Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, konsep ‘nikmat’—karunia, berkah, atau anugerah—selalu menjadi poros sentral kehidupan. Nikmat adalah fondasi eksistensi. Namun, di antara segala karunia tersebut, terdapat bayangan gelap yang selalu mengintai: Kufur Nikmat. Kufur nikmat, yang secara harfiah berarti mengingkari atau menolak karunia, bukanlah sekadar lupa mengucapkan terima kasih. Ia adalah penyakit spiritual yang merusak inti kesadaran, mengubah kelimpahan menjadi kekurangan, dan menciptakan kekosongan di tengah kemakmuran.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif spektrum kufur nikmat, mulai dari landasan teologisnya yang mendalam hingga manifestasi psikologisnya yang halus dalam kehidupan kontemporer. Kita akan membedah bagaimana sikap ingratitude ini tidak hanya merugikan individu secara spiritual, tetapi juga menghancurkan struktur sosial dan ekonomi. Pemahaman yang menyeluruh terhadap akar masalah ini adalah langkah pertama menuju penanaman kesyukuran yang hakiki, sebuah kondisi spiritual yang memastikan keberkahan abadi dan kedamaian batin.
Untuk mengupas tuntas isu ini, kita harus terlebih dahulu membedakan antara konsep ‘kufur’ secara umum dan ‘kufur nikmat’ secara spesifik. Kufur, dalam konteks teologis yang paling luas, merujuk pada penolakan terhadap kebenaran hakiki, penutupan mata terhadap realitas Pencipta. Sementara itu, kufur nikmat adalah manifestasi parsial dari penolakan tersebut, di mana individu mengakui eksistensi Pemberi, namun secara aktif atau pasif menolak, mengabaikan, atau menyalahgunakan karunia yang telah diberikan-Nya.
Kufur nikmat berdiri di kutub yang berlawanan dengan syukur. Syukur adalah pengakuan lisan, hati, dan perbuatan terhadap segala karunia. Kufur nikmat adalah kebalikannya: pengingkaran melalui lisan (keluhan yang tidak berkesudahan), hati (perasaan berhak/entitlement), dan perbuatan (pemborosan atau penyalahgunaan). Kufur nikmat tidak hanya terjadi ketika seseorang miskin atau tertimpa musibah; ia seringkali justru mekar subur di tengah kelimpahan dan kemudahan. Seseorang yang memiliki segalanya, namun hatinya dipenuhi kegelisahan dan pandangannya hanya terfokus pada apa yang tidak ia miliki, sedang berada dalam cengkeraman kufur nikmat.
Spektrum kufur nikmat sangat luas dan dapat dikategorikan menjadi beberapa tingkatan keparahan:
Pemahaman ini krusial. Kufur nikmat, oleh karena itu, harus dipandang sebagai krisis kesadaran, sebuah defisit ontologis yang menjauhkan manusia dari tujuan spiritual hakikinya, bahkan ketika segala kebutuhan materi telah terpenuhi. Ini adalah bahaya laten yang menghantui setiap jiwa yang hidup dalam kelimpahan atau bahkan sekadar kecukupan.
Untuk memahami pengingkaran, kita harus mendefinisikan apa yang diingkari. Nikmat (karunia) tidak terbatas pada harta benda. Nikmat dibagi menjadi kategori yang jauh lebih luas, dan kelalaian terhadap kategori-kategori non-materiil inilah yang paling sering menjadi pangkal kufur nikmat:
Ini mencakup kekayaan, kesehatan fisik yang prima, keluarga yang utuh, pekerjaan yang stabil, dan keamanan negara. Ini adalah karunia yang paling mudah dihitung dan seringkali paling cepat diingkari karena sifatnya yang sementara dan relatif. Ketika seseorang kehilangan sebagian dari nikmat zhahir, barulah ia menyadari betapa berharganya hal tersebut.
Ini adalah karunia yang berkaitan dengan dimensi internal manusia: iman, akal (kemampuan berpikir dan membedakan), ketenangan hati, pengetahuan, dan kesempatan untuk berbuat baik. Kufur nikmat dalam dimensi bathin jauh lebih berbahaya. Contohnya adalah ketika seseorang menggunakan akalnya yang tajam untuk menipu atau menyebarkan kebohongan, atau ketika ketenangan hati yang diberikan justru digunakan untuk berdiam diri di hadapan kezaliman. Ini adalah penyalahgunaan karunia spiritual yang paling esensial.
Kategori yang paling subtil. Istidraj adalah pemberian kelimpahan materi yang terus-menerus kepada seseorang yang secara moral atau spiritual sesat. Individu tersebut mengira kelimpahannya adalah tanda keridaan Ilahi, padahal itu adalah jebakan yang perlahan menariknya menuju kebinasaan. Menganggap harta atau kekuasaan yang diperoleh melalui jalan haram sebagai ‘nikmat’ yang sah adalah bentuk kufur nikmat yang paling menyesatkan.
Di era digital dan konsumerisme global, kufur nikmat mengambil bentuk-bentuk baru yang lebih kompleks dan terinternalisasi. Lingkungan sosial modern telah menciptakan kondisi ideal bagi tumbuhnya amnesia nikmat kolektif. Kelimpahan pilihan, kecepatan informasi, dan budaya perbandingan telah mendistorsi pandangan kita terhadap apa itu 'cukup'.
Salah satu manifestasi psikologis utama kufur nikmat modern adalah Hedonic Adaptation (adaptasi hedonis). Ini adalah kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka, terlepas dari peristiwa positif atau negatif besar yang terjadi. Ketika kita membeli gawai baru, kenikmatan awalnya tinggi, namun dalam hitungan minggu, gawai tersebut menjadi standar baru, dan kita mulai mencari peningkatan berikutnya. Dalam konteks nikmat, ini berarti:
Adaptasi hedonis ini secara efektif membunuh rasa syukur karena secara otomatis menetralkan dampak positif dari setiap karunia yang diterima. Ia mengubah keberkahan menjadi kewajaran, dan kewajaran menjadi hak yang tidak perlu diperjuangkan atau dihargai.
Kufur nikmat paling nyata terlihat dalam pemborosan dan konsumsi yang berlebihan (israf). Pemborosan tidak hanya terbatas pada kekayaan. Ini adalah pemborosan sumber daya, waktu, dan energi. Ketika sumber daya bumi diperlakukan sebagai entitas tanpa batas yang bisa dieksploitasi tanpa tanggung jawab, ini adalah kufur nikmat ekologis. Ketika makanan dibuang dalam jumlah besar sementara jutaan orang kelaparan, ini adalah kufur nikmat ekonomi dan moral.
Konsumerisme mengajarkan kita bahwa kekosongan batin dapat diisi oleh kepemilikan materi. Namun, setiap benda baru yang diperoleh hanya menunda pengakuan bahwa kekosongan itu hanya bisa diisi oleh kesadaran dan koneksi spiritual.
Budaya fast fashion, penggantian gawai secara obsesif, dan penumpukan barang-barang yang tidak pernah benar-benar dibutuhkan adalah ritual modern dari pengingkaran karunia. Karunia waktu luang yang dihabiskan tanpa menghasilkan nilai, atau karunia kesehatan yang disia-siakan melalui gaya hidup destruktif, juga merupakan bentuk-bentuk akut dari israf yang berakar pada kufur nikmat.
Ketika kufur nikmat mewabah di tingkat individu, ia menjelma menjadi masalah sosial. Ingratitude kolektif termanifestasi dalam:
Pada intinya, kufur nikmat sosial adalah ketika suatu komunitas berhenti melihat kemakmuran dan sumber daya mereka sebagai amanah yang harus digunakan untuk kesejahteraan bersama, dan mulai melihatnya sebagai hak eksklusif yang membenarkan eksploitasi dan ketidaksetaraan.
Kufur nikmat bukanlah sekadar kesalahan moral; ia adalah kegagalan kognitif dan disfungsi emosional. Memahami bagaimana pikiran manusia memproses dan menolak karunia adalah kunci untuk mengobatinya.
Ego manusia (nafs) memiliki kecenderungan bawaan untuk mengklaim hasil positif sebagai miliknya sendiri. Kufur nikmat seringkali berakar pada arogansi, di mana individu gagal mengakui adanya faktor eksternal atau Ilahi dalam kesuksesannya. Mereka berkata, "Ini adalah hasil kerja keras saya," sambil sepenuhnya mengabaikan karunia kesehatan yang memungkinkan mereka bekerja, akal yang memungkinkan mereka merencanakan, atau lingkungan ekonomi yang mendukung keberhasilan mereka.
Arogansi intelektual, khususnya, adalah bentuk kufur nikmat bathin. Ini terjadi ketika seseorang menggunakan pengetahuan untuk merendahkan orang lain atau untuk mempertanyakan prinsip-prinsip moral universal. Ilmu pengetahuan, yang merupakan karunia besar, disalahgunakan sebagai alat kesombongan, bukan sebagai jalan menuju kerendahan hati dan kesadaran akan kebesaran alam semesta.
Psikologi modern menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kecenderungan alami untuk lebih memperhatikan dan mengingat hal-hal negatif (negativity bias). Evolusioner, hal ini berguna untuk bertahan hidup. Namun, dalam konteks modern yang relatif aman, bias ini seringkali bermutasi menjadi fokus kronis pada kekurangan, bahkan ketika kelimpahan ada di sekeliling. Seseorang mungkin memiliki sembilan karunia yang luar biasa, tetapi pikirannya secara obsesif terperangkap pada satu kekurangan yang tersisa.
Kufur nikmat memanfaatkan bias ini. Ia memperbesar satu masalah kecil (misalnya, kemacetan saat pulang kerja) hingga menutupi semua karunia besar hari itu (pekerjaan yang stabil, kesehatan untuk berkendara, keluarga yang menunggu). Proses internal ini mengubah perspektif, dari lensa kesyukuran menjadi lensa keluhan dan ketidakpuasan abadi.
Di dunia yang semakin terotomatisasi, manusia sering mengembangkan ilusi bahwa mereka memiliki kontrol penuh atas nasib mereka. Kufur nikmat berkembang subur ketika manusia menolak ketergantungan (dependensi) mereka pada Sumber yang lebih tinggi, atau bahkan pada jaringan dukungan sosial dan ekologis di sekitar mereka. Setiap kejadian di luar kendali—sakit mendadak, bencana alam, atau kegagalan rencana—dianggap sebagai 'ketidakadilan' alih-alih sebagai pengingat akan kerapuhan manusia dan urgensi untuk bersyukur atas stabilitas saat ini.
Penolakan ketergantungan ini membuat seseorang tidak mungkin bersyukur sepenuhnya, karena rasa syukur sejati membutuhkan pengakuan bahwa ada sesuatu yang diberikan kepada kita tanpa kita harus 'mendapatkannya' secara mutlak melalui usaha kita sendiri. Kehidupan itu sendiri adalah pemberian, bukan hasil transaksi.
Dampak kufur nikmat melampaui perasaan tidak puas; ia menciptakan retakan dalam jiwa individu dan menyebabkan kerusakan serius pada tatanan spiritual dan eksistensial. Konsekuensi ini seringkali lebih merusak daripada kesulitan materi.
Hukum spiritual seringkali menyatakan bahwa ingratitude menarik kembali apa yang telah diberikan, atau setidaknya mencabut 'keberkahan' (barakah) dari karunia tersebut. Keberkahan adalah peningkatan nilai dan manfaat suatu karunia. Seseorang mungkin memiliki kekayaan yang sangat besar (nikmat), tetapi tanpa keberkahan, kekayaan itu hanya membawa masalah, perselisihan, dan kekosongan (kufur nikmat). Uang itu cepat habis, kesehatan memburuk meskipun fasilitas medis tersedia, atau waktu luang diisi dengan kecemasan.
Kufur nikmat mengubah kelimpahan menjadi kekurangan. Ketika hati menolak untuk mengakui nilai sejati suatu karunia, karunia itu kehilangan kemampuannya untuk menyehatkan dan menenangkan jiwa. Hal ini menjelaskan fenomena orang-orang super kaya atau sangat terkenal yang menderita depresi dan kehampaan yang mendalam.
Sikap ingratitude kronis membentuk kerangka berpikir negatif. Individu yang terperangkap dalam kufur nikmat secara bertahap mendefinisikan dirinya melalui apa yang hilang, bukan apa yang dimilikinya. Identitas ini berpusat pada kekurangan, keluhan, dan pesimisme. Dalam jangka panjang, ini merusak hubungan interpersonal, karena mereka menjadi sumber energi negatif yang menolak kebahagiaan dan optimisme orang lain.
Jati diri yang negatif ini adalah penjara. Karena kebahagiaan sejati tidak berasal dari akumulasi karunia eksternal, melainkan dari cara pandang terhadap karunia yang ada, orang yang kufur nikmat akan selamanya berada dalam keadaan mencari dan tidak pernah menemukan.
Inti dari kufur nikmat adalah memutuskan hubungan dengan Sumber Karunia. Ketika seseorang gagal mengakui karunia, ia secara tidak langsung menyatakan kemandirian atau penolakan terhadap entitas yang memberikan karunia tersebut. Konsekuensinya adalah isolasi spiritual yang mendalam. Mereka mungkin sukses di mata dunia, tetapi di dalam hati, mereka merasa terputus, sendirian, dan tidak berarti.
Dalam konteks teologis, ini adalah jurang pemisah terbesar antara manusia dan potensi spiritualnya yang tertinggi. Syukur adalah jembatan yang menghubungkan makhluk dengan Pencipta, dan kufur nikmat adalah dinding yang dibangun dari keangkuhan dan kelalaian.
Sejarah dan narasi agama kaya akan kisah-kisah peringatan mengenai nasib yang menimpa komunitas atau individu karena ingratitude massal. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai cermin untuk melihat dampak kufur nikmat yang termanifestasi dalam skala besar.
Kisah kaum Saba’ sering dikutip sebagai contoh klasik dari konsekuensi kufur nikmat kolektif. Kaum Saba’ (disebutkan dalam tradisi Semitik dan Al-Qur’an) diberi karunia berupa peradaban yang sangat maju, tanah yang subur, dan sistem irigasi yang canggih (Bendungan Ma'rib). Mereka hidup dalam keamanan dan kelimpahan yang jarang ditemui.
Namun, dalam kekuasaan dan kemakmuran mereka, mereka menjadi sombong dan lupa diri. Mereka berhenti bersyukur, menolak untuk mengakui Sumber keberkahan mereka, dan mungkin menyalahgunakan kekuasaan mereka. Akibatnya, keberkahan itu dicabut. Sistem irigasi mereka hancur total karena banjir besar (Sayl al-Arim), yang mengubah taman-taman subur menjadi gurun yang kering. Masyarakat mereka tercerai-berai dan tersebar.
Pelajaran Kontemporer: Kaum Saba’ adalah metafora untuk setiap peradaban modern yang terlalu mengandalkan teknologi dan sistemnya sendiri hingga melupakan kerapuhan sistem tersebut dan menolak tanggung jawab moral yang menyertai kelimpahan sumber daya alam. Kelalaian lingkungan dan pengabaian etika dalam ilmu pengetahuan modern adalah bentuk-bentuk kufur nikmat kaum Saba' yang terulang kembali.
Qarun, yang hidup sezaman dengan Nabi Musa, adalah studi kasus individu tentang kufur nikmat. Dia diberi kekayaan luar biasa, sedemikian rupa sehingga kunci-kunci gudang hartanya saja memerlukan kekuatan fisik untuk diangkat. Kekayaan ini adalah karunia dan ujian.
Ketika ia dinasihati untuk bersyukur dan berbagi karunianya, ia menjawab dengan arogansi yang terkenal: "Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini hanya karena ilmu yang ada padaku." Ia secara terang-terangan menolak mengakui Sumber karunia tersebut dan mengklaimnya sebagai hasil eksklusif dari kecerdasannya. Kufur nikmatnya tidak hanya pada menolak bersedekah, tetapi pada penolakan filosofis bahwa kekayaan itu bersifat amanah.
Konsekuensinya dramatis: Qarun dan seluruh hartanya ditelan oleh bumi. Ini bukan hanya hukuman fisik, tetapi simbol kehancuran spiritual total. Seseorang yang menjadikan hartanya sebagai tuhan, akhirnya dihancurkan oleh objek pemujaannya itu sendiri.
Firaun mewakili kufur nikmat tertinggi dalam bentuk kekuasaan politik. Ia diberi karunia kekuasaan atas Mesir dan karunia air Sungai Nil yang membawa kehidupan. Namun, ia mengingkari semua itu dengan mengklaim dirinya sendiri sebagai tuhan dan menindas rakyatnya, terutama Bani Israel. Ia menggunakan karunia kekuasaan (yang seharusnya melayani) untuk menindas dan menganiaya.
Kufur nikmat Firaun adalah puncak dari arogansi manusia: menggunakan karunia hidup (air, kekuasaan, waktu) untuk melawan Pemberi Hidup itu sendiri. Kejatuhannya, ditenggelamkan oleh air yang selama ini ia kendalikan, merupakan ironi yang sempurna: karunia yang disalahgunakan menjadi instrumen kehancuran.
Kisah-kisah ini menegaskan bahwa kufur nikmat bukanlah dosa ringan; ia adalah mekanisme spiritual yang menjamin kemerosotan, baik secara pribadi maupun peradaban, karena ia melanggar prinsip dasar keseimbangan dan akuntabilitas universal.
Mengingat bahaya yang melekat pada kufur nikmat, upaya untuk menumbuhkan syukur (syukr) harus menjadi prioritas utama. Syukur bukan sekadar emosi yang menyenangkan; ia adalah disiplin spiritual yang aktif dan berkelanjutan. Ini adalah pengobatan paling ampuh terhadap penyakit ingratitude.
Syukur harus dimanifestasikan melalui tiga dimensi agar menjadi sejati dan efektif melawan kufur nikmat:
Ini adalah bentuk syukur yang paling dasar, yaitu pengakuan verbal. Ini melampaui ucapan ‘terima kasih’ biasa. Ini adalah kebiasaan untuk secara sadar menyebutkan karunia yang diterima, baik kepada Pemberi maupun kepada orang lain. Dalam konteks spiritual, ini adalah zikir (mengingat) dan pujian. Melatih lisan untuk mengucapkan hal positif, alih-alih keluhan, secara perlahan mengubah alur saraf di otak, melawan bias negativitas.
Praktik: Mulai hari dan akhiri hari dengan menyebutkan minimal tiga hal spesifik yang disyukuri. Bukan sekadar "Saya bersyukur sehat," tetapi "Saya bersyukur hari ini saya bisa bernapas lega dan menyelesaikan tugas sulit X, yang membuktikan kemampuan akal saya berfungsi optimal." Detail memperkuat pengakuan.
Ini adalah dimensi terpenting: pengakuan batin bahwa segala sesuatu adalah karunia, bukan hak. Syukur hati memerlukan kerendahan hati (tawadhu) yang mendalam. Ia menghancurkan ilusi kontrol dan arogansi. Ketika hati bersyukur, ia merasa damai karena melepaskan kecemasan akan kebutuhan masa depan, sebab ia yakin bahwa Sumber Karunia tidak akan pernah kering.
Praktik: Melakukan muhasabah (refleksi diri) harian, terutama di masa kesulitan. Mengingat kembali kesulitan masa lalu dan membandingkannya dengan kemudahan saat ini. Ini secara efektif melawan amnesia karunia.
Inilah yang membedakan syukur sejati dari retorika kosong. Syukur perbuatan adalah menggunakan setiap karunia sesuai dengan tujuan luhurnya. Karunia kesehatan digunakan untuk beribadah dan membantu sesama. Karunia kekayaan digunakan secara bertanggung jawab dan dibagikan. Karunia waktu digunakan untuk hal yang bernilai. Ini adalah anti-tesis dari penyalahgunaan dan pemborosan (kufur nikmat praktis).
Praktik: Konsumsi yang sadar (menghindari pemborosan), mempraktikkan kedermawanan reguler (sebagai pengakuan bahwa harta itu milik orang lain juga), dan memanfaatkan waktu secara efektif sebagai bentuk penghargaan atas karunia waktu yang terbatas.
Perlawanan terhadap kufur nikmat di era modern sangat membutuhkan disiplin kesadaran (mindfulness). Kufur nikmat adalah produk dari hidup otomatis; kita makan tanpa benar-benar merasakan, kita melihat tanpa benar-benar memperhatikan. Syukur memerlukan kehadiran penuh dalam momen saat ini.
Latihan kesadaran memaksa individu untuk berhenti sejenak dan mengamati kompleksitas karunia yang diterima. Misalnya, saat minum segelas air: menyadari proses panjang yang memungkinkan air itu jernih dan aman, peran alam, teknologi, dan infrastruktur—semua adalah karunia yang sangat mudah diingkari.
Praktik ini memperluas definisi kita tentang nikmat. Nikmat tidak hanya berarti mendapatkan promosi; nikmat juga berarti terhindar dari musibah yang mungkin terjadi, atau memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kecil tanpa bantuan.
Untuk menetralkan efek adaptasi hedonis, manusia perlu secara sengaja mempraktikkan kesederhanaan. Ini bukan berarti menolak kekayaan atau kemakmuran, tetapi menolak keterikatan emosional pada kekayaan tersebut.
Pada akhirnya, kufur nikmat dapat dipahami sebagai disrupsi dalam ekologi spiritual manusia. Tubuh, pikiran, dan karunia eksternal kita seharusnya beroperasi dalam harmoni yang memancarkan rasa syukur. Ketika salah satu elemen—terutama hati yang angkuh—gagal, seluruh sistem menjadi tidak stabil, memicu spiral ingratitude.
Salah satu karunia terbesar yang paling sering diabaikan adalah Karunia Kehidupan itu sendiri. Kufur nikmat seringkali berakar pada kegagalan untuk menghargai momen unik dan tak terulang dari keberadaan. Setiap nafas, setiap detak jantung, adalah karunia yang tak ternilai. Memandang kehidupan sebagai hak yang dijamin, alih-alih hadiah yang disewa untuk waktu terbatas, adalah esensi dari ingratitude eksistensial.
Ketika seseorang menyadari bahwa ia sewaktu-waktu dapat kehilangan segalanya—kesehatan, orang terkasih, atau bahkan nyawanya—ia akan memahami bahwa kepemilikan sejati bukanlah pada apa yang kita kumpulkan, melainkan pada kesadaran dan kehadiran kita dalam menghadapi apa yang kita miliki saat ini.
Perlawanan terhadap kufur nikmat harus bersifat kolektif. Masyarakat yang bersyukur adalah masyarakat yang sehat. Budaya syukur kolektif termanifestasi dalam:
Sebuah peradaban yang berlandaskan pada syukur tidak hanya makmur secara materi, tetapi juga kaya secara moral, stabil secara sosial, dan damai secara internal.
Tujuan akhir dari memerangi kufur nikmat bukanlah sekadar merasa lebih bahagia, tetapi mencapai kondisi kekalutan (falah) yang damai, di mana hati menerima segala karunia dan segala cobaan sebagai bagian dari rencana yang lebih besar. Ini adalah penyerahan total yang lahir dari pengakuan penuh. Orang yang bersyukur sejati tidak hanya berterima kasih atas karunia yang menyenangkan, tetapi juga melihat hikmah dan peluang pertumbuhan dalam musibah (yang juga merupakan karunia dalam bentuk ujian).
Transisi ini mengubah pandangan hidup dari "Mengapa ini terjadi pada saya?" (Kufur Nikmat) menjadi "Apa yang bisa saya pelajari dari ini?" (Syukur dan Kesabaran). Ini adalah revolusi batin yang mengubah realitas pribadi, membuat individu menjadi kuat dan berdaya di tengah ketidakpastian dunia.
Kufur nikmat adalah ujian abadi bagi jiwa manusia, sebuah perang internal melawan kesombongan dan kelalaian. Ia adalah racun yang merusak potensi keberkahan, mengubah emas menjadi debu dalam genggaman. Dalam masyarakat yang dibanjiri informasi dan kelimpahan, bahaya kufur nikmat semakin membesar karena kemudahan telah merenggut kemampuan kita untuk terkejut dan bersyukur atas hal-hal mendasar.
Jalan menuju kesyukuran sejati adalah jalan yang membutuhkan kedisiplinan hati, ucapan yang sadar, dan perbuatan yang bertanggung jawab. Dengan secara aktif melawan adaptasi hedonis, menumbuhkan kerendahan hati, dan memandang setiap karunia—sekecil apa pun—sebagai amanah berharga, kita tidak hanya menjamin keberkahan yang lebih langgeng bagi diri kita sendiri, tetapi juga menjadi pilar stabilitas moral bagi komunitas dan dunia di sekitar kita. Hanya dengan pengakuan dan penghargaan penuh terhadap segala yang telah diberikan, manusia dapat benar-benar mencapai kepenuhan eksistensial dan kedamaian yang dijanjikan oleh kesyukuran yang abadi.
Perjuangan melawan kufur nikmat bukanlah peristiwa sekali jalan, melainkan perjalanan seumur hidup, sebuah pengingat terus-menerus bahwa kekayaan terbesar kita bukanlah pada apa yang kita miliki, tetapi pada kesadaran kita akan karunia yang tidak pernah berhenti mengalir.
Selain dimensi individu dan teologis, kufur nikmat juga merusak jalinan hubungan antarmanusia. Karunia terbesar setelah karunia kehidupan itu sendiri adalah karunia hubungan—pasangan, keluarga, teman, kolega. Kufur nikmat di sini termanifestasi sebagai pengabaian atau penganggap-remehan peran orang lain dalam hidup kita.
Dalam rumah tangga, kufur nikmat terjadi ketika pengorbanan harian pasangan (misalnya, kerja keras yang tak terlihat dalam mengurus rumah, mengelola emosi, atau mendukung karier) dianggap sebagai kewajiban belaka. Ketika kehadiran yang penuh kasih, kesabaran yang tak terhingga, dan dukungan finansial diterima tanpa pengakuan tulus, karunia hubungan itu perlahan-lahan mati. Kufur nikmat di sini adalah kegagalan untuk melihat orang yang kita cintai sebagai karunia unik, melainkan sebagai fungsi atau perabot yang selalu ada.
Dalam jalur karier dan intelektual, sering terjadi kufur nikmat terhadap mentor, guru, atau mereka yang membuka jalan bagi kesuksesan kita. Ketika seseorang mencapai puncak dan dengan sombong menyatakan 'saya berhasil sendiri', ia mengingkari karunia ilmu, bimbingan, dan kesempatan yang ditawarkan oleh generasi sebelumnya. Ini adalah arogansi yang melumpuhkan siklus keberkahan dalam transmisi pengetahuan, karena yang muda tidak belajar menghargai dan yang tua merasa diabaikan.
Pada skala komunitas, kufur nikmat terlihat ketika warga negara menganggap remeh infrastruktur publik, keamanan, dan pelayanan sosial. Mereka hanya mengeluh tentang kegagalan sistem, tetapi gagal menghargai fungsi dasar yang memungkinkan kehidupan berjalan. Kufur nikmat ini melahirkan budaya sinisme yang merusak upaya kolektif, karena semua usaha baik dianggap nol sementara kesalahan kecil diperbesar.
Untuk memahami kedalaman kufur nikmat, kita harus membedah bagaimana proses pengingkaran ini bekerja dalam pikiran:
Dunia kita penuh dengan keajaiban yang telah kita normalisasi. Telepon genggam yang menghubungkan kita secara instan dengan miliaran orang adalah keajaiban. Kemampuan tubuh untuk menyembuhkan luka sendiri adalah keajaiban. Kufur nikmat adalah proses kognitif di mana kita menormalkan keajaiban tersebut. Begitu keajaiban menjadi norma, rasa syukur menghilang, dan yang tersisa hanyalah tuntutan terhadap kinerja yang lebih baik.
Pikiran yang terinfeksi kufur nikmat cenderung menunjukkan distorsi memori yang selektif. Ketika seseorang menghadapi kesulitan, ia melupakan semua keberhasilan dan kemudahan yang ia nikmati di masa lalu (amnesia nikmat). Sebaliknya, ia hanya mengingat masa-masa sulit atau kegagalan. Distorsi ini menciptakan narasi diri sebagai korban atau penderita, bahkan ketika realitas menunjukkan kelimpahan yang signifikan. Syukur sejati memerlukan memori yang jujur dan seimbang.
Karunia datang dengan tanggung jawab. Karunia harta datang dengan tanggung jawab untuk berbagi. Karunia waktu luang datang dengan tanggung jawab untuk refleksi dan pertumbuhan. Kufur nikmat seringkali merupakan penolakan terhadap tanggung jawab moral ini. Seseorang yang menggunakan harta haram berargumen bahwa karunia itu miliknya dan ia tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun. Penolakan terhadap akuntabilitas inilah yang mengeringkan inti spiritual dari karunia tersebut.
Melawan penyakit kronis membutuhkan protokol yang terstruktur. Protokol anti-kufur memerlukan integrasi praktik spiritual dan psikologis ke dalam rutinitas harian.
Jurnal syukur yang efektif melampaui daftar umum. Ia harus berfokus pada detail dan kualitas. Misalnya, menulis: "Hari ini saya bersyukur karena saat saya merasa lelah, saya menemukan energi untuk membantu orang lain, yang menunjukkan bahwa karunia kekuatan batin saya masih utuh." Praktik ini memperkuat jalur saraf yang menghubungkan nikmat spesifik dengan pengakuan hati.
Ini adalah praktik yang disengaja untuk mengalami kekurangan dalam batas aman. Ini bisa berarti menghabiskan waktu dengan orang sakit (untuk menghargai kesehatan), mengunjungi panti asuhan atau panti jompo (untuk menghargai keluarga dan usia muda), atau bahkan berpuasa dari fasilitas modern tertentu selama satu hari. Dengan secara temporer mengalami kekurangan, kita menciptakan kontras tajam yang menegaskan nilai dari apa yang biasa kita anggap remeh.
Budaya kufur nikmat seringkali menggunakan bahasa yang berpusat pada defisit: "Saya kekurangan," "Saya harus memiliki lebih," "Saya berharap." Pengembangan bahasa syukur berarti secara aktif mengganti frasa tersebut dengan frasa yang berpusat pada kelimpahan: "Saya cukup," "Saya bersyukur atas apa yang saya miliki," "Saya memiliki kesempatan." Perubahan bahasa ini adalah perubahan kerangka berpikir yang kuat.
Kedermawanan adalah vaksin terbaik melawan rasa memiliki yang arogan (kufur nikmat). Memberi secara radikal, melampaui kenyamanan kita, adalah pernyataan bahwa kita tidak terikat pada karunia materi. Ketika kita memberi, kita mengakui bahwa Sumber karunia adalah tak terbatas, dan pelepasan sebagian tidak akan membuat kita kekurangan. Ini adalah konfirmasi aktif bahwa kita hanyalah pengelola sementara.
***
Melalui penerapan disiplin spiritual dan kesadaran diri ini, manusia modern dapat mengikis lapisan-lapisan kufur nikmat yang terakumulasi akibat hidup yang serba cepat dan konsumtif. Pemulihan dari ingratitude adalah pemulihan terhadap hubungan fundamental kita dengan realitas: bahwa segala yang baik berasal dari Sumber Tak Terhingga, dan respons yang tepat terhadap aliran kebaikan ini hanyalah satu—syukur yang mendalam dan abadi.
Perjalanan ini panjang dan penuh tantangan, tetapi imbalannya, yakni ketenangan hati dan keberkahan yang hakiki, jauh melebihi usaha yang dikeluarkan. Kufur nikmat adalah kegelapan; syukur adalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebahagiaan sejati.