dalam menyatukan Jawa, hingga pembelahan kerajaannya. Prasasti ini menjadi "otobiografi" Airlangga yang paling otentik dan komprehensif, meskipun tentu saja ditulis dengan gaya glorifikasi raja.

Situs Petirtaan Jalatunda dan Candi Belahan

Dua situs petirtaan (pemandian suci) yang terletak di lereng Gunung Penanggungan, yakni Jalatunda dan Belahan, diyakini kuat berkaitan dengan Airlangga. Petirtaan Jalatunda, yang bertarikh 977 Masehi, menunjukkan karakteristik arsitektur Jawa Kuno yang khas dan mungkin sudah ada sebelum masa Airlangga, namun memiliki keterkaitan dengan ritual keagamaan pada masa Kahuripan. Sementara itu, di Candi Belahan ditemukan arca Wisnu mengendarai Garuda yang diyakini sebagai perwujudan Airlangga. Arca ini menampilkan Airlangga sebagai Wisnu, dewa pemelihara alam semesta, yang menggarisbawahi peran Airlangga sebagai pemulih dan penegak ketertiban. Penggambaran ini sangat penting dalam memahami bagaimana Airlangga dipuja dan dianggap sebagai pemimpin yang memiliki sifat ilahi.

Situs-situs Lain

Penelitian arkeologi terus berlanjut di berbagai lokasi di Jawa Timur yang diyakini merupakan bekas wilayah Kahuripan. Beberapa situs purbakala yang mengandung fragmen keramik, prasasti-prasasti kecil, atau struktur bata kuno di daerah Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang, mungkin merupakan sisa-sisa permukiman atau fasilitas umum dari masa Kahuripan. Namun, identifikasi yang pasti seringkali sulit karena banyak situs telah tertimbun atau rusak akibat aktivitas manusia dan alam selama ribuan tahun.

Keterbatasan bukti fisik ini terkadang menyulitkan rekonstruksi sejarah Kahuripan secara detail. Oleh karena itu, para sejarawan sangat bergantung pada interpretasi teks-teks kuno seperti prasasti dan kakawin, serta perbandingan dengan data arkeologi dari periode lain yang lebih kaya, untuk menyusun gambaran yang utuh tentang kerajaan ini.

Peran Kahuripan dalam Genealogi Raja-raja Jawa

Salah satu aspek penting dari Kahuripan adalah perannya sebagai mata rantai vital dalam genealogi raja-raja Jawa. Airlangga tidak hanya seorang pendiri kerajaan, tetapi juga nenek moyang dari dinasti-dinasti yang lebih besar dan lebih lama berkuasa di kemudian hari.

Setelah pembelahan menjadi Janggala dan Kediri, garis keturunan Airlangga terus berlanjut melalui raja-raja di kedua kerajaan tersebut. Meskipun Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Kediri, darah Airlangga tetap mengalir dalam silsilah raja-raja Kediri. Kemudian, pada awal abad ke-13, Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari, mengklaim memiliki legitimasi melalui pernikahan politik dengan keturunan raja-raja Kediri, sehingga secara tidak langsung menghubungkan Singasari dengan garis Airlangga. Begitu pula Majapahit, yang didirikan oleh Raden Wijaya, cucu dari Raja Singasari, Kertanegara, juga dapat melacak sebagian legitimasinya kembali ke Airlangga.

Hal ini menunjukkan bahwa Airlangga dan Kahuripan bukan hanya sebuah episode sejarah yang terisolasi, melainkan sebuah simpul penting yang menghubungkan Kerajaan Medang kuno dengan kerajaan-kerajaan besar Jawa selanjutnya. Ia adalah jembatan yang mempertahankan kontinuitas kebudayaan, politik, dan bahkan legitimasi kekuasaan di Jawa. Tanpa Airlangga yang berhasil memulihkan keteraturan setelah Mahapralaya, mungkin saja garis keturunan raja-raja Jawa akan terputus, dan perkembangan peradaban Jawa akan mengambil jalur yang sangat berbeda.

Refleksi Modern tentang Kahuripan

Kisah Kerajaan Kahuripan dan rajanya, Airlangga, tetap relevan dan menginspirasi hingga saat ini. Dalam konteks modern, Kahuripan seringkali dilihat sebagai simbol kebangkitan, resiliensi, dan kepemimpinan yang visioner di tengah krisis. Beberapa poin refleksi penting:

Semangat Kebangkitan: Kahuripan menunjukkan bahwa dari kehancuran dan kekacauan, sebuah peradaban baru dapat dibangun kembali dengan kerja keras, kebijaksanaan, dan kepemimpinan yang kuat. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap bangsa yang menghadapi tantangan berat.
Kepemimpinan Adil dan Visioner: Airlangga adalah contoh pemimpin yang tidak hanya piawai dalam peperangan, tetapi juga cakap dalam administrasi, ekonomi, dan pelindung budaya. Kebijakannya yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan pembangunan berkelanjutan dapat menjadi teladan.
Pentingnya Kestabilan: Kisah Kahuripan menegaskan betapa fundamentalnya stabilitas politik dan keamanan untuk pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya. Tanpa ketertiban, kemajuan akan sulit dicapai.
Warisan Multikultural: Kebijakan toleransi Airlangga terhadap berbagai agama dan budaya mencerminkan nilai-nilai keberagaman yang penting dalam masyarakat modern. Harmoni sosial adalah kunci kemajuan.

Nama "Kahuripan" sendiri sering digunakan dalam berbagai konteks di Indonesia modern, seperti nama jalan, perumahan, atau institusi, sebagai simbol dari "kehidupan" atau "kemakmuran" yang diimpikan. Hal ini menunjukkan bahwa memori kolektif akan kerajaan ini tetap hidup dan memiliki resonansi budaya yang kuat.

Kesimpulan

Kerajaan Kahuripan, yang bangkit dari abu kehancuran Medang di bawah kepemimpinan gemilang Prabu Airlangga, adalah salah satu babak terpenting dalam sejarah Jawa. Meskipun masa berdirinya singkat, dari tahun 1019 hingga 1042 Masehi, dampaknya terhadap fondasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Jawa Timur sungguh luar biasa. Airlangga tidak hanya berhasil menyatukan kembali wilayah yang terpecah-belah, tetapi juga membangun sebuah peradaban yang makmur, adil, dan berbudaya, meletakkan dasar bagi kejayaan kerajaan-kerajaan besar yang mengikutinya, seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit.

Kisah Kahuripan adalah epik tentang seorang pahlawan yang bangkit dari keterpurukan, seorang pertapa yang menjadi raja, dan seorang negarawan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segalanya. Dari pembangunan infrastruktur, pemulihan ekonomi, hingga perlindungan seni dan sastra, setiap aspek pemerintahannya menunjukkan visi yang jauh ke depan. Keputusan monumental Airlangga untuk membagi kerajaannya, meskipun kontroversial, adalah tindakan pragmatis untuk mencegah perang saudara dan memastikan kelangsungan dinasti serta warisan peradaban yang telah ia bangun. Pada akhirnya, ia memilih jalur spiritual, mengukuhkan citranya sebagai raja-pertapa yang bijaksana.

Warisan Kerajaan Kahuripan tidak hanya terlihat dari prasasti-prasasti dan situs-situs kuno, tetapi juga dalam jejak-jejak budaya dan nilai-nilai kepemimpinan yang terus mengalir dalam nadi sejarah Jawa. Kahuripan menjadi simbol kebangkitan, resiliensi, dan kemampuan sebuah bangsa untuk pulih dari bencana, membangun kembali dengan semangat baru, dan mencapai puncak kejayaannya. Ia adalah cerminan dari "kehidupan" itu sendiri, sebuah peradaban yang berani menghadapi badai, tumbuh lebih kuat, dan meninggalkan jejak gemilang yang tak lekang oleh waktu.