Kurdistan, yang secara harfiah berarti "Tanah Kurdi", bukanlah sebuah entitas politik yang diakui secara internasional (kecuali wilayah otonom di Irak), melainkan sebuah wilayah geografis dan kultural yang luas. Wilayah ini dikenal dengan topografi pegunungan yang curam, yang secara historis menjadi benteng pertahanan bagi budaya dan bahasa Kurdi.
Wilayah yang sering disebut Kurdistan Raya mencakup area seluas sekitar 400.000 hingga 500.000 kilometer persegi. Batas-batasnya tidak kaku, namun umumnya meliputi:
Pegunungan Zagros, yang membentang di perbatasan Iran dan Irak, dan Pegunungan Taurus di Turki, menjadi ciri khas utama lanskap ini. Kondisi geografis ini tidak hanya membentuk mata pencaharian Kurdi (terutama peternakan dan pertanian), tetapi juga memainkan peran penting dalam memelihara keragaman dialek dan mencegah asimilasi total oleh kekuatan kekaisaran di sekitarnya selama berabad-abad.
Peta geografis Kurdistan Raya, melambangkan wilayah pegunungan yang menjadi rumah bagi Bangsa Kurdi.
Asal usul Kurdi masih menjadi subjek perdebatan akademis yang intens, namun konsensus umum menempatkan mereka sebagai keturunan suku-suku Iran kuno. Teori yang paling kuat menghubungkan Kurdi dengan bangsa Median (Medes) yang mendirikan kekaisaran besar di wilayah tersebut sebelum munculnya Akhemeniyah (Persia).
Bahasa Kurdi, yang merupakan cabang dari kelompok bahasa Iran Barat Laut, memberikan petunjuk linguistik yang jelas mengenai kaitan mereka dengan budaya kuno wilayah tersebut. Penempatan geografis mereka, yang terletak di perbatasan tiga peradaban besar—Mesopotamia, Anatolia, dan Persia—menjadikan sejarah mereka sangat kompleks, ditandai oleh penyerapan budaya sekaligus penolakan terhadap dominasi asing.
Meskipun istilah "Kurdi" dalam pengertian etnis modern baru muncul belakangan, banyak sarjana percaya bahwa akar identitas Kurdi dapat dilacak hingga suku-suku gunung yang mendiami wilayah Zagros dan Taurus pada milenium pertama Sebelum Masehi. Wilayah ini adalah jantung Kekaisaran Media. Setelah jatuhnya Media, suku-suku ini sering disebut dengan berbagai nama oleh sejarawan Yunani dan Romawi, yang sering kali menunjuk pada gaya hidup nomaden atau semi-nomaden mereka.
Islamisasi wilayah Kurdistan dimulai pada abad ketujuh Masehi. Berbeda dengan banyak wilayah lain, Islamisasi Kurdi berlangsung relatif lambat karena geografi pegunungan dan jarak mereka dari pusat kekuasaan Arab. Namun, setelah wilayah tersebut sepenuhnya terintegrasi ke dalam Kekhalifahan, Kurdi mulai memainkan peran penting dalam struktur militer dan politik.
Titik balik paling signifikan dalam sejarah Kurdi di Abad Pertengahan adalah kebangkitan Dinasti Ayyubiyah. Salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah dunia, Salahuddin Ayyubi (Saladin), yang memimpin perlawanan Muslim terhadap Perang Salib dan merebut kembali Yerusalem, berasal dari suku Kurdi di wilayah Tikrit. Meskipun Salahuddin memerintah dalam konteks Sunni, garis keturunan Kurdi-nya memberikan warisan yang abadi dan kebanggaan historis bagi Kurdi modern.
Dinasti Ayyubiyah, yang memerintah sebagian besar Timur Tengah (termasuk Mesir, Suriah, dan Irak), menunjukkan kemampuan Kurdi untuk mendirikan dan mengelola kekaisaran besar. Setelah jatuhnya Ayyubiyah, wilayah Kurdistan kembali terbagi, tetapi banyak emirat (kepangeranan) semi-otonom Kurdi lokal terus bertahan di daerah pegunungan yang sulit diakses. Kepangeranan-kepangeranan ini, seperti Baban, Soran, dan Botan, berfungsi sebagai pusat budaya dan linguistik Kurdi selama berabad-abad.
Sejak abad ke-16, Kurdistan menjadi medan perang strategis antara dua kekaisaran raksasa: Kekaisaran Ottoman (Sunni) di barat dan Kekaisaran Safavid (Syiah) di timur (Persia). Perang antara kedua kekuatan ini mencapai puncaknya pada pertempuran Chaldiran. Setelah konflik yang panjang, wilayah Kurdi secara formal dibagi dalam Perjanjian Qasr-e Shirin (Perjanjian Zuhab) pada tahun 1639.
Perjanjian ini menetapkan batas yang sangat dekat dengan perbatasan modern antara Turki, Irak, dan Iran. Ini adalah pembagian wilayah Kurdi yang pertama dan paling mendasar. Di bawah kekuasaan Ottoman, banyak pemimpin Kurdi diberikan tingkat otonomi lokal yang signifikan, asalkan mereka membantu mempertahankan perbatasan kekaisaran terhadap Persia. Otonomi ini, yang didasarkan pada sistem emir atau ağa, tanpa disadari membantu mempertahankan identitas Kurdi di dalam struktur feodal.
Pada abad ke-19, ketika Kekaisaran Ottoman mulai melemah, kekuasaan pusat berusaha mengonsolidasikan kontrol atas emirat-emirat Kurdi yang semi-independen. Upaya sentralisasi ini memicu serangkaian pemberontakan Kurdi yang signifikan. Pemberontakan terkenal seperti yang dipimpin oleh Bedirxan Bey (1840-an) dan Sheikh Ubeydullah (1880-an) adalah manifestasi awal dari nasionalisme Kurdi yang menolak penguasaan Istanbul atau Teheran.
Pemberontakan-pemberontakan ini, meskipun gagal, membantu menumbuhkan kesadaran bahwa Kurdi adalah sebuah bangsa yang terpisah. Pada awal abad ke-20, intelektual dan penulis Kurdi mulai menerbitkan surat kabar dan buku-buku di Istanbul dan Kairo, menyerukan reformasi bahasa dan identitas politik yang lebih besar. Perkembangan ini terjadi bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa lain di kekaisaran, seperti Arab dan Armenia.
Perang Dunia I (PD I) merupakan bencana sekaligus peluang besar bagi bangsa-bangsa di bawah Kekaisaran Ottoman. Kurdi berjuang di kedua sisi, namun harapan terbesar mereka terletak pada janji-janji Sekutu mengenai penentuan nasib sendiri.
Setelah kekalahan Ottoman, Sekutu menyusun Perjanjian Sèvres. Pasal 62 dan 64 dari perjanjian ini secara eksplisit mengakui hak Kurdi untuk mendirikan negara otonom di wilayah mayoritas Kurdi di Anatolia timur dan, lebih lanjut, memberikan Kurdi opsi untuk mencari kemerdekaan penuh setelah periode tertentu.
Perjanjian Sèvres adalah momen euforia bagi para nasionalis Kurdi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, pengakuan internasional atas kedaulatan Kurdi hampir tercapai. Namun, perjanjian ini tidak pernah diratifikasi. Kebangkitan Mustafa Kemal Atatürk dan Perang Kemerdekaan Turki membatalkan semua keputusan Sèvres.
Perjanjian Lausanne menggantikan Sèvres dan secara resmi mengakhiri impian Kurdi. Dalam Lausanne, Sekutu mengakui kedaulatan Republik Turki yang baru di bawah Atatürk, dan tidak ada ketentuan yang dibuat untuk pembentukan negara Kurdi atau bahkan otonomi yang terjamin.
Setelah Lausanne, wilayah Kurdistan Raya secara resmi dan definitif terpecah menjadi empat bagian, masing-masing terintegrasi ke dalam negara-negara nasional baru: Turki, Iran, Irak (di bawah Mandat Inggris), dan Suriah (di bawah Mandat Prancis). Mulai saat ini, perjuangan Kurdi berubah dari mencari otonomi di bawah kekaisaran menjadi perjuangan untuk mempertahankan identitas dan hak-hak dasar di dalam negara-bangsa yang bertekad untuk melakukan asimilasi. Pembagian ini menjadi trauma geopolitik yang mendefinisikan seluruh sejarah Kurdi abad ke-20.
Meskipun Kurdi berbagi bahasa, budaya, dan sejarah, pengalaman politik mereka di setiap negara sangat berbeda, menghasilkan berbagai macam gerakan perlawanan dan organisasi politik yang terkadang bersekutu, dan terkadang saling bertentangan.
Turki menampung populasi Kurdi terbesar, diperkirakan mencapai 15 hingga 20 juta jiwa. Sejak pendirian republik, negara tersebut menerapkan kebijakan asimilasi yang ketat, menolak mengakui Kurdi sebagai kelompok minoritas yang sah, dan menyebut mereka sebagai "Turki Gunung". Bahasa Kurdi dilarang digunakan di sekolah, media, dan bahkan di ruang publik.
Reaksi Kurdi terhadap kebijakan ini menghasilkan serangkaian pemberontakan bersenjata besar, yang paling menonjol adalah Pemberontakan Sheikh Said (1925) dan Pemberontakan Dersim (1937–1938). Kedua pemberontakan ini ditumpas dengan kekerasan brutal oleh militer Turki, seringkali melibatkan pembantaian massal dan penghancuran desa, yang semakin memperkuat rasa ketidakpercayaan Kurdi terhadap negara.
Pada akhir 1970-an, frustrasi terhadap penindasan sistematis melahirkan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang didirikan oleh Abdullah Öcalan. Awalnya ideologis Marxis-Leninis, PKK memulai pemberontakan bersenjata pada tahun 1984 dengan tujuan mendirikan negara Kurdi independen. Konflik antara PKK dan militer Turki telah menewaskan puluhan ribu orang, merusak ekonomi kawasan tenggara, dan menyebabkan perpindahan jutaan Kurdi dari desa-desa yang dihancurkan.
Meskipun PKK kemudian mengubah tujuannya dari kemerdekaan menjadi tuntutan otonomi, hak budaya, dan hak-hak demokratis dalam kerangka negara Turki, konflik tersebut terus berlanjut. PKK, yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Turki, AS, dan Uni Eropa, tetap menjadi aktor utama di panggung politik dan militer Kurdi di seluruh wilayah.
Pengalaman Kurdi di Irak sangat berbeda karena mereka berhasil membangun entitas semi-independen yang kokoh. Sejarah Kurdi Irak ditandai oleh perlawanan berkelanjutan terhadap pemerintah pusat di Baghdad.
Di bawah pemerintahan Saddam Hussein dan Partai Ba'ath, Kurdi Irak menghadapi penindasan paling kejam dalam sejarah modern mereka. Gerakan Kurdi di Irak dipimpin oleh Partai Demokratik Kurdistan (KDP) pimpinan Barzani dan Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) pimpinan Talabani. Kedua partai ini, meskipun sering bertikai, memimpin pemberontakan yang dikenal sebagai Peshmerga (mereka yang menghadapi kematian).
Puncak dari kekejaman rezim Saddam adalah Kampanye Anfal, operasi militer genosida yang menewaskan antara 50.000 hingga 182.000 warga sipil Kurdi. Kampanye ini melibatkan pembantaian, penghancuran ribuan desa, dan penggunaan senjata kimia, termasuk serangan terhadap kota Halabja. Anfal diakui sebagai tindakan genosida oleh banyak negara dan PBB.
Setelah Perang Teluk 1991, Sekutu mendirikan zona larangan terbang di utara Irak. Perlindungan internasional ini memungkinkan Kurdi Irak membangun Wilayah Kurdistan Irak (KRG) secara de facto independen, dengan parlemen, kabinet, dan kekuatan militernya sendiri (Peshmerga). KRG menjadi salah satu daerah yang paling stabil dan makmur di Irak, menikmati otonomi konstitusional setelah invasi AS 2003.
KRG, dengan ibu kotanya di Erbil, memiliki hubungan ekonomi yang luas, terutama dengan Turki. Meskipun referendum kemerdekaan 2017 menghasilkan dukungan luar biasa untuk kenegaraan, tindakan tersebut ditolak oleh Baghdad dan komunitas internasional, memaksa KRG untuk menarik kembali ambisi kemerdekaan total sambil mempertahankan otonomi yang substansial.
Iran adalah rumah bagi populasi Kurdi yang signifikan (sekitar 7–10 juta), terutama di sepanjang perbatasan dengan Irak dan Turki. Meskipun Kurdi Iran memiliki ikatan budaya yang kuat dengan Persia (karena keduanya adalah suku Iran), mereka menghadapi diskriminasi politik dan ekonomi yang serius.
Momen paling penting dalam sejarah Kurdi Iran adalah pembentukan Republik Mahabad yang berumur pendek pada tahun 1946. Didukung oleh Uni Soviet di tengah kekacauan pasca-PD II, Mahabad adalah satu-satunya negara Kurdi independen yang pernah berdiri. Namun, setelah Soviet menarik diri, Mahabad dengan cepat ditumpas oleh militer Iran. Para pemimpinnya, termasuk Qazi Muhammad, dieksekusi, yang memberikan warisan kemartiran yang kuat bagi gerakan Kurdi Iran.
Pasca-Revolusi Islam 1979, Kurdi di Iran (yang mayoritas Sunni di negara mayoritas Syiah) menuntut otonomi. Tuntutan ini ditolak keras oleh Ayatollah Khomeini, yang menyatakan mereka sebagai "musuh Islam". Sejak saat itu, gerakan Kurdi Iran (seperti Komala dan Partai Demokratik Kurdistan Iran, KDPI) telah menjadi kelompok oposisi bersenjata yang basis operasinya sebagian besar berada di KRG, Irak, tetapi secara berkala melancarkan serangan terhadap Pasukan Revolusi Iran (IRGC). Penindasan terhadap aktivis Kurdi, termasuk penahanan dan eksekusi, tetap menjadi masalah hak asasi manusia yang serius di Iran.
Kurdi di Suriah (sekitar 2–3 juta jiwa) secara historis adalah yang paling terpinggirkan. Rezim Ba'ath di Suriah melakukan kebijakan "Sabuk Arab" yang bertujuan untuk mengubah demografi di timur laut, menahan kewarganegaraan dari ratusan ribu Kurdi, dan melarang penggunaan bahasa Kurdi secara ketat.
Perang Sipil Suriah yang dimulai pada tahun 2011 memberikan peluang bagi Kurdi Suriah. Ketika pasukan rezim Assad mundur untuk fokus pada pertempuran di barat, Unit Perlindungan Rakyat (YPG) dan sayap politiknya, PYD (Partai Persatuan Demokratik), mengambil kendali atas wilayah Kurdi di timur laut, yang mereka sebut Rojava atau Administrasi Otonom Suriah Utara dan Timur (AANES).
YPG, bersama dengan elemen-elemen Arab dan Kristen, membentuk Pasukan Demokratik Suriah (SDF). SDF menjadi mitra utama koalisi pimpinan AS dalam memerangi ISIS. Keberhasilan SDF mengalahkan ISIS di wilayah seperti Raqqa memberikan pengakuan militer Kurdi Suriah di mata dunia.
Model politik Rojava didasarkan pada ideologi Konfederalisme Demokratis, yang diinspirasi oleh Abdullah Öcalan (pemimpin PKK yang dipenjara di Turki). Model ini menekankan desentralisasi, ekologi, dan kesetaraan gender. Meskipun demikian, Rojava terus berada di bawah ancaman militer dari Turki, yang menganggap YPG/SDF sebagai cabang dari PKK dan telah meluncurkan beberapa operasi militer ke Suriah utara.
Terlepas dari pembagian politik, budaya Kurdi adalah kekuatan penyatu yang diwariskan melalui tradisi lisan, musik, dan bahasa. Identitas mereka, yang ditempa oleh lanskap pegunungan, penuh dengan ketahanan dan spiritualitas yang mendalam.
Bahasa Kurdi termasuk dalam rumpun bahasa Indo-Eropa. Namun, ia bukanlah bahasa tunggal yang homogen. Geografi dan isolasi politik telah menghasilkan keragaman dialek yang signifikan, dibagi menjadi tiga kelompok utama:
Perbedaan antara Kurmanji dan Sorani cukup besar, seringkali memerlukan terjemahan untuk pemahaman penuh, tetapi keragaman ini adalah cerminan dari sejarah wilayah yang kompleks.
Mayoritas Kurdi adalah Muslim Sunni, yang menganut mazhab Syafi'i. Islam Sunni menjadi salah satu identitas kolektif mereka, khususnya sebagai pembeda dari Syiah di Iran dan Irak selatan. Namun, ada pula minoritas agama yang penting yang memberikan keunikan pada spiritualitas Kurdi:
Sastra Kurdi, yang sering ditekan oleh negara, sangat kaya dalam tradisi lisan, termasuk epik heroik (misalnya, Mem dan Zin karya Ehmedê Xanî) dan cerita rakyat yang disebut dengbêj (pendongeng). Dengbêj secara historis melayani fungsi sebagai arsip hidup sejarah dan penderitaan Kurdi.
Musik Kurdi ditandai dengan melodi yang melancholic, sering kali menggunakan instrumen seperti tembûr (kecapi leher panjang) dan zurna (oboe). Tari Kurdi (Govend) bersifat komunal dan terikat erat dengan siklus pertanian dan kehidupan nomaden.
Simbol yang paling kuat dalam budaya Kurdi adalah Pegunungan. Pegunungan adalah tempat perlindungan, kebebasan, dan kemartiran. Ungkapan "Kurdi tidak punya teman selain pegunungan" merangkum isolasi geopolitik mereka dan ketergantungan historis mereka pada medan yang sulit untuk mempertahankan diri.
Simbol yang mewakili kekayaan musik dan tradisi lisan (dengbêj) Bangsa Kurdi.
Meskipun perjuangan Kurdi adalah perjuangan tunggal untuk penentuan nasib sendiri, gerakan politik mereka sangat terfragmentasi. Perbedaan ideologi (sosialis vs. konservatif), dialek (Kurmanji vs. Sorani), dan khususnya, loyalitas nasional telah menghambat pembentukan front persatuan Kurdi yang efektif.
Rivalitas paling tajam terjadi antara KDP (Barzani) dan PUK (Talabani) di Irak, yang bahkan memicu perang saudara Kurdi pada pertengahan 1990-an. Selain itu, ada ketegangan mendalam antara gerakan Kurdi yang berbasis di Turki (yang bersekutu secara ideologis dengan PYD/YPG di Suriah) dan partai-partai konservatif di KRG. Meskipun semua kelompok mengklaim mewakili kepentingan Kurdi, prioritas mereka sering kali bertabrakan, terutama ketika berhubungan dengan kekuatan regional seperti Turki atau Iran.
Posisi Kurdi yang tersebar menempatkan mereka dalam peran geopolitik yang unik, seringkali dimanfaatkan oleh kekuatan besar sebagai proksi:
Sejarah menunjukkan bahwa Kurdi sering kali menjadi korban dari aliansi yang rapuh. Dukungan internasional cenderung bersifat pragmatis dan sementara, seringkali menghilang segera setelah ancaman utama (seperti ISIS atau Saddam) mereda, meninggalkan Kurdi rentan terhadap serangan negara-negara tuan rumah mereka.
Diaspora Kurdi, yang berjumlah jutaan di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, memainkan peran penting dalam melestarikan budaya dan memobilisasi dukungan politik. Diaspora berfungsi sebagai sumber utama pendanaan dan dukungan logistik bagi gerakan Kurdi, serta menjadi suara kritis yang mendesak pemerintah Barat untuk memperhatikan hak asasi manusia Kurdi di negara-negara Timur Tengah.
Terlepas dari tekanan politik dan ancaman militer, perjuangan Kurdi kontemporer juga berpusat pada hak untuk eksis secara budaya dan berbahasa.
Di wilayah otonom seperti KRG dan Rojava, bahasa Kurdi adalah bahasa pengantar di sekolah, dan Kurdi telah mengembangkan infrastruktur media yang kaya, termasuk stasiun TV satelit, radio, dan penerbitan buku. Ini adalah kontras tajam dengan Kurdi di Turki dan Iran, di mana pendidikan berbahasa Kurdi seringkali dibatasi atau dilarang sama sekali.
Penerbitan literatur dan kamus dalam berbagai dialek (terutama Kurmanji dan Sorani) adalah tindakan politik. Upaya standarisasi bahasa Kurdi tetap sulit diwujudkan karena perbedaan dialek dan penggunaan aksara yang berbeda (Latin di Turki/Suriah, Arab di Irak/Iran).
Wilayah Kurdistan Raya kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas (di Irak dan Suriah), serta air yang vital bagi Timur Tengah. Kontrol atas sumber daya ini merupakan inti dari ketegangan dengan pemerintah pusat di Baghdad, Damaskus, Ankara, dan Teheran.
KRG telah membangun ekonomi yang kuat berdasarkan ekspor minyak independen, meskipun tindakan ini seringkali memicu sengketa keuangan serius dengan pemerintah federal Irak. Perjuangan Kurdi menunjukkan bahwa aspirasi nasional mereka terkait erat dengan kemampuan mereka untuk mengelola kekayaan di tanah air mereka sendiri.
Masa depan Bangsa Kurdi tetap tidak pasti, tergantung pada dinamika geopolitik, stabilitas internal negara-negara tuan rumah, dan kemampuan Kurdi sendiri untuk menyatukan tujuan mereka.
KRG di Irak tetap menjadi model keberhasilan Kurdi yang paling menonjol. Namun, KRG menghadapi tantangan internal, termasuk korupsi, kesenjangan ekonomi, dan rivalitas politik yang terus-menerus antara KDP dan PUK. Aspirasi kemerdekaan tetap menjadi tujuan akhir, meskipun realistisnya, pengakuan kenegaraan saat ini menghadapi hambatan internasional yang sangat besar.
Di Suriah, masa depan Rojava bergantung pada kesepakatan yang mungkin dicapai antara rezim Assad, Turki, dan kekuatan asing. Kurdi Suriah telah menunjukkan tekad untuk mempertahankan struktur otonom mereka dan prinsip-prinsip Konfederalisme Demokratis, tetapi mereka berada dalam posisi militer yang rentan.
Satu-satunya cara untuk mencapai pengakuan jangka panjang atau penentuan nasib sendiri adalah melalui persatuan Kurdi. Meskipun ada Kongres Nasional Kurdi yang diselenggarakan secara berkala, perbedaan tajam antara kelompok ideologis dan kepentingan nasional telah mencegah pembentukan satu strategi politik yang kohesif. Persatuan Kurdi adalah kunci, tetapi juga tantangan terbesar mereka.
Meskipun mereka adalah bangsa yang terfragmentasi, warisan Bangsa Kurdi adalah warisan perlawanan. Mereka telah melewati masa-masa kekaisaran, perang dingin, dan kebangkitan ekstremisme modern, dan setiap kali muncul kembali dengan semangat yang diperbarui. Peran mereka dalam geopolitik, terutama sebagai kekuatan anti-ekstremis sekuler, semakin menarik perhatian global.
Bangsa Kurdi terus mengajarkan kepada dunia bahwa identitas tidak dapat dihapus hanya dengan batas-batas politik. Selama pegunungan Zagros dan Taurus berdiri tegak, selama bahasa Kurdi diucapkan, aspirasi untuk penentuan nasib sendiri—baik dalam bentuk otonomi, federasi, atau kenegaraan—akan terus berdenyut di jantung Timur Tengah.
Siluet pegunungan, simbol utama ketahanan dan benteng pertahanan bagi identitas Kurdi.
Sebelum pembagian pasca-Ottoman, struktur sosial Kurdi sebagian besar didominasi oleh sistem kesukuan dan feodal. Pemimpin suku (Ağa atau Beg) dan pemimpin agama (Sheikh) memegang otoritas yang sangat besar. Loyalitas seringkali lebih terarah pada suku daripada pada entitas politik yang lebih besar. Ketika kesadaran nasionalis muncul, ia seringkali harus bersaing atau berkolaborasi dengan struktur kekuasaan tradisional ini.
Kepangeranan Kurdi yang semi-otonom di bawah Ottoman (seperti Baban, Botan, dan Hakkari) menikmati periode keemasan otonomi lokal, memelihara tradisi hukum dan administrasi Kurdi. Ketika Istanbul berusaha untuk membubarkan otonomi ini pada abad ke-19 melalui kebijakan Tanzimat, hal itu secara ironis mendorong para pemimpin suku untuk bersatu dalam perlawanan, yang kemudian meletakkan dasar bagi gerakan nasionalis yang lebih terstruktur. Pemberontakan Sheikh Ubeydullah pada tahun 1880, yang menuntut otonomi di bawah Persia dan Ottoman, adalah salah satu contoh pertama dari aspirasi Kurdi yang melintasi batas-batas kekaisaran.
Setelah PD I, Mandat Inggris di Irak dan Mandat Prancis di Suriah memperlakukan Kurdi dengan cara yang berbeda. Di Irak, Inggris menjanjikan otonomi dalam batas-batas Irak baru, tetapi janji ini tidak pernah sepenuhnya terwujud setelah Baghdad mencapai kemerdekaan. Pemberontakan Kurdi di Irak di bawah Sheikh Mahmud Barzanji pada 1920-an merupakan serangkaian upaya untuk mendirikan kerajaan Kurdi di Sulaymaniyah, namun selalu ditumpas oleh kekuatan Inggris dan kemudian oleh militer Irak yang baru.
Di Suriah, Prancis mengelompokkan Kurdi bersama dengan minoritas lain seperti Alawi dan Druze dalam upaya untuk melemahkan dominasi Arab Sunni. Namun, setelah kemerdekaan Suriah, Kurdi kembali menjadi target asimilasi Arab. Kebijakan "Sabuk Arab" (al-hizam al-arabi) pada 1960-an di Suriah Utara secara sistematis memindahkan Kurdi dari jalur sempit perbatasan dan menggantinya dengan pemukim Arab, sebuah kebijakan yang bertujuan untuk memutus hubungan etnis Kurdi dengan Turki.
Mullah Mustafa Barzani adalah tokoh sentral dalam sejarah Kurdi abad ke-20. Ia memimpin Kurdi Irak melalui serangkaian perjuangan panjang melawan monarki, republik, dan rezim Ba'ath. Pada tahun 1946, Barzani dan Peshmerganya memainkan peran penting dalam Republik Mahabad sebelum mereka dipaksa mundur ke Uni Soviet selama 11 tahun. Ketika ia kembali ke Irak pada 1958, ia memimpin pemberontakan yang memuncak pada pembentukan KDP dan perjanjian otonomi singkat pada 1970-an.
Namun, titik balik paling dramatis terjadi pada tahun 1975 ketika Irak dan Iran menandatangani Perjanjian Aljir. Iran, yang sebelumnya mendukung Kurdi Irak sebagai alat tawar-menawar melawan Baghdad, tiba-tiba menarik semua dukungan sebagai imbalan atas konsesi perbatasan dari Irak. Pembelotan mendadak ini menyebabkan keruntuhan total gerakan Kurdi Irak saat itu dan memaksa puluhan ribu Kurdi untuk mengungsi. Peristiwa ini sangat memperkuat pandangan Kurdi bahwa mereka tidak dapat mempercayai sekutu internasional mana pun.
PKK, yang awalnya merupakan gerakan Marxis-Leninis yang sangat sentralis, mengalami transformasi ideologis yang mendalam setelah penangkapan Abdullah Öcalan pada tahun 1999. Dari penjara, Öcalan mengembangkan konsep "Konfederalisme Demokratis," yang dipengaruhi oleh teori anarkis sosial Murray Bookchin.
Konfederalisme Demokratis menawarkan visi alternatif yang menolak kenegaraan Kurdi tradisional. Sebaliknya, ia menganjurkan sistem masyarakat tanpa negara yang terdesentralisasi, menekankan ekologi sosial, kesetaraan radikal, dan otonomi lokal melalui dewan warga. Ideologi ini diadopsi oleh PYD/YPG di Rojava, Suriah, dan menjadi fondasi administrasi mereka. Transformasi ini menciptakan kontras ideologis yang tajam dengan Kurdi di KRG, yang berpegang pada model negara-bangsa kapitalis yang lebih tradisional.
Peran Kurdi dalam mengalahkan ISIS adalah faktor kunci yang mengubah citra mereka di mata dunia. Ketika ISIS menyerbu Irak utara pada tahun 2014, Peshmerga di KRG menjadi garis pertahanan penting. Demikian pula, YPG di Suriah menjadi kekuatan darat yang paling efektif dalam menghadapi ISIS, terutama dalam Pertempuran Kobane dan merebut Raqqa.
Pengorbanan Kurdi, dan khususnya peran pejuang perempuan Kurdi (YPJ) dalam pertempuran garis depan, menarik simpati internasional yang luas. Dukungan militer dari AS dan Eropa pada periode ini memberikan Kurdi Irak dan Suriah kesempatan untuk membangun dan mengonsolidasikan struktur politik mereka, meskipun dukungan ini datang dengan harapan bahwa Kurdi tidak akan melanjutkan aspirasi kenegaraan formal mereka.
Selain minyak, air adalah sumber ketegangan strategis yang besar di Kurdistan. Wilayah Kurdi adalah hulu bagi sungai-sungai besar seperti Tigris dan Efrat. Turki, melalui Proyek Anatolia Tenggara (GAP), telah membangun serangkaian bendungan besar, yang mengendalikan aliran air ke Suriah dan Irak. Kontrol Turki atas air ini menjadi alat geopolitik yang kuat yang memengaruhi stabilitas ekonomi dan pertanian Kurdi di negara-negara hilir.
Isu demografi juga kritis, terutama di kota-kota yang disengketakan seperti Kirkuk di Irak. Kirkuk, yang kaya minyak dan memiliki populasi campuran Kurdi, Arab, dan Turkmen, dianggap oleh Kurdi sebagai 'Yerusalem' mereka. Kegagalan untuk menormalisasi dan menyelesaikan status Kirkuk—seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi Irak—terus menjadi bom waktu yang mengancam stabilitas antara KRG dan Baghdad.
Untuk memahami kedalaman identitas Kurdi, penting untuk melihat tradisi religius minoritas mereka yang unik, yang sering mencerminkan akar Zoroastrianisme dan kepercayaan pra-Islam di kawasan Zagros.
Ahl-e Haqq, atau 'Orang Kebenaran' (juga dikenal sebagai Kaka’i di Irak), adalah kelompok etno-religius Kurdi yang berbasis di Iran dan Irak. Agama ini adalah sinkretisme yang sangat esoteris, memadukan elemen Syiah ekstrem (Ghulat) dengan teologi pra-Islam Iran. Mereka percaya pada serangkaian inkarnasi ilahi dan siklus reinkarnasi. Karena sifat rahasia dan perbedaan mereka dari Islam arus utama, penganut Ahl-e Haqq sering menghadapi penganiayaan di Iran dan Irak.
Yazidi adalah kelompok keagamaan Kurdi yang unik dan paling menderita. Agama Yazidi tidak bersifat misionaris dan berpusat di sekitar komunitas Kurdi. Filosofi mereka sangat berbeda dari Islam atau Kristen, dengan fokus pada dualitas dan penghormatan terhadap tujuh malaikat, yang paling penting adalah Tawus Melek. Kesalahpahaman historis tentang Tawus Melek telah menyebabkan mereka disalahartikan sebagai "penyembah setan" oleh kelompok ekstremis, yang digunakan untuk membenarkan genosida terhadap mereka, terutama oleh ISIS pada tahun 2014.
Tragedi Sinjar dan genosida Yazidi tidak hanya merenggut nyawa tetapi juga memicu upaya internasional untuk melindungi dan melestarikan warisan Yazidi, menyoroti betapa rentannya identitas minoritas di tengah konflik geopolitik Kurdi.
Newroz (Tahun Baru Persia) adalah perayaan budaya yang paling penting bagi Kurdi. Dirayakan pada ekuinoks musim semi, Newroz melambangkan perlawanan dan pembaruan, merayakan legenda mitologis Kurdi tentang Kawa sang pandai besi yang menggulingkan seorang tiran asing, Zahak. Meskipun Newroz dilarang di Turki selama bertahun-tahun, kini perayaan tersebut dirayakan secara terbuka di seluruh wilayah Kurdi. Ini adalah demonstrasi kolektif dari identitas budaya Kurdi yang melintasi batas-batas politik yang memisahkan mereka.
Perjalanan Bangsa Kurdi adalah epos yang ditandai oleh perpecahan kekaisaran, janji yang dikhianati, dan perjuangan tiada akhir melawan asimilasi. Mereka telah berjuang di garis depan melawan kekejaman genosida dan ekstremisme, seringkali dengan pengorbanan besar.
Meskipun impian tentang Kurdistan yang bersatu dan berdaulat mungkin tampak jauh, Wilayah Kurdistan Irak menawarkan model keberhasilan yang memungkinkan otonomi di dalam kerangka negara. Sementara itu, Rojava mewakili eksperimen politik radikal yang menekankan kedaulatan masyarakat.
Masa depan Kurdi tidak akan ditentukan oleh satu kekuatan tunggal, tetapi oleh keseimbangan kekuatan antara Ankara, Baghdad, Teheran, Damaskus, dan kepentingan adidaya. Namun, satu hal yang pasti: Bangsa Kurdi telah membuktikan bahwa meskipun mereka tidak memiliki negara, mereka memiliki identitas yang tidak terpecahkan, diikat oleh pegunungan, bahasa, dan kesadaran kolektif yang mendalam bahwa mereka adalah salah satu peradaban tertua di kawasan itu, yang haknya atas penentuan nasib sendiri harus diakui.
Perjuangan Kurdi adalah cerminan dari tantangan identitas dan kedaulatan di dunia modern yang terus berubah.